Monday, November 14, 2016

(Kini) Lidah pun Merasa

Sudah Yogya! Welcome baaaaack!!

Siang hari, start motor. Berkeliaran di jalanan. Hey, this is how 'normal' life's like!! Kembali pada daerah 'kekuasaan' memang menyenangkan sekali. Kau tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk merasa diterima. You are them already. Sungguh mudah menjadi 'diri sendiri', bahkan hanya dalam hitungan tik tok tik... (nggak tahu ini apaan). You got the point (Lol, dasar, pemalas).

Kopi. Pernah dikenalkan kopi yang minumnya diolah langsung di tempat sejak dari biji. Rasa enteng di badan. Sungguh beda dengan kopi instan. Pernah berjanji untuk memberi hadiah diri sendiri seperangkat alat ngopi manual bernama eropress (excuse the typo - I meant it!). Tapi karena beberapa pertimbangan, mostly karena menjauhi kehidupan yang terlampau kurang 'masuk akal' - apology for the diction), akuh berakhirh dih V60h pelastikh!! Meski, ada nyesel dikit karena ga beli yang tembikar (porselen maksudnya). 

I'll tell you y.

Setelah isi bensin pakai pertalite maunya dualimaribu tapi sama mba-nya dibilang duadua udah penuh, aku akhirnya memutuskan ingin Spaghetti Ramen di Nikou (this was so tough decision as I, like other picky persons, didn't 'make' many options). Yang tentu jam segitu sudah habis. Ditawari ramen standar pun ogah. Ga sadar diri apa sudah hampir 24 jam belum makan. Dan sobet aka. ZOTO BETAWI porsi kecil di dekat Nikou itu menolong perutku, as I prepared it for my coffee shot.

I'll tell you right away.

Namanya Wikikopi. Aku butuh biji kopi untuk v-sixty. Aku pernah bahas jumpa pertamaku dengan proses bikin kopi yang yahut ini pas tak sengaja ketemu +Dityo  , di Biennale Jogja cobak!!!! Wikikopi itu tempat eksperimennya Dityo banget, dan kawan-kawan dia tentunya. Aku di Jakarta, jingkat-jingkat ga karuan ketika tahu ada pasar tradisional diisi macam-macam punya kaum muda - sebut saja Pasar Santahahah, as if they immerse that well. Sempat ngecek sendiri. Biasa aja; buat ukuran orang bukan urban sepertiku. I was daydreaming that the space would be so so so grounded - grounded in my definition. Nah. Still too much power gap. Tapi jingkat-jingkatku di awal mengingatkan banyak hal. Bilik Literasi dan Wikikopi.

I'll skip the first. I'll continue with the last.

Wikikopi lah ya. Di Pasar Kranggan. Banyak residensinya yang yaaaa kaum muda. Yaaaa kultur Yogya tahu sendiri. Ah, too much bias! I'm not gonna compare it with Pasar Santa. Jadi aku cek langsung ke TKP, karena sebelumnya cuma nengok 'gerobak'-nya di Biennale. Mau beli kopi, eh, jadi incip-incip banyaaaaaakkkk bangeeeeeetttttttt.

Pertama mereka (lebih si Dityo sih kayanya) sedang eksperimen pita bread pake ((( KOMBUCHA ))) - lol, I never imagined I'd see this fermented tea again this fast, dengan pilihan dipping sauce: their brewed coffee, passion fruit jam, passion fruit jam+kombucha, passion fruit. A bit bitter. Sour. SO Sour. SO Sour. Sour. Obrolan tentang (( KOMBUCHA )). I had my first green tea one. One week old, I suppose. Ah, mereka harus gunakan gula agar si bakteri aktif. Jadi ada manisnya. Ngobrol lagi sambil nyemilin si pita. Mereka seduhkan Robusta. Di suhu kurang dari 80 karena dia ROBUSTA. Yang membawa semerbak memori seduhan kopi di kampung. Dityo bilang ada bau kacang dan coklat pekat. Terima kasih untuk definisi. Aku bisa membaui ada aroma kacang, dan tentu, ada memori bau jagung terbawa, sebab waktu aku kecil aku sering menyaksikan (dengan mata dan hidung) tetangga-tetanggaku mencampur kopi gilingan mereka dengan jagung giling. Saat kuicip, aku hanya bilang dia asam, meski pahit aku tak begitu merasa. Rasa ini yang kuminum juga di Jakarta. Anak-anak residen ikut icip. Mereka bilang sama sekali tak ada asam. Oh, lidah brewer dan lidah newbie.

Hints itu juga Dityo rasa: kacang, lalu coklat pekat, lalu jagung. Satu residen lain bilang merasai jagung. Aku tetap. Pada asam. Lol. I tried to explain how my tounge tasted the acid. 'Area pinggir lidahku merasakannya. Itu asam.', which is actually that's how the tounge works - pinggir untuk asin dan asam. Percuma. Lidah kami terlampau berbeda, kupikir.

To put it into perspective.

Tak ada jalan lain. Mereka buatkan seporsi Arabica. Yang terkenal sebagai biangnya asam. Java Merapi dicampur satu lagi lupa. Aku minum. Dan mengertilah aku mengapa Robusta tadi buat mereka tak ada asam-asamnya sama sekali. Berbincang lagi. Lalu (( KOMBUCHA )) black tea, umur seminggu dengan scoby 'malas-malasan' - agak strong sparkle-nya. Semacam fasilitator Wikikopi datang. Bawa Arabica lain. Dibikin espresso. Pertama espresso asam. Kedua espresso pahit. Ketiga, aduh aku sampai lupa yang kuicip yang ketiga apa yang kedua. Yang pasti segala yang pekat bikin Robusta bukan espresso berasa seperti air saja. Oh, relativitas!!!

Dityo bikin adonan Pita lagi. Kini pakai (( KOMBUCHA )) kulit kopi. Took a sipp. THIS ONE WAS THE BEST KOMBUCHAAAAAAAA AAAAAA AAAAA. Enak, sungguh!!!!

Satu residen lain bikin kopi. Arabika. Her technique her preference. Cicip lagi. Lidahku sudah begitu teraduk-aduk. Tak lagi bisa 'objektif' (kayak pernah bisa). Jadi aku tak bisa rasa ada daya kejut. Bincang lagi. Satu residen lain lagi bicang tentang hint fruity. I really had no idea. Langsung aku diambilkan selembar materi residensi mereka tentang rasa-rasa yang dapat muncul. Dari rasa 'kayu' hingga tomat. YA AMPUN, INI KOPI MISTERIUS BANGET BISA MACAM-MACAM RASANYA!!! PASTI SCORPION YAKK??!! 

BAHAHAHAH

Kembali ke topik. Aku minta bungkuskan 100gr buat sangu ke Malang: Arabika pengalaman pertamaku, medium roasted Java Haluuuuuu. Lol. Satu residen bikin cold drip. Damn, yummy!!!! (tapi ga bisa definisikan hints-nya :p got no 'kelas basic sensory', I suppose). Masuk kulkas. Satu residen lain lagi nyeduh lagi dari si Haluuuuu. Pakai V60. Mungkin dia dengar obrolan tentang fruity fruity itu. Lalu dia bikin, dan entah gimana caranya aroma buah-buahan tiba-tiba merajalela waktu tuang air panas pertama. YA AMPUN MAGIC BANGETTTTT. Aku bisa bau agak anggur/berry/manis/asam. Aku tak sabar icip. Tapi waktu tuang air panas kedua, AROMANYA ILANG! Pas diicip tak ada rasa buah sama sekali. Aroma juga tak ada. YAAAAAAAAHHHHH. Itu konon karena dia pakai filter kawat (?) - terlalu banyak 'ventilasi' (maafkan diksi). Kata dia yang dapat menahan aroma sampai di gelas/cup adalah eropres sama si porselen. Alahmak. Besok semoga bisa ada keajaiban sama si plastik yak - sama aku juga bisa ga munculin aroma beriberi itu.

So?

Aku dapat 100 gram-ku, sekalian juga perut yang mulai meronta-ronta karena kafein-kafein sayang itu tak punya 'korban' untuk dibakar. Hungry over the rainbow.

Aku bahagia, lho!

Trus aku berdoa:
Ya Tuhan, maafkanlah diriku karena telah menulis dengan tak mencoba menaati kaidah-kaidah tulis yang biasanya aku anut...

..............................jika pun pernah.

Wednesday, November 09, 2016

Oh, She's Back??!!

Jadi pun aku berjalan lagi. Benar-benar di atas sendal jepit hitam, sedang beban hampir menuju 15 kilo. Kumaki diriku karena telah tak acuh pada kata hati agar memakai sandal gunung saja sejak awal. Aku tak mengira aku akan berjalan begitu jauh lagi dengan ransel menjulang, dan menjadi begitu membumi seperti ini. Ini tanah bukan tanah kelahiranku, tapi aku merasa aku harus sedemikian menyatu dengannya. Seakan ada kehendak luar yang menarik-narikku untuk melakukannya. Seolah berkata, "Ayo, Jek, bergabung dengan kami. Kami juga ingin bermain denganmu!"

Kulepas segala risau. Terik yang membuncah pun semakin membulatkan tekad. Mari berjalan, sendal jepit hitam, ransel hitam, dan, tentu saja, kulit yang menghitam!

Sunyi. Terlalu sunyi. Ini siang yang terlalu sepi. Rumah terakhir sudah sepuluh menit berlalu, dan jalan aspal seadanya ini masih membawa misteri ke mana akan membawaku. Kiri kanan hanya landaian diselingi bambu, pepohonan, dan ladang semata. Di depan kulihat jalan mulai menganjur ke atas. Kurasakan sandal jepit hitamku mulai meliuk. Oh, semoga dia kuat. Dan, semoga lutut kananku tidak bercericit manja.

Keringat bergulir di tengah terik yang sunyi. Faktanya memang aku sedang berada di antah berantah, tapi aku merasa begitu di rumah. Seperti bertemu dengan keakraban kawan lama. Ada hentakan girang kurasakan berpendar di sekitar diriku. Mereka sedang gembira rupanya. Dan aku, meski begitu deras kurasa keringat itu mengucur, tak bisa tidak untuk terus tersenyum. Kuinjak dedaunan kering, di mana suaranya begitu syahdu di hati. Kusesap hembusan angin yang membelai dengan gemulainya. Dan kini terik pun telah menyatu, sebagai cahaya ia menyuguhkan komposisi warna yang sungguh damai. Aku merasai harmoni.

Suara mesin dari belakang mendekat. Sebuah mobil putih dengan dekorasi interior merah meriah. Musiknya pun meriah. Tiga laki-laki di dalamnya. Tak bisa menolak. Aku diwajibkan menumpang hingga kampung di depan. Bukit itu tak jadi kudaki.

Tak banyak rumah di situ. Sebuah senyum tulus menyambutku. Energi feminin. Kami berbincang barang lima belas hingga dua puluh menit. Aku memutuskan ingin kembali berjalan dan berjalan, mumpung terik belum usai. Empat puluh lima menit berikutnya, setelah beberapa kali beristirahat, aku melewati kampung yang sibuk. Aku merasai mata-mata yang mendaratkan pandangan penuh tanya dan curiga padaku, dan pada saat bersamaan, mencoba tak acuh. Aku bersyukur karena laku demikian memungkinkanku untuk tak acuh juga kepada mereka. Aku tak ingin berhenti dulu. Aku masih ingin berjalan. Aku masih harus menghemat energi. Maka mataku pun tak mencoba memancing obrolan. Hanya wajah yang meramah kepada pandang yang dibuang. Begitulah. Aku pun lanjut melangkah.

Begitu bermakna. Dan kutemukan lagi sisi diriku yang belum begitu kukenal. Selama beberapa saat bersamanya, muncul ia yang selama ini tak pernah kuhiraukan. Di suatu jalan sepi manusia namun penuh oleh hiruk-pikuk komposisi alam: liukan bukit dan pohon di kejauhan, sawah yang telah dipanen padinya, lambaian nyiur hijau, lembut semilir angin, dan matahari yang mulai menguning - dengan keadaan yang hampir kelelahan sangat; aku merasa terbelah menjadi dua. Ada aku yang ingin pergi ke arah sana, dan ada satu lagi diriku yang ingin kembali ke jalan utama, untuk masuk ke jalan lain yang telah terlewati namun belum kutelusuri. Beribu pertimbangan muncul di benak. Aku putuskan maju ke depan. Lima langkah, aku berubah keputusan, lalu berbalik. Lima langkah lagi, aku mengubah lagi keputusan - berbalik, dan menuju arah yang kutuju sejak awal. Lima langkah lagi, balik badan lagi, lima langkah lagi, balik badan lagi, dan seterusnya... Pikirku penuh oleh abcdefghijklmnoprstuvwxyz. Aku mondar-mandir tak karuan.

Aku menertawakan diriku. Tak pernah kusangka, rupanya jauh di dalam sana ia seperti ini. Ada diri yang selalu bimbang dengan pertimbangan-pertimbangan sok logisnya, yang selama ini selalu kubungkam dalam-dalam. Di satu sisi aku tertawa, di sisi lain aku takjub bukan main. Ini kali pertama diri luarku kalah, dan yang selama ini terbungkam pun menyeruak keluar. Aku sadar betul sekian lama ini aku hidup dengan pola berhati-hati, di mana keseharian selalu penuh oleh rencana, plot dan plot, perhitungan dan pertimbangan, dan semacamnya dan semacamnya. Namun aku tak pernah mendaulat diriku sebagai pembimbang. Sungguh tak pernah. Cangkang luarku selalu strategis dalam berkeputusan praktis. Hanya memang, untuk perihal pemahaman yang lebih dalam, aku selalu berkeputusan untuk berada dalam ranah abu-abu. Sebisa mungkin tidak pernah hitam putih.

Dan bagaimana rasanya jika diri abu-abu itu yang berkuasa, ketika situasi sedang membutuhkan pertimbangan praktis si diri strategis? Maka aku hanya bisa mondar-mandir ke sana ke mari selama sekitar sepuluh menit. Ya, sepuluh menit. Aku membayangkan betapa kawan-kawan di sebelah sana akan tertawa tanpa henti jika melihatku seperti ini. Pikirku di awal, aku akan mengikuti ke mana langkah membawaku. Tapi otakku terlalu keras kepala untuk diambil alih oleh kaki. Dan begitu sebenarnya adanya: aku tak akan pernah mengizinkan kakiku melangkah tanpa otak. Keras kepala kan, kubilang.

Letih mondar-mandir, aku pun ingat. Biasanya posisi yang sungguh abu-abu ini berarti mau ke mana pun aku bulat tekad, akan sama saja hasilnya. Meski masih bimbang dalam posisi dua pilihan yang sungguh setimbang, aku mulai melangkah ke depan lagi. Ke tujuan awal. Dua puluh meter kemudian aku berhenti (lagi). Kali ini tidak berbalik badan. Aku duduk, minum seteguk air, dan bernafas dalam-dalam. Aku putuskan menunggu-mengharap motor lewat, lalu menumpang untuk kembali ke jalan utama. Aku bahagia cangkang luarku telah kembali.

Berjalan yang harfiah. Sendiri yang harfiah. Menelusuri tanah antah berantah. Tak pernah aku mengira. Berjalan sendiri menelusuri bumi di luar tubuhku. Akan mengantarku. Kembali pada. Diriku sendiri.

Dan diri itu. Masih pun begitu misteri.

I might travel the outer world, but it's within I'm aiming at.

Perhaps.