Sunday, November 15, 2015

Merasai Seni


Habis jalan-jalan dari BJ XIII (Biennale Jogja XIII) Seri Equator #3, Hacking Conflict: Indonesia Meets Nigeria. Pokoknya habis main rasa pengen ngeblog meluap-luap, jadi yuk, mari cerita!!

Ini memang seri BJ Equator ketiga, hingga ntar tahun 2022 di edisi..... (liat contekan) .... 6!!! Dulu pernah bikin artikel singkat tentang ini sih, tapi karena ga diblog-kan, jadi coba aku ceritain dengan cara yang cukup mengesankan (amin?). Ceritanya master-master Biennale Jogja (aku ga tahu siapa aja, bisa cek langsung ke webnya deh, kalau butuh infonya :p), di tahun 2010 (atau kira-kira sebelum itu), merumuskan sebuah tekad yang terinspirasi dari ala-ala kemandirian Konferensi Asia Afrika. Tahu kan, kalau Indonesia adalah salah satu pemrakarsa KAA, dan pasti juga sudah jamak di telinga bahwa KAA dulu benul-benul non-blok, maksudnya bener-bener ga mau ikutan perang geje ala diem-dieman (perang dingin ini maksudnya) antara NATO sama mbuh satunya siapa, Soviet (USSR), apa SALTO, apa PAKTAWARSAWA (aneh bet), terserah. Anggota KAA dulu kebanyakan adalah negara-negara berkembang, tentunya. Aku bilang tentunya soalnya ini menarik! Serius menarik! Soalnya negara-negara yang diem-dieman itu, adalah negara-negara (sok) besar gitu lo!, yang ideologinya udah kayak oke aja buat dibumikan di seantero planet. Makanya mereka perang, yang satu liberal-kapitalis, satunya sosialis-komunis. Lalu negara-negara non blok, jelas banget saat itu adalah kumpulan negara baru merdeka, dan yah, dulunya adalah jajahan negara-negara yang lagi pada diem-dieman tadi. Kan udah bener merdeka, ya apa mau dijajah lagi dengan ideologi-ideologi mereka? Soekarno dan "geng"-nya jelas ga mau. Lalu itu KAA kan muncul. Nah, kalau sekarang faktanya ideologi-ideologi yang dulu dicoba tidak-diberpihaki malah dijunjung tinggi-tinggi, bahkan melampaui junjungan tinggi Nabi Muhammad (?), ya itu entah aku mau nanya ke siapa. Apa KAA edisi terkini bisa jawab yang beginian?

Dari situ, semacam ada semangat kemandirian yang menginspirasi master-master BJ di tahun 2010. Aku juga ga tahu seberapa parah kesenjangan antara (bidang) seni ala-ala UTARA dan ala-ala negara di SEBELAH SELATANNYA. Yang aku tahu, bahkan hingga di sinetron-sinetron ala HBO, Star World, FOX, dkk., mereka masih bangga dengan sebutan utaranya dan bangga menyebut, bahkan kita yang di equator sebagai selatan (padahal kan TENGAH! PIYE JAL!). Utara adalah yang maju-maju, dan semakin ke selatan semakin mengenaskan. Betapa kasihannya OZ ya, hahaha. Dan gap ini, yang sepertinya coba dilawan oleh BJ Equator, lalu (akhirnya) dirumuskanlah Biennale Jogja seri Equator, di mana (seniman) Indonesia bertemu dengan (seniman) dari negara di sekitar Equator. Sebut saja edisi pertamanya di tahun 2011 adalah dengan India, #2 di 2013 dengan negara-negara Arab (yang dulu aku dan kawan Habitus dan Ainun ikut Parallel Event-nya), #3 sekarang dengan Nigeria, besok di 2017 dengan negara Amerika Latin (yang ini kayaknya perluasan, soalnya dulu ga ikut KAA), 2019 dengan negara Laut Pasifik dan Oz (bakal disebut Biennale Bahari Laut - juga perluasan nih), dan terakhir di 2021, dengan negara ASEAN. TEPUK TANGAN.

O ya, kalau bingung kenapa dua tahunan, yaaaa namanyaaaa jugaaaa BIennale. Gitu.

Biennale edisi ketiga ini, aku rasa suka!! Entah apa karena aku sudah mulai bisa "nikmatin" seni, atau karena sudah mulai mengendap-endapkan ilmu-ilmu itu jadi ga kejet-kejet lagi, atau entah "cuma" karena tadi jalannya sama Apple +Syahrina yang bukan model-model temen-temen yang: "ahhh, mau foto sama iniii, mau foto sama ituuu, sama yang itu jugaa, ini jugaaa...". Bleh. Dan udah gitu santai banget sama Apple tadi, ga yang harus tergesa-gesa. Ya udah berhenti saja menikmati semuanya. Lama tak apo. Trus rasanya jadi seneng karena lumayan, paling ga udah mencoba memahami otak seniman-seniman itu. It's indeed superb awesome!!!

Jadi beruntunglah hari Sabtu tadi hujan belum turun, mi Sendowo kesukaan Apple (akhirnya) buka, masuk Jogja National Museum (JNM) nemu stan kopi WIKIKOPI +Dityo (yang gratisannya uenak banget, SERIUS BESOK MAU BELI POKOKKE: enteng di badan, dan perut ga protes-protes banget), lalu cukup hahahihi di JNM soksok ngertiin artworks, dan lanjut ke BAKMI KADIN buat nonton satu seniman BJ XIII yang karya seninya dipamerin di sana! DI BAKMI KADIN JEDHUER GA TU!!!

ALAI BET.

Mohon maaf kalau ceritanya agak lalalala. Pun sudah biasa :p. Baca publikasi BJ XIII, apa iya beneran nama ruang pamernya "BAKMI KADIN". Ternyata ga ngibul. Dan karena dua dari kami memang sering agak ga penuh orangnya, kecuali kalau lagi niat pengen penuh (?), jadi kita agak-agak ga inget BAKMI KADIN ITU SERIUSAN TEMPAT MAKAN APA BUKAN. Ini antara serius ketidaktahuan atau semata kebodohan mutlak, meski sampai di kalimat ini aku rasa opsi terakhir akan lebih cocok. Jadi sehabis beneran menikmati JNM, sekalian Apple agak-agak nostalgila soalnya sebelahan doang sama SMA-nya yang cukup lama (dari jam 3 sore sampai 7 lebih!!! Ngeri tok!!!), dan jadi tahu suasana BJ XIII saat malam dan siangnya (makin malam makin meriah padahal cuma sampai jam 8 doang, wkwk), kami pun meluncur ke si bakmi itu, yang ternyata berdasarkan Google Maps adalah beneran tempat makan, lengkap dengan bajigurnya. Jigur, ora mung guyonan.

Black Market Museum, itu judul sesi BJ XIII yang di Bakmi Kadin. Dan ingatlah aku pernah ditraktir temen di situ (biasanya nongol orangnya di blog sini, tapi mungkin karena manten baru - suiiitt suiiiittt -, pasti lagi sibuk, HAHAHAHA). Dulu tak begitu nyamnyam sih makannya, soalnya belum suka bakmi jowo. Rencananya sehabis nonton Black Market Museum, mari lanjut mam malem di sana.

Posisi pamerannya rupanya pake bangunan di sebelah Bakmi Kadin, tapi meski sebelah, bangunan ini membelakangi bagian belakang Bakmi Kadin. Mudahnya bayangannya begini saja: Bakmi Kadin warungnya hadap ke timur, terus buntutnya kan di sebelah barat. Bangunan untuk Black Market Museum BJ XIII hadap ke utara, dan buntutnya yang sebelah selatan gandeng dan tembus sama bagian barat/buntut Bakmi Kadin. Jadi bisa masuk dari warung untuk ke pameran, dan bisa dari pameran terus mak plung masuk ke warung untuk isi perut beli bakmi.

Tapi kami memilih masuk dari depan ruang pamer. Dan plis, jangan membayangkan ruang pamerannya sesteril yang di JNM, atau yang keren cling cling penuh cahaya romantis dan biasanya menggugah rasa ingin selfi bersama. Sejak dari luar, rasanya agak buangan banget ruangannya, semacam serius beginian ruang pamernya?

Semakin masuk........................ semakin muram. Dari spoiler di ruang pamer utama di JNM, kami sebelumnya tahu Black Market Museum isinya tentang beraneka ragam eksekusi dari sampah, barang temuan, dan semacamnya. Tapi pas masuk beneran......................... udah entahlah. Pas masuk, selain disambut mba yang jaga pameran, name tag-nya bertuliskan 'SARAH', kami juga disambut aneka warna warni cairan dalam plastik bening yang digantung. Tapi meski gitu penerangannya ga bikin yang digantung-gantung itu jadi ceria. Lalu dari bungkus kue ringan/marshmelo/semacamnya, dikumpul, ditaruh di kiri-kanan. Apaan, aku dikepung trash.

Masuk ruang dua, penerangan lebih oke. Tapi rasanya makin muram. Di dinding-dinding, ditempel sisa-sisa kulit kambing yang tak terpakai (jangan tanya badannya ke mana). Dan kalau itu yang jadi wallpaper, rasanya eneg BRO. Lalu dijelaskanlah sama si Mba Sarah, Black Market Museum ini permintaan dari seniman Nigeria. Temanya ternyata serius buangan, enggres-nya: abandoned things. Si seniman, (bentar cek dulu namanya.....) Olanrewaju Tejuoso, ingin juga dipamerkan dalam abandoned place. Jadinya memang sebenarnya bangunannya sangatsangatsangat bukanlah galeri ruang pamer yang clean, steril yahud aduhai begitu! Rupanya itu adalah bangunan terbengkalai, dulunya rumah, dan yang punya adalah, yang punya BAKMI KADIN! Terjawab kenapa agak semriwing deh!

Tapi tunggu dulu. Aku pikir hanya karena aku sedang dikepung sampah, hal-hal yang di sehari-hari kusia-siakan, kunilai tak pantas, dan hanya karena sedang berada di dalam sampah - rumah lawas yang tak ditempati dan kalau hujan lampu harus dimatikan karena bocor di mana-mana. Kupikir karena itu sajalah aku merasa entahlah perasaan apa pokoknya rasanya macam ga enak yang diaduk-aduk. Terasing, mencekam, terancam, menggelisahkan, tapi bukan menakutkan yang hantu-hantu begitu. Rasanya lebih parah. Juga diperparah dari sisa-sisa bocor hujan yang mengenai karya seninya, dan basah lembabnya membuat bau yang aneh mulai mengepung. Belum lagi aroma masakan Bakmi Kadin yang menyusup dari pintu belakang, tapi tidak juga berarti membuat suasana jadi mendingan. Saat menulis ini pun asam lambungku agak bergejolak, agak mengingat perasaan tadi. Hiiiiiih banget pokoknya. Bukan jijik, tapi hanya benar-benar ingin segera meninggalkan ruangan. Tapi harus lanjut.

Setelah di ruangan dinding kulit kambing, kami belok ke kanan. Ada beberapa karya 3D entahlah, dan beberapa tulisan-tulisan entahlah, karya seni lain yang entahlah juga, serta terlihat di pojokan ruangan atapnya sudah ambruk, dan bolong, dan bayangkan saja bila hujan. Sarah mengatakan hingga ruangan ini, karya-karya adalah juga dibuat oleh abandoned people kecuali yang plastik-plastik isi cairan warna-warni yang digantung di depan. Dan orang "buangan" itu adalah narapidana narkoba yang tergabung dalam Prison Arts Program. Saat dijelaskan aku pikir "ok, that's awesome, abandoned things, abandoned building, abandoned people". Dan rasa-rasa itu semakin bikin tidak nyaman. Lalu baru ketika masuk di ruang berikutnya, JRENG, feel-nya benar-benar berubah. Isinya masih benda-benda dari sampah, baju-baju tak terpakai, dan semacamnya. Tapi yang ini mood-nya tidak mencekam. Sarah bilang karya-karya di ruangan ini semuanya dikerjakan si seniman empunya ide, si Mas Tejuoso tadi (baru liat foto orangnya, keliatannya si masih masmas :p). Bahkan meski ruang pamernya bukan tergalerikan ala-ala di JNM, dan masih di abandoned building, aku merasa melihat karyanya seperti juga terasa dalam ruang yang clean dan cukup steril. Ada juga foto-foto hasil residensi dia di Yogya terkait masalah buangan ini. Dan main room ini, terinspirasikan dari The Last Supper, berisikan meja kursi konferensi ala G12 sedang makan malam terakhir. Ada bendera-bendera negara-negara itu di atas meja, dan baju-baju usang menduduki tiap kursinya. Ruangan ini semacam memulihkan rasa tercekam tadi. Dan bahkan karya dari tangan berbeda pun memberikan rasa yang berbeda. Bayangkan betapa banyak emosi dituangkan dalam karya seni buatan narapidana, dan kami merasakannya emosi itu lo, yang diterjemahkan dalam beberapa rasa ga enak, terasing, eneg, huekhueklalalala, dan kenegatifan lainnya, padahal karya seninya ga bernada-nada muram. Tak hanya benda, tempat, dan orang yang buangan. Emosi terbuang pun kami dapat merasa. Huhuhu, ini semacam kembali pada definisi awal seni, yaitu yang dapat menyentuh rasamu. Tujuan seni adalah empati yang diwujudkan oleh estetika.

Kalimat terakhir di atas mungkin sok tahu, tapi dulu pernah baca tentang art koook! Kalau agak kepleset karena lagi ga penuh gini (kapan penuhnya sih?), maaf yaa!! :D

Jadi kami lalu keluar dari ruangan yang isinya asli karya mas Tejuoso, trus masih harus  lewat ruangan dengan feel ga enak itu sekali lagi, untuk bisa meraih pintu belakang, masuk ke Bakmi Kadin!!! Dan Bakmi Kadin emang jos! +Ayudhanti pasti kesengsem sama kaldu yahutnya!!

Anyway, yang cukup mengesankan di ruang pamer utama di Jogja National Museum, adalah karya Anggun Priambodo, semacam instalasi terbuat dari tangga-tangga bambu, setinggi pohon beringin kebanyakan, lalu nanti di puncaknya semacam ada atap yang memiliki ruang tingginya tak sampai sebadan. Ruangan atap itu gelap, tapi ada video sedang diputar. Aku naik instalasi itu, dan melihat video di ketinggian. Tapi ruangannya gelap, dan secara ukuran bukan ruangan biasanya, secara bahan juga cuma papan kayu tebal disangga tangga-tangga bambu yang menjulang. Ngeri luar binasa. Lalu turunlah aku, daripada nunggu tak bisa turun, bahaya sodara! Coba yang ini aku bagi gambarnya dari halaman BJ XIII:

Anggun Priambodo, "Voice of Equator", photo: Biennale Jogja XIII

HORE HARI INI AKU SUKSES MERASAI SENI!!!

Voice of Apple(s), photo: Apple