Wednesday, August 29, 2012

Perahu Kertas


Novel yang sudah cukup lama kumiliki. 3 tahun lamanya. My first impression was... well, so so. But I meant to change it. So about a week ago, I started rereading it. I started to dig all the messages that I didn't get 3 years ago. Walaupun sebenarnya background yang mendasari adalah karna novel ini akhirnya difilmkan. Mendengar berita tentang pemfilmannya beberapa bulan lalu, sontak diri sedikit (banyak) shock. What's?!? Apaan novel beginian difilmkan? Lalu update-update di Twitter pun menggema, yang tak begitu dengan takjub kuikuti, tidak - sampai account penulis, penerbit, dan filmnya sendiri memasang avatar (foto profil di Twitter) yang sama. Pertanyaannya menjadi lain sejak saat itu. Apa yang salah dengan diriku sehingga mainstream kebanyakan orang yang menyukai Perahu Kertas tak dapat menyentuku? Maka keputusan membaca kembali - sekaligus persiapan sebelum nonton (daripada dihina habis-habisan karna katanya ngefans banget sama Dee, namun tak mengerti betul cerita Perhu Kertas) - kuambil. Tak hanya karya Dee yang ini bahkan. Aku juga bertekad membaca kembali semua seri Supernova (sudah untuk KPBJ). Tak berhubungan dengan film Perahu Kertas mungkin. Namun ini berkaitan erat dengan diriku saat ini, di mana buku lebih banyak mendominasi keinginanku. Aku ingin memaknai kembali semua hal (dalam buku) dengan pola pikirku saat ini (yang mulai mencoba bergelut dan menjadi kekasih buku).

Perahu Kertas pun telah kubabat habis dalam waktu yang dalam kamusku "super cepat" - 14 jam untuk novel 400an halaman dengan font, yang lagi dalam kamusku: menyebalkan. Biografi singkat Rumi pun harus kutunda kuselesaikan, padahal buku berdimensi 'kecil' itu, dengan jumlah halaman yang juga "kecil", seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu semalam saja (bila dihitung secara linier). Supernova Partikel, cerita si 'kecil' Zarah pun (entah mengapa Zarah selalu kuanggap kecil, bukan karna sinonim dari partikel, mungkin karna sisi kehilangan ayahnya), berhasil kuselesaikan dalam waktu 4 hari (dengan ejekan frontal dari seseorang tentunya). 14 jam ini hampir menyaingi lamanya pembacaan atas 'Akar'-ku. 12 jam kuhabiskan kala itu. 6 sore hingga menuju 6 pagi bersama Bodhi yang kucinta. Ah, senang sekali aku dapat membaca secepat ini lagi (mengingat Eat, Pray, Love yang kuselesaikan dalam watu setahun - masyaAllah!).

Lalu alhamdulillah, aku dapat menangkap makna - walau belum mendialektika. Makna yang tak kudapat ketika pertama kali aku membacanya. Bila pertama membaca aku sinisnya minta ampun, kali ini aku, dengan hati terbuka (dan benak terbuka tentunya) mulai membacanya. Apa itu maksud 'hati terbuka'? Confession: ketika novel ini baru terbit (2009), aku sedang dalam penantian panjang akan seri terbaru Supernova. Aku sedang sakau dalam candu tertahanku akan Bodhi, yang hanya sedikit saja disentil-sentil di Supernova 'Petir' yang rilisnya sudah bertahun-tahuuun yang lalu (2004 - dan baru kubaca 2007an). Kupikir aku akan mendapatkannya dalam Perahu Kertas. Paling tidak nafas 'penuh pikir'nya. Agaknya harap terlalu tingi ini harus terhempaskan (pastinya). Salah berharap gitu deh. Namun tak hanya itu. Rupanya aku belum mengenal Mbak Dee (lagaknya sekarang udah). Aku hanya menginterpretasikan Dee dengan Supernovanya. Padahal karyanya yang lain masih banyak yang saat itu (saat pertama kali membaca PK) belum kusentuh. Sebut saja Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2008), dan karya di luar literaturnya: lirik lagu yang ia cipta (dan nyanyi)kan. Aku sebagai pembaca sungguh sangat egois. Menghakimi dengan sepihak, tanpa mau memberikan sedikit 'ruang kosong' untuk 'kemungkinan lain'. Pada akhirnya, pembacaan di akhir tahun 2009 itu pun tak memberi 'makna' selain, ah well.. 'kisah picisan' saja.

Kesinisan ini akhirnya mau tak mau harus kuhempaskan. Aku berkata 'mau tak mau' karna aku saat ini mulai memasukkan 'buku' ke dalam daftar 'kata inspiratif'ku. Karnanya aku mulai berprinsip 'ruang kosong', agar dapat menadah segala makna. Kemampuan ini secara otomatis menggiringku untuk memiliki kesadaran akan betapa menyedihkannya diriku (dahulu); lalu mulai "membalas dendam": harus membaca ulang semua!, harus memakna yang baru dengan kesimpulan yang baru. Sebenarnya ini sudah menjadi kebiasaanku. Secara periodik aku akan mengulang membaca; karna kemampuan memakna diriku secara periodik juga berubah - seiring dengan pengetahuanku yang bertambah dan pasti ada serpih makna yang hilang ketika membaca: karna faktor ngantuk di tengah membaca, dll., sehingga tak semua makna yang penulis coba sampaikan dapat kuraih. Dengan demikian membaca ulang akan berdampak pada pengumpulan serpih-serpih yang dalam pembacaan sebelumnya luput tertangkap. Katakalah rekor membaca ulangku tertahan pada "The Alchemist"nya Coelho. 5 kali, dengan makna dan semangat baru yang selalu dapat kutangkap.

Bolehlah dibilang bila saat ini aku sudah mulai bijak dan menerima, bahwa Mbak Dee tak hanya berarti Supernova, apalagi hanya berarti 'Bodhi' (pengakuan lain: aku dulu terlalu maksa bahwa Bodhi adalah tokoh terfavorit Dee - hanya karna aku sangat mengidolakannya). Sebagai yang menamakan dirinya 'pengagum' Dewi Lestari, aku mulai membaca Filosofi Kopi, membaca kembali Madre (2011), dan menyadari bahwa karya besar Supernova hadir karna serpih-serpih karya kecil, dan karya lainnya dalam kehidupan menulis Dee (kukatakan serpih karna Madre dan Filosofi Kopi merupakan kumpulan tulisan berisi puisi dan cerita yang terlalu panjang bila disebut sebagai cerpen dan terlalu pendek sebagai novel). Pemaknaan atas "small is beautiful"ku juga berlaku di sini, tentu. Karna, tak mungkin seorang Dee saat ini, hadir tanpa histori. Tak mungkin Dee yang kita tahu saat ini, hadir tanpa Perahu Kertas "hadir" sebagai karyanya.

Perahu Kertas

Ok, main point: makna. Novel yang mengikutsertakan mainan anak segala generasi tersebut ternyata sarat makna! Dan Tuhan, terima kasih saya telah membacanya kembali! Seperti yang dibilang Dewi dalam kisah penulisannya berjudul "Melajulah Perahu Kertasku...", Kugy dan Keenan, tokoh utama dalam novel ini, "berdiri di dua kutub berlawanan dan pada akhirnya harus bertemu di tengah segala kemustahilan". Titik beratnya berada pada kemustahilan tersebut. Dee menjabarkan kemustahilannya dalam beberapa kisah yang menggemaskan. Bagi kita orang yang berpikiran praktis, memang sungguh mustahil bila akhirnya Keenan dan Kugy dapat bersatu, kecuali tentu, Dee yang memegang kunci. Dia membukakan jalan bagi keduanya untuk bersama (dalam cinta dan cita). Sekali lagi hati menjadi kata kunci utama. Menjadi nafas dalam karya satu ini.

Uniknya, dua tokoh utama yang telah sadar akan kata hati mereka masing-masing, tak serta-merta menurutinya. Hati mereka seolah berlogika lain (paradoks: hati kok berlogika?). Sementara mereka sangat ingin bersatu, dan sudah saling tahu demikian adanya, sementara mereka tiada bisa bersatu dan memutuskan untuk memberi bagi yang lain - bagi dua malaikat terdekat dalam hidup mereka. Hati pun dipilih takdir. Dua malaikat melepas mereka: bila tak sepenuhnya, apa gunanya?

Seperti yang sudah-sudah mengenai cerita cinta - cerita cinta, aku pun merasa ada kemiripan kisah cinta dengan Kugy dan Keenan. Ah, semua orang pasti juga sering menyama-nyamakan kisahnya dengan kisah yang ia baca, atau yang ia tonton di film. Indikasinya pasti karena memang demikianlah kisah cinta: salah harap, penuh harap, terhempaskan. Namun mulai ke bagian tengah novel ini, kita mulai tak bisa menyama-nyamakan lagi. Dee berhasil membuang sensasi 'sama' tersebut. Karena begitu banyak kisah 'salah harap, penuh harap, dan terhempaskan' yang ia tuangkan dalam Perahu Kertas. Walhasil jika di awal kita berteriak "ah, Keenan ini aku banget!!", "ah, cerita mereka berdua ini cerita kami banget, sih!!!", maka kita akan bersiap kecewa ketika cerita mulai menunjukkan kisah cinta berikutnya. And we will realize, "Ok, this story is definitely NOT mine. At all.". Dee berhasil menekankan kepada pembaca bahwa "ini adalah kisah Kugy dan Keenan." (titik).

Derita cinta tentu saja membahana dalam novel ini. Kugy memilih lari, dan paling tidak aku lebih suka dengan kerakternya yang teguh menyimpan rasa untuk satu-satunya partner 'agen Neptunus'nya (walau akhirnya menyerah dengan memilih Remi). Sisi manusiawi seseorang sangat ditekankan oleh Dee di sini, di mana Kugy pun tak mungkin sebegitu kuatnya menahan harap yang kian buram, dan lebih memilih realitas yang tentu akan sangat menghiburnya. Keenan, well, mungkin karna alasan "laki-laki"nya, kurang bisa teguh untuk mempertahankan 'rasa'nya pada Kugy. Ia pun mudah untuk tidak bilang "tidak" pada perempuan yang menurutnya dapat mengambil hatinya - walau tak sepenuhnya. Keenan adalah sosok yang digambarkan terlampau bingung atas orientasi rasanya. Mungkin ini didasarkan pada alasan karena pria lebih logis daripada perempuan. Dee tak serta-merta menuliskan karakter yang sama atas Kugy dan Keenan. Perbedaan karakter ini, singkatnya karna didasarkan pada 'pria dan wanita'. Bukan sexist lho.. Pokoknya aku jadi ingat puisi Gie: "kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta." Beruntung, Kugy juga memiliki pacar, layaknya Keenan, ketika mereka akhirnya bertemu kembali. Paling tidak Kugy tak perlu sekali lagi mengalami hancur yang membulat rapat.

Namun itulah perjalanan cinta. Seperti pendapat yang sering terdengar ketika curhat: "Ih, kalau saja sudah sama orang lain, dia malah datang. Kemarin-kemarin ke manaaaaa???". Dan realitasnya kadang memaksa manusia untuk memilih yang tak sesuai dengan hatinya, dan lama-lama menjadi sosok pragmatis yang praktis. Bedebah ya? Hahaha. Yang bahagia tetap yang bersumber dari hati. Bila tidak bahagia, ya berarti bukan dari hati. So much easy in theory.

Lalu yang tidak kusadari ketika pertama kali aku membaca novel ini: Kehadiran Dee. Tepat kata bila aku memilih istilah "bodoh" untuk diriku yang itu. Jelas-jelas Dee itu hadir. Dia muncul seperti semua Dee yang ada di Supernova, yang ada di Filosofi Kopi, yang ada di Madre, yang ada di semua karyanya. Itu Dee! (dan ingin rasanya aku menampar diriku yang dulu). Narasinya begitu jelas menggambarkan dirinya. Dee tak pernah tak ada. Ia menjelma menggiring roh-roh muda naif cinta dalam kisah Perahu Kertasnya. Ketika Noni tak tahu tulisan siapa yang selalu dikutip Kugy dalam buku-buku dongengnya, Dee memberi tahu bahwa itu kutipan W. B. Yeats. Ketika Kugy berkata tentang dirinya yang akan meledak seperti petasan karna kegirangan, Dee memberi sinyal pada Luhde untuk merasa dan berkata serupa pada Keenan. Dee juga hadir, sangat jelas, pada kata-kata yang ditulis Kugy untuk Keenan di ucapan kado buku dongengnya. Itu Dee hadir dengan gamblang dan halusnya, namun diriku dulu lebih memilih mengesampingkannya - memilih menikmati ketidaknyamanan genre yang berbeda dengan Supernova. Ah, kelakuan kan..

Dan oke, jelas Dee selalu ingin menantang 'mainstream'; karna idealnya memang harus demikian. Kugy dengan segala karakternya menggambarkan statement tersebut. Keenan dengan segala kemandiriannya berani keluar dari rumah. Dan kisah cinta cita mereka berdua yang sungguh ideal. Cinta mereka disatukan. Mimpi mereka diwujudkan. Dee memaksa tokohnya untuk teguh dalam mendirikan mimpi. Untuk terus mengejar. Seperti kisah-kisah milik Coelho, Perahu Kertas juga berpesan tentang betapa pentingnya meraih mimpi.

Yang terpenting yang dulu dengan tololnya tak kutangkap: "menulis". Tidak hanya "cita-cita biasa" yang Kugy perjuangkan, tetapi cita-cita spesial! Sungguh spesial! Itu tentang mengabar makna!! Tentang bagaimana menulis dongeng begitu penting baginya. Nafas yang selalu meneranginya, selalu membuatnya bergairah dan selalu membuatnya meledak-ledak. Kugy membawa pesan bahwa menulis sangat penting baginya, dan sedikitnya itu menyentakkan lamunku selama ini. Aku memang tak begitu ngefans dengan tokoh ini (mungkin karna Maudy Ayunda, pemerannya yang secara nyata berbeda karakter dengan Kugy - bikin ilfil sumpah), namun aku akan berkiblat yang sama dengannya jika yang ia perjuangkan adalah sesuatu yang berbau menulis. Aku satu aliran dengannya dalam hal itu - bahkan, aku memujanya karenanya.

Bagian lain yang menyenangkan adalah spekulasi-spekulasi Kugy yang dituliskan Dee. Pasti ini yang kata temanku dibilang "beban ala `Freudian`". Apa pun itu, rasanya menyesakkan membaca beban-beban yang digambarkan Dee di sana. Menyesakkan, namun menyenangkan. Baca sendiri sajalah, biar mengerti. :P

Dan untuk film.. Ah, lebih baik tak usah lah novel-novel itu difilmkan. Menikmati film yang diadopsi dari sebuah novel itu susah dilakukan. Yang pertama karna pasti kita akan mencari-cari perbedaan antara novel dan film. Lalu kedua, setelah tahu perbedaannya, seringkali kita merasa kecewa oleh gambaran sutradara. Ketiga, setelah kecewa akhirnya berkomentar negatif. Benar-benar tak ada enjoyment-nya sama sekali. Kita juga menilainya sudah salah sih. Pertama, film itu kan cuma diadopsi, jadi hanya based on the novel aja, so don't ever hope that much - hanya benang merahnya yang sama. Don't ever hope for the detail story. No, don't. Yang kedua, kreatifitas bikin novel dan film itu beda, jadi standard penilaian yang kita pake harus berbeda pula, standard menikmati ceritanya pun harus berbeda. Ketiga, kita segera memulai penilaian sesaat setelah film dimulai. Kemudian selalu menilainya ketika adegan demi adegan berganti. Ya pastilah kita tak akan sanggup memberi komentar positif - kita saja dari awal sudah memutuskan untuk tidak menikmati. Diam dulu. Kosongkan pikiran. Dan nikmati ke(tidak)nikmatan yang tersaji. Pembandingannya ditunda dulu sampai film usai. Maka aku yakin, yang merasa diuntungkan adalah yang otaknya masih kosong: mereka yang belum baca novelnya. Ya, ya, ya..

Sudah lah, segini aja, tak mau aku jika harus membahas yang bikin kecewa-kecewa.. --> korban
Hahaha!!

Anyway, if you still enjoy reading, here I give you the next reading list. It's about the novel that was brought into a movie also - in terms of critiquing. Nice article from my beloved friend. It was published in Koran Tempo in "Ide" section in March this year. Enjoy! :)

Saturday, August 25, 2012

A Wreck Day


Aku sudah berada di Jogja lagi. Bukan tiba-tiba, namun karna sudah dijadwalkan. Tujuan berada di rumah juga tidak berarti pengerukan cinta (dari keluarga) untuk dijadikan sangu beberapa bulan ke depan (berapa ya?). Pulang karna memang untuk menghabiskan sisa Ramadhan dan kemudian ber-Iedul Fitri. Sisa akhir Ramadhanku, alhamdulillah not too bad, altough the life after Ramadhan was a bit a wreck.

One keyword: a wreck. Dan kebetulan kemarin lusa was also totally a wreck. Bila hari setelah Ramadhan aku merasa gersang di mana tak lagi kusentuh mushaf, di mana tak lagi kulakukan rentetan ritual panjang yang biasa kulakukan setelah Isya, atau sebelum Subuh (I feel that I've lost my Ramadhan and although I said I would keep the spirit of Ramadhan in my daily life, it wasn't that easy - aku pun jadi sedikit linglung karna dosis yang tiba-tiba kuhentikan), maka kemarin lusa adalah hari di mana aku merasa dikerjain habis-habisan. Habis-habisan dikerjain. Sama Tuhan.

Istilah kurang ajar, memang. Anggap saja ini adalah istilah salah yang telah kupakai dari sejak lama, sehingga bekas-bekasnya susah untuk dihilangkan. Seperti sakit di tangan yang tak kunjung hilang karna telah kita gunakan untuk mengayunkan tubuh yang berat. Istilah ini sudah hadir sejak lama, di mana seharian emosiku akan terpacu dengan rencana-rencana yang sudah disusun dengan sangat baik namun gagal dilaksanakan karna alasan yang tak dapat dihindari.

Akan lebih mudah bila aku segera bercerita. 23 Agustus, aku kembali ke Jogjakarta. Keberangkatan ini sudah kurencanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Katakanlah dua minggu sebelumnya. Sungguh awal, karna pagi di tanggal 24 harinya aku harus menghadiri acara akad nikah dua sahabatku yang akhirnya menjadi pasangan (yey! :D). Rencana sudah kususun serapih mungkin dengan menimbang faktor-faktor sehingga kemungkinan kegagalannya kecil. Aku dengan bangga menyebut diriku sebagai a thoughtful planner. Terkesan perfeksionis memang, namun tujuannya satu: I should be landed on Jogjakarta in a good condition.

Tiket bus sudah dibeli jauh-jauh hari, setiap hari kucek kebenaran tanggal keberangkatannya. Rencananya aku akan naik dari garasi bus, yang artinya aku harus berangkat lebih awal. Mengapa tak naik dari terminal seperti yang seharusnya penumpang lakukan? Karna aku sedang berstrategi. Aku butuh akses di Jogjakarta. Di benakku, aku harus menghidupkan kegiatan bersepeda, walau nantinya aku akan membawa Si Red (motor). Namun untuk mengisi kekosongan sebelum Si Red dikirimkan, aku memutuskan untuk segera membawa Pogo, nama sepeda ijoku. Karna aku pernah melihat bagasi bus malam Handoyo Malang-Yogyakarta besar, aku berspekulasi Pogo bisa masuk bagasi dan terangkut ke Jogja. Rencana B: bila tak bisa ya tak usah, akan dibawa pulang kembali oleh sepupuku.

Aku berangkat jam setengah 3 sore dari rumah. Dibantu seorang sepupu, akhirnya kami sampai di garasi jam 4. Kutemui yang bertanggung jawab, dan nyatanya sepedaku cukup masuk bagasi. Great!. Yang jadi masalah ternyata itu bukan busku. Aku mendapat tiket di bus no.2. Bapak yang bertanggung jawab bilang tak apa, nanti di terminal barangnya dipindah. Good. Aku pun bertemu kondektur bus 2, dan juga sopirnya yang bermuka masam. They didn't like my plan bringing Pogo in their baggage, but their boss said it was ok, so they must say ok - yet it was against their will. Apa pun itu, seberapa masam pun muka kalian, aku harus bekerja sama dengan kalian. Demi Pogoku. Kataku dalam hati. Lalu aku pun turut bersama Pogo pergi ke terminal dengan bus 5 - arah Semarang.

Sesampainya di terminal, kondektur bus 2 pun memindahkan Pogo ke bagasi busnya - aku memindahkan barang yang lain (one box full of books, one heavy backpack for hiking, and one big bag for cloth - pindahan jilid dua ini ceritanya). Maghrib menggema dan aku melaksanakan 3 + 4 rakaat seorang musafir (halah). Setelahnya, aku naik bus dan menempati tempat dudukku, dua terbelakang: no.37. Rasa damai mengguyur, karna akhirnya dapat duduk kembali. Checking tiket dilakukan. Lalu tiba-tiba ada kombinasi bapak anak menghampiriku. Bapaknya berkata "Mbak no. 37?". Jelas aku menjawab "Ya". "Saya juga, ini tiketnya", sembari menyodorkan tiket si bapak berkata. "Oh, mbaknya 37 juga ya?", secara inoccent anak perempuannya ikut menginterogasi. Merasa zona nyamanku (dan Pogo) mulai terserang, aku pun mencari bantuan. It must be mine. Pogo will never leave this bus, I said it to myself. Kulihat ada mbak yang mengabsen tiket. Segera kudatangi.

"Mbak, tabrakan nih tiketnya sama punya bapak ini", aku memulai usahaku mempertahankan kursi. "Oh, iya, mbaknya pindah ke bus 6", dengan santainya mbak tiket menjawab. Whats? Segampang itu dia bilang? Helllooooooooo!!! I got bunch of things! Usahaku sampe bus ini ndak mudaaahhh dan semudah itu kau bilang aku harus pindah bus??. Namun yang keluar dari mulutku: "Lho, mbak, aku udah dapet tiket ini seminggu yang lalu, kok bisa segampang itu dipindah?". Dia menjawab, "Udah, mbaknya sekarang ke loket aja". What the heck. Aku pun ke loket, 50 meter jauhnya dari bus. Berjalan. Dalam luapan emosi.

Kejadian di loket pun tak berdampak apa-apa. Tiketku diambil, ditutup dengan type-ex, nomor bus diganti dengan bus 6 nomor kursi 17. Gila. Protesku tak didengar. Dan salah satu mas crew ticketing `ngadem-ngademin` dengan mengatakan "Iya mbak, yang sabar ya, bapak tadi perjalanannya lebih jauh daripada Mbak, jadi tuker sama punya Mbak. Barang-barang Mbak dipindah ke bus 6 saja". Speechless, atau lebih tepatnya powerless, aku pun menurutinya. Bertemu dengan kondektur bermuka masam, dan mengatakan hal yang terjadi. "Ya, Mbaknya cari crew bus 6 buat mindahin sepedanya". What the heck. Aku gak tahu yang mana! Maka aku pun mencari-cari-cari-cari crew bus 6. Di tengah pencarianku, aku melihat plang Solo-Jogja di bus 6 yang muram. Bukan. Bukan. Ini bus salah. Aku harusnya naik bus arah Jogja-Magelang. Maka kembali aku ke loket. Ditindasnya sekali lagi tiketku dengan type-ex, sekarang jadi Bus 7 no. 7. Shit. JELEK!! Seenaknya gitu ya ngganti-ngganti. Aku udah pesen seminggu yang lalu WOEI!!.

Berjalan kembali ke bus 2. Kali ini sopir dan kondekturnya berkolaborasi menyerangku dengan muka masamnya (asem bener). Sopir dengan nada mengintimidasi berkata, "Mbak, ayo cepet, sepedanya ndang dipindah". "MasyaAllah Pak, saya lagi nyari crew bus 7 Pak", kalo aku bisa buka bagasi bus 7, udah kupindah sendiri kalik, Pak!, jawab emosiku secara lahir dan bathin. Bila diteruskan, yakin aku akan meledak di situ. Mataku sudah berkerut-kerut. Breath. Inhale. Exhale. Damn. Dan sang kondektur pun sudah mengeluarkan Pogoku di samping bus, lengkap dengan muka penuh kerutnya. Lalu malaikatku datang: Crew bus 7 dan mas ticketing yang tadi "ngadem-ngademin" di loket. Dibantunya aku memindahkan barang bawaan ke bagasi 7. Pogo termasuk salah satunya.

The next unintended plan appeared. Bus 7 ternyata merupakan additional bus. Busnya lama dan terlihat semuram bus 6, walaupun catnya terkesan modern. Bus lama ini berarti juga bagasi yang lebih kecil. Dibutuhkan 30 menit ekstra untuk memasukkan Pogo ke dalam bagasi. Itu pun dengan ekstra tenaga setelah dengan beberapa paksaan, dan beberapa emosi yang kami bertiga keluarkan. Salah satu pemaksaannya berupa 2 pedal yang dicopot, dan stang yang dikendorkan. I felt so glad that Pogo was in a safe place, eventually, after all sufferings that it had.

Aku mencoba berdamai dengan diriku. Crew bus 7 yang baik, yang menggantikan muramnya crew bus 2. Tak apa bila aku tertunda berangkat, karna jadwal bus tambahan yang sejam lebih lambat berangkat daripada bus normal. Harganya pun berbeda. Uangku dikembalikan 18 ribu. Ini jalan buatmu, Jek. Terimalah. Kataku dalam hati.

Namun keterlambatan jadwal berangkat ini meresahkanku. Paginya (yang artinya sehari sebelum hari ini), aku harus menghadiri akad nikah dua sahabatku. Tak bisa tidak. Aku khawatir aku akan terlambat sampai di Jogja dan gagal menghadiri acara tersebut. Kekhawatiran yang serta merta dijawab dengan fakta-fakta yang semakin menggelisahkan. Additional bus means additional crew. Must have been something wrong. Apa itu? Pertama, sopir bus 7 yang mengemudi di awal ternyata tak hapal jalur Malang-Jogja. Fatal. Kami hampir tersesat di kawasan Japanan. Untungnya ada sopir ke-dua yang mengetahui ketersesatan tersebut sehingga kami harus putar balik ke arah yang benar. Sejak itu, hatiku dirundung mendung - khawatir tersesat lagi. Aku mensinyalir supir ini diada-adakan. Trayek yang dia hafal adalah jalur Sumatra. Dan Jawa is a mess for him. Mengapa. Mengapa bus Handoyo mulai membuatku kecewa padahal aku sungguh membutuhkannya, dan biasanya kupuja karna lebih baik (lebih ekonomis) daripada armada yang lain? Mengapa?

Kucoba untuk tidur. Bangun ketika bus berhenti di Rumah Makan. Setengah dua. What the.. Itu sangat-sangat terlambat. Biasanya setengah dua kami sudah melaju menuju Sragen. Tak apa lah. Segera aku turun dan melakukan ritual makan dini hari selama, well believe it or not, sepuluh menit saja, sudah termasuk do number 1. Kegelisahan berikutnya mengalir. Crew bus 7 tak kunjung naik. Aku harus menunggu 50 menit berikutnya untuk keberangkatan bus. Beberapa penumpang lain sungguh pun sudah mulai murka. Setengah 3 kami berangkat kembali. Sedang di bus normal, aku memperkirakan mereka sudah mengarah ke Klaten. Ah, well, it's better than if I should be in bus 2.

Kali ini sopir satunya yang menyetir. Aku suka gayanya. Kebut-kebutan. Sippo. Everything's gonna be ok. Terlalu berharap rupanya. Tak sebegitu mudahnya. Klaten yang penuh lampu merah memaksa bus untuk sering berhenti, dan di 4.40, bus pun melenggang di Jogja. Prambanan. Aku sudah bersiap untuk menyambut belokan Babarsari karna Bus seharusnya akan belok kanan menuju Jalan Kaliurang untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Magelang. Semerta-merta harapku kandas ke titik paling rendah. Bus melaju lurus, bukannya berbelok. Oh, Tuhan. Dengan penuh tanya (dan sebenarnya emosi yang sudah terakumulasi), aku mendatangi Kondektur dan sopir yang hanya tiga langkah jaraknya dari tempat dudukku. "Mas, ini bus ndak lewat Kentungan to? Harusnya kan lewat?", kataku dengan emosi tertahan. "Ke terminal dulu, Mbak..", timpal Pak Sopir. "Oh, mutar-mutar dulu ya?", kesalku sembari kembali ke tempat duduk.

Beberapa orang turun Janti dan perempatan arah Wonosari, lalu di terminal Giwangan.... tak ada seorang penumpang pun yang turun! Wow! Hanya, Pak Sopir yang turun. Yang Wow! Itu rupanya mengapa ia bersikeras pergi ke Giwangan. Wow! dia bermisi! Gila. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5.30. Langit pagi Jogja sudah begitu gemilang. Merapi dapat kulihat dengan gamblang ketika kami kembali melewati fly over Janti. Hangat mulai terasa, karna walau sebegitu siangnya, pada akhirnya bus 7 ini berada pada arah yang benar. Pertigaan Babarsari belok kiri menuju Jalan Kaliurang yang kudamba bahkan sejak seminggu lalu ketika aku membeli tiket. Oh, betapa perjalanan ini. Sekitar jam 6 aku turun. Pogo dan barang-barang yang lain pun terlihat bahagia karna akhirnya mereka menghirup udara segar. Bunch of thanks I delivered to Mas Kondektur. Semenit kemudian, taksi putih seakan menungguku. Kuakhiri deritaku dengan memintanya mengantar diri dan Pogoku ke kos baruku. Pogung Baru Blok B yang juga bernomor 7. Sungguh betapa 7 benar-benar membahana.

Sebenarnya apa yang terjadi? Aku pun tak begitu yakin. Namun pasti ada yang salah sehingga Tuhan pun mengerjaiku. Atau istilah yang lebih tepat sebenarnya `sehingga aku pun tak dapat menerima unintended plan dengan kelapangan dada sepenuhnya - dan stress di jalan karenanya`. Untuk merunutnya aku harus kembali ke tanggal 23 siang, ketika aku sedang bersiap berangkat. Namun tak ada yang salah. Aku sudah siap, barang-barangku sudah siap, aku sedang makan ayam sambal pelecing ibu yang terenak sedunia. Everything was ok.

Mari kulihat sejam sebelumnya: 1.30 siang.

Aku sedang mandi dan bernyanyi Chrismas Light milik Coldplay. Fine. Nothing was wrong.

Sejam sebelumnya: 12.30 siang.
Aku terkapar tidur dengan balutan bad cover dan kaos kaki yang menutup kaki. Mengapa bisa aku tertidur sedemikian lelap?

3 jam sebelumnya: setengah sepuluh.

Aku menyelesaikan packing terakhirku. Tas besar berisi baju tambahan untuk dipakai di Jogjakarta. Di sebelahnya sudah terlihat ransel besar yang berhias matras, seemed like I was ready for hiking, but I didn't intend to hike any montain. Juga kardus yang sudah dipack rapih yang di dalamnya novel-novel Paulo Coelho mendominasi. Namun ini terlalu enteng untuk menyebabkanku terlelap sedemikian rupa. Mataku sangat berat. Hatiku gelisah.

7 pagi.

Aku menemukan diriku sedang menyetrika. Dalam duka. Oh, ini rupanya.

Sekitar 6 pagi 

Tulisku di Twitter:

`Just sent a very heart-breaking text message. Beautiful, but.. well, hurting..`

Ah, sudah kutahu jawabnya. Rupanya itu alasan mengapa emosiku tak tertahan ketika menghadapi segala hal di luar rencana. Itu alasannya mengapa a wreck day came and said hello to me. Padahal aku biasanya berhasil dalam retorika. Kali itu segala retorika melemah. Seakan semua kekuatanku telah lenyap. Bahkan ketika di Rumah Makan, semua pihak hampir menolak retorikaku. Parah. Dan kudapat alasannya. Aku sudah menghabiskan energiku di jam 7 pagi. Menyetrika dalam duka. Lalu tak seorang pun menganggapku "ada" di waktu selanjutnya. Karna aku terlampau lemah, hingga sinyal hidupku pun tak dapat mereka tangkap. I was a zombie, for sure. Walau sudah kucoba tidur, namun semangat non-lokalku tak serta-merta membaik.

Namun, berita bagusnya, dalam rentetan peristiwa kemarin, aku menemukan kejengahan akan diriku. Berikut beberapa twitter yang kutulis:

  • Not awesome - tak seharusnya aku kehilangan diriku seperti ini.. AYO, BANGUN!!!! JANGAN HIRAUKAN!
  • Jeki kembali ke Twitter - mau jadi orang asik lagi, jengah tiap hari sok melankolis
  • Bukan. Ini bukan lari namanya. Hanya ingin kembali jadi orang asik. Itu mengasikkan loh!!!! Been there! And I miss myself! Jeki, I miss you!
  • Awesome - I start to be talkative! Again!! LET'S DANCE WITH ME!!!!! JEK, I FOUND YOU!!!

Dalam permainan Awesome/Not awesome (yang sering kulakukan ketika sedang menghadapi 'gila'nya sebuah hari), aku tersadar akan betapa tidak nyamannya diriku atas diriku sendiri. Dan aku ingin kembali, menjadi Jeki yang penuh bahagia, dan penuh afeksi. Ke siapa pun. Kepada diri yang berbahagia dan menerima dirinya sendiri. Bila aku pernah berkata "I need to be serious", aku akan menjadi serius. Namun kesalahanku sebelumnya adalah aku menjadi serius dan menghilangkan diriku yang asik. Aku lupa bila aku suka pada diriku yang easy going dan friendly abis.  That's it. And I'm gonna find myself again. Aku akan tetap menjadi seorang yang easy going walau keseriusan harus terus mengguyur hari-hariku. Happy means Jeki although Jeki needs a locus to stay focus. Good luck, Jeki..! :')

Ransel dan aku
Dengan ransel berisi SB, buku, dan SEPATU! Ketika aku belum tahu bahwa hari akan menjadi begitu liar. Begitu emosional.

Poligon Ijo
Pagi hari ketika sudah sampai kosan - Pogo menjadi begitu kotor dan terlihat sangat tersiksa. Joknya robek sedikit. Oh, kasihan sekali Pogoku, ini.. :'|

Wednesday, August 15, 2012

Bunuh Saja Aku


"maafkanlah cinta
atas kabut jiwa
yang menutupi pandangan kalbu" - Dewa19

Bersyukur memang selayaknya dilakukan di setiap hembusan nafas kita. Yang lebih penting adalah menjadi satu dengan jiwa. Tak perlu hanya berucap, namun termasuk dalam tindakan. Ideologi yang menurun menjadi metode dan menjadi nafas bagi tindakan. Bersyukur adalah bermakna bahagia. Tuhan memberi agar kita bahagia. Adakah itu sebenarnya arti Tuhan menciptakan kita? Agar kita selalu bersyukur? Agar kita selalu bahagia?

Tuhan itu suka bila hambaNya berbahagia, tak dapat dipungkiri. Dia pun menerima banyak do'a, dan mengabulkan. Kita sebagai makhluk, adalah pihak peminta. Bila diberi bahagianya minta ampun, bila belum suramnya minta ampun. Ini manusia adalah makhluk banyak maunya. Fitrah sih. Tapi akhirnya tidak menuju pada esensi bersyukur itu sendiri.

Karakter memberi milik Tuhan itulah yang harus kita contoh. Ini seperti membawa kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya. You know, Tuhan memberi, why we don't? Dan menurutku, itulah bersyukur sejati. See this: bila bersyukur berarti bahagia, maka kita harus berlaku yang membahagiakan. Apakah iya selalu menjadi peminta itu bahagia? Apakah iya pengemis-pengemis itu berbahagia? Apakah iya anggota-anggota DPR yang terus-terusan minta kenaikan tunjangan itu bahagia? Apa iya kita yang terus-terusan minta ke Tuhan itu bahagia? Bersyukur sejati adalah memberi. Dengan mencontoh sifat Tuhan Yang Maha Memberi. Termasuk di dalamnya adalah memberi pertolongan. Dalam proses memberi pertolongan kan yang sebenarnya paling berbahagia bukanlah yang ditolong, melainkan yang menolong. Yang demikian itu, yaitu dengan meniru sifat Tuhan, kita sedikit demi sedikit belajar menjadi lebih baik, menjadi kita yang sebenarnya: menyatu denganNya. Kesadaran atas "aku" ini yang mengantarkan kita kepada kebahagiaan sejati. Sekali kita sadar adas ke"aku"an kita, semua ilmu pun dapat masuk, menyergap segala benak untuk tersentak terhenyak dan menjadi berpikir. Ketika kita sudah memiliki banyak ilmu, maka semakin bahagialah kita, kita memiliki cakrawala yang lebih luas, dan mendapat banyak hal yang membuat hati kecil kita tersenyum. Ilmu itu kunci kebahagiaan, karna dengannya kita jadi tahu sesuatu - dan bukankan ketidaktahuan itu menyengsarakan? Dan syarat utama untuk menemukan "aku" adalah dengan sadar atas keberadaan "aku" itu sendiri. Sadari "aku"-mu, raihlah segala ilmu, bahagialah, dan bersyukurlah.

Aku tak tahu aku memosting apa kali ini. Aku hanya ingin menulis, karna aku tak ingin larut dalam kelamnya keruntuhan. Kelamnya titik balik.

"..dan aku kan hilang,
ku kan jadi hujan.." (Frau)

Saturday, August 11, 2012

Muram


Merasakan akhir.

Merasa bahwa aku dan kamu adalah final. Tak lagi ada cerah harapan. Merasa bahwa sedih menjulang membayang muram di balik tubuh berdiri kita. Membayang yang membawa kata 'tiada' kita. Menghempaskan impian penyatuan aku dan kamu: kita.

Bisa jadi aku duduk di sebelahmu, jantungku merasa jantungmu, hatiku merasa hatimu, sedihku dirasa sedihmu, bimbangku dirasa bimbangmu. Namun hancurku, yang bisa jadi dirasa oleh hancurmu, tak kunjung mendapat pegangan. Kita segera saja terjun bebas, dari lantai tertinggi sedunia, dan tak ada satu pun benda yang dapat kita pegang untuk menyelamatkan diri berdua - atau salah satu dari kita. Ada pun, pegangan itu tak pernah begitu kuat, atau kita yang tak pernah kuat: terpegang oleh tangan, namun ternyata permukaannya diselimuti duri tajam yang merobek-robek, yang menyayat-nyayat - hingga aku dan kamu memilih melepasnya. Terjun bebas, menjadi tiada.

Walau betapa aku dan kamu ingin menyelamatkan 'kita', namun bila aku tak berbuat yang menyelamatkanmu, dan kamu tak berbuat yang menyelamatkanku, maka berakhirlah. Dan membayangkan semua ini saja sudah berarti hati yang sungguh bermuram durja. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan bila ini menjadi kenyataan.

-Only if we had something to hold on-
"Lord, give us something to hold on.."