Sunday, June 18, 2017

Edisi Ceramah Ramadan


What Ramadan has brought so far?

5 times a day prayer.

Lol.

Atas nama Ramadan, aku akhir-akhir ini sok aja suka dengar yang agama-agama gitu, soalnya salat tarawih selalu dikasih ceramah, meski seringnya aku maki-maki dalam hati, since banyak penceramahnya diem-diem ekstrimis. Paling males banget kalau diem-diem dipropaganda begitu. Mending kalau ceramahnya enak, kontekstual sama keseharian.............

Tapi ya mana ada sih ekstrimis kontekstual? Ekstrimis apa fundementalis? Aduh, aku mulai buta definisi (dan mulai malas menengok/berpikir kembali definisi yang tepat). The point is, they are those who forget that everything, including their lives is tied to particular space and time that actually the very reason of why they exist. Penceramah-penceramah lupa konteks itu hampir setiap hari mengisi di masjid dekat kos-kosan. Ada yang ga jelas ngomongnya ngalor-ngidul, aku tak paham apa maksudnya, tapi halus banget menghina-hina si plural. Lah, ini ibu bapak penduduk sekitar ya apa paham kowe iki ngomong opo to leeee.. Mbuhlah karepmu.. Diam-diam aku merasa jamaah kok dijadikan alat kepentingan suatu kaum/golongan. Lupa apa tujuan agamamu itu apa?

Apa hayooooo.

Jadi seneng banget kan kalau nemu pengisah agama yang dalem masuk sampai hati, pakai bahasa sehari-hari dan ga kaku ala-ala tekstual tok miskin praktik. Tentu ada satu dua ceramah semacam itu di masjid dekat kos, tapi kurang. Udah terlanjur banyak serapah dalam hati. Ini Ramadan apa masih aja @!#$%^&$*~!$&#*@*@((&&#@^%%$#&%@&&.

Terus aku mendamparkan diri di acaranya anak-anak Shalahuddin (anak Masjid Kampus UGM). Cak Nun di Balairung. Mengingat dulu di Taman Ismail Marzuki tiba-tiba nyasar di Kenduri Cinta tanpa Mbah Nun dan Kiai Kanjeng, aku tak mau melewatkan kesempatan kali ini. Masa udah sampai di Balairung aku cuekin? Lima menit doang dari kosan, tega aku cuekin? Bulan setengah Ramadan berada di atas ubun-ubun. Cak Nun dengan ala-ala berkisahnya bikin ngakak ga karuan. Tidak menyalahi logika - mungkin itu penyampaian paling jitu tentang ayat. Mungkin memang Tuhan Maha Paling Susah Dilogika, tapi ini tak lantas berarti akal selalu harus dinegasikan dengan agama. Udah diberi, ya paling ga akalnya dipakai lah. Hatinya juga jangan lupa. Cak Nun manteb lah.

Tapi seksis. Sama agak-agak utopis. Seneng sih mendengar yang utopis, macam bahagia dibawa terbang sejenak meninggalkan yang material. Tapi ampun banget kalau udah masuk guyonan seksis. Kurasa sudah khatam lah masalah per-genderan. Tapi ego patriarkalnya masih diam-diam menyelinap di lubuk hati paling dalam. Jadinya banyak banget ujaran-ujaran kurang fair. Subtil memang. Tapi karena aku pemirsanya, jangan harap yang subtil begitu bisa lewat pengamatan.

Sombong boleh yak. Bahahah.

Terus anak Shalahuddin punya diaolog tokoh sama GUBERNUR NTB TUAN GURU BAJANG ALAHMAKKK INI MAH SODARA DARI KAMPUNG PANCOR!!!!!! Fix lah darah Sasak harus hadir. Lagi, sudah sedekat lutut melangkah ke Maskam (padahal pakai motor), masa aku cuekin Tuan Guru? Alkisah dulu di 2008, beberapa bulan sebelum tiba-tiba meninggal, ayahku pernah dengan menggebu bercerita tentang Tuan Guru/Tuan Guru yang terpilih jadi Gubernur, dan betapa bangganya bapak sama tokoh satu ini - karena dari satu kampung booooookkkkkk. Satu kecamatan kalau tak salah. Pancor itu!!! Aku tak pernah paham bahwa sosok ini yang dimaksud bapak. Lahmaak, mana aja lah saya. Ya udah gapapa ga perlu disesali.  

Me ok me ok me ok. The f such mantra.

Oke, mungkin Cak Nun terlalu membawa sejenak pada euforia krisis eksistensial yang tanpa akhir. It was indeed fun (except the sexist part). But he didn't mention the detail guidance. On the other hand, Tuan Guru is, duuuuuuude, awesome. So practical. And most importantly he's definitely NOT SEXIST!!!

Dan mohon tidak mempertanyakan kualitas agama Tuan Guru ya. Bahahah. Tapi mungkin ini diam-diam bias akademik juga, mengingat Tuan Guru s1 sampai s3-nya selesai di sono noh, Al-Azhar, KAIRO, MESIR (bah, what's the point my caps.) Tapi yang paling penting aku sadar ini penilaian subjektif. Preferensiku pada kehidupan praktis. Kalau bisa yang menuntunku hidup menapak di atas bumi ini. Rahmatan lil 'alamin kan, seperti yang didengung-dengungkan Cak Nun. Tuan Guru tak pakai redaksional itu, dan bilang kalau bisa memilih jalan yang memberi manfaat lebih banyak, meski kita tak bisa lepas dari kotor yang ada di jalan itu - dan juga optimis, pasti bisa untuk melakukan perbaikan. Menurut Tuan Guru, korupsi, suap-menyuap, ketidak-jujuran, itu manusianya - butuh sistem bagus untuk memberantasnya. Kiranya terjun di dunia politik semacam salah satu dari jalan yang bisa memberi manfaat lebih banyak itu. Dan cara Tuan Guru tidak hitam putih kamu salah/kamu benar, paling tidak itu yang kutangkap dalam diskusi - dan secara logis pasti banyak kacaunya posisi seorang gubernur kalau hitam putih banget, tapi Pak Gubernur ini masih bertahan hingga sekarang (dua periode). Aku melihat Tuan Guru ini seperti melihat orang relijius yang merefleksikan kesalehannya pada aktivitas politiknya. Luwes. Aku yakin secara akidah dia keras pakai banget (secara darah Sasak), tapi secara keilmuan yang ia cerminkan pada obrolan, he is fair. Sikapnya tentang liberalisme dan kapitalisme? Man, he said that we should take the benefit of those (instead of never ending bashing?) - liberalisme dan kapitalisme tidak sepenuhnya jelek. Posisi gubernurnya memang mau tak mau membuat dirinya lebih praktis. Tapi tak banyak orang yang paham (banget) agama bisa memimpin kawasan politik dengan baik - seringnya dijadikan alat saja bagi partai/kaum tertentu.

Dan mungkin karena posisi itu yang menuntutnya mengerti hal-hal "barat" ala MDGs or such. Oh, boy, dia pakai kata 'perempuan' untuk menyebut kaum hawa. Betapa indahnya pemimpin umat yang kelihatannya sadar gender begini. Katanya, "kita beruntung hidup di Indonesia di mana ruang untuk perempuan terbuka", lalu melanjutkan, "dan kita selalu berusaha membuka lebih lebar ruang itu". Selama sejam itu, tak pernah sekalipun ada kata seksis muncul dari ucapannya, dipancing pun tak keluar. I feel blessed.

Boleh berdoa ya? Semoga banyak orang-orang seperti Tuan Guru ini. Spiritual oke. Kehidupan sehari-hari oke. Otak oke. Dan berani jadi optimis. Mungkin yang terakhir ini yang agak susah.

Anyway, aku takut kalau Tuan Guru nanti diusung jadi calon presiden. Takut apa yang kutulis di sini harus dihempaskan realita.

Lel.