Saturday, April 30, 2016

Why did I?


Why did I choose this kind of life?

Dihina, diinjek-injek, diperkosa, dipermalukan sama sesama sodara yang juga diinjek-injek, dihina-hina. Belum tamat pahamnya tentang bagaimana bisa diri ini jadi inferior begitu rupa, sudah dihina-hina lagi, direndah-rendahkan lagi, bahkan kisah hidup ini seakan dipahami betul oleh mereka yang menonton. Sok tahu.

Duduk di bangku penonton sungguh menyenangkan, bukan? Cumak modal duduk, sama ya, pikiran agak berisi sudah bolehlah, terus bacot aja segala rupa, komentar sok kayak ngerti aja apa yang sedang terjadi di panggung. Kalau lucu tertawa hahahaha. Kalau sedih ikutan sedih, ada yang nangis huhuhu. Ntar kalau akting jelek sudah jadilah ahli dadakan. Lalu begitu, seakan-akan mewakili orang-orang yang ada di panggung yang sebenarnya adalah sebenar-benarnya yang mengalami sendiri semua hal yang disetirkan sutradara. Taik kucing.

Why did I choose this kind of life?

Sutradara senang bukan main. Ngatur-ngatur, nunjak nunjuk ke sana ke mari. Yang punya tempat pertunjukan berseringai luebar benar. Kantongnya penuh munjuk-munjuk. Penontonnya rame membludak. Nanti kalau penonton sudah mulai bosan, tak ada komentar meluap, tak ada suara-suara yang mencoba mewakili pemain di panggung (dan bukan pemainnya sendiri yang bersuara), pemilik bisnis dan sutradara akan rapat lagi, mengolah lagi strategi yang baru, biar yang di panggung tetap bungkam. Banyak caranya. Bisa dengan menambah gaji ketua para pemain di panggung - dan bukan pemainnya yang ditambah gajinya, biar mulai pecah belah isi panggung, dan sudah begitu diramu dengan beragam kisah dan fantasi baru oleh pengarang cerita, sutradara, dan pihak-pihak begituan. Dor! Panggung heboh lagi. Penonton berisik lagi. Komentar lagi ini itu syalalala. Wuajindang.

Why did I choose this kind of life?

Sudah mau bangun, ditendang kawan sendiri. Sudah ada kawan mau bangkit bersama, kawan yang lain, jumlahnya lebih banyak, menghantam juga rame-rame. Sudah hampir seluruhnya mulai make sense, sutradara dan si juragan sudah jauh-jauh hari mengantisipasi. Penonton cuma bisa berisik aja sok paham apa yang sedang terjadi di panggung. Konspirasi uasu.

Why did I...

Pfft..

Tuesday, April 26, 2016

Sedihnya tak Bisa jadi Pahlawan Nasional


Ketika kau kira kau sudah dapat menguasai hidup, namun semuanya hanya semu semata.. luput semata.. Sedang hidup, akan selalu melenggang tenang, tak peduli betapa berantakan kau dibuatnya... the fak I'm saying.

Melihat gebyar-gebyar hari lahir Kartini. Kisah Sang Pahlawan emansipasi perempuan kembali didengungkan. Namun sedihnya, kisah berkebaya masih juga melimpah-ruah, seakan emansipasi perempuan selaras betul dengan keribetan berbusana, dan belum lagi masalah jawasentrisme atas berkebaya! Not gonna talk about this anyway; sudah banyak yang bahas.

Banyak juga yang protes "kenapa Kartini?", kenapa bukan CND, elah, maksudnya Cut Nyak Dien. Kenapa bukan juga Dewi Sartika, atau perempuan lain, misalnya Nyi Ageng Serang, kalau pun ada yang kenal (ini juga Pahlawan Nasional). Awalnya tentu pertanyaan "kenapa Kartini?", juga mengusik. Iya betul, bila dilihat lebih lagi, Cut Nyak Dien itu gerak banget. I mean, she was totally doing. Ga cuma nulis, berpikir, tapi berbuat. Beruntung sih, ada teman yang secara tidak langsung membahas dan secara bersamaan mengingatkan. Figur Cut Nyak Dien itu perjuangannya ala-ala maskulin berperang, menunjukkan otot, dan yah, kukira kata berperang tadi sudah cukup menggambarkan betapa macho-nya apa yang dilakukan Cut Nyak Dien. Sedang Kartini berperang dalam berpikir, dan kiranya merumuskan emansipasi perempuan. Tapi berpikir itu dalam kebanyakan budaya termasuk dalam ranah maskulinitas juga. Membahas ini, aku jadi harus hati-hati dengan pendapat teman itu, karena ia dikotomis sekali atas definisi perempuan dan laki-laki. Ala-ala agak misandrist gitu. Bila perempuan menjadi perkasa secara fisik dan mampu menandingi ke-macho-an laki-laki pun kiranya tak apa kan. Cut Nyak Dien dan Kartini berbeda karena perjuangannya berbeda, budayanya berbeda, eranya berbeda. Gitu aja ya, ndak usah bawa-bawa Cut Nyak Dien lebih condong "laki-laki", dan Kartini less manly karena doi ga perang-perangan secara fisik.

Yang bikin agak resah sebenarnya kedudukan Kartini. Pertanyaannya, kenapa selalu seorang yang punya posisi yang bisa menyuarakan emansipasi? Apa kabar wong cilik? Apa bisa orang-orang berkekuatan ini, yang pada faktanya berjarak dengan rakyat kecil (misal, apakah Kartini pergi ke sawah, atau jualan gethuk di pasar?), menyuarakan si kecil? Tentu aku meragukannya. Hal seperti ini bisa bikin depresi, karena lama kelamaan aku merasa perjuangan pemberdayaan kurang menyentuh pada lapisan-lapisan yang renik, yang notabene adalah wajah mayoritas. Aku hanya tak suka karena wong cilik ga bisa jadi Pahlawan Nasional. Aku hanya tak suka karena cita-citaku itu jadi wong cilik, yang artinya aku ga bisa jadi Pahlawan Nasional. Duh, sedihnya. Gitu kalik kira-kira.

Sudah habis energi. Sekian saja.