Friday, September 28, 2018

"In My Heart He Left a Hole"


Kau bukakan pintu itu untukku - untuk kita berdua. Aku melangkah terlebih dahulu. Ruangan bersih dan segar dengan pencahayaan putih ramah menyambut. Kuperhatikan alis matamu mengernyit dengan mulut sedikit ternganga ketika memperhatikan detail dalam ruangan, yang sebenarnya sederhana saja.

"Aku tak tahu tempat seperti ini bisa hadir di tengah lingkungan yang super bising. Maksudku, Kau tahu kan, di luar sana barusan?" katamu dengan kedua tangan yang turut memeragakan betapa ricuh Sabtu malam di kotaku. Aku mengerti keherananmu, tapi badanku sudah cukup lelah untuk memproses sebuah jawaban verbal. Alhasil aku hanya tersenyum sembari melangkah ke depan bersamamu, menuju satu-satunya lift yang tersedia - alasan mengapa ruangan itu ada.

Alis yang berkerut itu lalu semakin turun sembari memandangku. Kulihat bola mata cemerlang itu berkilat-kilat ketika sudah kuraih tombol lift. Raut mukamu berubah dari penuh heran ke meredam gugatan. Protes sudah siap kau layangkan, namun harus kau tahan karena denting tanda pintu lift yang sedang terbuka dan aku yang bergegas masuk.

Aku berbalik dan melihatmu masih terpaku di luar. Kutahan pintu lift dan kudengar nada dingin darimu, "Aku tahu lift apa ini. Aku tak mau masuk. Aku mau berjalan."

"Berjalan dengan hiruk-pikuk kegilaan di luar sana? Ayolah, aku sudah lelah, dan ini satu-satunya pilihan terbaik untuk kita sekarang."

Kilatan di mata itu mereda. Kau mendengus. Badanmu sedikit gemetar ketika melangkah ke dalam lift. Kulepas tombol, dan pintu di depan kita segera menutup. Hening darimu segera menyeruak. Hanya tinggal suara mesin yang sedang menarik kita entah ke mana.

"Kau bisa menyalakan rokok..."

"...aku tak ingin meracunimu", potongmu dengan simpul senyum. Aku turut tersenyum karena lega protesmu sudah teredam. Kau lalu menoleh kepadaku. "Berapa menit yang kita punya? Aku merasa tidak enak sebenarnya sampai kau repot-repot mengeluarkan uang untuk tumpangan lift ini."

Kau menunduk sambil menyandarkan badanmu pada dinding lift. Aku turut bersandar sembari tangan kiriku meraih tangan kananmu. Kau balas menggenggamnya rapat-rapat. Kurasakan kencang otot lenganmu menempel pada lenganku. "Kau, yah, sebenarnya kita, akan merasa lebih tidak enak nantinya jika lanjut berjalan dalam gaduh di luar sana. Kita akan di dalam sini selama kira-kira dua puluh menit, dan keluar pada dua jam sebelum keretamu berangkat."

Sunyi lagi darimu. Kulihat kau mencoba menerawang pintu lift di depan.

"Aku ingin ikut pergi bersamamu", aku kembali bersuara.

"Tidak bisa. Kau sudah tahu betapa kelamnya duniaku di bawah sana."

"Aku berani bertaruh hidupku lebih kelam...", jawabku setengah menggumam.

"Apa? Maaf aku tidak mendengar", katamu dan menoleh padaku lagi. Aku tersenyum menahan berat di hati.

"Kemarilah". Dengan lembut kau menarikku dalam lenganmu. Hati kita berhimpitan. Satu menit kemudian air mataku meleleh pada kaos merah hati yang menempel pas di badanmu.

"Aku tak ingin kehilangan dirimu", pecah suaraku terdengar.

Kau tarik lenganmu, menatapku, dan menjawabku dengan sebuah kecupan di kening. "Kumohon bertahanlah", katamu. Aku melihat mata yang juga berkaca-kaca. Kita pun menghabiskan menit yang tersisa dengan lengan yang saling erat mendekap, seakan enggan berperan serta dalam permainan ruang dan waktu.

Lift itu lalu berhenti persis dua jam sebelum keretamu berangkat. Kereta yang akan memisahkan kita berdua. Tapi semoga tidak hati kita.

Thursday, September 06, 2018

Mahameru Kali Kedua


-Beberapa hari di pertengahan Juli 2017-

Panggilan untuk nggunung kadang menjadi begitu menggebu dan sekaligus menentramkan ketika kau tahu itu bukan mimpi semata karena jadwal sudah di depan mata. Hampir setiap hari kulihat Semeru tersenyum begitu aduhai dari pojokan teras rumah. Tekad untuk mendakinya kembali, untuk mengulang pendakian di akhir 2011 lampau, sudah bulat. Semoga dengan kedirian yang lebih penuh, pengalaman kali ini akan lebih syahdu. Tim pendakian sudah dibentuk dan mari tersenyum menyongsong diri yang segera akan kembali berjalan.

Di 2011, banyak hal terjadi. Hatiku agak terlalu gaduh untuk dapat menyesap tiap langkah yang amat bermakna - meski sebenarnya pengalaman itu tetap begitu bermakna, apalagi kisah-kisah kenaifan sosok-sosok muda dalam tim saat itu. Beberapa tahun berlalu, aku agak khawatir diriku tak lagi begitu prima. Tulang tua, begitu mereka bilang. Awal tahun aku terseok-seok untuk jalur Kaliangkrik Sumbing. Kali ini aku tak mau. Tapi sebenarnya sampai Kalimati pun juga tak apa. Tak apa, kan?

Cuaca benderang. Kami mulai dengan naik jip untuk sampai Ranu Pani. Jurang di kiri kanan itu begitu mengagumkan. Mahameru terlihat syahdu dari kejauhan dengan aksen langit biru dan semburat putih awan yang menawan. Pertemuan dengan jalur Bromo ternyata begitu menggairahkan. Bukit-bukit hijau dan lautan pasir itu sungguh merupakan lukisan yang amat indah. Belum satu jam, aku sudah merasa banyak sekali yang terlewatkan saat pengalaman pertamaku mendaki Semeru di 2011. Kala itu hanya hujan, kabut, dan gelap. Kurasa ini akan menjadi pengalaman yang baru dan sangat berbeda.
Pertemuan dengan jalur Bromo; foto: Jek
Tiba di Ranu Pani, kami satu tim dan beragam tim lain (baca: rame banget) diberi pembekalan. Ini juga hal baru. Dulu kami tak pernah tahu kalau ada kemungkinan bisa bertemu macan di jalur sehabis pos 3. Ah, aku lupa. Sebenarnya aku tak pernah tahu apa-apa ketika naik gunung. Yang terbaik yang bisa kulakukan sepenuhnya adalah menyerahkan informasi-informasi berkaitan dengan teknis mendaki kepada kawan seperjalanan. Dasar pemalas. Sekarang mau tak mau aku harus tahu informasi tertulis perihal pendakian Semeru.

Kami mulai berjalan kira-kira jam dua, dan aku begitu terperangah dengan... YA AMPUN ADA YANG JUALAN SEMANGKA DAN GORENGAN DI POS 1. DI POS 2 JUGA!!! Malam sudah turun ketika kami sampai pos 3 - tapi kalau masih ada matahari di situ juga ada yang jualan semangka dan teman-temannya. Selama perjalanan sore, langit cerah sedikit berawan. Dengan kondisi ini, rupanya dari Pos 1 bisa terlihat Pos 2, dan sebaliknya - dan juga bisa terlihat juga jurang dan kontur jalur di kejauhan. Di 2011, berjalan siang pun yang terlihat hanya kabut semata. Ah, aku terlalu sinis. Sebenarnya beberapa vegetasi dan pepohonan juga terlihat, namun memang itu, mereka redup tersiram kabut. Hahaha. Masih indah, tapi sensasinya tetap berbeda ketika akhirnya aku dapat melihat apa yang sebenarnya ada di balik kabut itu. Di suatu langkah aku menengok ke atas dan 'HAIII!', kulihat Mahameru menyapa kami. Saat itu aku tahu aku tak hanya akan berjalan sampai Kalimati saja.
Mahameru yang nyembul di langit sore; foto: Jek
Bermalam di Ranu Kumbolo, oh, bagaimana kabar sang primadona aku hanya bisa merasa hilir angin dan suara buih kecil ombaknya. Langit gemerlapan. Bulan belum terbit. Entah itu Bimasakti atau bukan, tapi gemerlapan itu telah membuat hati berdesir begitu rupa. Gubuk Penceng menjadi pertanda bumi bagian selatan.

Pagi hari mentari berpesta bersama si Primadona. Hatiku tersenyum riuh. Menuju siang kami kembali berjalan ke arah Kalimati. Jalan menuju Bukit Cinta secara harfiah meranggas kehilangan ruh magisnya. Ia kering tanpa makna. Tapi ketika sudah sampai di rimbun pohon di puncaknya, duduk di atas jalinan akar-akar yang menonjol sambil menikmati gebyar Kumbolo di bawah sana, hati kembali merasa penuh. Rupanya itu makna hakiki Bukit Cinta: ketakziman untuk dia di bawah sana.
Kumbolo di cerah pagi; foto: Jek
Oro-oro Ombo sayangnya juga meranggas. Hanya ada satu dua ungu yang dikira Lavender, tapi itu pun kalah oleh panas yang membuatnya mati. Kiranya untuk titik ini pendakian 2011 menang telak: saat itu lembah penuh oleh bunga berwarna kuning. Aku memberi analisis sok tahu. Bunga ungu yang dikira Lavender itu, yang ternyata adalah Verbena, yang ternyata bahaya untuk ekosistem, adalah tanaman yang mematikan bunga kuning yang kukira sawi di pendakian sebelumnya. Saat ekosistem lembah tergantikan oleh Verbena, lembah akan menjadi ungu akibat warna bunganya. Cuaca kering membuat dia mati, dan tanaman berbunga kuning itu pelan-pelan kembali subur di musim penghujan, membuat lembah berwarna dominan kuning. Hingga ketika Verbena bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan...
Menuju Oro-Oro Ombo (yang kering); foto: Ana
Cemoro Kandang: Semangka. Jambangan: Semangka. Kalimati: sumber air. Yak betul. Kali ini aku harus tahu bagaimana rupa sumber air itu. Aku bersyukur turun untuk mengambil air karena kiri-kanan jalur sungai lahar ke bawah itu sungguh berbeda dari jalur utama. Jurang di kiri kanan menjulang. Sempat terlihat monyet-monyet di kejauhan. Jalurnya seperti wahana yang menyisir sungai curam tanpa air yang diapit dua jurang di dua sisinya. Batu-batu besar dan agaknya beberapa titik longsor sempat terlewati. Agak ngeri juga. Kalau sudah mendekati malam orang didaulat tak boleh pergi ke sumber air. Aku rasa pasti itu jalur macan haumm...

Malamnya satu tim serentak untuk Mahameru. Ramai nian yang menyerbu puncak. Dingin? Oh, tentu! Tapi aku sudah mempersiapkan diri untuk itu. Malam yang gemerlap. Sungguh betapa aku tunduk pada keindahan langit malam yang penuh bintang seperti ini. Kadang aku dikode alam untuk melihat ke suatu titik tepat ketika satu bintang di situ terpeleset dan jatuh... Oh, meteor...

Jalanan menuju Arcapada sungguh telah begitu berubah dari pendakian di 2011. Oh, bahkan titik Arcapada 2011 telah didaulat sudah ambyarrr!!! Tempat yang dulu kami gunakan berkemah sudah hilang entah ke mana. In memoriam pun sudah terlihat sedikit lagi tergerus longsor. Gunung ini sungguh begitu aktif, kataku dalam hati. Perjalanan hingga Arcapada yang entah di mana itu menghabiskan lebih banyak energi daripada jalur lama di 2011. Rupanya jalur kali ini lebih panjang. Jalur lama pun katanya sudah berkali-kali berubah karena frekuensi longsor yang cukup sering.

Perbekalan? Jangan khawatir. Kudapan penyedia energi cepat sudah disiapkan. Kali ini tak akan kubiarkan otakku melenakan perut yang lapar. Sedikit saja perut terasa lapar, segera kujejalkan perbekalan agar tak diam-diam kelelahan. Yang telah kupelajari dari tubuhku selama ini kiranya adalah: mengantuk saat lelah punya dua makna, aku benar-benar kelelahan atau adalah tanda awal kelaparan. Sebenarnya satu lagi maknanya: kelelahan dan pada saat yang bersamaan kekenyangan.

Setelah batas vegetasi, kembali tantangan yang paling nyata itu dimulai. Kini pasirnya lebih susah untuk dipijak. Kata kawan-kawan karena musim kemarau yang membuat pasirnya lebih licin. Dan kali ini terlihat begitu di tengah antah berantah, sedang di 2011 lalu rasanya diselimuti kabut badai yang mematikan. Keduanya terasa mencekam dengan caranya masing-masing. Kini langit begitu penuh gemintang, tapi jurang-jurang di kejauhan serasa siap menelan. Dulu langit tak kelihatan, tapi desau angin dan tumbukan hujannya mengancam dengan beku hingga hati terdalam.

Diam-diam di ufuk timur ada sabit menyembul. Sempurnalah syahdu langit malam kali ini. Sedikit demi sedikit berjalan kelelahan dengannya. Sedikit demi sedikit berhenti. Sedikit demi sedikit ada angin meraung. Sedikit demi sedikit, duh, kenapa tak sampai-sampai jua. Hingga mentari itu riuh oranye terbit menggilas malam, belum sampai juga. Dini hari tergantikan. Aku melihat pemandangan lanskap di kejauhan: jalur-jalur yang telah kami lalui, bukit-bukit di sekitarnya, Bromo dan figuran indah di sekelilingnya. Sungguh betapa kemegahan dari atas awan.

Waktu selalu penuh misteri. Kali ini aku juga sampai di Mahameru di sekitaran jam tujuh pagi, mirip seperti pendakian 2011. Lucu juga kalau dipikir. Ketika sampai, aku merasa tak percaya aku kembali bertemu Mahameru. Di pendakian kali ini aku tak begitu yakin akan sampai puncak, tapi ternyata aku masih bisa. Hatiku begitu sumringah karena ini berarti harapan terbuka untuk perjalanan-perjalanan ke depan. Aku bersorak-sorai dalam hati. Tulang tua itu masih kuat!

Di pendakian 2011 kabut terlampau tebal, dan agaknya Mahameru tertutup awan sepenuhnya sehingga jarak pandang hanya sekian meter saja. Tak pernah kutahu kawah Mahameru itu seperti apa. Tapi tentu kini aku tahu. Jalan setapak sebagai bibir kawah yang terlarang untuk didekati itu tampak seksi dari kejauhan... (/meh?)

Mendaki kali ini aku tak harus tergesa untuk turun. Maksimal hingga jam 10 pagi karena di atas itu angin akan berubah arah sehingga ketika Mahameru meletus, materialnya akan mengarah ke jalur pendakian. Letusan pertama pagi itu katanya sudah lewat - sebelum aku sampai puncak. Aku tak begitu paham tentang ini sebetulnya. Hanya... Em... Di tengah ritualku tidur di puncak, dan sedang berjemur di bawah terik matahari demi kehangatan semesta (*maaf diksi mulai alay), aku dibangunkan oleh suara gemuruh 'jedhuarr!!!' dan terikan orang-orang di sekitar, 'Mbak! Mbak! Bangun!! Meletus! Meletus! Aduh! Itu apaan!!!', mau tak mau aku jadi paham mengapa orang begitu berkoar-koar tentang letusan ini. Temanku bingung ingin lari, tapi jadi lebih bingung karena banyak yang malah mendekati letusan. Kira-kira chaos itu bertahan beberapa detik di kepalaku dan berakhir dengan kesimpulan bahwa orang ingin pamer foto dengan letusan yang tak(/belum?) berbahaya ini. Tentunya aku juga harus ikutan mengabadikan momen ini untuk kelak aku pamerkan ke khalayak.

Kira-kira sekian saja. Pulangnya begitu mengesankan karena ada beberapa cerita misteri tentang ini itu. Ada beberapa yang mengaku diikuti ini itu. Duh, lucu juga aku satu tim sama teman-teman yang 'sensitif', dan sekaligus mendidihkan rasa penasaranku akan hal-hal demikian. Oh, drama lintas frekuensi. Hrrrgghhhhhh.

Anw, ada beberapa catatan penting dari perenungan mendaki kali ini dan dibandingkan dengan pengalaman 2011. Kira-kira poinnya seperti ini:
1. Di 2011 aku terlalu naif dengan perbekalan seadanya, atau meski sudah kurasa cukup, untuk pendakian semacam itu dengan cuaca semacam itu, tetap harus ada rencana B yang harus dipikir masak-masak. Mungkin aku masih bisa selamat, tapi taruhannya terlalu besar untuk masa depan, karena kemungkinan cidera akibat kurang nutrisi begitu bahaya. Kehilangan kesempatan untuk melanjutkan hobi adalah senyata-nyatanya kerugian bagi kehidupan.
2. Betapa berjalan di 2017 ini lebih penuh rasanya daripada 2011. Bukan lagi menggebu yang sangat amatiran. Hahaha.
3. Tentang amatir ini tentu karena aku sekarang sudah pakai sepatu gunung, jaket khusus, celana khusus. Aku dulu terlalu ga perhatian pada hal-hal semacam ini, jadi investasinya diarahkan ke hal lain. Ckck..
4. Ini pendakian pertamaku membawa beban lebih di mana aku juga membawa nesting dan kompor untuk masak. Beban memang berat, tapi entah mengapa aku tak merasa seterseok-seok itu. Bahkan sakit lutut yang biasa kurasa kali ini tak muncul, makanya aku terkejut sendiri ketika sukses sampai Mahameru, dan aman ketika sampai Ranu Pani kembali. Kusinyalir ada dua sebabnya: aku rutin minum VCO waktu mendaki dan sepatu gunung yang kupakai juga membantu (tentunya persiapan rutin skipping sebelum pendakian juga merupakan faktor signifikan).
5. Yang lucu adalah, tim pendakian ini dan kali pertamaku sama-sama berjumlah 4 orang. Dulu aku perempuan sendiri di antara tiga laki-laki, kini dari  total empat orang, hanya satu anggota laki-laki (yang menjelaskan kenapa aku akhirnya mau membawa nesting dan kompor :p).
6. Perjalanan menuju Mahameru akan selalu berbeda, utamanya pada jalur sehabis Kalimati, karena ia sungguhlah aktif dan karenanya mudah saja topografi jalur berubah; bahkan aku tak bisa lagi mendapati galur-galur di antara jalur pepasiran di pendakian 2011. Sungguh pengalaman yang baru.

The Team!!! foto: Jek
Sunrise di medan pasir menuju puncak; foto: Ana
Negeri di atas awan uhuiiii, performing: Bromo di kejauhan; foto: Jek
Jonggring Saloka AAAAAAAAA, foto: Jek
Pamer dulu, sama DHUARRR!! foto: Ana
Oh, yes, 3676MDPL! foto: Ana
NB: harusnya bikin album di Flickr tapi malezzzzz wwkwkwk