Monday, September 15, 2014

Pos 101


Selamat datang di Pos 101. Ini bukan pos 55, atau pun pos 102. Ini hanyalah pos 101. Apaan dah.

Dulu pernah ketika baru sampai di Yogyakarta (lagi) mau menempuh S2, semacam bawa barang banyak dari Malang, termasuk di antaranya membawa si Sepeda Hijau "Pogo", aku berpikir akan sangat indah bila mengarungi samudera Yogyakarta bersamanya. Tapi aku sadar aku tidak semuluk-muluk itu, karena bagiku bersepeda hanya akan memberikan kepuasan ketika yang kulihat di sekitar adalah pemandangan natural yang super alami, atau sebenarnya terserahlah apaan. Mungkin ini hanya cara buat diriku untuk menggambarkan langit yang kusuka. Aku tak tahu bagaimana melukiskannya, tapi bagiku yang natural itu selalu ada aksen angkasa menghiasi. Bilapun itu gedung tinggi-tinggi, selama aku berada di ketinggian tersebut, dan dapat melihat langit yang luas, aku memaknainya natural dan alami. Bila langit dipadukan dengan hijau pepohonan dan kemiringan jurang, sebut saja itu hal paling sempurna dan yang paling bikin air liur menetes. Pasalnya apalagi yang lebih membahagiakan daripada melihat angkasa di atas gunung?

Awalnya Si Pogo tentu difungsikan sebagai pengantarku ke sana ke mari utamanya ketika kuliah begitu. Hanya sebulan ia bertahan sebagai teman bermain ke perpus dan kampus. Red lalu menyusul dikirimkan ibuku ke Yogyakarta. Keberadaan Pogo akhirnya bergeser sebagai pemuas hobi: menikmati angkasa dan semilir Yogyakarta. Tentu seringnya hanya di angan-angan, karena terasa sangat main bersama teman-teman dan nongkrong di kamar lebih mengasyikkan. Gampangnya aku sebenarnya malas saja. Cita-cita bersepeda yang memberi kepuasan menjadi tanda tanya besar. Tapi sekali dua kali aku merasai nikmat itu. Memang belum dapat rutin menghancurkan partikel kemalasan, tapi sekalinya sudah dapat, rasa bahagia bersepeda menikmati angkasa membuncah memenuhi ubun-ubun.. (LEBAI WOEI!!!)

Sebenarnya angkasa apaan sih yang kumaksud? Habis gini lo, siapa sih yang ga berdebar-debar pas ngeliat merahnya senja, atau sempurnanya fajar? Jadi rencana sejak awal itu adalah mengejar fajar dan senja dengan si Pogo. Kenapa ga dengan si Red? Apalah ya enaknya menikmati alam dengan motor? Yang ada ntar di-tin-tin orang dari belakang soalnya motoran lambat banget.

Sebenarnya bersepeda sore jenak kulakukan ketika akhir-akhir S1 dulu, pas ngerjain skripsi juga (sekarang ceritanya lagi ngerjain tesis, ciye tesis). Sama juga misinya buat mengejar senja. Jadi ini semacam misi yang diperdalam lagi (apadaaahh). Rute sepeda senjaku dulu dan sekarang mirip. Dulu aku keluar jakal terus ke kentungan, menyusuri ring-road sampai ke Jalan Magelang, lurus ke selatan sampe Plaza Borobudur, belok kiri sampe bangjo, belok kiri sampe jembatan baru trus beli makan di Ngudi Rejeki sebelah teknik, baru pulang. Sekarang rute itu diperpanjang dari Plaza Borobudur belok kiri terus aja hingga kompleks UGM, lalu sampai Mirota aku lurus ke utara hingga Jakal lagi, kali ini langsung belok pulang ke Pogung tanpa beli makan. Sampai kos aku minum dan berbaring mendengarkan lagu kesukaan yang belum terputar, karena rute segitu ga sampai satu album kesayangan dapat penuh terputar. It takes only about 30 minutes.. Dari Kentungan ke Jalan Magelang itu yang waoh abis, soalnya aku semacam mengejar senja betulan karena arahku ke barat meski bukan untuk mencari kitab suci. Meski begitu, aku seringnya melewatkan saat-saat lebih amajing di sepanjang Jalan Magelang, ketika aku bersepeda ke arah selatan dan maghrib sedang menjelang. Tahu apa arti langit ketika maghrib menjelang? Merah yang menyala. Ya, sebelum aku sampai Plaza Borobudur, langit barat beratraksi dengan indahnya.... Dan ketika aku sedang memunggunginya menuju kompleks UGM, merahnya malah menjadi semakin jalang. Entah harus bersedih atau gimana ya, karena sekali-kali harus menengok ke belakang biar tak ketinggalan adegan super waoooohhhh itu. Tapi aku rasa tak usah bersedih lah, karena ini berarti penampakanku yang sedang bersepeda tengah dibayang-bayangi si mega merah. Nah, itu romantis sekali!!!

Maka ketika sampai aku di kosan, Maghrib sudah beberapa menit berlalu, istirahat sebentar dan mari sholat bila tak terlanjur kebablasan tidur.

Jadi ini sebenarnya ritual yang sejak S1 dulu sudah kulakukan. Tapi sebenarnya ada keinginan terpendam ketika aku baru sampai lagi di Yogyakarta dengan Pogoku. Si Fajar itu: gimana caranya agar aku dapat menikmati fajar. Akhirnya terumuskan saat itu juga, entah cita-cita atau cuma pepesan kosong: habis subuh bersepeda mencari fajar. Bila senja aku bersepeda ke barat, haruskah aku bersepeda ke timur untuk menikmati fajar?

Akan sangat merepotkan membayang harus menyeberang ring-road buat kembali ke kentungan. Tapi betewe, kenapa harus ring-road sih? Mudah saja jawabnya. Karena di situ aku dapat dengan gampang menikmati angkasa. Aku tak perlu begitu khawatir dengan mobil, dan yang harus kuperhatikan hanyalah motor yang kebut-kebutan, dan mungkin beberapa gundukan aspal sisa tambalan perbaikan jalan, mengingat Pogo belum dilengkapi sistem shock breaker yang canggih (?). Akhirnya waktu itu pun aku beride. Aku teringat dulu pernah KKN di daerah Godean, dan beberapa kali beramai-ramai dengan sohib-sohib itu melewati sebagian porsi ring-road barat. Di antara sebagian porsi tersebut, terdapat beberapa meternya yang berbentuk melayang seperti jembatan layang. Namun hanya sebagian kecil meter saja. Aku yang suka ketinggian diam-diam memendam keinginan untuk berhenti barang semenit dua menit empat menit hingga setengah jam juga oke di jembatan yang tak begitu layang tersebut, untuk menikmati pemandangan yang ada - angkasa yang ada, seperti halnya keinginan berhenti ketika melewati jembatan layang jembatan layang lainnya, entah itu di Janti, Lempuyangan, depan Panti Nirmala di Malang, ataupun yang di Ciputat. Pernah saat itu aku nyatakan keinginanku pada salah satu kawan KKN. Dia hanya tersenyum simpul - senyum yang berarti: I'm not ready for kiddo's wish. Brrrrrrrrrr. Mengingat kenangan ini, fajarku pun terumuskan: bersepeda ke ring-road "melayang" tersebut. Kemungkinan sepeda dapat berhenti di atas jembatan layang tentunya lebih besar ketimbang sepeda motor. POGO, AYO KITA CARI FAJAR KITA DI BARAT!!!!

Dan cita-cita itu baru terealisasikan setelah dua tahun berlalu sejak dicetuskannya ide tersebut di 2012. Betapa kamfreto. Tapi entah mengapa aku selalu suka Jeki yang begini... :) FEEL BLESSED GITU BISA MERAIH HAL YANG SEJAK DULU DIINGINKAN DAN YANG SEJAK DULU DIRENCANAKAN DAN YANG SEJAK DULU GAGAL GAGAL MULU MAU DILAKSANAKAN SOALNYA GA BISA BISA BANGUN PAGI (capslock jebol). Awalnya aku merutinkan sepedaan senja dulu, senyum-senyum liat si mentari mau tenggelem pas di Jalan Magelang, sok-sok bahagia diterpa sinarnya pas di bangjo monjali. Habis itu Jumat malam kemarin aku beranikan diri berprinsip bangun subuh-subuh. Gagal tentunya, dan menyumpah-nyumpahi diri sendiri saat siang harinya, sembari bertanya-tanya kenapa aku ketika sesaat dari bangun tidur berbeda sekali dengan aku ketika terjaga sepanjang hari. Seperti memiliki dua kepribadian. Waktu mata baru terbuka bilang: kalo jam segini takut masih gelap ntar liat hantu di tempat-tempat yang kiri-kanannya masih sawah (?), pas siang lalu bilang: WOEI NYESEL AKU GA JADI MENGEJAR (DIKEJAR?) FAJAR! KKENAPA TADI GA MAU BANGUN!!!

Akhirnya Minggu kemarin tahu-tahu aku mau bangun aja. Segera bersiap setelah Subuh. Hape sudah penuh baterainya, lagu sudah pula sedia untuk turut serta mengiringi perjalanan. Makan roti dua cuwil dan lalu minum barang seteguk dua teguk demi mendamaikan asam lambung. Aku berangkat dengan senyum mengembang. Dan rupanya langit selepas subuh itu tak begitu gelap. Lihat betapa aku sudah lupa akan kenyataan ini - betapa aku sudah lama tak bangun subuh, tak keluar sehabis subuh. Kehidupan mahasiswa sungguh melenakan. BAAAAAAAAHHH!!!

Keluar jakal aku ke kentungan, lalu belok kiri menuju Jalan Magelang tapi tidak untuk menyusurinya ke selatan, tapi aku lanjutkan ke barat, tetap di ring-road dengan mentari pagi sudah menyinari punggung. Agaknya memang terlambat, dan langit tampak agak mendung, tapi tak apalah. Jembatan itu menungguku. Kukayuh sepeda hingga sudah aku di penghujung ring-road utara, berbelok curam dan arah bersepedaku menjadi ke selatan - berarti aku sedang menyusuri ring-road barat. Kukayuh sepedaku tak begitu melelahkan karena rupanya daerah selatan lebih rendah dari utara, sebut saja bonus meski secara kasat mata ia tak tampak landai. Sepeda dan kayuhanku dapat membuktikannya. Jika tak percaya mungkin butuh dibuktikan sendiri (challenge accepted? :P). Ketika One Republic masih saja berdendang buatku, aku menyaksikan aspal ring-road yang mulai menerjal: tujuanku sudah di depan mata. Akhirnya energi berlebih aku keluarkan untuk mengayuh Pogo, mengingat jurang yang harus kutempuh. Tak sampai lima menit aku sudah di atasnya. Matahari masih tertutup awan, tapi kelebatannya sudah membuat semburat awan berwarna-warni sejak tadi. Jelas fajar utamanya (?) sudah lewat. Atraksi warnanya juga sudah kunikmati ketika menyusuri ring-road barat tadi. Tapi aku melihat timur di sisi kiriku, yang meski fajar paling awalnya sudah lewat, masih tampak sisa-sisanya menghiasi. Pemandangan renik yang tak begitu renik, tempat KKN-ku, dan...... damn aku baru ingat, di bawah jembatan layang ini ada........ rel kereta api. Aku lupa ini sebabnya ring-road barat dibikin melayang beberapa meter saja. Baru aku sadari ketika sampainya Pogo dan aku di sini. Aku tengok ke bawah lagi, dan mendapati dua rel itu lurus berdampingan, terlihat seakan bertemu di habisnya horizon di kejauhan, tapi bila diperhatikan lagi, mereka hanya sejajar selalu beriringan, selalu demikian tanpa pernah bisa bersatu (WOEI GA USAH GALAU LAGI WOEII!!!)

Lalu satu kenyataan yang benar-benar penting muncul: menengok ke angkasa utara agak ke sebelah timur dikit, aku dapati bentuk kerucut menyembul samar-samar di balik awan. Bila tak memperhatikan dengan detail, aku tak akan bisa tahu keberadaannya. PUNCAK MERAPI BOOOOKKK!!!! *nangis girang*. Badannya tak dapat kulihat, hanya puncak kerucut itu yang tampak. EMANG AGAK MENDUNG SIH, TAPI BERARTI DARI SINI BILA LANGIT SANGAT JERNIH, BISA DILIHAT MERAPI (DAN MUNGKIN MERBABU) YANG GAGAH GUMIGAHHHH!!! AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKK!!!!!!! Maka aku sekali lagi bercita-cita ke sini lagi pas langit jernih...... semacam CHALLENGE ACCEPTED! (entah kapan itu terlaksana). Penampakan itu seakan memang ditujukan buat kulihat, karena tak lebih dari dua menit setelahnya, ketika setelah beberapa saat pandangku berkeliaran melihat hal lain, mataku kembali menuju titik tersebut dan kudapati puncak merapi itu sudah musnah ditelan awan. Meski begitu hatiku masih buncah berbahagia, semacam: ei, ada yang ngasih kode, nih.. (?/PEDE DIKODE GUNUNG)

Setelah puas, kosan menjadi tujuan kedua. Tak begitu lelah, aku lanjutkan memutar One Republic (ini lagu kesukaan +Syahrina jugak lho!), mengayuh Pogo hingga ketemu bangjo, belok kiri lurussss teruus menuju timur (yang sayangnya aku tak dapat melihat langit dengan leluasa karena bangunan-bangunan rumah, dll.) dan merasai lambungku membuncah dahsyat, dan sesaat aku merasa tenggorokanku mulai bereaksi aneh agak mau batuk, muntah, apalah ga jelas, tapi akhirnya tahu-tahu saja aku sudah berada di kilometer nol dalam keadaan baik-baik saja alias lapar itu sudah lewat. Di sini aku menyadari betapa bangunan kantor pos itu indah, apalagi dengan gebyar matahari yang tahu-tahu nyembul sudah agak tinggi di porsi langit timur yang tak tertutup awan.

Perjalananku berlanjut ke timur ketemu taman pintar dan belok kiri ketika bertemu bangjo setelahnya, terus menyusuri Jalan Mataram hingga habis, dan aku merasa kelelahan sangat ketika harus melalui tanjakan menuju Kota Baru. Lapar memang sudah tak kurasa, tapi tubuhku sudah mulai lunglai. Hahaha, nekat ini namanya. Aku merasa jalanan itu yang paling berat sealama One Republic berdendang pagi ini. Gile ye. Tapi tetap lanjut hingga Padmanaba, belok kiri ke bangjo Gramedia, lurus ke gerbang kampus aka. bunderan UGM, belok kiri Mirota Mampus dan belok kanan menuju jakal. Saat di Mirota Mampus aku dengar lagu sudah berubah. Total lagu terputar sejak berangkat hingga akhirnya aku beli gudeg di seberang gang Ishiro adalah sealbum Native One Republic plus tiga lagu lainnya: John Legend All of Me, Say Something-nya A Great Big World feat. Christina Aguilera, dan The Fault In Our Stars-nya Ed Sheeran (WAAAAA!!!). Semacam satu setengah jam begitulah.

Fajar yang terlambat terkejar
Dua rel yang tak pernah bertemu (ciyaan deh)
Bangunan nol kilometer dan mentari yang yahut
Bubur gudeg enem-ribuan dengan rasa mantabjaya!
Rute dari gugel (ciyeh 21.8 km :p)

Tiba di kosan aku teringat bakso arema depan dokter YAP. Berniat mengeksekusi nanti ba'da Dzuhur, tapi akhirnya aku memutuskan bikin pelecing kangkung, mengingat ada ayam goreng Al-Maidah masih tergeletak nganggur di kamar. Mungkin aku akan ke sana setelah pos 101 berikut ini.

*Ending kacau ini dipersembahkan oleh tesis madesu!
*Eniwe, ini lututku kumat, OSTEOARTHRITIS, PRETTT!!!