Friday, June 01, 2012

Perempuan dalam Keranda Bening

Di dalam sebuah keranda, dapat kau lihat seonggok mayat, yang meringkuk kaku, kaku namun tak beku, juga tak mati. Dia seonggok mayat yang masih bernafas, namun kaku. Dia mati namun bernafas. Kerandanya bukan berupa sebuah kotak panjang dengan rangkaian besi seperti yang biasa masyarakat umum gunakan. Kerandanya berbentuk seperti telur, dan bening warnanya, sehingga dapat dilihat mayat hidup itu meringkuk di dalamnya, mengapung layaknya embrio. Meringkuk dengan kaki terlipat dengan tangan memegang erat keduanya. Kepalanya menunduk menyentuh lutut. Dia seorang mayat hidup perempuan rupanya. Dia mengapung dalam keranda bulat lonjong transparan, yang bahkan tak ada yang mengerti apa yang membuatnya dapat melayang stagnan sedemikian rupa – hanya gravitasi yang seakan berada di tengah, yang entah gravitasi apa.

Dia tidak bergerak, dan tak ada yang menyentuh keranda itu. Benda itu hanya berdiri tegak di sana dan dia dengan tenangnya terlihat seperti melayang diam meringkuk, tak pernah mengira betapa yang melihat pasti penuh tanya. Perempuan mati yang hidup itu tak juga bergerak. Tak juga bergerak. Hanya seperti tertahan gravitasi di tengah dan menjadi meringkuk kaku dibuatnya. Hanya seperti terjebak dalam etalase yang terkesan kian menghimpit. Menghimpit yang sakit. Menghimpit yang membuat hati menjerit. Perempuan mati namun hidup itu menjerit dalam sakit – walau matanya tetap tertutup dan wajahnya tanpa ekspresi, dan tubuhnya tanpa gerak. Dia diam, tapi segala yang lewat dapat melihat jeritannya. Jeritan yang menyayat.
Lalu lamat-lamat hadir genangan yang kian meninggi di dalam keranda itu. Suatu cairan ajeg mengalir dalam kecepatan yang lambat namun pasti. Cairan yang mulai membasahi dinding bening itu, yang juga mulai membasahi tubuh dan pakaian perempuan mati namun hidup yang sedang meringkuk di dalamnya. Kian basah, dan kian basah.
Perempuan mati yang hidup - hidup yang mati
Itulah perempuan yang tak diketahui identitasnya, yang duduk meringkuk dalam bola transparan berongga. Itulah perempuan yang bisa kita rasa hawa menyayat merobek hati hanya dengan berada di sekitarnya. Itulah perempuan hidup, namun mati, yang walau tak bergerak, yang walau matanya terus tertutup, genangan yang hadir kian membasahinya. Itulah perempuan hidup namun mati, dalam sebuah keranda yang kini hampir penuh oleh air mata yang tak ada yang tahu dari mana asalnya namun nyata menenggelamkan isi di dalamnya. Itulah perempuan dalam keranda yang hidup, yang tak terlihat menangis, namun jeritan hati menyayatnya menenggelamkannya dalam kematian. Itulah perempuan yang hidup namun mati, yang rapuh, yang satu sentuh berarti sebuah lapuk yang meluruh.