Thursday, August 08, 2013

Sepaket*

Pasti demikian, pasti kita di kehidupan sebelumnya merupakan makhluk tangguh dalam memperjuangkan kebaikan, berlaku atas nama kebaikan, sehingga kita lahir sempurna sebagai manusia, sehingga kita lahir di lingkungan yang kondisional, tertata apik dengan laku yang baik, kubangan rimbun tak berbau busuk tempat kita tumbuh. Pasti demikian. Pasti bukan yang lain. Pasti di kehidupan sebelumnya kita bukanlah tipikal makhluk yang menyakiti sesama, bukan yang kebiasaannya berpura-pura tak tahu atas berbagai keadaan. Ya, pastilah dahulu kita merupakan orang yang baik, yang mengerti baik dan buruk. Yang mengamati. Yang berusaha selalu merenung untuk satu jawaban puncak kebijakan. Pastilah demikian, karena kini kita dilahirkan sebagai manusia yang begitu beruntung. Berada dalam kubangan terhormat, sehingga setelah lahir saja kita tak dipandang sebelah mata. Sehingga setelah beradanya kita di dunia ini, mudah saja kita dapatkan beberapa keistimewaan, yang tentu di luar dugaan kita.
Tentang seperti apanya bentuk kita dahulu kala, juga sering berkelebat di benakku kini. Mungkinkah kita pernah terlahir dalam bentuk hewan, seperti Ti Pat Kai dalam kisah Sun Go Kong si Kera Sakti, menjadi seekor babi? Bisa jadi kita pernah terlahir sebagai seekor babi. Oh, babi yang tak pernah lucu kecuali yang pernah disulap oleh Walt Disney sebagai Piglet teman Winnie the Pooh itu. Pernakah kita meng-grok-grokkk protes di setiap menit kita karena perut kita yang tak pernah merasa kenyang karena demikianlah tabiat seekor babi?
Bisa jadi pernah kita menjadi babi itu. Namun kita pasti berbeda. Bila pun kita merupakan babi, pasti kita merupakan babi dengan distingsi**, yang membedakan dengan babi kebanyakan. Logis bila aku berkata seperti ini. Karna tak mungkin seekor babi biasa, yang tak pernah kenyang itu, bisa lahir kembali dalam keadaan seperti yang kita rasakan saat ini. Bila pun memang pernah dilahirkan sebagai  babi, kita pasti merupakan sosok babi yang pendiam, dan mengarti, dan berusaha berontak dari tataran umum kebabian. Kita pasti merupakan sosok babi yang berusaha sekuat tenaga tak mengesampingkan kesadaran kita, walau sebegitu melimpahnya makanan mengepung kita, dan sebegitu kruyuk-kruyuk-nya suara perut kita. Tapi entah mengapa yang kita usahakan sejak di awal itu lalu menjadi kebiasaan kita, sehingga kita dapati kehidupan seperti saat ini.
Namun mungkin skenario hidup a la babi itu terjadi beberapa kehidupan sebelum kehidupan yang ini. Lima kehidupan sebelumnya, empat atau mungkin enam. Bila pas sebelum kehidupan kita yang ini, pastilah kita merupakan babi yang sangat baik, dan sangat menjaga diri, sering menyimak dan akhirnya menubuhkan rahasia kehidupan itu, berhati tunduk dan penuh  syukur, serta sering menolong sesama, walau sebegitu berbedanya tabiat antar sesama itu. Kita pasti merupakan pemberontak sejati atas lingkungan kebabian. Ya, pasti demikian.
Bila pernah kita termuat menjadi babi, hidup kita sebelumnya lagi pasti mengerikan sekali. Menjadi seorang yang rakus nian mungkin, yang tak pernah berhenti memperkenyang diri, dan karenanya tak pernah dapat membedakan kenyang dan lapar itu sendiri, sebagaimana pun baiknya kita terlahir di awal kehidupan yang itu. 
Kini aku khawatir, hidup menjadi babi pasti tidak enak. Dan kini aku khawatir, bila kita mulai melenceng, dan meneruskan pemelencengan tersebut, kita akan kembali merasakan kehidupan menjadi babi yang pasti tak pernah mengenakkan karena hanya menunggu mati untuk disembelih yang lalu dijual dan berakhir di meja makan sebagai tongseng B2. Ah, hidup seperti itu sungguh menjemukan kurasa. Aku tak mau.
Dan seperti apa pun bentuk kita di semua kehidupan, kita pasti bertemu. Seakan di dunia ini setiap makhluk selalu dilahirkan dalam satu paket, seakan selalu seperti ikan dengan airnya, seakan aku tak akan dilahirkan tanpa keberadaanmu, dan demikian sebaliknya, walau entah siapa yang lebih tepat menjadi ikan, dan siapa yag lebih pantas menjadi air. Itu tak masalah, tapi kita selalu sepaket. Hati kita selalu tertambat. Inilah satu-satunya hal yang menjadi persamaan di setiap kehidupan-kehidupan itu. Kamu selalu sepaket denganku: aku selalu merupakan magnetmu, dan kamu selalu merupakan gravitasiku.
Sebenarnya aku tak begitu yakin jika aku menjadi babi, berarti pula kamu menjadi babi, lalu jika manusia, kamu pun manusia. Ketika aku mengandai kehidupan menjadi babi tadi, aku terlampau merasa kesulitan membayangkan satu paket yang tidak sama-sama berupa babi. Sebagaimana pun bentuknya, di kehidupan mana pun, kita selalu melengkapi satu sama lainnya. Karena kamu adalah separo yang lain yang menjadikanku ada. Karena aku adalah setengah sisanya yang membuatmu hadir.
Melihat bagaimana kehidupan yang sekarang ini berjalan, aku hampir mutlak yakin tantangan terbesar yang selalu kita hadapi untuk pertemuan dua kali setengah dari masing-masing kita adalah yang berbentuk rasa. Bila hal ini adalah tentang cinta, ah, pasti ujian terberat tentang dua cinta dari kita adalah tentang cinta juga. Cinta yang diuji oleh cinta***. Repot sekali memang menghadapi ujian seperti ini. Bagaimana bisa tidak melayani godaan cinta yang sama hebohnya, yang sama-sama membuat hati ini berdebar-debar hingga ingin meledak tak karuan karena badai hormonal di sekujur sudut-sudut tubuh kita? Cinta sejati memanglah merupakan yang tahan uji terhadap cinta seperti itu. Di segala kehidupan, aku tak pernah lupa magnetku, dan kamu selalu ingat gravitasimu.
Bagiku kisah kita bukanlah kisah picisan. Karena bagiku, kamulah alasan segala murni keresahan. Bisa jadi aku dan kamu sama-sama pernah terserang banjir bandang cinta yang sungguh dahsyat. Tapi sama-sama dari kita pun sadar, cinta yang seperti itu hanya dapat memorak-porandakan kedirian kita. Selayaknya banjir yang sudah-sudah, setelahnya ia surut, hanyalah puing yang dapat ia sisakan. Hatiku dan hatimu.. pastilah tak pernah menyomot filosofi banjir seperti itu saat mereka saling merasa. Karena sekali lagi, kita selalu dihadirkan sepaket: untuk menyatu dan saling melengkapi, bukan saling membinasakan.****

*Ini adalah kisah yang berkelebat di benak setelah membaca cerpen Seno Gumira Ajidarma "Cintaku Jauh di Komodo", dalam kumpulan cerpennya Linguae (2007)
**Tentu distingsi ini mengacu pada Bourdieu Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979)
***Beberapa kalimat dalam paragraf ini disadur langsung dari cerpen yang sama, dengan beberapa di antaranya mengalami perubahan, dan beberapa di antaranya tetap dipertahankan (lihat hal.13)
****The post I'd promised in the previous post is pended due to the tiring days! It's Ied Mubarok! And home is totally like a game center that it's hard for me to continue the "stoopid" project. So, keep waiting!! :p Yet, I apologize for all mistakes I've made, including some rude words, and "offensive" phrases I've created. And of course, for the mouth that has promised so much! :p