Sunday, November 15, 2015

Merasai Seni


Habis jalan-jalan dari BJ XIII (Biennale Jogja XIII) Seri Equator #3, Hacking Conflict: Indonesia Meets Nigeria. Pokoknya habis main rasa pengen ngeblog meluap-luap, jadi yuk, mari cerita!!

Ini memang seri BJ Equator ketiga, hingga ntar tahun 2022 di edisi..... (liat contekan) .... 6!!! Dulu pernah bikin artikel singkat tentang ini sih, tapi karena ga diblog-kan, jadi coba aku ceritain dengan cara yang cukup mengesankan (amin?). Ceritanya master-master Biennale Jogja (aku ga tahu siapa aja, bisa cek langsung ke webnya deh, kalau butuh infonya :p), di tahun 2010 (atau kira-kira sebelum itu), merumuskan sebuah tekad yang terinspirasi dari ala-ala kemandirian Konferensi Asia Afrika. Tahu kan, kalau Indonesia adalah salah satu pemrakarsa KAA, dan pasti juga sudah jamak di telinga bahwa KAA dulu benul-benul non-blok, maksudnya bener-bener ga mau ikutan perang geje ala diem-dieman (perang dingin ini maksudnya) antara NATO sama mbuh satunya siapa, Soviet (USSR), apa SALTO, apa PAKTAWARSAWA (aneh bet), terserah. Anggota KAA dulu kebanyakan adalah negara-negara berkembang, tentunya. Aku bilang tentunya soalnya ini menarik! Serius menarik! Soalnya negara-negara yang diem-dieman itu, adalah negara-negara (sok) besar gitu lo!, yang ideologinya udah kayak oke aja buat dibumikan di seantero planet. Makanya mereka perang, yang satu liberal-kapitalis, satunya sosialis-komunis. Lalu negara-negara non blok, jelas banget saat itu adalah kumpulan negara baru merdeka, dan yah, dulunya adalah jajahan negara-negara yang lagi pada diem-dieman tadi. Kan udah bener merdeka, ya apa mau dijajah lagi dengan ideologi-ideologi mereka? Soekarno dan "geng"-nya jelas ga mau. Lalu itu KAA kan muncul. Nah, kalau sekarang faktanya ideologi-ideologi yang dulu dicoba tidak-diberpihaki malah dijunjung tinggi-tinggi, bahkan melampaui junjungan tinggi Nabi Muhammad (?), ya itu entah aku mau nanya ke siapa. Apa KAA edisi terkini bisa jawab yang beginian?

Dari situ, semacam ada semangat kemandirian yang menginspirasi master-master BJ di tahun 2010. Aku juga ga tahu seberapa parah kesenjangan antara (bidang) seni ala-ala UTARA dan ala-ala negara di SEBELAH SELATANNYA. Yang aku tahu, bahkan hingga di sinetron-sinetron ala HBO, Star World, FOX, dkk., mereka masih bangga dengan sebutan utaranya dan bangga menyebut, bahkan kita yang di equator sebagai selatan (padahal kan TENGAH! PIYE JAL!). Utara adalah yang maju-maju, dan semakin ke selatan semakin mengenaskan. Betapa kasihannya OZ ya, hahaha. Dan gap ini, yang sepertinya coba dilawan oleh BJ Equator, lalu (akhirnya) dirumuskanlah Biennale Jogja seri Equator, di mana (seniman) Indonesia bertemu dengan (seniman) dari negara di sekitar Equator. Sebut saja edisi pertamanya di tahun 2011 adalah dengan India, #2 di 2013 dengan negara-negara Arab (yang dulu aku dan kawan Habitus dan Ainun ikut Parallel Event-nya), #3 sekarang dengan Nigeria, besok di 2017 dengan negara Amerika Latin (yang ini kayaknya perluasan, soalnya dulu ga ikut KAA), 2019 dengan negara Laut Pasifik dan Oz (bakal disebut Biennale Bahari Laut - juga perluasan nih), dan terakhir di 2021, dengan negara ASEAN. TEPUK TANGAN.

O ya, kalau bingung kenapa dua tahunan, yaaaa namanyaaaa jugaaaa BIennale. Gitu.

Biennale edisi ketiga ini, aku rasa suka!! Entah apa karena aku sudah mulai bisa "nikmatin" seni, atau karena sudah mulai mengendap-endapkan ilmu-ilmu itu jadi ga kejet-kejet lagi, atau entah "cuma" karena tadi jalannya sama Apple +Syahrina yang bukan model-model temen-temen yang: "ahhh, mau foto sama iniii, mau foto sama ituuu, sama yang itu jugaa, ini jugaaa...". Bleh. Dan udah gitu santai banget sama Apple tadi, ga yang harus tergesa-gesa. Ya udah berhenti saja menikmati semuanya. Lama tak apo. Trus rasanya jadi seneng karena lumayan, paling ga udah mencoba memahami otak seniman-seniman itu. It's indeed superb awesome!!!

Jadi beruntunglah hari Sabtu tadi hujan belum turun, mi Sendowo kesukaan Apple (akhirnya) buka, masuk Jogja National Museum (JNM) nemu stan kopi WIKIKOPI +Dityo (yang gratisannya uenak banget, SERIUS BESOK MAU BELI POKOKKE: enteng di badan, dan perut ga protes-protes banget), lalu cukup hahahihi di JNM soksok ngertiin artworks, dan lanjut ke BAKMI KADIN buat nonton satu seniman BJ XIII yang karya seninya dipamerin di sana! DI BAKMI KADIN JEDHUER GA TU!!!

ALAI BET.

Mohon maaf kalau ceritanya agak lalalala. Pun sudah biasa :p. Baca publikasi BJ XIII, apa iya beneran nama ruang pamernya "BAKMI KADIN". Ternyata ga ngibul. Dan karena dua dari kami memang sering agak ga penuh orangnya, kecuali kalau lagi niat pengen penuh (?), jadi kita agak-agak ga inget BAKMI KADIN ITU SERIUSAN TEMPAT MAKAN APA BUKAN. Ini antara serius ketidaktahuan atau semata kebodohan mutlak, meski sampai di kalimat ini aku rasa opsi terakhir akan lebih cocok. Jadi sehabis beneran menikmati JNM, sekalian Apple agak-agak nostalgila soalnya sebelahan doang sama SMA-nya yang cukup lama (dari jam 3 sore sampai 7 lebih!!! Ngeri tok!!!), dan jadi tahu suasana BJ XIII saat malam dan siangnya (makin malam makin meriah padahal cuma sampai jam 8 doang, wkwk), kami pun meluncur ke si bakmi itu, yang ternyata berdasarkan Google Maps adalah beneran tempat makan, lengkap dengan bajigurnya. Jigur, ora mung guyonan.

Black Market Museum, itu judul sesi BJ XIII yang di Bakmi Kadin. Dan ingatlah aku pernah ditraktir temen di situ (biasanya nongol orangnya di blog sini, tapi mungkin karena manten baru - suiiitt suiiiittt -, pasti lagi sibuk, HAHAHAHA). Dulu tak begitu nyamnyam sih makannya, soalnya belum suka bakmi jowo. Rencananya sehabis nonton Black Market Museum, mari lanjut mam malem di sana.

Posisi pamerannya rupanya pake bangunan di sebelah Bakmi Kadin, tapi meski sebelah, bangunan ini membelakangi bagian belakang Bakmi Kadin. Mudahnya bayangannya begini saja: Bakmi Kadin warungnya hadap ke timur, terus buntutnya kan di sebelah barat. Bangunan untuk Black Market Museum BJ XIII hadap ke utara, dan buntutnya yang sebelah selatan gandeng dan tembus sama bagian barat/buntut Bakmi Kadin. Jadi bisa masuk dari warung untuk ke pameran, dan bisa dari pameran terus mak plung masuk ke warung untuk isi perut beli bakmi.

Tapi kami memilih masuk dari depan ruang pamer. Dan plis, jangan membayangkan ruang pamerannya sesteril yang di JNM, atau yang keren cling cling penuh cahaya romantis dan biasanya menggugah rasa ingin selfi bersama. Sejak dari luar, rasanya agak buangan banget ruangannya, semacam serius beginian ruang pamernya?

Semakin masuk........................ semakin muram. Dari spoiler di ruang pamer utama di JNM, kami sebelumnya tahu Black Market Museum isinya tentang beraneka ragam eksekusi dari sampah, barang temuan, dan semacamnya. Tapi pas masuk beneran......................... udah entahlah. Pas masuk, selain disambut mba yang jaga pameran, name tag-nya bertuliskan 'SARAH', kami juga disambut aneka warna warni cairan dalam plastik bening yang digantung. Tapi meski gitu penerangannya ga bikin yang digantung-gantung itu jadi ceria. Lalu dari bungkus kue ringan/marshmelo/semacamnya, dikumpul, ditaruh di kiri-kanan. Apaan, aku dikepung trash.

Masuk ruang dua, penerangan lebih oke. Tapi rasanya makin muram. Di dinding-dinding, ditempel sisa-sisa kulit kambing yang tak terpakai (jangan tanya badannya ke mana). Dan kalau itu yang jadi wallpaper, rasanya eneg BRO. Lalu dijelaskanlah sama si Mba Sarah, Black Market Museum ini permintaan dari seniman Nigeria. Temanya ternyata serius buangan, enggres-nya: abandoned things. Si seniman, (bentar cek dulu namanya.....) Olanrewaju Tejuoso, ingin juga dipamerkan dalam abandoned place. Jadinya memang sebenarnya bangunannya sangatsangatsangat bukanlah galeri ruang pamer yang clean, steril yahud aduhai begitu! Rupanya itu adalah bangunan terbengkalai, dulunya rumah, dan yang punya adalah, yang punya BAKMI KADIN! Terjawab kenapa agak semriwing deh!

Tapi tunggu dulu. Aku pikir hanya karena aku sedang dikepung sampah, hal-hal yang di sehari-hari kusia-siakan, kunilai tak pantas, dan hanya karena sedang berada di dalam sampah - rumah lawas yang tak ditempati dan kalau hujan lampu harus dimatikan karena bocor di mana-mana. Kupikir karena itu sajalah aku merasa entahlah perasaan apa pokoknya rasanya macam ga enak yang diaduk-aduk. Terasing, mencekam, terancam, menggelisahkan, tapi bukan menakutkan yang hantu-hantu begitu. Rasanya lebih parah. Juga diperparah dari sisa-sisa bocor hujan yang mengenai karya seninya, dan basah lembabnya membuat bau yang aneh mulai mengepung. Belum lagi aroma masakan Bakmi Kadin yang menyusup dari pintu belakang, tapi tidak juga berarti membuat suasana jadi mendingan. Saat menulis ini pun asam lambungku agak bergejolak, agak mengingat perasaan tadi. Hiiiiiih banget pokoknya. Bukan jijik, tapi hanya benar-benar ingin segera meninggalkan ruangan. Tapi harus lanjut.

Setelah di ruangan dinding kulit kambing, kami belok ke kanan. Ada beberapa karya 3D entahlah, dan beberapa tulisan-tulisan entahlah, karya seni lain yang entahlah juga, serta terlihat di pojokan ruangan atapnya sudah ambruk, dan bolong, dan bayangkan saja bila hujan. Sarah mengatakan hingga ruangan ini, karya-karya adalah juga dibuat oleh abandoned people kecuali yang plastik-plastik isi cairan warna-warni yang digantung di depan. Dan orang "buangan" itu adalah narapidana narkoba yang tergabung dalam Prison Arts Program. Saat dijelaskan aku pikir "ok, that's awesome, abandoned things, abandoned building, abandoned people". Dan rasa-rasa itu semakin bikin tidak nyaman. Lalu baru ketika masuk di ruang berikutnya, JRENG, feel-nya benar-benar berubah. Isinya masih benda-benda dari sampah, baju-baju tak terpakai, dan semacamnya. Tapi yang ini mood-nya tidak mencekam. Sarah bilang karya-karya di ruangan ini semuanya dikerjakan si seniman empunya ide, si Mas Tejuoso tadi (baru liat foto orangnya, keliatannya si masih masmas :p). Bahkan meski ruang pamernya bukan tergalerikan ala-ala di JNM, dan masih di abandoned building, aku merasa melihat karyanya seperti juga terasa dalam ruang yang clean dan cukup steril. Ada juga foto-foto hasil residensi dia di Yogya terkait masalah buangan ini. Dan main room ini, terinspirasikan dari The Last Supper, berisikan meja kursi konferensi ala G12 sedang makan malam terakhir. Ada bendera-bendera negara-negara itu di atas meja, dan baju-baju usang menduduki tiap kursinya. Ruangan ini semacam memulihkan rasa tercekam tadi. Dan bahkan karya dari tangan berbeda pun memberikan rasa yang berbeda. Bayangkan betapa banyak emosi dituangkan dalam karya seni buatan narapidana, dan kami merasakannya emosi itu lo, yang diterjemahkan dalam beberapa rasa ga enak, terasing, eneg, huekhueklalalala, dan kenegatifan lainnya, padahal karya seninya ga bernada-nada muram. Tak hanya benda, tempat, dan orang yang buangan. Emosi terbuang pun kami dapat merasa. Huhuhu, ini semacam kembali pada definisi awal seni, yaitu yang dapat menyentuh rasamu. Tujuan seni adalah empati yang diwujudkan oleh estetika.

Kalimat terakhir di atas mungkin sok tahu, tapi dulu pernah baca tentang art koook! Kalau agak kepleset karena lagi ga penuh gini (kapan penuhnya sih?), maaf yaa!! :D

Jadi kami lalu keluar dari ruangan yang isinya asli karya mas Tejuoso, trus masih harus  lewat ruangan dengan feel ga enak itu sekali lagi, untuk bisa meraih pintu belakang, masuk ke Bakmi Kadin!!! Dan Bakmi Kadin emang jos! +Ayudhanti pasti kesengsem sama kaldu yahutnya!!

Anyway, yang cukup mengesankan di ruang pamer utama di Jogja National Museum, adalah karya Anggun Priambodo, semacam instalasi terbuat dari tangga-tangga bambu, setinggi pohon beringin kebanyakan, lalu nanti di puncaknya semacam ada atap yang memiliki ruang tingginya tak sampai sebadan. Ruangan atap itu gelap, tapi ada video sedang diputar. Aku naik instalasi itu, dan melihat video di ketinggian. Tapi ruangannya gelap, dan secara ukuran bukan ruangan biasanya, secara bahan juga cuma papan kayu tebal disangga tangga-tangga bambu yang menjulang. Ngeri luar binasa. Lalu turunlah aku, daripada nunggu tak bisa turun, bahaya sodara! Coba yang ini aku bagi gambarnya dari halaman BJ XIII:

Anggun Priambodo, "Voice of Equator", photo: Biennale Jogja XIII

HORE HARI INI AKU SUKSES MERASAI SENI!!!

Voice of Apple(s), photo: Apple

Saturday, October 31, 2015

Di Puncak Ia Membara, di Lembah Ia Merana


Hanya tiba-tiba saja ingin menulis. Mungkin karena sudah lama tak ngeblog, tapi semacam ada keinginan untuk kembali menulis. Semacam keinginan menulis yang seringnya hinggap lalu kembali mengembara. Hinggap sejenak, kembali mengembara yang jenak. Betapa hidup penuh dengan apologi.

Mari berbicara tentang ritual dan Tuhan.

Kadang ibu berceramah betapa kurang ritual ibadah anak-anaknya, sehingga terlihat banyak sekali hal negatif yang melanda. Aku termasuk salah satu anak tersebut. Mungkin ibu merasakan juga bagaimana bila ritual-ritual itu dijaraki, hal yang tak menguntungkan akan sering meliputi kehidupan. Dan seorang ibu tak ingin anaknya mendapati kemalangan seperti demikian. Tapi nasihat semacam itu jatuhnya ke anak "muda" lebih seperti melihat Tuhan sebagai sosok yang pamrih. Berdoa, mengaji, sembahyang, hanya "sekedar" untuk menyogok Tuhan agar memberi nasib yang baik. Dan bahkan pun banyak orang bijak mengatakan bahwa semua keadaan baik adanya karena segala itu adalah nikmat Tuhan. Entah yang terakhir ini dikatakan oleh orang bijak atau oleh orang yang sedang menghibur diri. Karena kiranya nasihat ibu pun benar adanya. Meski tidak sehitam-putih benar seperti itu.

Aku memaknai Tuhan sebagai penyedia energi ilahi, sebagai segala macam sumber energi, baik fisik maupun yang non-fisik. Maka ketika bahasan tentang ritual dan Tuhan kembali muncul, yang kembali menyeruak di benak adalah tentang hubungannya dengan energi. Beritual berarti diliputi dengan energi ilahi. Kurang beritual berarti jauh dengan energi tersebut, atau istilahnya loyo dan tak berenergi. Aku dapat merasakan beda keduanya. Aku dapat merasakan bagaimana tubuh (dan jiwa) yang penuh energi, dan bagaimana tubuh (dan jiwa) yang kurang energi. Beribadah meningkatkan energi itu. Semacam semedi, atau meditasi, yang juga menjaga agar tubuh tetap berada dalam koridor energi serupa.

Maka ibuku benar bila kurang beritual mendatangkan kenegatifan dalam keseharian. Tapi bukan berarti anak-anaknya beritual hanya sekedar untuk mendapatkan hal-hal yang positif, seperti hal yang dicitakan, benda yang diinginkan, status yang diidamkan. Result oriented selalu aku enggani. Hal itu semacam ketidakjujuran dalam tindakan: tidak ikhlas; pamrih. Dan orang pamrih selalu hipokrit. Dosa besar dan menggelikan. Maka biarlah kenegatifan itu datang, Ibu, sehingga aku dapat menjalani kesadaran beribadah dengan hati yang sumringah. Dengan hati yang siap menerima daya ilahi sepenuhnya. Meski belum yang berarti selamanya.

Dan bahkan iman pun seringnya serupa gelombang longitudinal: di puncak ia membara, di lembah ia merana.

Monday, September 28, 2015

Tanpa Klimaks


Since no one's reading this blog, except me, I would like to create some nonsenses, including what I had created. Or, whatever (ini maksudnya sambungan kemarin yang janji mau nulis tiap hari dalam tujuh hari berturut-turut tapi bullshit doang).

Mata sangat berat sekali kubuka, ketika kusadari sudah jam lima pagi. Subuh telah lewat sekitar empat puluh lima menit lebih, bersamaan dengan alarm ponsel yang tiada digagas. Konon kereta paling pagi menuju kota sebelah berangkat persis setengah enam, dan jadwal berikutnya terlalu siang untuk acaraku. Aku setengah mati gelagapan (atau lebih tepatnya disebut setengah hidup gelagapan, karena baru bangun).

Ini semua gara-gara adrenalin keparat semalam. Aku tahu hari ini hari spesial dan hari yang cukup istimewa. Energi penuh dibutuhkan untuk hari seperti itu. Tapi semakin spesial sebuah hari, semakin muncrat-muncratlah cairan darah itu ke otak. Pikiran jadi melayang ke mana-mana, dan rencana tidur awal pun berakhir pada guling-guling tak karuan di atas kasur. Denyut nyata kurasa di dahi sebelah kiri. Detaknya pun dapat kudengar.. 'ctak', 'ctak', 'ctak', begitu kira-kira yang ditangkap telingaku. Gelisah membara di atas kasur, meski akhirnya aku tertidur.

Dan tepatnya berakhir pada bangun yang sungguh entahlah apalagi.

Kereta yang persis setengah enam, dengan Lempuyangan yang dalam angan. Aku hanya punya maksimal dua puluh menit untuk mandi, sholat subuh, ganti baju, dan dandan. Oh, sungguh mustahal.

Mandi secepat kilat. Sholat secepat kilat. Berbajuan dan dandan tidak secepat itu, dan beruntung aku telah menyiapkan segala yang akan kubawa sebelum tidur (yang gagal) semalam. Hingga aku menuju Lempuyangan tujuh menit sebelum keberangkatan kereta. Jelas mustahal.

Kupacu Si Red dengan sedemikian rupa. Lampu merah selokan Jakal, aku langgar. Melaju terus hingga lampu merah Mirota Mampus, juga aku langgar. Lanjut hingga pertigaan McD yang belok kiri jalan terus, dan lalu beruntung mendapat hijau di perempatan Gramedia, meski sebenarnya jika merah pun aku tetap akan jalan terus. Terus dan terus mencapai 80km/jam. Kecepatan berkurang ketika setengah Kridosono aku putari hingga berbelok menuju arah Lempuyangan, dan aku pun terhenti. Dan seakan ingin menangis ketika plang kereta itu menahanku. Bukan karena plangnya, juga bukan karena ufuk timur yang sungguh indah menerpa rel-rel (meski ini juga tetap membuat haru), tapi karena apa yang membuat plang itu turun. Di balik papan itu, pun melintas sebuah kereta. Sebuah kereta yang rencananya akan aku naiki untuk mencapai kota sebelah sebelum jam delapan. Ia lewat begitu saja di depan mataku, dan aku hanya diam tak berkutik melihatnya angkuh melenggang menuju timur tanpa ampun. Begini ternyata rasanya. Begini ternyata rasanya kalah dalam balapan melawan sepur. Sungguh mustahal.

Tapi sepur itu juga menuju Lempuyangan! Masih ada harapan! Segera setelah plang itu terbuka, Red segera kugas. Hanya ada dua motor lain bersamaku melewati dua baris rel itu; aku serta Red yang paling terlihat kelabakan. Hingga akhirnya sampai di parkiran Lempuyangan. Kereta itu masih di dalam. Aku tak berani lihat jam. Oh, entahlah. Parkiran dan loket karcis cukup jauh jaraknya. Oh, entahlah. Aku segera minta karcis parkir dan segera lari dan lari dan lari menuju loket itu. Pun aku tak berani menengok ke arah si kuda besi. Hingga kusadari aku masih bisa membeli tiketnya, lari lagi, lalu naik, dan kurasakan pintu otomatis itu menutup di belakangku, tepat sesaat setelah aku melompat ke dalamnya. Peluit pun berbunyi, dan ia bergerak. Kudapati sebuah tempat duduk kosong, dan beberapa mata yang memandang ke arahku. Nafasku terengah-engah dengan jantung yang berdetak-detak. Aku bersyukur penuh untuk keberhasilan misi mustahal ini. Bahkan semenit saja aku lambat berlari, entahlah apa yang akan terjadi.

*

Sekitar pukul tujuh aku sudah sampai Solo. Acara istemewa hari ini memang diselenggarakan di sebuah hotel di kota ini. Dari depan Stasiun Purwosari - dari kejauhan -, dapat kulihat julangan sebuah atap dengan nama hotel yang dimaksud. Hurufnya berwarna emas berlatar atap warna krem. Tidak begitu jauh, meski tidak sedekat itu. Kata Google Maps sekitar lima belas menit berjalan kaki. Dalam perjalanan berjalan kaki itu, aku dapati warung makan kecil yang sudah buka. Kulihat ada menu Pecel Tumpang. Oh, sungguh pun sudah lama aku tak menikmati hidangan tempe agak bau itu. Segera saja aku masuk dan sarapan. Acara masih jam delapan. Aku bisa santai menikmati apapun yang terjadi. Betapa berkebalikan dengan kejadian dua jam sebelumnya. Hidup kadang memang menggelikan.

Tak ada yang luar biasa dalam sisa berjalanku setelah kenyang sarapan. Kudapati hotel itu. Kudapati pula beberapa spanduk di halamannya, menginformasikan acara apa saja yang hari ini berlangsung di dalamnya. Ada seminar internasional, ada juga acara yang akan kuhadiri. Jam delapan masih banyak menit lagi. Aku putuskan duduk di lobi hotel setelah bertanya arah ke ruangan yang akan kutuju. Tentu ini adalah kebiasaanku: menikmati nuansa sebuah ruangan baru, dan apapun kejadian yang ada di sana.

Lobi pagi yang cukup sibuk. Ada banyak panitia dengan seragam batik tidak konvensional berlalu-lalang. Panitia seminar internasional itu. Kucoba mengidentifikasi orang-orang "sejenisku". Ada beberapa. Dan beberapa itu segera pergi menghilang. Segera ke ruangan yang juga tujuanku, kurasa. Beberapa menit kemudian aku putuskan pergi mencari ruangan itu.

*

Masih sangat sepi, dan hanya beberapa orang saja yang sudah hadir. Meski begitu aku tersenyum melihat banner dan backdrop acara ini. Hihihi, geli sendiri deh. Aku mengambil tempat duduk baris kedua dan berbincang dengan beberapa orang yang telah hadir.

*

Setengah sembilan. Ruangan sudah mulai agak terisi, namun acara belum juga dimulai.

*

Pukul sembilan. Panitia memberi info pengisi lokakarya masih dalam perjalanan. Kami harus bersabar, sebentar lagi.

*

Lalu ia hadir. Kami bertepuk tangan. Meriah sekali. Sumringah sekali. Casual sekali. Bercahaya sekali. Oh, entahlah, Mamak Dewi Lestari ini. Dan entah mengapa aku berharap hari ini ia akan bernyanyi untuk kami semua. Aura bintangnya tak akan pernah pudar. Dan begitulah ceritanya, aku berjumpa Mba Dee lagi, di Dee's Coaching Clinic.

TITIK

#

Dan ga penting banget ya ceritanya segitu doang. Hahaha. Karena males melanjutkan pola cerita kaya di atas, jadi ganti mode ya! Wkwk, baru ini deh.. :p

Seru banget Dee's Coaching Clinic-nya. Mba Dee ngajarin kami-kami apa yang terjadi dalam kepenulisannya, kebanyakan secara teknis. Doi nyuruh kami bertanya apa pun, dan semua pertanyaan akan dijawab. Cuma sayangnya emang waktunya dibatesin. "Cuma" hampir tiga jam sih, tapi aku tahu Mba Dee sebenernya mau lama-lama banget berbagi dengan kami, hanya... ya you know lah, yang memfasilitasi agak gituuu deeeh.. Hahaha. Dan anyway, doi langsung lepas sandal dan mengisi seluruh acara kliniknya dengan cekeran. So down to earth. Aduh, bintang banget deh orang satu ini...

Beberapa ilmu penting dalam kepenulisan fiksi dibagi oleh Mba Dee. Ada penokohan, alur, apa apa apa (lupa maksudnya), dan teknik menulis cerita panjang biar ga kehabisan nafas. Udah banyak yang buat post tentang workshop menulis ini, dan ada yang dengan keren dan sophisticated merangkumnya, jadi bisa di-google sendiri. Aku hanya akan mengulas yang aku suka, soalnya itu agak mind-blowing buatku, soalnya aku cupu banget dalam nulis fiksi. Mwahahah (nangis ini).

Jadi aku baru sadar kenapa beberapa cerpen yang kutulis ngebosenin dan FAIL. Pertama karena aku ga ngerti tiga bagian penting dari cerita fiksi: babak satu yang disebut pengenalan masalah atau macam ya itulah (ga jelas), babak dua yang semacam berisi konflik-konflik, dan babak tiga yang isinya resolusi dan klimaks. Babak satu itu tidak boleh lebih dari 30 persen dari keseluruhan cerita. Babak dua porsinya banyak banget, yaitu sisa setelah dikurangin oleh porsi babak satu dan ketiga. Babak tiganya sendiri juga tidak lebih dari 30 persen cerita, tapi lebih baik diusahakan 10-20% aja. Klimaks yang membuat pembaca ter-waoh-waoh itu sungguh lebih waoh daripada yang "oh, yeah, oke.." doang.. (whatever).

Bahkan seringnya ceritaku tanpa klimaks. TRUS NGAPAIN NULIS FIKSI KALO TANPA KLIMAKS. FAIL.

Tentang penokohan juga. Menurut Dee, tokoh utama harus spesial. Oh, yeah, for sure. Meski aku tak begitu setuju kalo tokoh utama itu harus agak sempurna, karena begitulah karakter-karakter Mba Dee. Dan terkuaklah mengapa Diva, Alfa, Bodhi, Ferre, Zarah, dan agak pengecualian untuk Etra, seakan sesempurna itu (bahkan yang Perahu Kertas juga). Ini semua karena rumus karakter utama Dee adalah... (jeng jeng!!!).... adalah.... (drumroll)... adalah.... 90% baik, dan 10% tidak baik. Jadi ga ada kasus orang biasa-biasa aja buat jadi karakter utama Dee. Aku agak ga setuju, karena aku senang Murakami, yang bisa bikin spesial seorang karakter biasa-biasa saja, dengan cerita-cerita yang keren. Like everybody can be the one in the story. Dan apa sih yang lebih menyenangkan daripada dunia yang sangat egaliter? (tiba-tiba pindah ke Kajian Budaya :p)

Dan fiksiku masih oke lah tentang karakter ini. Maksudku it does matter, tentu. Tapi Murakami bisa membuktikan, bahkan orang biasa pun bisa jadi spesial di sebuah cerita, tanpa harus diembel-embelin kemampuan yang tidak dimiliki banyak orang. Kurasa penulis fiksi hanya harus jatuh cinta sangat pada tokoh utamanya, hingga dia bisa mencitrakannya dengan penuh gairah (bukan berarti yang diembel-embelin sifat oke bangets itu ga benar lo). Tapi yang jadi masalah banget di kisah yang kubikin adalah.... karakter yang pasif. Ini bikin bosan banget. Ini FAIL banget. MAKANYA KLO PUNYA KARAKTER ITU YANG AKTIF, JANGAN YANG SUKA NGGERUNDEL AJA. Perpindahan tubuh sebuah karakter itu penting! BANGET!! *noted banget*

Serta untuk nulis panjang. Aduh mak, boro-boro. Udah habis nafas ambo di tengah jalan. Bahkan baru di awal aja udah habis. Bahkan buat di cerpen aja udah habis. Bahkan buat tulisan ala di atas aja udah habis. Mana pula nulis panjang, "impian di tengah peluh" sudah. Dee bilang, kita harus bikin milestone. Macem "pulau-pulau kecil di sebuah kolam" (atau batu deh biar gampang bayanginnya). Misal ada sungai besar nih. Kalau kita pengen ke seberang dengan mudah dan lancar, maka misal di situ ada batu-batu yang mengantarkan kita ke seberang kan enak. Kita tinggal loncati satu per satu. Dan batu itu adalah semacam rencana atau logis cerita. Jadi semacam outline begitu. Kita habiskan satu-satu target batuan itu. Lama kelamaan akan jadi bukit. Jangan mencoba menulis langsung dalam skala besar, tapi menapaki satu per-satu batu-batu untuk akhirnya menyelesaikan keseluruhan cerita. Di batu-batu itu ada logis cerita, ada berapa halaman yang ditargetkan, dan semacamnya. Jadi penulis bakal tahu seberapa energi yang ia harus kerahkan untuk sebuah batu. Jadi penulis juga tahu dia ga bakal habisin energi sia-sia buat hanya sebuah batu. Tidak boleh berkutat hanya di sebuah titik, tapi harus maju untuk ke seberang. Dan begitulah.

Sebenernya agak ga beda juga ya dengan menulis ilmiah. Tentang tiga babak itu bisa dimaksudkan dengan perumusan masalah (pendahuluan), isi (analisis), lalu klimaks di sebelum kesimpulan dan kesimpulan sendiri (yang menjawab permasalahan penelitian). Juga bikin outline begitu sangat membantu dalam penulisan penelitian. Tentang karakter tokoh... yah, yang ini agak entahlah ya hubungannya apa dengan tulisan ilmiah... (mau nyambung-nyambungin males).

Jadi gitu, deh! Ketemu Mba Dee lagi, deh! Dan padahal udah Maret yang lalu, tapi gapapa, deh! Dan lagi yang terpenting ini sih. Aku dapat ilmu menulis fiksi, dari sang ahli. Semakin dekatlah aku dengan mimpi menulis fiksi yang baik. Tapi semakin dekat, aku semakin enggan.

WTF INI SINDROM APA!!!

*dan, lagi, ending tanpa klimaks yang maksa*

Thursday, August 20, 2015

Before It's Too Late


Oh, Tuhan! Rasanya sudah berabad tidak menulis! BAH!!!

HAHA (Baca: bahaha)

As an apology (to whom?), I plan to write everyday in the next seven days ahead. Well, I hope it's not just a nonsense wish.

I wasn't busy, of course. I had some ideas about things I needed to share here, of course. But I had also this issue of laziness. It's pathetic. Maybe tomorrow I'll tell the detail. YEAH, MAYBE. It'll contain some stories when I joined Dee's Coaching Clinic some months ago. YEAH, EXACTLY DEE'S WRITING CLASS!!!! I really wanted to write about it, but such stupid thing haunted me. Well, I have no more apology to tell.

ANYWAY. Recently I have put more concern in spiritual matter. I can't say I have the superb experience yet, but that's the goal, I suppose. Being moslem since a kid, raised in society who believes things beyond the logic (read: Java), I can't resist the need to study more about it. I have questioned it since I was so young. And yes, it's been haunting me for a long time. If I believe in god, pray five times a day (If not lazy :p), I need to believe the "system" around it (yes, I use "it"). Of course one of the systems is the physical-logical "brainy" world that we've worshiped since long time ago (since we say yes to "west"/Greek conception?). The opposite would be the spiritual life, or the systems that the logic can't cover. Well I'm done talking about differences of both, because now I'm thinking, is it possible for the other systems beyond the two to exist?

(Sorry about my habit asking questions in the middle of story telling).

So then after I had my thesis exam, I read The Celestine Prophecy by James Redfield. Not on purpose, absolutely. I went home, met my family, happily hahaha (?), and I needed company, book I mean, by the time I should travel back to YK. I checked the bookshelf and saw the green cover. I remembered I'd tried reading it but it had been a failure. And I thought I should read it again. I took it and read some pages on the train, and when I finished reading: man oh man. It was awesome to, once again, have the desire of wanting something. It reminded me of Coelho's, and of course, Dee's. They're different, definitely. Redfield tries to explain the spiritual life in more-detail way. It's more like a complete guidance, than a literature. And every newbie loves detail directions, very much.

And so I was so into Redfield's, and tried to find the sequels (and forgot that I must write something at least!). But I couldn't find any in bookstores. And the journey to find the book was officially started. I think I should skip the detail. Just when I was in Pamulang, I bought all four of them from bukabuku.com. AWESOME. Yet, I didn't finish reading the series 'till just some days after my graduation which was some weeks ago. SHAME.

For me, two most important conceptions from the books are (1) about the energy surrounding the life and (2) about the fact that the coincidences are meaningful. Others are awesome too, but they're hard to reach, because Redfield also tells many things that are a bit impossible to imagine. I need to start from the easiest part, for sure.

All things vibrate their energy, living or non-living. Human, with their emotion, tend to get the energy by stealing the energy of others by conflicting, war, intimidating, interrogating, or other dramas. Yet human forget that there's source for infinite energy: mother of nature (that we try to destroy, ironically). The vibration of energy attracts some coincidences beyond the logic, but we can still sense it. People love to call it as sign. I don't try to explain semiotics here. I mention sign in its very ancient meaning. So one event doesn't just occur without meaning. Everything is meaningful. And when there's coincidence, there's a bigger system try to warn us about something. It could be the information we need (from others) for the next step we should take, or the information for others (from us). It then will lead us to the bright future. I know it seems so lame. But bright future is the best metaphor that I could think of. Don't think it as great amount of money, not if you don't want it, and what I mean by you is the bigger YOU, not just you in conscious way. As one connects to others - to other human, living and non-living things, to nature - (or what's called synchronization), I guess the path suggested by the coincidences is the best for the whole things. Redfield mentions it as the vision of life of every human. And the coincidences try to lead us succeeding the vision. Of course, the next-yet-more-difficult level is how we realize our mission on earth. And so, yes, we were born with some missions to accomplish.

The spiritual experience is the stuff that I want most. I can't tell that I have ever had one. But I guess all human can't be separated from the spiritual side. So maybe the right sentence would be "I want the conscious spiritual experience", the things that happened to them who meditate, pray, dance, sing, etc., and they could sense the experience consciously. I've read about this stuff many times. And I need to experience it myself. But it's not an easy task, certainly not.

One door leads to another door. Years ago I tried to learn meditating and of course it didn't work. Today my brain is more and more stubborn. It's really hard to focus when praying, or even when reciting Qur'an! Stubborn, I said! And because I don't have tight schedule, or you may say I don't even have any, I have plenty leisure time (how can I say I have leisure time when I don't have productive activity), and I ended up in some TV series, and TV series (and books, and books, and siesta and siesta). Until I watched The Legend of Korra.

The four seasons contain awesome insight about spiritual and physical life. And it's Avatar's duty to bring balance of both life. Spiritual life has been pictured in such mother nature. I mean spirits love to live in jungle, swamp, mountain (full of wood), and such. And Korra The Avatar opens the portals that let the spirit and human live together (consciously). People then can see some cute little bunnies as nice spirit, that becomes ugly and dangerous if they get mad. I imagine it in real world. How if people here can sense the spirits with naked eyes and live with it? They must be so frightened since I'm sure it's only anger that remains in spirits life. See how bad we destroy the ecosystem. We've certainly lack the energy, back to Redfield's words.

Korra also taught me how cool meditation is. And after watching it, my mind was picturing Korra in her position adventuring her journey to spiritual life. I don't want this stuff, because I don't like the "shallow" interpretation of spiritual journey. Combining the other readings (Redfield+Others) with the series of Avatar, I find that it is still possible to access the spiritual experience. The bigger me will always be ready to lead. I just need to keep listening.

Anyway, it seems too pathetic knowing that I want the spiritual experience that much without mentioning the reasons. Well, I don't have the exact one. But I need to find out what my mission is, since I've believed for a long time, that I was born without no reason. And theoretically, by having the spiritual experience, our body is synchronizing with the higher energy. It's been said that the sensation would be so amazing. And again, I need to feel it! Before it's too late!!

Tuesday, May 19, 2015

Dunno


Pagi ini diawali dengan badan menggigil karena baru sekali dalam sebulan merasakan mandi jam delapan. Hujan mulai berkurang dan langit terang benderang. Bintang gemerlapan dan air tiba-tiba saja membekukan. Tesis itu konon akhirnya terselesaikan. HORE.

Setelah urusan pagi, hariku dicerahkan oleh kekecewaan. Red-ku ditolak, meski tak secara mentah-mentah. Semoga dialog ini dapat menjelaskan.
J: Kalau mau naruh motor untuk disewakan, bisa ndak, Bu?
I: Emang mau ditinggal ke mana?
J: Ke X (menyebut sebuah kota), sekitar dua bulan
I: Motornya apa?
J: Itu yang plat B (menunjuk Red)
I: Wah kalau motor manual (?) di dalam masih banyak, Mbak. Kita carinya yang matic, banyak yang make.
J: Oh, gitu ya, Bu. Terima kasih.
Dan meski kecewa aku tak dirundung duka. Hanya...

Hanya beberapa menit setelah meninggalkan Toko Bali tapi di Yogya itu (tepatnya di sekitaran FKG UGM - RSUP Sardjito, tempat banyak makhluk yahut berjubah putih berkeliaran), diriku kebanjiran nafsu mengenang. Aduhai, bahkan ini namanya meneruskan sindrom sebelum subuh tadi di mana aku tiba-tiba ngobrol jarak jauh dengan kawan SMA. Tentu melaju ke arah kos setelah dari Toko Bali itu juga memperkuat si nafsu. Saat di depan Sardjito, aku berkeinginan untuk belok kiri di depan sana. Di pintu gerbang Fakultas Teknik yang sebenarnya ga begitu pintu gerbang banget sih. Dan akhirnya kenangan itu menggenang.

Jalanan berpaving.
Tugu Teknik.
Selokan kecil di tiap akhir jalan menurun yang bila dilewati kendaraan masih saja berbunyi "krompyaang".
Selasar KPTU.
Tempat bekas pohon besar di pojokan Elektro.
Gedung putih itu, JETETI.
Teknik Mesin si tetangga dekat.
Teknik Kimia.
Papan nama JTETI lagi.
Ah, sungguh menyilaukan! Teknik UGM begitu menyilaukan!
*pret*

Saat berjalan di selokan kecil krompyang itu, hatiku trenyuh. Mungkinkah ini akibat film-film cheesy yang akhir-akhir ini kulihat, hingga jadi melebai tak karuan. Melihat papan nama JTETI, hatiku pun semakin tersaruk-saruk. Yang ada di benak cuma satu: sudahkah aku menghargai kehidupanku di sini? Tentu itu adalah pertanyaan genting. Inginnya dijawab secepat mungkin, tapi hati sudah terlanjur jadi gelisah. Mungkin ini sebabnya tubuhku tak cepat menggemuk. Aku terlampau sering menghabiskan energi untuk berpikir (atau tepatnya habis untuk menulis hal tak penting semacam kalimat barusan).

Jadi sudahkah aku menghargai kehidupanku di Teknik, memberi perhatian yang pantas saat belajar di sana, lalu menyadari proses itu setelah kepergianku darinya? Mungkin yang membuatku gundah adalah sebuah pengharapan: andai saat belajar dahulu aku lebih hirau, lebih menyelami kehidupan di Teknik, hingga kenangannya dapat terikat dan kelak saat bernostalgia, aku dapat mengenang dengan harga yang lebih indah. Tapi bukankah kehidupan ala S1 adalah begitu demikian? Begitu terasa tergesa-gesa meskipun empat tahun? Dan bahkan empat tahun itu suatu waktu yang cukup lama. Mengapa rasanya sangat rindu begini?

Pikiranku terlalu berputar-putar. Untungnya aku hobi mengenang (yang mungkin juga karena ini energiku tak segera tertimbun jadi daging (?)). Aku ingat aku pernah sangat bersyukur telah lulus dari Teknik, atas kehidupan di dalamnya, atas ilmu, baik akademik maupun yang lain. Aku ingat saat itu aku masih sungguh ingat perihal itu. Mungkinkah ini semua karena aku sudah terlalu jauh, sehingga menjadi lupa? Atau mungkinkah hanya karena usia? Apa teman-temanku merasa hal yang sama? Atau kembali karena telah begitu jauh itu?

Aku hanya bisa mengira-ngira, karena tak ada kepastian dalam sebuah jawab. Hanya, mungkin aku sedang risau tentang...........

Dunno.

AH, GEJE BANGET!!!

Monday, April 27, 2015

Raden Saleh dan “Tanah” Belanda


Saat menginjakkan kakinya di Belanda pada 1929, apa kiranya yang pertama kali muncul di benak Raden Saleh, anak Nusantara yang paling awal[1] menempuh pendidikan di Negeri Tanah Landai itu? Kincir angin bisa jadi adalah yang utama yang membuatnya tersenyum dan merasa bergairah bukan main. Pasalnya itulah hal mencolok yang menjadi bukti bahwa ia telah berada dalam benua di mana “ilmu pendidikan tinggi berkilau bagai permata”[2]. Dan bukankah ia telah sering mendengar bahwa Belanda adalah Negeri Kincir Angin? Tapi setelah beberapa saat menghabiskan waktu berguru di studio pelukis ternama Cornelis Kruseman (1797-1857) yang terletak di kanal indah di Prinsegracht (Bachtiar et al. 2009: 36), Den Haag, Raden itu seharusnya menjadi tahu, bahwa di Belanda ada satu hal yang jauh lebih penting daripada si kincir angin. Orang sana menyebutnya dijk atau dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai tanggul.

Tanggul dan Tanggul

Si Raden mungkin sudah tahu dari obrolan-obrolan selama ia di Belanda, bahwa kebanyakan daerah di negeri itu tanahnya lebih rendah daripada permukaan laut, termasuk di Den Haag, tempat ia tinggal. Pasalnya daratan Belanda tak lain merupakan delta dari sungai Rhine, Mass, dan sebagian kecil dari Scheldt dan Eems (Van der Horst 2006: 76). Ia yang awalnya tak begitu menghiraukan bentuk sungai, kanal, dan daerah pantai di sekitarnya, kemudian menjadi mengerti bahwa “gundukan-gundukan” itu memiliki peranan sangat vital bagi kehidupan negeri pujaan. Sungguh pun gundukan-gundukan itu telah lama berada pada tempatnya. Gundukan pasir di sepanjang area luar Alkmaar hingga Den Hagg misalnya, mulai terbentuk sejak antara 5500 dan 3000 SM (Newton 1978: 7). Tapi yang ia saksikan saat itu tidak hanya The Old Dunes, tapi juga tanggul-tanggul baru, atau gundukan lama yang diperkuat dengan material batu[3]. Ia juga tidak hanya menyaksikan dinding-dinding yang membentengi Belanda dari laut, tapi juga tanggul, kanal, dan bendungan untuk sungai-sungai, yang dibangun sedemikian rupa agar paling tidak tetap ada lahan kering sebagai tempat hidup. Banjir bagi Hollanders adalah momok paling nyata di depan mata.

Polders and Polders

Bila Raden Saleh pergi dua abad sebelumnya (abad XVII), saat Belanda dalam masa super jaya atau biasa disebut Dutch Golden Age, ia akan melihat lebih jauh lagi. Suatu petak tanah yang ia pijak di suatu waktu pada 1829, bisa jadi belum ada dan masih tergenang oleh air di dua abad sebelumnya, mungkin masih berupa danau atau rawa. Sebagai catatan, teknologi “pertanggulan” pada masa itu juga sedang mengalami kejayaannya. Tanggul tidak semata dipakai untuk menghindari air, namun lebih jauh, tanggul dan kanal dipakai untuk “membuat” sebuah lahan baru, yang jamak disebut polder. Danau bernama Beemster adalah proyek terbesar pertama dan sukses “dikeringkan” (Van der Horst 2006: 86). Tanggul beserta kanal dibuat melingkar mengelilingi danau. Setelah sistem drainasenya siap, kincir angin kemudian dipakai untuk memompa habis air di danau. Terhitung dua tahun lamanya untuk mengeringkan air danau tersebut (dengan total empat tahun karena dua tahun pertamanya gagal). Usaha ini berhasil memulihkan lahan seluas 7.189 hektar (ibid.), atau sekitar sepersepuluh luas Jakarta di era kontemporer. Pada tahun-tahun Raden Saleh di Belanda, Beemster sudah kehilangan titel danaunya. Usaha pemulihan lahan ini menjadi investasi yang sangat menggiurkan untuk sang negeri. Pasalnya sebuah lahan kering berarti juga sebuah kemungkinan untuk pertanian, pemukiman, industri, transportasi, dan lain-lain – sebuah harapan cerah untuk isi kas negara.

Usaha reklamasi lahan terus dilakukan di Belanda sejak ribuan hektar yang telah berhasil dikeringkan itu. Apa yang Raden Saleh nikmati di tahun 1980-an adalah hasil dari proyek panjang orang-orang Belanda dengan kemampuan “trial-and-error”-nya. Pun hingga saat ini. Terlihat bahwa sebuah negeri memiliki teknologi yang sungguh hebat dikarenakan mereka secara berkelanjutan “mendapat” kesempatan untuk bereksperimen. Banjir yang selalu menghantuinya, yang pernah beberapa kali menggasaknya di masa lampau (terakhir pada 1953 menewaskan lebih dari 1800 orang, ibid.: 84) , menuntut Belanda untuk terus dan terus memperbaiki strateginya dalam menghadapi air, juga menuntutnya untuk terus mencari modal agar eksprerimen tetap terdanai. Terinspirasi dari alam, yaitu dari The Old Dunes, mereka terus “bermain” dengan air. Alam itu yang mengajarkan bahwa tanah tak hanya dapat digunakan untuk beteng pertahanan. Tanah juga dapat mengendalikan air. Dan kata-kata itu pun mendapatkan ruhnya: “God created the land, but Dutch created the Netherlands”. Raden Saleh pun turut tersenyum di atas sana.


Bahan Bacaan:

Bachtiar, Harsja W, Carey, Peter, Onghokham. 2009. Raden Saleh: Anak Belanda, Moei Indie dan Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu.
Newton, Gerald. 1978. The Netherlands: An Historical and Cultural Survey 1795-1977. London: Westview Press.
Poeze, Harry A. 2008. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600 – 1980. Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan KLITV-Jakarta. 
Van der Horst, Han. 2006. The Low Sky: The Book that Makes the Netherlands Familiar. Utrecht: Scriptum Publishers/Nuffic.
 
[1] Raden Saleh adalah salah satu yang paling awal mendapat kesempatan belajar di negeri Belanda. Setelah “hanya kebetulan” turut Inspektur Keuangan De Linge sebagai klereknya berlayar ke sana, ia meminta izin untuk tinggal lebih lama dan mendapat beasiswa sebesar 2.000 gulden dari Pemerintahan Hindia Belanda. Ini dimungkinkan karena sebelumnya selama di Nusantara ia memperoleh patron dari orang-orang Pemerintahan yang otoritatif, seperti Reindwardt (saat itu Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau-pulau sekitarnya) dan Gubenur-Jenderal Hindia-Belanda, Van der Capellen (Poeze 2008: 12-13). Raden Saleh tinggal di Eropa hingga 1851. Sepuluh tahun pertamanya ia habiskan di Belanda dan sisanya berkelana ke beberapa negara, termasuk lima tahun tinggal di Dresden, Jerman. Ia sempat mendapat audiensi dari Raja Louis Phillippe, Perancis, dan di Belanda sendiri sudah diangkat menjadi Pelukis Raja (ibid.: 15).
[2] Cupklikan tulisan Raden Saleh, terpampang di sisi kiri pintu masuk Galeri Nasional Jakarta saat pameran yang bertajuk Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia berlangsung tanggal 3-17 Juni 2012, lengkapnya di http://www.solopos.com/2012/06/21/rupa-sejarah-di-tanah-rantau-195363.
[3] http://dutchdikes.net/history/ diakses 27 April 2015.