Friday, August 12, 2016

And I felt like shit. Seriously.

Eh, tahu-tahu sudah Agustus saja! (sambil ngelapin blog yang tampak usang karna lama tak terurus, sedang yang punya masih saja mengurus!)

Tentu masih berkisaran dengan kejauhan dari menulis tapi rindu untuk mendengar bunyi tuts-tuts keybooard. Aduhai, indahnya. Semacam sensasi saat membau bumi yang tersiram hujan.

Dan aku tak menyangka akan masih berada di rumah bahkan setelah sebulan lebih lebaran berlalu. Dan bahkan untuk sebuah deadline cukup penting pun tak aku gubris. Rumah ini terlalu nyaman untuk memulai aktivitas akademis, sedang Yogya terlalu dini untuk disambangi. Kulepas agenda akademis September depan, demi pengalaman mendekam di rumah. Mendekam pun masih mendapat pengalaman.

Pasalnya meski aku suka mengunci diri tak keluar-keluar dari rumah, aku juga sering dilanda kebosanan tragis karena tak menghasilkan apapun. Belum lagi rumah dengan tiga ponakan super aktif, seperti yang kubilang sebelumnya, bukanlah tempat yang pas untuk membaca ataupun menulis (bahkan untuk menggambar pun kurang pas). Jadi pun sekuat tenaga aku harus menikmati rumah. Yang. Cukup. Berantakan. Secara. Energi. Emosi.

Dan sebenarnya belajar juga. Bermasyarakat. Konon ini yang harus kulatih untuk proyek-proyek ke depan, karena pelatihan beberapa bulan lalu masih harus terus di-update dengan pengalaman-pengalaman lain. Kebetulan dua kawan kecil yang juga tetanggaku menyelenggarakan pesta pernikahan dalam waktu berdekatan (pls jangan tanya aku kapan). Kusempatkan untuk observing, juga berbincang dengan para tetangga. Yang bikin amazed adalah bagaimana tetangga-tetanggaku mempunyai geng sendiri-sendiri, dan bagaimana mulut mereka menggosipkan satu sama lain. Oh, God, this is so awful. Dan aku hanya harus mendengarkan, juga sedikit-sedikit memancing, meski untuk mempertahankan posisi netral alahmak susahnya minta ampun. Tak apa, demi belajar. Meski begitu, aku dapati banyak gagalnya. Utamanya dalam berposisi netral tadi, sehingga terkesan jadi punya muka dua, dan juga dalam ketergesaan saat bertanya seakan terlalu nafsu untuk memperoleh jawab. Ini bisa sangat fatal untuk kelangsungan power relation yang diusahakan harus seminimal mungkin. Bila aku tergesa menginginkan jawab, aku semacam menegaskan ke-sok-ingin-tahu-anku, dan cara bicara demikian bukan cara bicara masyarakat kebanyakan. Aku harus bersabar dan meniru cara mereka berbicara. Muter-muter pun tak apa. To the point tidak akan mengantarkanku lebih dekat dengan mereka. Simpan laku semacam itu untuk pola obrolan yang lain.

This was quite awesome. Dan satu PR-ku lagi. Aku harus belajar meminimalisir, lagi dan lagi, tipikal bertanya YES/NO question. Aku harus membedakan kebutuhanku untuk konfirmasi maksud obrolan, dengan kecenderunganku untuk menyetir obrolan ke arah tertentu. Yang pertama sih, memang sangat diperlukan. Tapi yang satunya adalah dosa besar. DOSA BESAR, JEK!

Yang seru lagi aku sempat sering pergi ke pasar, juga mengikuti gerak-gerik ibuku waktu pergi belanja. Melihat interaksi ibuku, juga orang lain kepada orang lain, adalah pelajaran tersendiri untuk dapat kutambahkan dalam kotak pengalaman. Bukan hanya tentang teknis mengobrol dan berinteraksi yang mengalir dan menyenangkan, tapi juga tentang makna yang dapat diambil dari interaksi tersebut. Dalam suatu waktu ketika menemani ibu pergi ke pasar besar yang agak jauh dari rumah, seorang pedagang akhirnya "memberanikan" diri bertanya apakah ibuku anak pak guru MI-nya dulu. Ceritanya pedagang ini sering mendapati ibuku belanja di tempatnya dan sedikit curiga karena muka ibuku familiar, namun selalu enggan bertanya. Pada suatu waktu tersebut akhirnya ia bertanya dan ibuku mengiyakan, hingga obrolan pun menjadi semakin hangat. That was really cool. I am so amazed that there are people that still remember my grandpa. Dan aku bilang ke ibuku setelah itu, "Ma, someone still recognizes your Dad even tho he died like what, almost 30 years ago? This is wonderful."

Kemarin pun saat membeli bahan-bahan untuk kakakku yang sedang keranjingan bikin roti dan kue, aku cukup banyak mengobrol dengan yang punya toko, yang dulu adalah murid ayahku. Obrolan semacam ini selalu dimulai dengan aku anak yang keberapa, sekarang di mana, dan saudaraku yang lain juga di mana. Lalu merembet ke pendidikan. Kujawab, "yang terakhir kemarin sosial", dan dia pun menyimpulkan aku s2 (tahu gitu tak usah pake frase "yang terakhir kemarin"). Dan karena di desa ini s2 masih langka, apalagi tahu aku adalah anak ibuku, yang cukup "terkenal" di sini (selain guru, ibuku adalah ibu "aktivis", lol, tipikal ibu-ibu ga bisa diem), pemilik toko segera saja berkomentar, "wah, kalo anak-anaknya ibu emang pinter-pinter ya, sudah keturunannya orang pinter. Bapak Mbak juga pinter. Dari Mbahnya Mbak juga guru. Pinter-pinter."

Hahaha. Geli banget aku mendengarnya. Dan aku ga suka mendengar yang begituan. Aku pun menjelaskan, "tidak Mbak, ini bukan masalah keturunan. Ini semua karena ibu dan bapak saya yang terus menyemangati anaknya untuk belajar dan sekolah. Ayahnya ibu saya juga begitu, selalu menyemangati ibu saya untuk belajar. Jadi alhamdulillah saya punya ibu yang selalu menyemangati saya belajar. Nanti Mbak juga bisa kayak ibu saya, tidak berhenti menyemangati putri Mbak untuk belajar terus. Yang penting maju terus. Siapa pun bisa jadi (yang disebut) pinter." Setelah bayar, aku pun pergi dengan berpamitan yang hangat. Setelah saling berucap terima kasih, ia kembali mengucap terima kasih. Entah untuk apa. And I felt like shit. Seriously.