Monday, August 19, 2019

Roti Isi Kesengsaraan Kehidupan


"Roti ini membuatku resah", kataku kepada Alex.

"Kau ambil roti isi apa?", jawabnya sambil mengambil kursi dan duduk di depanku.

"Isi kesengsaraan kehidupan".

"Ah, pantas. Sudah habis rupanya roti yang kau bawa dari kota Jingga?"

Ah, kota Jingga. Kapan aku bisa ke sana lagi?

"Aku hanya bawa dua kotak. Sudah ludes dalam seminggu. Kau sendiri ikut makan kan?", jawabku diplomatis.

"Ya, betul. Nyaman sekali makan itu. Tapi lebih dari dua minggu pun dia tak akan banyak artinya di kota kita ini. Jadi makanlah isi kesengsaraan kehidupan yang kau punya, sebelum kau tak bisa makan lagi.."

"Ya, kupikir itu yang paling bijak yang bisa kulakukan sekarang. Kau sendiri memilih isi apa?"

"Aku tadi ambil sambil tutup mata, meski sebenarnya sudah hafal letaknya sih. Yang warna merah ini. Roti isi omelan tetangga."

"Rasa kacang merah yang gagal ya.."

"Kita tidak bisa banyak protes di jaman seperti ini. Masih ada kacang merah sampai sini saja itu sudah keajaiban."

"Kau benar sekali.."

Kukunyah sampai habis roti yang kupunya sambil menatap udara gelap di luar, lalu kubuka termosku berisi kopi. Aku masih suka membawa kopi sendiri dari rumah, daripada beli bisa tiga kali lipat harganya, dan belum tentu seenak bikinanku sendiri.

"Eh, kopimu kok wangi banget baunya, seperti bukan biasanya. Bagi dikit dong..", kata Alex menyodorkan gelasnya.

Aku menuangkan sepertiga gelas. Dia coba satu sesapan. Matanya berbinar. Reaksi yang sudah kuduga.

"Yak yak. Aku tahu, aku tahu. Enak banget kan?", kataku.

"Beda banget dari kopi yang biasa kau bawa. Ini rasanya lebih intens, dan.. hmm... waktu itu kau bawa yang seperti ini dari kota Jingga kan? Tapi kau bilang sudah habis?"

"Hehe.."

"Tidak mungkin masih ada. Biji kopi akan tidak enak kalau sudah terlalu lama."

"Yaa, gitu lah.."

Sebentar terlihat dia berpikir.

"Ahhhh... tak usahlah kau sok misterius begitu sama aku! Hahaha. Coba sebentar... Kau bilang hatimu resah, padahal roti ini ya begitu-begitu saja, sudah biasa jadi makanan kita sehari-hari. Ini pasti bukan karena roti. Ini pasti karena kopi!"

Aku tersenyum ketahuan.

"Oke fix. Senyum kecut dan muka merah. Khas banget."

"Hahaha, sial."

"Jadi, masih cewe yang sama?"

Aku menjawab dengan senyum datar..

"Masih kontakan?"

"Maksudnya?"

"Sms, voice notes, ho-call, apapun yang pakai kotak di kantong kau itu.."

"Oh, hehe..", jawabku ketawa kecil.

"Hehe, apa? Ya ampun jangan bilang lagi-lagi seperti yang waktu itu!"

Oops, matanya mulai melotot. Kena deh.

"Kau ngga berubah ya. Kok tega gitu masih minum kopi dari dia, tapi bahkan semenit aja buat balesin smsnya kau ngga sanggup. Hati kau dingin kayak es."

"Aku suka kok sama dia, cuma ga bisa aja. Kau tahu sendiri kerjaan di sini beratnya macam apa. Liat di luar sana. Buram. Ngga ada lagi waktu buat begituan.."

"Kau aneh. Kau selalu gembar-gembor tentang keadilan. Adil ke alam. Adil ke sesama manusia, mau rasnya apa, perempuan atau laki. Tapi lihat sekarang. Ada satu cewek bikin hati kau resah dan kau menyalahkan roti isi."

"Kalimat terakhirmu nggak nyambung. Tapi aku ngerti kok maksudmu apa", senyumku datar lagi sambil melihat jauh ke luar jendela, tepat saat kudengar bunyi keras sirine tanda waktu makan siang sudah berakhir.

Aku menoleh lagi ke arah Alex. Dia sudah menghilang.