Thursday, March 12, 2015

PUH!


Kadang aku menulis blog karena ada suatu hal yang melecut pikirku untuk melayang ke mana-mana. Tentu bulan lalu bukan berarti aku absen karena tak ada yang membuat pikirku melayang-layang. Sungguhlah sebenarnya ada. Hanya aku merasa itu tak pantas dituliskan di sini. Apakah ada hal-hal yang tak pantas ditulis? Nyatanya aku telah melakukan sensor terhadap banyak muatan yang awalnya ingin kuposkan. Self censorship kalo pake istilah kerennya. Beberapa hal yang kusensor adalah mengenai emosi yang tak tahu juntrungannya mau dibawa ke mana. Misal emosi kepanasan karena suatu hal. Itu mungkin yang mewarnai bulan Februari kemarin, meski ada emosi menggebu dengan bentuk lain. Tapi bila kuungkap di sini, sama saja dengan meniadakan self cencorship tadi, alias mengumbar hal yang telah kusensor.

Dua hari lalu aku mendapati diriku yang bersedih. Bukan karena tanggal ujian yang belum juga menemukan titik terangnya. Kesedihan ini tak kalah menghebohkan dari kepentoknya tengkorak karena kepeleset di tangga seperti pos sebelumnya. Tapi kali ini bukan menyerang fisik tubuh. Hanya spirit yang dibuat tersadar akan sesuatu.

Spirit bo! Spirit!!! (tutup muka). Siang hari diri kelaparan karena tidur terlalu lama (skip sholat subuh pula. Dasar kafir). Melihat Sejarah Tuhan yang berhenti di halaman dua-ratusan karena diri berlagak energi harus disimpan untuk ujian. Puh! Makan tuh ujian! Karena yang kulakukan malah menghabiskan waktu tidak untuk melakukan esensi persiapan ujian. Katakanlah teknis sekali mengurusi tampilan presentasi. Mau buat apa? PUH!!!

PUH!!!

Kubuka lagi halaman yang barusan kumaksud. Tentang Tuhan personal dan impersonal. Ada kaum yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada dalam segala tindak tanduk diri kita. Benar salah yang kita anut adalah konsep rasio yang notabene pemberian Tuhan (yaitu otak). Itu sangat logis karena bagaimana bisa Tuhan menyalahkan hasil keputusan otak yang diberikan-Nya pada manusia? Tuhan pada kaum ini merupakan Tuhan yang rasional. Kaum yang menentangnya mengatakan bahwa Tuhan tak dapat didekati dengan kerasionalan, dan menganggap semuanya adalah predestinasi alias sudah ditakdirkan. Jadi misal nasibku yang seperti ini (seperti apa coba?), menurut pendapat kaum terakhir tersebut merupakan takdir dari Tuhan. Kaum rasional juga dikritik karena dengan demikian Tuhan personal adalah juga Tuhan yang membenarkan niatan mereka si koruptor, si pembunuh, dan si si yang lain yang merupakan rentang sifat umat manusia. Bahaya kan kalo bilang Tuhan itu berpihak pada para pembunuh?

Bahaya nggak?

Trus karena aku pusing, aku sms seorang teman. Isinya menanyakan konsep nasib, takdir. Juga menanyakan Tuhan yang personal dan impersonal. Jawabnya:

"jika kamu ikan, maka lautan beserta isinya (termasuk ikan) adalah Tuhan sekaligus takdir."

Konsep yang sudah lama kuamini tapi kemudian aku tersentak sendiri. Karena itu berarti keberadaan seseorang yang mengusahakan sesuatu dan keberadaan pihak lain yang sedang menggagalkan usaha tersebut (sebut saja misal KPK vs. koruptor), adalah sama-sama takdir. Hasilnya juga adalah takdir. Tapi ketiga hal tersebut (yang mengusahakan, yang menentang, dan hasil dari pertarungan itu), tidak dapat dimaknai sebagai takdir yang ditentukan oleh Tuhan dalam pengertian yang selama ini aku anut, atau yang dianut kebanyakan orang: yaitu oleh satu kesatuan utuh Tuhan yang terlepas dan terpisah dari keberadaan manusia. Konsep predestinasi tentang nasib manusia itu sungguh harus dipertanyakan. Harus dipertanyakan!!!

Lanjut temanku:

"takdir yang pasti, bahwa kamu adalah ikan beserta lautannya. Takdir atas takdir (yang bisa diusakan) bahwa seekor ikan bisa ke laut dan samudra apapun yang diinginkannya dengan bantuan ikan-ikan lain ataupun tidak."

Akhirnya sedih itu merundung diriku. Selama ini aku berprinsip bahwa proses kehidupanku (proses lo ya, bukan kehidupan itu sendiri), adalah takdir yang sudah ditentukan dari sana. Misalkan aku nantinya jadi apa, aku menikah dengan siapa (PENTING! WKWK), aku punya anak berapa, itu selama ini diajarkan bahwa sudah ditentukan oleh Tuhan. Sudah ditentukan!! Beneran? Serius? Serius Tuhan pernah bilang begitu? Tentu aku mempertanyakan betul konsep ini. Lalu pembacaanku mengalir kepada kekuatan individu manusia. Maksudku bila dalam lautan itu banyak sekali ikan-ikan yang bertarung untuk masing-masing tujuannya, berarti selama ini apa yang harus manusia lakukan adalah memperkuat dirinya dan memenuhi tujuan yang ia inginkan. Aral melintang tidak dapat disebut sebagai hal yang "di luar yang Tuhan inginkan", karena apa yang merintangi keinginan kita sesungguhnya jugalah manifestasi Tuhan. Adalah isi samudra!!

Maka mataku lalu basah, mengingat betapa kebencian telah menelusup ke dalam hatiku. Kebencian pada mereka yang terlampau berbeda dengan prinsip hidupku. Atau yang juga membenci prinsipku. Padahal mereka juga adalah manifestasi Tuhan! Mereka juga adalah takdir. Jadi ketika aku ada dalam sebuah "perang" menghadapi sosok yang tak kusukai, aku seringnya lupa bahwa makhluk di depanku adalah juga takdir Tuhan. Aku menghadapi bagian dari Tuhan, dan aku membencinya? Sungguh nista!!! *Istighfar dulu*

Tentang tujuan seseorang itu, aku kemudian berpikir. Di sini aku sempat sedih juga. Lebih sedih daripada kasus benci-membenci sebelumnya. Sedih itu menjulang tinggi karena dengan konsep bahwa manusia selalu harus berusaha mewujudkan tujuan yang ia ingin capai, berarti juga bahwa Tuhan tak pernah sepersonal itu dalam "meladeni" manusia, meladeni diriku. Atau lebih tepatnya begini. Selama ini pengertian tentang cita-cita yang sangat ingin dicapai dan bayangan ada sosok Tuhan yang besar dan berada di singgasana-Nya yang selalu memperhatikan, dan membantu dengan keajaiban-Nya, seakan runtuh. Aku dengan demikian merasa jadi sendiri. Jadi kesepian. Biasanya aku ditemani oleh bayanganku atas Tuhan seperti sosok tunggal yang berdiri dan menjawab doa-doa manusia. Menerima curhatan manusia dan seakan sudah seperti karib sendiri. Kali ini bayangan itu harus kulebur. Dan harus kuubah. Praktis aku segera merasa saja semuram itu, sebab itu berarti kebersamaanku dengan Tuhan dalam bayanganku selama ini, hanya semu semata. Aku telah sendiri, bahkan sejak dari dulu. Sedih banget.

Tapi lalu pikiran itu juga salah. Sensasi kesepian hadir karena pengertian yang kuanut sebelumnya telah digagalkan dengan konsep Semesta Tuhan. Tentu Tuhan selalu memperhatikan. Tapi Ia ada di mana-mana. Ia satu, sekaligus semuanya. Artinya capaian-capaian yang selama ini kuinginkan, dapat terwujud atau pun gagal di tengah jalan, bukan semata karena suatu sosok Tuhan berkehendak demikian, tapi lebih tepat dimaknai bahwa Tuhan dengan segenap Semesta-Nyalah (semesta Tuhan: samudra beserta isinya - konsep Tuhan yang sungguh BESAR), yang mewujudkan hal tersebut (baik yang sukses ataupun gagal). Artinya aku harus diam dulu, memaknai ini semua. Mengingat banyak hal yang telah terjadi di hidupku. Ada ibuku dan ayah yang membesarkan, keluarga yang menentramkan, kawan-kawan yang menghangatkan, dan "musuh" yang menguatkan. Aku tidak pernah sendiri. Tuhan selalu bersamaku. Bahkan hanya sekedar sapaan Si Enchen yang meong-meong kelaparan karna tak kuberi makan. Tuhan selalu bersama semuanya. Semuanya selalu bersama Tuhan.

Akhirnya takdir dan nasib, memang Tuhan yang menentukan. Tapi sekali lagi, Ia ada di mana-mana.

Dan sebenarnya lebih baik aku mengganti judul pos ini,

Kan?

PS. jangan pikirkan ending yang ngga mutu ini