Thursday, May 09, 2013

Merapi yang Berpoin-poin


Mungkin ini murni kebodohan total. Kebodohan, karna lama-lama post-ku semakin ndak mutu. Yang kemarin, yang kemarinnya lagi, dan yang kemarinnya lagi. Gejala apa? Kembali ke awal: kebodohan. (titik)

Bila segalanya seakan sudah terungkap, dan karenanya aku merasa segalanya menjadi common sense, Tuhan ampuni aku. Itulah sebenar-benarnya kebodohan. Lebih baik aku duduk, dan tak memikirkan kalian. Biarkan aku sendiri dengan segala kalian yang anonim, dan karenanya aku tak akan terganggu oleh kehadiran kalian. Kalian anonim, kalian anonim, kalian anonim, dan seribu kali kalian anonim. Anonim, anonim, dan anonim.

Namun mana kata-kata itu? Yang hadir kala aku nggunung? Yang hadir kala aku berjalan dalam diam bersama kawan seperjuangan? Yang hadir kala lelah membungkam seribu bahasa? Mana itu hatiku yang penuh gelisah atas nggunung yang lebih suka kusebut sebagai mountaining daripada mountaineering walaupun istilah yang pertama tak dapat ditemukan dalam kamus apa pun? Ke mana kata kata kata kata kata kata kata kata kata kata kat ak ata katak itu???

Aku sungguh kehilangan. Seakan diri yang hadir di gunung sudah berbeda. Seakan tiada lagi pertentangan apa pun yang terjadi dalam diri. Ia hanya bisa tersenyum, dan tersenyum. Kata-katanya pun lebih kurasakan sebagai senyum. Bukan sesuatu yang biasanya merupakan pemberontakan. Senyum atas apa? Entah. Ia hanya tersenyum saja. Berkata pun kumaknai sebagai senyum. Protes akan lelah pun kumaknai sebagai senyum. Ngos-ngos-an karena tempo yang belum stabil pun kutangkap sedang tersenyum bahagia. Mengapa segalanya tak lagi sama?

Dan malah, berjalan di atas Merapi kemarin itu adalah berjalan yang "kosong". Sumpah serapah tak ada, kata-kata penyemangat absen, dan hanya lagu itu-itu saja yang mengalun dalam hatiku. Beristirahat sejenak menjadi ruang candaan yang amat jenak. Melihat bayang-bayang megah Merbabu di depan, kerlap-kerlip lampu dari New Selo, dari Old Selo (?), dan dari Boyolali yang jauh.. Tak ada istirahat yang tanpa mulut yang tak berkata. Lihatlah aku yang bertanya terus-terusan tentang Lux dan Lumen, yang walau sampai keesokan harinya waktu sudah sampai puncak, aku masih tak mengerti beda bayang fatamorgana dan kerlip lampu di kejauhan, bahkan sampai yang menjelaskan ingin menendangku ke dalam kawah super curam itu, aku masih juga tak mengerti.

I feel like I lose myself. Apa jadinya bila sekali lagi aku tak menginginkan diriku? Bila aku tak suka diriku yang ini? It's not me at all, it's not me at all, it's not me at all. Aku benar-benar merasa berada dalam tubuh yang bukan tubuhku. Ini bukan Zaki. Aku tak suka. Halo? Siapa ini?? Halo?? Would you please leave me alone?? 

Oke, harusnya yang barusan itu adalah suatu kesimpulan. Tapi aku gak mau mengakhiri dulu, mumpung aku sedang sadar tentang adanya diri yang tidak kusukai. Kulanjutkan dulu cerita nggunungku.

Selesai empat jam perjalanan, aku bersyukur, karena rupanya kakiku tak terlalu kebanyakan 'mengeluh'. Memang masih sakit, namun mendaki empat jam tak membuatnya kesakitan sebegitu rupa. Aku masih dapat berjalan normal, mendaki normal, menapak batu dengan normal, dan seterusnya. Hingga berhentilah kami di Pasar Bubrah, sebuah dataran terbuka sekitar 200-an meter di bawah puncak Merapi. Isi pasar ini adalah batu, batu, dan batu. Dulu ketika naik Merapi untuk pertama kalinya (2008), aku heran seratus keliling dan berpikir, daripada Pasar Bubrah, area nge-dome paling dekat sama puncak ini lebih cocok disebut sebagai Pasar Watu. Di bawah kaki adalah batu, di sana batu, di situ batu, batu, batu, batu, dan batu..

Batunya ya ada yang biasa ada di masyarakat. Yang warna biru/abu. Ada juga yang batu habis kena lahar gitu: merah sisa kebakar lalu luarnya berwarna putih. Yang pasti batu-batu ini kalau dilemparkan ke orang bisa bikin benjol, sampe bisa bikin gegar otak - bikin mati juga bisa. Artinya ukurannya pun macam-macam. Ada yang segede genggamanku. Ada yang segede genggaman kalian. Ada lagi yang segede genggaman pusku (itu pun kalau dia bisa nggenggam). Tapi kebanyakan segede gambreng, deh. Bila ingin mencari tempat duduk dari batu pun, mudah. Tersedia juga dalam jarak yang tak begitu jauh di mana pun letak tubuh berdiri. Ada beberapa batu yang sangat besar, besaaar banget, yang lumayan mampu meredam angin malam. Tentu angin di Pasar Bubrah sangat leluasa untuk bertiup. Di sini tak lagi ditemukan pohon. Vegetasi yang ada hanyalah rumput dan perdu yang seakan susah sekali bertahan di tengah kepungan batu yang sungguh di mana-mana. Nah, batu super besar tadi jadi tameng buat para pendaki bila mau mendirikan dome. Eh, nanti kalo kemahnya masuk angin, jelas yang di dalamnya juga gak akan gak masuk angin. Batu pelindung pun bisa mengurangi intensitas angin yang menyerbu.
Di pendakian Merapiku yang pertama, Pasar Bubrah masih bisa dikatakan "hijau", karena masih banyak perdu berkeliaran, dan ukuran batu yang bertebaran relatif bisa diangkat sama satu tangan. Kini setelah erupsi 2010, Pasar Bubrah benar-benar berwajah bubrah. Vegetasi seakan malu-malu untuk menampakkan dirinya, sedang batu-batu segede gambreng tadi, yang kusinyalir adalah bekas Puncak Garuda dan teman-temannya, mendominasi. Batu-batu "liar" bertebaran. Kuharap penjelasan abstrak ini bisa membuat kalian segera pergi dari blogku. Heheu.

Yang menjadi catatan penting adalah dingin dini hari Pasar Bubrah. Jam 1 dini hari kami tiba di areal camp tersebut. Entah apa yang terjadi, tapi angin berhembus sungguh tak terkira. Dingin menusuk badan, merayap merambat merengkuh tulang. Badanku tak kuat. Saraf-sarafku seketika menegang. Seakan ia kembali pada keadaan serupa sebelumnya. Dome belum didirikan dan aku hanya dapat mengandalkan batu super besar, berharap dengan merapat padanya dapat melindungiku dari angin. Namun angin berhembus dari mana-mana. Tanganku seketika tak dapat merasa apa pun. Hingga aku tak dapat membantu teman-teman mendirikan tenda. Badan menggigil parah. Jaket, sarung tangan, slayer, dan segala perlengkapan anti dingin diri tak berfungsi. Aku undur dari membantu teman-teman, semoga mereka mengerti.

Di titik ini, tubuhku mengenang. Dini hari yang dingin itu membawa fisikku pergi pada dini hari yang dingin di petualangan yang berbeda. Di dini hari yang dingin yang di mana maut seakan ingin menjemput. Tubuhku di Pasar Bubrah kemarin, believe it or not, beraksi juga yang serupa. Segala menggigil, kulit yang menebal, tangan yang tak merasa dan hati yang gelisah (?). Oke, aku skip frase terakhir, karena hati tak masuk hitungan di sini. Intinya, dingin yang kurasa di Pasar Bubrah, membuat tubuhku bereaksi layaknya aku sedang diserang dingin yang serupa kala aku di Semeru akhir tahun 2011 yang lalu (yang belum sempat juga kutulis kisah lengkapnya).

Dingin Bubrah kemarin seharusnya tak sedingin itu. Hanya ada angin, dan itu tanpa hujan. Bahkan dua temanku belum mengenakan jaket. When I asked them whether it was so cold or not, they just said no, it was just so so: just cold without so. Sebegitu parahnya kah trauma atas dingin ini? Hanya angin dan dini hari di ketinggian yang bahkan belum dua ribu delapan ratus. Namun tubuhku sudah leday banget mengapresiasi sebuah dingin. Oke lah, tak apa, itu kan berarti satu keputusan: setelah ini aku akan sedia menetap di kota yang tidak dingin. Balik hometown pikir-pikir dulu, deh..

Bagaimana dengan Eropah? Aduh! Itu dingin jugak!!! Eits, tenang, kita masih punya Oz yang hangat, Sahara yang membakar, NZ yang sekali kena tsunami habis terkikis, Brazil yang penuh sugarcane, dan Dallas yang Dirk Nowitzki.. Dih, plis deh Jek, bisa-bisanya nyasar ke NBA..

Poin pertama: dingin Bubrah yang membuat terkenang pada dingin yang mematikan.

Keesokan harinya, aku tersadar bahwa matahari terbit itu sungguh mempesona. SUNGGUH MEMPESONA!!!! SUNGGUH MEMPESONA!!!!! SUNGGUH MEMPESONA!!!! Sudahlah, Jek, apa sih yang kau harapkan dari repetisi? Idelogimu yang leday? Byeuh! 

Baiklah, aku kembali lagi pada sunrise. Sungguh haibat kawan, melihat biru langit dan temaram hitam bayang-bayang yang diterpa cahaya kuning sedikit jingga kelabu kerana awan. Ya Tuhan, lama sekali aku tak melihat matahari terbit di atas gunung. Sungguh lama. Bromo tahun lalu? Mendung! Tahun sebelumnya? Baiklah, itu memang oke. Tapi ayolah, sunrise Bromo apa serunya, sih? Hanya naik angkutan, belak belok belak belok naik turun naik turun belok naik turun belak belok, nyampe sudah. Tak ada tenda, tak ada berdesak-desakan tidur dalam kantong masing-masing, tak ada coklat panas yang diminum secara bergilir. Belum lagi yang semacam Bromo itu ramenya, maaaaaakkkk!!!! Nobar sunrise paling rame, deh. Jelas aja yang Merapi kemarin langsung bikin kelimpungan ngan ngan ngan.

Sebelum subuh, mata kriyip-kriyip. Dari dalam tenda sudah terlihat cerah highlight dari sumber cahaya. Kubuka sedikit pintu tenda. Riuh angin menyapa. Namun itu dia geliat matahari yang akan terbit. Bersama langit yang masih biru temaram, dan juga Lawu di seberang sana, serta hiasan hitam punggung Pusunglodon dan Bubrah yang lebih tinggi. Juga bulan hampir sabit yang baru muncul sebelum kami tertidur. Sungguh pemandangan romantis, namun nyali masih ciut akibat kedinginan beberapa jam sebelumnya. Kantong tidur pun menjadi ide tunggal. Barulah setengah enam pagi kami setenda bergegas keluar. Memberanikan diri. Namun rupanya hari sudah tak terlalu dingin, walau angin masih menerpa sini-sini. Nah, itu dia sang mentari yang bersinar di balik awan. Sepercik mendung tak berhasil menghalangi dahsyatnya sinar yang ia miliki. Partikel cahayanya bebaur membias menjadi sedikit jingga, dan kuning yang mendominasi, serta geliat perak yang menentang muda si biru.

Hingga akhirnya jam enam, tepat ketika aku pipis membelakangi matahari (ini kayaknya gak perlu banget deh dicritain), kulihat puncak Merapi di depanku yang diterpa sinarnya. Terbitlah ia, sang mentari itu. Awan penghalang seakan menyerah. Mentari terlalu lelah dihadang-hadangi. Bentuknya yang bulat dengan semburat cahaya terangnya pun terlihat. Segera ia bebas menerpa bumi Merapi. Naik dan naik, dan segera kurasa hangatnya. Itu dia matahari terbit yang kurindu.

Poin dua: Mentari Putera Harapan. Malah jadi nama majalah.. -_-'a

Setelah sarapan dengan terpaan cahaya dari arah timur, serombongan kompak untuk menyerang puncak. Untuk puncak baru setelah letusan Merapi terkini. Puncak Garuda sudah tak ada, dan aku sungguh bertanya-tanya akan wajah puncaknya saat ini.

Untuk mendapatkan jawabnya, diriku harus sekali lagi dipaksa mengenang dua pendakian besar sebelumnya: Rinjani dan Semeru. Jalur menuju puncak Merapi terkini sungguh mantab nian. Bila dulu (2008) aku berpikir jalurnya mudah, dan tidak bahaya, kini ia tak hanya bahaya, tapi juga wahana. Dari jalur pendek tersebut, di mana puncak bisa dipandang dari Pasar Bubrah (bila cerah seperti kemarin), aku sudah hampir menyerah di awal. Bayangkan saja, jalur yang kupilih adalah jalan yang isinya bebatuan. Kupikir bebatuan ini akan kuat ketika kakiku bertapak di atasnya. Namun tentu, yang terjadi sebaliknya. Batuan tersebut menapak pada pasir, hingga bila aku menjadikannya pijakan, ia hanya akan mengikuti pasir yang ada untuk menggelinding ke bawah. Jadilah aku bingung harus memijak yang mana. Beruntung aku kurus kerontang, hingga pijakanku tak menggelinding terlalu jauh sebelum aku berganti pijakan yang baru. Jalur seperti itulah yang mendominasi, walau tak kupungkiri, ada beberapa batu yang cukup kuat menancap pada tubuh Merapi. Batu-batu yang menyelamatkan kami, walau kehadirannya tersembunyi di beberapa titik, layaknya jarum di antara jerami.

Badan pepasiran mengingatkanku pada Semeru. Batu pada Rinjani. Namun ketika tangan dan kakiku berkoordinasi, yang artinya aku benar-benar merayap di atas batuan kecil yang rentan menggelinding itu, Semeru dan Rinjani menguap. Yang ada hanya Merapi. Aku benar-benar merasakan wahana yang mengasyikkan. Walau aku yang paling belakang dan teman-teman telah jauh di depan, aku menikmati wahanaku. Berjalan dengan empat kaki, berpindah-pidah pijakan sana-sini, aku merasa seperti Ethan Hunt di MI2. Aku tidak berbohong, dan waktu itu aku tidak sedang mengalami halusinasi karena hipotermia. Sungguh, tidak. Aku benar-benar merasa menjadi Tom Cruise yang sedang wall climbing. Although what I did was rock climbing, actually. That was sooo much FUN!! Di awal, ada saat-saat deadlock, di mana semua pijakan bergoyang bila digerakkan. Namun hanya keberanian untuk jatuh yang malah membuatku maju. Rupanya yang kutakutkan adalah bayangan tentang jatuh. Namun ketika aku berpikir "jatuh ya, jatuh aja, paling cuma mlorot berapa meter", malah bayangan jatuh itu hilang, dan akhirnya aku maju terus.

Sejak awal sebenarnya aku mengikuti jejak temanku. Langkah. Langkah. Langkah. Lalu teman satunya yang di jalur sebelah kiri menyarankan untuk segera berpindah ke jalurnya, karena lebih mudah. Bila berpindah adalah semudah itu, pasti aku sudah mengambil jalur mana pun. Masalahnya kemudian ternyata jalur mana pun sama saja. Akhirnya pun kutetapkan satu jalur saja: jalur bebatuan yang kupilih. Walau menurut teman-teman itu jalur sulit, aku ambil saja yang itu. Biarlah. Di tengah perjalanan aku selalu berusaha pindah jalur sekiranya aku mampu. Tapi rupanya tiap jalur baru yang kuambil pasti lebih susah daripada jalur yang telah kutinggalkan. Seakan pengalaman itu mengajarkanku agar konsisten. Pilih satu dan tetapkan. Namun lucunya aku melakukan negosiasi, sebuah dialektika yang hadir dalam benak: aku memilih berpindah-pindah dan menikmati semuanya pun tak apa, kan? Bila memang ini jalanku dan akhirnya sampai di puncak, apa bedanya? Setelah protes pada diri sendiri, rupanya apa yang kulakukan tidak serta-merta senada dengan protesku: tesis - antitesis, yang berujung pada sintesis. Setelah menentang diri sendiri dalam kata sedemikian rupa, aku lalu ajeg pada satu jalur saja. Toh, kupikir karakteristiknya sudah kupelajari, jadi strategiku untuk menghadapinya bisa dengan mudah kuatur. Dan demikianlah, akhirnya aku mencapai titik sebelum puncak yang lumayan aman di mana hampir semua jalur dapat bertemu. Mulai titik ini, pendakian penuh dengan batu besar yang stabil dan dapat dipijaki. Bahkan tiga temanku melakukan wall climbing untuk langsung menuju puncak tertinggi (yang tak kuraih karena aku yakin nyawaku hanya satu). Aku hanya berusaha membedakan makna sembrono dan berani di sini.

Puncak pun diraih. Sekitar dua jam perjalanan kami meraihnya (dari Pasar Bubrah). Kawah begitu curam, dan lebar.  Puncak Garuda sudah tak ada. Kawah Mati yang dulu kecil dan tak begitu curam, kini menyatu dengan kawah di areal Puncak Garuda (sebelah kanan jauh), dan seterusnya-seterusnya. Sungguh curam. Bibir kawah seperti seadanya saja untuk jalan setapak. Akhirnya aku tak bisa tidur di puncak. Tak ada tempat datar luas yang sepoi-sepoi untuk tiduran. Yang ada adalah putih batu seperti terkena belerang yang hanya cukup untuk tempat berdiri, berjalan atau duduk selebar satu pantat orang dewasa.

Jogjakarta dapat kami pandang dari puncak. Hari yang cerah adalah kunci keindahan yang dapat kami nikmati. Akhirnya menikmati puncak yang tanpa kabut, hatiku berkata. Indah, kawan. Itu sungguh indah. Merbabu di depan mata, kampung-kampung kecil di bawahnya, Jogjakarta yang seperti renik, liuk-liuk sungai-sungai aliran lahar dingin, Sumbing Sindoro di sebelah barat laut, Telomoyo mengintip di balik Merbabu yang penuh hijau, dan masih ada puncak Lawu yang mengintai indah dari balik awan di sebelah Timur. Negeri di atas awan yang melengkapi kedirian. Tunduk pada kebesaran Tuhan yang mencipta. Inilah kita yang jasadnya hanya tak seberapa.

Poin tiga: konsistensi membawa berkah (tepuk tangan untuk poin yang semakin tak nyambung).

Dan tentu turun dari puncak menuju camp area lagi adalah hal yang menyenangkan. Tinggal memilih jalur yang tanpa batu, lalu lari di atasnya seperti sedang ice skating. Kali ini kuganti jadi sand skating. Kupikir akan semudah itu. Namun di tengah turun dari puncak, tepat ketika kakiku sudah mulai senang srut-srutan di atas pasir, sakit yang sangat itu menyerang. Lutut kananku terseok-seok. Sebentar saja menahan kilogram tubuh sendiri (dikali gravitasi) membuatnya protes sedemikian rupa. Jadilah kegirangan itu membawa petaka. Aku mulai terpincang-pincang.

Pun apa yang kukatakan sand skating di awal tidak serta-merta berarti hal yang tak menyakitkan (walau aku kekeuh itu menyenangkan). Aku tergelincir dua kali. Sekali di antaranya di atas bebatuan sekepalan tangan yang menyeret pantatku sekitar dua meter. Aduh untung sekali jinsku masih tebal, jadi tak robek karenanya. Juga karena pertahanan jinsku tersebut, diriku yang ndhlosor  jadi tak terluka, hanya terasa saja habis jatuh tergasak batu. Seru!! Dan karenanya malaikatku hadir.

Cerita nggunungku seakan tak lengkap bila tanpa kehadiran malaikat. Kupikir setelah lelah menggapai puncak, tidur sejam akan cukup mengembalikan stamina dengkul. Mimpi di siang bolong yang pasti. Ya sudah, mimpi pun tak apa. Setelah terbangun, memasak sardin dengan karbo sarimi, lalu makan siang dengan honey tea sebagai penutup. Packing dan siap bertempur dengan lutut yang mulai ngawur.

Perjalanan turun awalnya menyenangkan. Aku masih hinggap-hap-hap dari satu batu ke batu lainnya. Masih juga aku bisa menyalip mbak dan mas Geologi yang juga sedang turun (keliatannya mereka sedang dalam acara penmas: pendakian massal). Sekitar setengah jam, lutut itu protes lagi. Hap-hap-hap di awal tak dapat lagi kulakukan. Jadilah tiklak-tikluk macam tak berdaya. Aku sungguh mengandai tongkat. Namun temanku yang membawa trekking pole sudah jauh di depan. Aku termasuk di lini belakang bersama seorang yang nantinya menjadi malaikatku. Adi namanya.

Adi yang sedari tadi di belakang, lalu menyusulku. Aku meminta bantuan untuk melihat kiri kanan dan bila nanti ada kayu tergeletak yang bisa kujadikan tongkat, kuminta ia segera memanggilku. Aku meneruskan perjalanan turunku di terik siang. Kupikir Adi sibuk ngambilin sampah di jalan, sehingga ia tidak bergabung denganku dan memilih tertinggal di belakang (menurut ceritanya, bila naik gunung ia selalu siap sedia kantong untuk sampah-sampah yang ditemuinya di jalur turun - ah, ini dia calon pecinta alam sejati!!!). Rupanya ia tak hanya mengambil sampah. Beberapa menit kemudian ia sudah dengan kayu yang kelihatannya diambil paksa dari pohonnya tanpa pisau. Diberikannya padaku sebagai tongkat. Ah, malaikat!!!

Sejak saat itu Adi, dengan kantong sampahnya, berjalan denganku yang berkaki tiga. Perjalanan masih panjang. Kata orang, turun dengan kecepatan normal hanya butuh dua jam saja. Namun dengan kondisiku seperti itu, aku yakin tak akan mungkin. Aku berharap tiga jam. Dan aku bersyukur ada Adi yang mau menemani berjalan turun pelan-pelan kayak siput.

Walau sebenarnya aku berharap ia meninggalkanku saja, dan tentu sudah kupaksa ia meninggalkanku. Ayolah, aku akan baik-baik saja bila ditinggal sendirian. Suasana masih terang benderang. Banyak juga pendaki yang turun, jadi tak masalah bagiku bila ditinggal. Yang malah menjadi masalah sebenarnya adalah bila Adi menemaniku. Ia dengan bebannya, membawa ranselku yang dipenuhi tenda dan air yang masih melimpah sangat tak aman jika juga berjalan pelan-pelan. Lho, ranselku? Ya. Kebetulan ransel Adi tak cukup untuk ditempati tenda, jadi sejak awal pendakian kita bertukar ransel, sedang aku tak kuat membawa beban dan tenda, bulatlah keputusan untuk menumbalkan Adi, hahaha. Plus bisa jadi keputusan itu sengaja ditumpahkan oleh Rico, kadiv (ketua divisi) ELMC (Elektro Mountaineering Club) sebagai (mungkin) tes untuk calon kadiv baru. Aku melihat Rico sedang melihat potensi Adi untuk menjadi ketua yang baru. Namun mereka tak mau berdiskusi secara terbuka. Aku hanya melihat ada gelagat yang aneh. Entah itu ditujukan untuk pergantian tampuk kepemimpinan, atau untuk acara yang lain, yang pasti kode yang mereka mainkan ada maknanya.

Nah, dengan beban yang lumayan berat yang dibawa Adi, juga dengan kegiatan mengambil sampahnya itu, keputusan menemaniku berjalan seperti siput hanya akan membawanya pada kata celaka. Maksudku, beban berat itu bila semakin lama dibawa akan membuat badan sengsara. Lutut utamanya. Jadi lebih baik ia segera sampai basecamp, dan selesai dari tanggungan beban. Semakin lama membawa beban, semakin riskan untuk kesehatan kaki. Aku takut cederaku juga malah melukai anggota lain. Maka atas dasar itu aku mendorongnya untuk segera lari meninggalkanku. Tapi, tentu usahaku itu percuma.

Entah apa yang ada di pikiran anak ini. Maksudku, ia berbeda sekali dengan kawan-kawan yang selama ini kutemui. Aku menganggap diriku sungguh sangat merepotkan. Sangat merepotkan. Biasanya teman lain yang seumuran Adi akan penuh resistensi bila sedang membantu, apalagi teman tersebut adalah teman lelaki. Bukan bermaksud seksis, ini hanya benar-benar merupakan pengalaman: kawan naik gunungku kebanyakan laki-laki dan aku hanya punya satu kawan perempuan jika terkait aktivitas ini. Biasanya, mereka tidak akan seikhlas itu untuk menemani teman yang sedang cedera. Apalagi Merapi kemarin adalah kali pertama aku bertemu Adi. Aku orang asing baginya. Tak pernah bertemu sebelumnya. Dan aku perempuan, yang kadang di benak orang-orang seumuran Adi, perempuan yang tak kuat itu ekivalen dengan perempuan manja - hal yang kadang kalo berlebihan bikin eneg. Belum lagi sebelumnya aku sangat rewel bertanya ini itu masalah lux dan lumen, di mana Adi turut serta menjelaskan tentang dua hal itu padaku (hampir seluruh tim ikut berdiskusi, sedang aku menjadi sosok tak menyenangkan yang bertanya tak puas-puas).

Dan ia menolongku tanpa sedikit pun menampakkan raut muka kecewa, atau raut muka tak suka. Kucari-cari resistensi itu, ya ampun sungguh tak terlihat!!! Kuajak ngobrol, juga tak ada nada-nada kesal dari mulutnya. Tak ada juga kalimat-kalimat yang mengutarakan kejeraan. Ia tak menyuruhku untuk lari. Ia tak menyuruhku untuk cepat-cepat. Hanya menemaniku dan malah asyik ngobrol ini itu. Ia seakan penuh senang menolong dan mengerti sepenuhnya kondisi lututku yang ngehek abis. Damn it, anak siapa ini yang baik hati sekali??

Di pos satu, yang seharusnya hanya setengah jam saja menuju basecamp bagi ukuran turun orang normal, akhirnya aku menyerah pada tawaran Adi untuk membawakan ransel yang menjadi bebanku. Artinya ia membawa ranselku, dan ranselnya. Dan artinya aku tidak membawa apa-apa. Ya ampun, padahal ransel itu tidak berat, lho. Tapi buatku itulah kali pertama Adi meresistensi. Sangat halus. Mungkin juga karena jam yang sudah mulai meninggalkan angka empat. Ia khawatir akan kemalaman. Aku menurut. Aku harus baik-baik dengan malaikat, karna aku tak ingin mendapati seringai tidak malaikatnya. Hahaha. Jadilah aku berjalan dengan berat tubuh saja. Apakah itu mengingatkanku pada sesuatu? Tentu!!!

Kedewasaan itu bermakna sekali. Bayangkan, ini baru tahun kedua Adi di Elektro, dan ia sudah bisa menjadi sedewasa itu. Four thumbs up, deh, buat Adi!!! Seratus jempol pun akan kucari bila perlu!!! Cita-citanya untuk jadi bos PLN segera saja kuamini. Jangan bayangkan ia adalah anak yang cupu dan terlihat tak punya misi idealis dalam hidupnya. Ia sosok berkarakter kuat, dan rendah hati. Kurasa bila besar nanti ia pasti menjadi seorang berpengaruh di lingkungannya. Aku yakin tentang hal itu.

Di  N E W  S E L O, jalanan sudah beraspal dan tinggal sejengkal dari basecamp (yang buatku berarti tak sejengkal), Adi menunggu diriku yang tertinggal di belakang. Jarum jam sudah menuju angka lima. Empat jam sudah kami berjalan. Kusuruh ia segera pergi ke basecamp karena kakiku tetap tak bisa dipaksa jalan cepat-cepat. Ia pun menurut, dan lima menit kemudian aku mendapati Si Red (motorku sayang) yang dikendarai Rico, mendekatiku. Rupanya Adi mengirim sms ke Rico untuk menjemputku.

Ransel dibawakan, dan disediakan jemputan motor. Kembai pada pertanyaan apakah itu mengingatkanku pada sesuatu?. Dan jawabnya adalah TENTU!! Segera setelah sampai di basecamp, aku berteriak-teriak pada DNT dan Galdi Chul, anggota pendakian yang lain: ini SINDORO!! Arrgghhh!!!!

????

Sindoro, pendakian gunung berpuncak pertamaku, di mana kejadian serupa terjadi. Ketika turun ransel dibawakan kawan mendaki (entah Mas Kempoex atau Mas Kimreng, lupa), dan setelah sampai di perkebunan dijemput oleh temanku yang bernama ASC (Arif Saja Cukup) dengan motornya. Komplet. Dalam umur yang berbeda, kondisi yang berbeda, kedewasaan yang berbeda, namun cerita yang sama. Aku seakan ditampar dengan pernyataan: BERHENTI, JEKI!!! Lutut dan kedewasaan. Ya, kurasa aku harus segera berhenti.. :)

Itulah poin keempat: malaikat yang menghentikan.

Benarkah menghentikan? Entahlah. Aku hanya bahagia masih ada yang menolongku dan melipurku dengan kemalaikatannya. Aku jadi ingat kata kawanku, yang semoga ia membaca ini dan ingat pernah mengatakan hal ini padaku, bahwa orang baik, di mana-mana akan selalu ditolong. Satu lagi pelipur hati yang mulai menjadi beku: aku masihlah termasuk orang baik itu, sehingga masih bisa merasai kebaikan malaikat dari sesama. Aduh, jadi terharu gini.. :')

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, diri yang lebih besar, yang kudapat dan kulihat pada sosok yang memberiku kebaikan. Kali ini dengan martir bernama Adi.

Anyway, bagaimana kondisi kaki Adi? Aku bersyukur, ketakutanku tak terbukti. Mungkin karena hanya empat jam itu. Aku tak membayangkan, bila lebih dari itu, bisa jadi ada korban baru yang jatuh. Eh, tapi kata temanku DNT, laki-laki tulangnya lebih kuat dari perempuan. Semoga memang demikian. Jadi aku tak perlu khawatir berlebihan.. :)

Mentari lima-tigapuluh-an - taken by Rico

I'm thankful for this moment cause
I know that you grow a day older and see,
how this sentimental fool can be,

When she tires to write a birthday song,
When she thinks so hard to make your day,
When she's getting lost in all her thoughts,
When she waits a whole day to say...
(Dee, Grow a Day Older)

2 comments:

  1. wah mantap sekali mbak, jadi tambah pengen naik merapi nih saya :D

    ReplyDelete
  2. makasih, sudah mampir, dan meninggalkan jejak.. :)
    kata orang jangan cuma bisa bilang kepengen, laksanakan selagi mampu.. :D

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b