Monday, September 28, 2015

Tanpa Klimaks


Since no one's reading this blog, except me, I would like to create some nonsenses, including what I had created. Or, whatever (ini maksudnya sambungan kemarin yang janji mau nulis tiap hari dalam tujuh hari berturut-turut tapi bullshit doang).

Mata sangat berat sekali kubuka, ketika kusadari sudah jam lima pagi. Subuh telah lewat sekitar empat puluh lima menit lebih, bersamaan dengan alarm ponsel yang tiada digagas. Konon kereta paling pagi menuju kota sebelah berangkat persis setengah enam, dan jadwal berikutnya terlalu siang untuk acaraku. Aku setengah mati gelagapan (atau lebih tepatnya disebut setengah hidup gelagapan, karena baru bangun).

Ini semua gara-gara adrenalin keparat semalam. Aku tahu hari ini hari spesial dan hari yang cukup istimewa. Energi penuh dibutuhkan untuk hari seperti itu. Tapi semakin spesial sebuah hari, semakin muncrat-muncratlah cairan darah itu ke otak. Pikiran jadi melayang ke mana-mana, dan rencana tidur awal pun berakhir pada guling-guling tak karuan di atas kasur. Denyut nyata kurasa di dahi sebelah kiri. Detaknya pun dapat kudengar.. 'ctak', 'ctak', 'ctak', begitu kira-kira yang ditangkap telingaku. Gelisah membara di atas kasur, meski akhirnya aku tertidur.

Dan tepatnya berakhir pada bangun yang sungguh entahlah apalagi.

Kereta yang persis setengah enam, dengan Lempuyangan yang dalam angan. Aku hanya punya maksimal dua puluh menit untuk mandi, sholat subuh, ganti baju, dan dandan. Oh, sungguh mustahal.

Mandi secepat kilat. Sholat secepat kilat. Berbajuan dan dandan tidak secepat itu, dan beruntung aku telah menyiapkan segala yang akan kubawa sebelum tidur (yang gagal) semalam. Hingga aku menuju Lempuyangan tujuh menit sebelum keberangkatan kereta. Jelas mustahal.

Kupacu Si Red dengan sedemikian rupa. Lampu merah selokan Jakal, aku langgar. Melaju terus hingga lampu merah Mirota Mampus, juga aku langgar. Lanjut hingga pertigaan McD yang belok kiri jalan terus, dan lalu beruntung mendapat hijau di perempatan Gramedia, meski sebenarnya jika merah pun aku tetap akan jalan terus. Terus dan terus mencapai 80km/jam. Kecepatan berkurang ketika setengah Kridosono aku putari hingga berbelok menuju arah Lempuyangan, dan aku pun terhenti. Dan seakan ingin menangis ketika plang kereta itu menahanku. Bukan karena plangnya, juga bukan karena ufuk timur yang sungguh indah menerpa rel-rel (meski ini juga tetap membuat haru), tapi karena apa yang membuat plang itu turun. Di balik papan itu, pun melintas sebuah kereta. Sebuah kereta yang rencananya akan aku naiki untuk mencapai kota sebelah sebelum jam delapan. Ia lewat begitu saja di depan mataku, dan aku hanya diam tak berkutik melihatnya angkuh melenggang menuju timur tanpa ampun. Begini ternyata rasanya. Begini ternyata rasanya kalah dalam balapan melawan sepur. Sungguh mustahal.

Tapi sepur itu juga menuju Lempuyangan! Masih ada harapan! Segera setelah plang itu terbuka, Red segera kugas. Hanya ada dua motor lain bersamaku melewati dua baris rel itu; aku serta Red yang paling terlihat kelabakan. Hingga akhirnya sampai di parkiran Lempuyangan. Kereta itu masih di dalam. Aku tak berani lihat jam. Oh, entahlah. Parkiran dan loket karcis cukup jauh jaraknya. Oh, entahlah. Aku segera minta karcis parkir dan segera lari dan lari dan lari menuju loket itu. Pun aku tak berani menengok ke arah si kuda besi. Hingga kusadari aku masih bisa membeli tiketnya, lari lagi, lalu naik, dan kurasakan pintu otomatis itu menutup di belakangku, tepat sesaat setelah aku melompat ke dalamnya. Peluit pun berbunyi, dan ia bergerak. Kudapati sebuah tempat duduk kosong, dan beberapa mata yang memandang ke arahku. Nafasku terengah-engah dengan jantung yang berdetak-detak. Aku bersyukur penuh untuk keberhasilan misi mustahal ini. Bahkan semenit saja aku lambat berlari, entahlah apa yang akan terjadi.

*

Sekitar pukul tujuh aku sudah sampai Solo. Acara istemewa hari ini memang diselenggarakan di sebuah hotel di kota ini. Dari depan Stasiun Purwosari - dari kejauhan -, dapat kulihat julangan sebuah atap dengan nama hotel yang dimaksud. Hurufnya berwarna emas berlatar atap warna krem. Tidak begitu jauh, meski tidak sedekat itu. Kata Google Maps sekitar lima belas menit berjalan kaki. Dalam perjalanan berjalan kaki itu, aku dapati warung makan kecil yang sudah buka. Kulihat ada menu Pecel Tumpang. Oh, sungguh pun sudah lama aku tak menikmati hidangan tempe agak bau itu. Segera saja aku masuk dan sarapan. Acara masih jam delapan. Aku bisa santai menikmati apapun yang terjadi. Betapa berkebalikan dengan kejadian dua jam sebelumnya. Hidup kadang memang menggelikan.

Tak ada yang luar biasa dalam sisa berjalanku setelah kenyang sarapan. Kudapati hotel itu. Kudapati pula beberapa spanduk di halamannya, menginformasikan acara apa saja yang hari ini berlangsung di dalamnya. Ada seminar internasional, ada juga acara yang akan kuhadiri. Jam delapan masih banyak menit lagi. Aku putuskan duduk di lobi hotel setelah bertanya arah ke ruangan yang akan kutuju. Tentu ini adalah kebiasaanku: menikmati nuansa sebuah ruangan baru, dan apapun kejadian yang ada di sana.

Lobi pagi yang cukup sibuk. Ada banyak panitia dengan seragam batik tidak konvensional berlalu-lalang. Panitia seminar internasional itu. Kucoba mengidentifikasi orang-orang "sejenisku". Ada beberapa. Dan beberapa itu segera pergi menghilang. Segera ke ruangan yang juga tujuanku, kurasa. Beberapa menit kemudian aku putuskan pergi mencari ruangan itu.

*

Masih sangat sepi, dan hanya beberapa orang saja yang sudah hadir. Meski begitu aku tersenyum melihat banner dan backdrop acara ini. Hihihi, geli sendiri deh. Aku mengambil tempat duduk baris kedua dan berbincang dengan beberapa orang yang telah hadir.

*

Setengah sembilan. Ruangan sudah mulai agak terisi, namun acara belum juga dimulai.

*

Pukul sembilan. Panitia memberi info pengisi lokakarya masih dalam perjalanan. Kami harus bersabar, sebentar lagi.

*

Lalu ia hadir. Kami bertepuk tangan. Meriah sekali. Sumringah sekali. Casual sekali. Bercahaya sekali. Oh, entahlah, Mamak Dewi Lestari ini. Dan entah mengapa aku berharap hari ini ia akan bernyanyi untuk kami semua. Aura bintangnya tak akan pernah pudar. Dan begitulah ceritanya, aku berjumpa Mba Dee lagi, di Dee's Coaching Clinic.

TITIK

#

Dan ga penting banget ya ceritanya segitu doang. Hahaha. Karena males melanjutkan pola cerita kaya di atas, jadi ganti mode ya! Wkwk, baru ini deh.. :p

Seru banget Dee's Coaching Clinic-nya. Mba Dee ngajarin kami-kami apa yang terjadi dalam kepenulisannya, kebanyakan secara teknis. Doi nyuruh kami bertanya apa pun, dan semua pertanyaan akan dijawab. Cuma sayangnya emang waktunya dibatesin. "Cuma" hampir tiga jam sih, tapi aku tahu Mba Dee sebenernya mau lama-lama banget berbagi dengan kami, hanya... ya you know lah, yang memfasilitasi agak gituuu deeeh.. Hahaha. Dan anyway, doi langsung lepas sandal dan mengisi seluruh acara kliniknya dengan cekeran. So down to earth. Aduh, bintang banget deh orang satu ini...

Beberapa ilmu penting dalam kepenulisan fiksi dibagi oleh Mba Dee. Ada penokohan, alur, apa apa apa (lupa maksudnya), dan teknik menulis cerita panjang biar ga kehabisan nafas. Udah banyak yang buat post tentang workshop menulis ini, dan ada yang dengan keren dan sophisticated merangkumnya, jadi bisa di-google sendiri. Aku hanya akan mengulas yang aku suka, soalnya itu agak mind-blowing buatku, soalnya aku cupu banget dalam nulis fiksi. Mwahahah (nangis ini).

Jadi aku baru sadar kenapa beberapa cerpen yang kutulis ngebosenin dan FAIL. Pertama karena aku ga ngerti tiga bagian penting dari cerita fiksi: babak satu yang disebut pengenalan masalah atau macam ya itulah (ga jelas), babak dua yang semacam berisi konflik-konflik, dan babak tiga yang isinya resolusi dan klimaks. Babak satu itu tidak boleh lebih dari 30 persen dari keseluruhan cerita. Babak dua porsinya banyak banget, yaitu sisa setelah dikurangin oleh porsi babak satu dan ketiga. Babak tiganya sendiri juga tidak lebih dari 30 persen cerita, tapi lebih baik diusahakan 10-20% aja. Klimaks yang membuat pembaca ter-waoh-waoh itu sungguh lebih waoh daripada yang "oh, yeah, oke.." doang.. (whatever).

Bahkan seringnya ceritaku tanpa klimaks. TRUS NGAPAIN NULIS FIKSI KALO TANPA KLIMAKS. FAIL.

Tentang penokohan juga. Menurut Dee, tokoh utama harus spesial. Oh, yeah, for sure. Meski aku tak begitu setuju kalo tokoh utama itu harus agak sempurna, karena begitulah karakter-karakter Mba Dee. Dan terkuaklah mengapa Diva, Alfa, Bodhi, Ferre, Zarah, dan agak pengecualian untuk Etra, seakan sesempurna itu (bahkan yang Perahu Kertas juga). Ini semua karena rumus karakter utama Dee adalah... (jeng jeng!!!).... adalah.... (drumroll)... adalah.... 90% baik, dan 10% tidak baik. Jadi ga ada kasus orang biasa-biasa aja buat jadi karakter utama Dee. Aku agak ga setuju, karena aku senang Murakami, yang bisa bikin spesial seorang karakter biasa-biasa saja, dengan cerita-cerita yang keren. Like everybody can be the one in the story. Dan apa sih yang lebih menyenangkan daripada dunia yang sangat egaliter? (tiba-tiba pindah ke Kajian Budaya :p)

Dan fiksiku masih oke lah tentang karakter ini. Maksudku it does matter, tentu. Tapi Murakami bisa membuktikan, bahkan orang biasa pun bisa jadi spesial di sebuah cerita, tanpa harus diembel-embelin kemampuan yang tidak dimiliki banyak orang. Kurasa penulis fiksi hanya harus jatuh cinta sangat pada tokoh utamanya, hingga dia bisa mencitrakannya dengan penuh gairah (bukan berarti yang diembel-embelin sifat oke bangets itu ga benar lo). Tapi yang jadi masalah banget di kisah yang kubikin adalah.... karakter yang pasif. Ini bikin bosan banget. Ini FAIL banget. MAKANYA KLO PUNYA KARAKTER ITU YANG AKTIF, JANGAN YANG SUKA NGGERUNDEL AJA. Perpindahan tubuh sebuah karakter itu penting! BANGET!! *noted banget*

Serta untuk nulis panjang. Aduh mak, boro-boro. Udah habis nafas ambo di tengah jalan. Bahkan baru di awal aja udah habis. Bahkan buat di cerpen aja udah habis. Bahkan buat tulisan ala di atas aja udah habis. Mana pula nulis panjang, "impian di tengah peluh" sudah. Dee bilang, kita harus bikin milestone. Macem "pulau-pulau kecil di sebuah kolam" (atau batu deh biar gampang bayanginnya). Misal ada sungai besar nih. Kalau kita pengen ke seberang dengan mudah dan lancar, maka misal di situ ada batu-batu yang mengantarkan kita ke seberang kan enak. Kita tinggal loncati satu per satu. Dan batu itu adalah semacam rencana atau logis cerita. Jadi semacam outline begitu. Kita habiskan satu-satu target batuan itu. Lama kelamaan akan jadi bukit. Jangan mencoba menulis langsung dalam skala besar, tapi menapaki satu per-satu batu-batu untuk akhirnya menyelesaikan keseluruhan cerita. Di batu-batu itu ada logis cerita, ada berapa halaman yang ditargetkan, dan semacamnya. Jadi penulis bakal tahu seberapa energi yang ia harus kerahkan untuk sebuah batu. Jadi penulis juga tahu dia ga bakal habisin energi sia-sia buat hanya sebuah batu. Tidak boleh berkutat hanya di sebuah titik, tapi harus maju untuk ke seberang. Dan begitulah.

Sebenernya agak ga beda juga ya dengan menulis ilmiah. Tentang tiga babak itu bisa dimaksudkan dengan perumusan masalah (pendahuluan), isi (analisis), lalu klimaks di sebelum kesimpulan dan kesimpulan sendiri (yang menjawab permasalahan penelitian). Juga bikin outline begitu sangat membantu dalam penulisan penelitian. Tentang karakter tokoh... yah, yang ini agak entahlah ya hubungannya apa dengan tulisan ilmiah... (mau nyambung-nyambungin males).

Jadi gitu, deh! Ketemu Mba Dee lagi, deh! Dan padahal udah Maret yang lalu, tapi gapapa, deh! Dan lagi yang terpenting ini sih. Aku dapat ilmu menulis fiksi, dari sang ahli. Semakin dekatlah aku dengan mimpi menulis fiksi yang baik. Tapi semakin dekat, aku semakin enggan.

WTF INI SINDROM APA!!!

*dan, lagi, ending tanpa klimaks yang maksa*