Saturday, January 24, 2015

Jangan Dulu ya, Jangan Dulu..


Tiba-tiba sudah minggu terakhir Januari. Tapi kiranya tak begitu tiba-tiba, karena aku menikmati Januari ini, meski ada tulisan yang tak kunjung jelas mau dibawa ke mana. Seperti hari kemarin, ketika ingin beranjak ke perpus setelah selesai satu bahasan, tapi hingga hujan yang tinggal merintik di sore hari sehabis Maghrib pun tulisan itu belum selesai. Akhirnya aku hanya dapat menggambar wajahnya, berharap dapat menghilangkan rasa rindu yang tak dapat tersampaikan. Lumayan. Bibir, hidung dan bagian matanya cukup mirip. Hatiku senang meski sedikit.

Rasanya hidup sudah tak semuram Desember. Aku harap bukan karena Bach Flower Remedy meski sebenarnya iya pun tak apa (?). Mungkin kehadiran teman-teman, kedekatan kembali dengan teman yang paling dekat yang akan kupertahankan hingga akhir hayat, cukup membuat Januari ini terang. Lagipula Januari tak pernah mengkhianati. Aku tak perlu khawatir, karena teman terbaik selalu setia. Januari memang salah satu teman terbaik, selain Mei...

Kemarin dalam rintik itu aku pergi ke lantai atas, berniat menengok kawan untuk diajak makan. Sudah sampai atas, aku dibuntuti kucing yang kelaparan. Seno namanya. Umurnya tak lebih dari lima bulan, tapi badannya masih kecil. Kurang vitamin kurasa. Ia punya saudara. Snow namanya. Kucing Seno mengeong-ngeong di kakiku ketika aku sadar teman yang akan kuajak makan belum pulang. Setelahnya aku berniat kembali ke kamar. Tapi aku mendengar Snow mengeong dari atas genting. Mungkin ia kembali tersesat di sana dan lupa jalan turun. Dulu sempat aku menolongnya, tapi harus naik ke atas genting rumah depan (rumah ibu kos) yang satu lantai. Hujan rintik begitu, aku enggan. Di puncak tangga terbuka itu, aku menengok Snow dan bilang padanya agar turun sendiri. Ada satu teman keluar dari kamarnya di lantai dua, turut nimbrung menengok Snow. Bisa jadi Snow berpikir Seno yang mengeong ribut sedang dikasih makan, jadi ia protes tak mau ketinggalan untuk dikasih makan. Tapi ia lupa jalan turun.

Jadinya lantai dua riuh oleh suara kucing bingung. Yang satu bingung turun, yang satu minta makan. Aku tak ingin menggubris keduanya. Yang pertama karena tak ingin naik genting dalam cuaca tak enak begitu. Yang kedua aku tak mau kasih makan karena sedang melatih kucing-kucing ini untuk belajar mandiri alias cari makan sendiri. Suasana semakin riuh karena aku juga menimpali jeritan kucing, meski tentu aku tak punya kemampuan berbicara dengan kucing. Lalu aku turun, sembari menjawab kucing, dan sembari mendengar ucapan teman yang masih berdiri di puncak tangga.

Rintik hujan sudah mulai mereda. Hari menjadi semakin bersemangat meski perut sedang keroncongan. Baru turun dua tangga aku menghentikan langkah. Kuputar kepalaku ke atas, menengok Snow di atas genting bangunan di belakangku. Sedetik kemudian serasa ada kekuatan dari bawah menarik kedua kakiku. Yang pertama kurasa adalah kepala belakangku yang terbentur anak tangga dengan kerasnya, dan aku jatuh terduduk menghadap depan. Pantatku terasa basah akibat tangga sehabis kehujanan. Tapi itu belum selesai. Segera setelah jatuh terduduk aku meluncur begitu saja tanpa kendali. Mataku tidak menutup. Aku melihat bangunan di sebelah kananku melintas dengan cepat. Sejenak terasa melambat, tapi tarikan itu tidak berhenti dan aku terus melalui anak tangga demi anak tangga. Kurasakan kaki dan pantatku membentur sana-sini. Melihat tubuh yang tak berdaya begitu rupa, tanganku pun akhirnya dapat meraih pegangan tangga, dan seketika tubuhku berhenti meluncur, persis di dua anak tangga paling bawah. Temanku kaget setengah mati (bisa jadi dua kucingku juga). Ia bergegas turun (tanpa terpeleset) ke tempat di mana aku sudah menunduk memegangi kepalaku, merasakan denyut yang masih membekas di sana.

Benturan keras itu segera saja menyayat hati. Aku ingin menangis sesaat itu juga, tanpa mengerti alasannya. Sakit memang sakit, tapi itu sakit yang tak begitu sakit. Logisnya mata bisa tahan. Tapi merasakan kepala dikenai kekuatan sedemikian keras begitu, merasakan tubuh yang dikoyak tanpa daya begitu, rasanya bikin hati trenyuh. Semacam, it's away too dangerous. IT'S TOO DANGEROUS!!! DON'T YOU EVER PLAY WITH MY HEAD, because it's MY HEAD THAT WE'RE TALKING ABOUT!!! Ini kejadian memang first time in my life banget. Akhir-akhir ini ketika naik motor memang sudah biasa aku membayangkan kejadian yang di luar kendali, semisal tiba-tiba saja ada kekuatan dari luar yang membuat motor tidak dapat dikendalikan: terseret motor lain yang sedang ngebut, nyangkut di becak yang disalip, atau contoh lainnya. Aku tak menyangka ternyata pikiran semacam itu adalah warning - bukan untuk kejadian di jalan raya, tapi di kos sendiri, di atas tangga yang basah.

Lalu dua teman lain juga bergegas datang menengok diriku yang masih meringkuk diam di tangga bawah. Tak kuasa membuat mereka khawatir, aku pun segera menjawab panggilan mereka dengan "aduh" - tentu tak jadi menangis. Sensasi terbentur masih terngiang-ngiang di kepala. Too dangerous, too dangerous. Satu teman kemudian memeriksa bekas benturan di kepalaku. Dia bilang ada lukanya dan berdarah. Aku agak kaget juga karena saat kuraba sebelumnya tak kurasa ada basah-basah apapun. Kulihat jemari tangan kiriku, ternyata telunjuknya sudah berwarna merah. Mungkin karena begitu sakitnya sehingga tak lagi dapat merasa ada darah keluar di situ. Dua teman lain menyarankan untuk segera berbaring ke kamar, menindak-lanjuti luka serta melihat memar lain (yang tentu ada), dan minum air putih. Aku mengambil dua saran pertama dan lukaku segera ditangani oleh teman-teman.

Ada memar di kaki kiri, tiga jumlahnya: dua di atas pergelangan kaki dengan sedikit luka luar yang cuma perih biasa bila dikasih minyak kayu putih (?) dan satu di paha atas sebelah luar, tanpa goresan karena terlindungi celana saat meluncur, tapi kalau ditekan cukup sakit. Di sebelah kanan "cuma" ada satu, cukup lebar di bagian pinggul belakang. Ada juga satu tambahan di siku tangan kiri. Semuanya tentu mengalami inflamasi. Nice lah, kecuali khawatir tentang kepala itu. Setelah membaca-baca di gugel, tanda yang bahaya adalah benturan disertai pusing hebat, muntah-muntah, dan pingsan dalam jangka waktu 2x24 jam. Aku sempat mual, tapi kurasa itu karena pengeluaran asam lambung akibat kaget karena jatuh atau karena energi sudah habis dipakai adrenalin, jadi lambungnya beraksi lebih giat mencerna makanan yang notabene ga ada. Sempat ada juga artikel yang bilang meski terlihat baik-baik saja tapi ada pendarahan dalam dan semakin lama semakin menutupi area dan dengan demikian juga kinerja otak. Di kisah itu, si penderita yang tadinya kelihatan baik-baik saja, ga sampe sehari tiba-tiba kondisi tubuhnya drop, koma, koma banget, trus meninggal. Idih, ngeri barbie. Semalam setelah makan aku minum amox yang dikasih temanku dan meski agak khawatir mau tidur, takut ga bangun lagi, akhirnya aku pun tidur dengan kepala miring... err... tapi ternyata bangun sih. BAGUSLAH.

Dulu pernah aku tak takut mati. Kini masih tak begitu takut. Tapi masih segini, nanggung banget! Ada gambar dalam bukuku yang harus kutindak-lanjuti! Aku belum mau berhenti!!! Hahaha, apadah. Kini merasa kepala ini sangat berarti soalnya. Jangan dulu kalo kepala ya. Jangan dulu.. :)

Begitulah. Lalu tadi pagi aku ke klinik kampus, karena ga tahu gimana harus memperlakukan luka di kepala ini. Sudah bukan S1 ya, jadi bayar begitu (sekarang harganya naik drastis bo, dua tahun lalu padahal masih di bawah limabelasribuan - sekarang bahkan GMC pun mahal :p). Dicek sama Bu Dokter, katanya lukanya bagus (?), dan inflamasinya nanti diserap tubuh (?). Intinya tidak perlu khawatir. Dapet amox dan mefenamat. Mayanlah, soalnya stok amox udah ga bisa dibeli tanpa resep dokter.

Khawatir sudah lewat, tapi bisa dibilang gegara kejadian kemarin fokus jadi agak tercecer. Aduhai indahnya diriku bila tanpa fokus. Dan anyway, di minggu terakhir Januari ini.... resolusi 2015-ku masih tetap WXGA lo, 1280x800. Awesome. (?)