Saturday, February 16, 2013

Silver Lining the Wallflower


Last night I spent my 8 hours not for sleeping. It was for movie watching. I thought it would be great for me to eat all those books this week before my new semester starts. But then, I realized that books without writing is useless, and writing without motivation is nauseous. Their combination was indeed killing. You may say I was dead. And my brain asked me to leave all books - and the article I must write. I took off all those shits, started calming down the nerve.

Then I got this two movies: Silver Linings Playbook and The Perks of Being a Wallflower. Ok, let me switch my language (anyway, I'm in the middle of my meal right now - first meal of the day. Pasta. It's just that wheat named pasta, boiled in salty water, chopped fried garlic plus pepper, and I gave cheese on it, bon appetite).

Jadi di tengah kunyahan gandum yang tak juga bisa kulepas jeratnya ini, aku ingin berkisah tentang dua film tadi. Aku tak begitu mengerti, mengapa jemariku memilih dua film itu. Tapi aku tahu mengapa film itu ada dalam HDD-ku, karena the genre is gue banget (ingat, aku adalah gadis FTV itu, jadi drama selalu membuatku senang). Even the most important thing in The Bourne Trilogy, as for me, is the drama part, not Bourne's action.

Dua film ini termasuk dalam jajaran yang teromantis di tahun 2012, IMdb version, of course. Mungkin ngepasin aja aku buka situs IMdb waktu V-day (Vagina day? :O) - tapi sudahlah, aku tak ingin membahas hal-hal yang di luar kemungkinan (apa lagi ini?).

The Perks of Being Wallflower. Diangkat dari novel (bestseller bok!) dengan judul yang sama. Cerita tentang tahun pertama Charlie di highschool-nya. Buat orang Amrik, awal tahun SMA sungguh menakutkan. Sekali kau tak dapat teman di minggu pertama, jangan bayangkan bisa jadi populer. Yang selalu ditakutkan adalah ketika seseorang bisa jadi 'bulan-bulanan' bagi anak-anak yang populer. Lingkungan baru memang berarti pertemanan yang baru. And make friends is so hard for the one like Charlie. Psikisnya terganggu, dan karenanya ia cenderung menjadi anak yang sungguh pendiam, yet he's so dumbass smart (chew).

Ah, agaknya aku juga pernah merasakan kegusaran serupa. Tentang menghadapi SMA. Mbakku adalah saksinya. Dengan bodoh aku berkata padanya, "Mbak, aku takut". Bukan karna takut tak punya teman, "aku takut Kimia. Apa itu? Aku selama ini hanya dapat Fisika dan Matematika. Tapi Kimia baru. Aku takut", lanjutku. Well, yeah, that was me. Science girl. Hahaha. Anyway, seperti orang tua dan Pak Guru Charlie yang menasehati bahwa semua akan baik-baik saja, mbakku, yang melewati masa SMA-nya sebagai masa kejayaannya, tentu juga bilang, "semua akan baik-baik saja. Kimia kuwi mung ngunu tok, kok. Opo sing diwedeni?" Ah, ya, orang populer pasti selalu berkata demikian (mbakku termasuk kategori populer, karna masnya (masku juga) adalah artis di SMA-nya - dia sendiri akhirnya juga menjadi artis karna parasnya).

Dan ketika cerita bergulir, memang semua baik-baik saja. Kimia, well, malah ia yang mengantarkanku berhasil nembus SPMB, sedang jawaban soal Fisika kuawur C semua (mengawur dengan strategi tentunya). Begitu pun Charlie. Akhirnya dia dapat geng. Bergabung dengan grade terakhir pula. Dengan Sam dan saudara tirinya Patrick (dengan nick-name 'Nothing'). Sungguh beruntung.

Hanya yang membuat spesial film ini bukan itu (swallow). Ya, tentu bukan itu. Did I mention about psyche? Itulah. Psikis Charlie sangat mengkhawatirkan. Di awal kupikir kenapa kan, eh ternyata parah juga. Charlie memiliki histori yang tak menyenangkan, dan membuatnya trauma, yang lalu bikin dia sering ingin mengakhiri hidupnya. Like the real depression gitu. To be in your lowest point is indeed not easy. So hard, even. Apalagi mereka yang pernah punya trauma. Dalam trauma yang mendalam, konsep bertahan mungkin berbeda, atau tak ada. Jadi buat mereka, untuk bertahan adalah dengan membunuh diri sendiri (mungkin). Kasus Charlie, ketika ia mulai merasa sendirian dan karenanya 'kambuh', ia lalu berpikiran bahwa segala kesusahan yang ada di sekitarnya diakibatkan oleh dirinya. Pikirannya berkelebatan oleh pertengkaran-pertengkaran orang di sekitarnya dan beranggapan bahwa segalanya tersebut dikarenakan olehnya (yang tentu sebenarnya bukan). Fokus hilang, dan pikiran negatif tersebut menguasainya. Tak ada teman, segalanya memuncak, dan mati buat dia menjadi cara menebus dosanya. Menebus dosa atau apa, aku gak tahu. Gak dijelasin juga. Sampai saat ini aku masih menduga-duga saja, apakah konsep bertahan mereka berbeda dengan orang kebanyakan, mati berarti bertahan, bukan lagi hidup, atau memang sudah tak ada. Tapi kayaknya yang terakhir hanya pendapat absurd deh.. (damn, how could I be so interested in this subconscious world!!).

Kisah trauma yang sesungguhnya disimpan di bagian akhir. Awalnya penonton pasti mengira itu trauma karena tante Charlie yang meninggal karena kecelakaan. Namun, eits, their little secret was not about Charlie's birthday gift. Yang diingat-ingat Charlie sebagai 'rahasia kecil' dengan tantenya itu akhirnya benar-benar teringat olehnya. Sexual abuse. Something finally recalled Charlie's memory. Tantenya pernah semacam melakukan kekerasan seksual padanya, waktu ia masih kecil. Entah seperti apa, karena tidak dijelaskan secara gamblang, and moreover I don't know much about sexual harassment to a little boy, that's why I don't know it for exactly.

Beruntung Charlie ingat, karena dengan demikian ia jadi bisa tahu penyebab sakit psikisnya. Kalo udah tahu sakitnya, penyembuhan lebih mudah dilakukan. For sure.

Yang menarik adalah bagaimana kinerja tubuh melupakan memori tersebut. Trauma itu berbahaya, dan menurut teori psikoanalisis, itulah cara tubuh melindungi dirinya, dengan tidak mengingatnya, dan memendamnya. Istilah memendam juga memiliki maknanya sendiri. Ia akan terkuak, tergali, hanya jika ada alat untuk menggalinya. Suatu kejadian membuat memori itu terkuak kembali dalam benak Charlie. Bukan kematian tantenya yang membuat ia 'views some things' (ya benar, bila sedang tak stabil, Charlie mulai dapat melihat hal-hal yang diproduksi memorinya - yang tak dilihat orang lain - juga suara-suara, yang tentu tak didengar orang lain), tapi karena kekerasan seksual yang dilakukan terhadapnya di masa kecilnya.

Where's the drama story? Here they are. Charlie loves Sam and gets his first kiss from her, whereas Sam is in relationship with other guy. Although at first they can't be together, finally, yeah, you can guess the next story - it's cliche anyway. Patrick is a gay, and get separated with his boyfriend who loves him and whose father doesn't want a gay son so he keeps hitting Patrick's boyfriend 'till they break up. The story about their friendship is awesome too. To be a silent boy means you 'mean' everything, and it makes Charlie knows what his best friends want for a gift. On Christmas eve, Charlie gives each of them the perfect gift, and makes everyone cries (spectators included). Awesome!!

Ini ada dialog antar Charlie dan Pak Gurunya ketika Charlie bertanya-tanya mengapa Sam memilih kekasih yang bukan anak baik-baik:

Charlie: Why do nice people choose the wrong people to date?

Mr. Anderson: We accept the love we think we deserve.

Charlie:
Can we make them know that they deserve more?

Dialog serupa (namun tak sama), nantinya di akhir film juga terjadi, antara Sam dan Charlie (kali itu Sam yang bertanya karna tahu her date cheats behind her). Hehe. Cinta itu emang buta, sih. Kita gak bakal dengan mudah sadar that we deserve better, right? Bila sudah sadar, nanti kayak yang Frau bilang deh: "... tetapi esok nanti, kau akan tersadar, kau temukan seorang lain yang lebih baik..". Namun sekali lagi, baik sama enggak itu hanya masalah apa yang di bangun di benak. Dan itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Hihih..

Film satunya, Silver Linings Playbook, herannya juga bernada psyche-psyche gitu. That's why I was wondering why. Apa lagi jaman ya di Amrik ngorek-ngorek tentang mereka yang sakit mental? But unfortunately I didn't watch many movies in 2012 to answer it. Shame on me.

Film ini, menariknya dibintangi Bradley Cooper. Ih, siapa sih yang gak gandrung sama mas ini? Sejak nonton dia di....(mengingat) "He's Just Not That into You" (2009), aku udah jatuh cinta sama aktor ini. Tom Cruise emang gak bakal kalah, tapi Bradley ini lain.. Oh! Watch his movie, you'll know why I adore him!! Aktingnya gak begitu super memang, tapi lambat laun sudah jauh lebih baik. For some reasons, this guy has his guts! Sudahlah, tonton saja. (Clue: dia yang paling seksi dari segala yang main di The Hangover. Hikikik).

Oke. Kisah psikis Brad yang memerankan Patrick (pas banget Patrick lagi, apa iya emang lagi jaman? Jangan-jangan director-nya sama inih? whatever -__-'), lain dengan kisah Charlie. Patrick, yang disapa akrab Pat, sudah jauh lebih dewasa. He's married. Kisah traumanya juga lain. What happened to him? Dia membunuh laki-laki yang dengan mata kepalanya sendiri terpergok sedang make love dengan istrinya. He killed the man as soon as he caught them cheating. Ih, gilak deh pokoknya. On spot pula membunuhnya.

Plotnya sama. Tentang membunuh ini juga baru diingat Pat belakangan. Di awal, ia hanya tahu ia dikirim untuk rehabilitasi karena telah memergoki istrinya yang tengah enjoy dengan pria lain, di kamar mandi di rumahnya. Baru terkuak di akhir, traumanya lebih dari itu. Ia membunuh pria yang sedang ada di kamar mandinya (dengan istrinya). Wuuuu ngeriiiiii (don't ever try this at home!).

It's indeed drama. Pat, setelah keluar dari rehabilitasi (atau penjara ya? semacam itu lah), akhirnya bertemu dengan Tiffany, yang juga mengalami neurosis. La la la la... ah, ini drama abis. Pat masih berharap sangat pada Nikki, istrinya, sedang ia sedang dalam kondisi terkungkung hukum: tak boleh dekat-dekat Nikki, dsb. dsb. Tiffany yang membutuhkan Pat sebagai pasangan dansanya untuk sebuah kompetisi, mengiming-imingi Pat untuk menjadi 'mediator surat-menyurat' dengan Nikki. Pat setuju hingga tiap hari ia bertemu dengan Tiff, berlatih dansa. Di awal kita pasti udah tahu si Pat ini tertarik sama Tiff (Tiff mah, emang udah tertarik duluan). Namun Pat berkeras ia tidak tertarik, karna baginya ia masih terikat dengan Nikki. Sungguh lucu melihat dua orang yang dianggap gila atau tidak normal di lingkungannya, justru saling menggila-gilakan satu sama lain. Pat pada akhirnya mengerti, Tiff tak pernah menjadi mediator antaranya dengan Nikki (lagian dimediasi juga percuma, Nikki sudah keburu takut sama Pat). Namun banyak yang ia dapat dari latihan dansa yang tiap hari ia lakoni dengan Tiff. Pertama ia jadi fokus, bipolar disorder-nya jadi 'lunak', dan karenanya ia tak pernah 'kambuh'. Kedua, ia mendapatkan tumbuh kembang rasa tertarik keduanya. Pat tak sendiri. Tiffany pun dapat teman. Emosi yang meledak-ledak yang Pat miliki, pelan-pelan surut. Di akhir, ya tentu, memang klise, Pat menyadari rasanya terhadap Tiffany. And damn, he's so matured over there!!! Aaaarrrrgghhh!! Dewasa bangett!!!

Aku suka gaya Tiffany di awal yang keukeh menyatakan bila Pat tertarik sama dirinya. Tentu Pat menolak mentah-mentah pernyataan Tiff. That was so funny. Di sono, hanya orang yang dicap gila yang bilang tidak tertarik padahal kelakuannya mengindikasikan hal sebaliknya (dan plis ya, orang tuh ga goblok-goblok banget kali hingga gak tahu mana perilaku yang menandakan tertarik sama mana yang enggak). Di sini, jih, berjibun deh orang munafik, hingga ada istilah PHP di kamus anak muda jaman sekarang. PHP di amrik mah, nama web machine. Ada memang PHP, mereka pakai segala frase yang berhubungan dengan 'hook', tapi mereka gak hipokrit. Ih, mual aku dengan kemunafikan (dih, biasa aja kali, Jek).

Intinya... (ah, akhirnya ending juga). Kedua film ini mengangkat tema serupa. Mental disorder atau apalah itu namanya. Seakan mereka berbicara, untuk mem-boom-kan orang-orang yang terpinggirkan ini. Dengan nonton dua film ini, kita jadi tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang serupa, yang konon mentalnya terganggu. Entah apa bahasa yang tepat untuk mereka, yang kukira gak bakal ada yang tepat, namun satu hal yang pasti: film ini diangkat tentu tak berdasarkan penutupan mata. Ada representasi realitas di sana. Dan pengucilan dari masyarakat hanya memperburuk keadaan si subyek. Banyak pihak lho yang pernah punya trauma sangat berat. Dan itu bukan salah mereka kan, tentunya. Terlihat seperti salah mereka pun kita tak punya hak jadi penghukum yang menghakimi. Kedua film ini, tanpa sengaja mengajari, telah memberi pelajaran pada yang menonton. Kita diajak untuk menerima mereka, yang sangat membutuhkan teman dan suasana kondusif, namun ironisnya cenderung dikucilkan. No, they have life either. They are also human being. And human being needs friends. Don't we dare hurt them who have got hurt already.

And anyway, Silver Lining sendiri berarti optimisme. Suatu yang selalu dikatakan Pat agar ia selalu optimis untuk bisa kembali pada Nikki. Yes, he loved Nikki so much. Dalam yakinnya, di adegan-adegan awal dia berkata,

"If clouds are blocking the sun, there will always be a silver lining that reminds me to keep on trying, because I know that while things might seem dark now, my wife is coming back to me soon.” 

Allright, Pat. I mean, whatever, Pat.. Hahaha.

Namn it, I just used so not-awesome title for this post! arrgh!!

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b