Tuesday, May 19, 2015

Dunno


Pagi ini diawali dengan badan menggigil karena baru sekali dalam sebulan merasakan mandi jam delapan. Hujan mulai berkurang dan langit terang benderang. Bintang gemerlapan dan air tiba-tiba saja membekukan. Tesis itu konon akhirnya terselesaikan. HORE.

Setelah urusan pagi, hariku dicerahkan oleh kekecewaan. Red-ku ditolak, meski tak secara mentah-mentah. Semoga dialog ini dapat menjelaskan.
J: Kalau mau naruh motor untuk disewakan, bisa ndak, Bu?
I: Emang mau ditinggal ke mana?
J: Ke X (menyebut sebuah kota), sekitar dua bulan
I: Motornya apa?
J: Itu yang plat B (menunjuk Red)
I: Wah kalau motor manual (?) di dalam masih banyak, Mbak. Kita carinya yang matic, banyak yang make.
J: Oh, gitu ya, Bu. Terima kasih.
Dan meski kecewa aku tak dirundung duka. Hanya...

Hanya beberapa menit setelah meninggalkan Toko Bali tapi di Yogya itu (tepatnya di sekitaran FKG UGM - RSUP Sardjito, tempat banyak makhluk yahut berjubah putih berkeliaran), diriku kebanjiran nafsu mengenang. Aduhai, bahkan ini namanya meneruskan sindrom sebelum subuh tadi di mana aku tiba-tiba ngobrol jarak jauh dengan kawan SMA. Tentu melaju ke arah kos setelah dari Toko Bali itu juga memperkuat si nafsu. Saat di depan Sardjito, aku berkeinginan untuk belok kiri di depan sana. Di pintu gerbang Fakultas Teknik yang sebenarnya ga begitu pintu gerbang banget sih. Dan akhirnya kenangan itu menggenang.

Jalanan berpaving.
Tugu Teknik.
Selokan kecil di tiap akhir jalan menurun yang bila dilewati kendaraan masih saja berbunyi "krompyaang".
Selasar KPTU.
Tempat bekas pohon besar di pojokan Elektro.
Gedung putih itu, JETETI.
Teknik Mesin si tetangga dekat.
Teknik Kimia.
Papan nama JTETI lagi.
Ah, sungguh menyilaukan! Teknik UGM begitu menyilaukan!
*pret*

Saat berjalan di selokan kecil krompyang itu, hatiku trenyuh. Mungkinkah ini akibat film-film cheesy yang akhir-akhir ini kulihat, hingga jadi melebai tak karuan. Melihat papan nama JTETI, hatiku pun semakin tersaruk-saruk. Yang ada di benak cuma satu: sudahkah aku menghargai kehidupanku di sini? Tentu itu adalah pertanyaan genting. Inginnya dijawab secepat mungkin, tapi hati sudah terlanjur jadi gelisah. Mungkin ini sebabnya tubuhku tak cepat menggemuk. Aku terlampau sering menghabiskan energi untuk berpikir (atau tepatnya habis untuk menulis hal tak penting semacam kalimat barusan).

Jadi sudahkah aku menghargai kehidupanku di Teknik, memberi perhatian yang pantas saat belajar di sana, lalu menyadari proses itu setelah kepergianku darinya? Mungkin yang membuatku gundah adalah sebuah pengharapan: andai saat belajar dahulu aku lebih hirau, lebih menyelami kehidupan di Teknik, hingga kenangannya dapat terikat dan kelak saat bernostalgia, aku dapat mengenang dengan harga yang lebih indah. Tapi bukankah kehidupan ala S1 adalah begitu demikian? Begitu terasa tergesa-gesa meskipun empat tahun? Dan bahkan empat tahun itu suatu waktu yang cukup lama. Mengapa rasanya sangat rindu begini?

Pikiranku terlalu berputar-putar. Untungnya aku hobi mengenang (yang mungkin juga karena ini energiku tak segera tertimbun jadi daging (?)). Aku ingat aku pernah sangat bersyukur telah lulus dari Teknik, atas kehidupan di dalamnya, atas ilmu, baik akademik maupun yang lain. Aku ingat saat itu aku masih sungguh ingat perihal itu. Mungkinkah ini semua karena aku sudah terlalu jauh, sehingga menjadi lupa? Atau mungkinkah hanya karena usia? Apa teman-temanku merasa hal yang sama? Atau kembali karena telah begitu jauh itu?

Aku hanya bisa mengira-ngira, karena tak ada kepastian dalam sebuah jawab. Hanya, mungkin aku sedang risau tentang...........

Dunno.

AH, GEJE BANGET!!!