Monday, July 29, 2013

As The Prolog


Early of this Ramadhan tasted so nano-nano. Many news struck my head just like big crash on some car's bumper. It was obviously well, stressing. But Ramadhan always has its warmest smile. The smile that always leads you to the (almost) perfect silence. The smile that always ends you up into you: into the deeper self of yours. At least that is the meaning of Ramadhan for me.

Although actually I was a bit disappointed - of course to myself. First of all I didn't prepare that well for Ramadhan. Just so different than a year before when I was in Pare. See, things were falling down brutally sharp before it had started. A year ago, I was in my best condition as me. Having Rinjani and Semeru as my biggest spiritual moment, and completed heart after six months teaching Grammar Speaking. The so-positive soul for my perfect Ramadhan. And yes, last-year Ramadhan was perfect, too (although I'm sure I haven't had that Lailatul Qadar yet). I prepared for social academic world so bad. Learning philosophy, reading (so slowly) of some (only) books, having sufi discussions, and still, taking a leap of faith (Inception 2010) by whispering some mantras to diminish the fears of facing the world that was completely out of my reach. Turned out what I had prepared was not that in line with the world I was facing. It was a bit away from that complicated-looked world. Yes, but that's okay since that was still so typically me..

So I felt a bit terrible at the beginning of this Ramadhan for not preparing it so well before. For being such a bad ass because I was just facing this Ramadhan with this pokerface . Yes, thanks for your congratulation.

And second, because of not that positive soul, even so negative actually, this Ramadhan is worse than last year. This reality is so frustrating. Although I understand so well that reality always sucks, still I feel so disappointed - to, once again, myself. Last year, I was so passionate about reciting Qur'an, having those salat sunnahs, reciting Qur'an again, salat sunnah again, and of course having many prayers. So much, I guess. Ramadhan today? I started so bad. So bad.

Being in the environment that keeps hegemony-ing you that no one can hegemony you, not even the person that you really love, makes these whole matters more and more complicated, that surely it's too complicated to elaborate here. Main point is, all of things inside my head keep crumbling (and crumbling (and crumbling)). The very first thing I believe, I questioned. It was just a small thing anyway, since I have questioned this very first thing long time ago. What matters is, yes those things: I don't believe in everything!!! It's like this environment keeps saying: Nobody can dominate you! Nobody can hegemony you!. And you guys know how it feels? It feels as if you are the strongest, the biggest, and before you realize what is happening, you, yourself, is so linglung - floating. On, and on.. And there you are standing: a self with no identity. A self with the identity that has already gone. A self who's out of the game because you reject the rule (Bourdieu 1993). Then now, at least I know what hegemony really means. I must be hegemon-ied to make sure I have myself. And here I am, in my some-more-days of Ramadhan, fixing what I could fix. I really hope so. It's only some days left, oh myyyyy....

So now I keep chasing my-last-year Ramadhan reach. Reciting Al-Qur'an more and more to at least khatam for twice (had one already), fixing my mind about those sunnahs (still a bit dumb), trying to have the spirit of prayer (some efforts to go), and selecting things I should follow for my best hegemon-iers. And now, maybe, I should think about this environment, the well, a bit stupid one, that keeps hegemony me that nobody can hegemony me. I should consider it as the bad hegemony agent that I should not follow. Maybe I should..

Maybe life should be faced with so many things falling apart. Maybe there's person out there saying that package is more important (and perhaps the most important one), just as like mentioned in this sentence:

NI ORANG KADANG GA PEDULI DENGAN "KEMASAN",
SAMBIL TERUS MEYAKINKAN DIRI
KALO "ISI" LEBIH PENTING DIBANDING KEMASAN...
(stupid one 2011)

But at least I understand enough that "convincing" myself that this is what I am is absolutely different from what you call: deluding yourself that this is what you are for any reason that the very you, the real you never will understand. At least I don't fake identity, and at least I still try to put honesty over everything.

About the so-offensive last paragraph above, it was the prolog for the next post. A post that (will) contains one-and-a-half year personal project. So keep waiting, since I must focus fixing my Ramadhan first..


Monday, July 15, 2013

Perempuan dalam Keranda Bening (2)


Sudah setahun. Sudah setahun perempuan itu meringkuk di sana. Meringkuk dalam sayatan kepenatan sebuah getir yang tak kunjung bersahabat. Sudah setahun. Sudah setahun ia meringkuk dalam basah rasa resah. Manifestasinya berupa aliran cairan, yang menggenangi keranda bening itu. Seorang pemuda asing yang lewat, pada suatu waktu, tak tahan melihat betapa genangan itu dapat berakibat fatal untuk nyawa mayat hidup perempuan ini (ya, walaupun mayat, kita tahu ia masih tetap bernafas). Pemuda asing ini hanya menyoal kemanusiaan. Hatinya juga turut menjerit ketika berada di sekitar keranda bening tempat perempuan tersebut meringkuk. Demi rasa kemanusiaan itulah, demi hati yang tak menjerit dua kali lipat karena membayang perempuan ini mati untuk kedua-kali-nya lah, ia akhirnya melakukan sesuatu pada keranda bening di mana di dalamnya terdapat perempuan yang mengalun sakit sebuah jerit pahit itu.

Didekatinya, dan diperiksanya dengan seksama. Rupanya keranda bening itu terbuat dari kaca. Kaca yang tebal. Sejam kemudian sudah terkumpul perkakas di sekitarnya, dan pemuda itu memulai pekerjaannya. Masyarakat pun berkumpul, melihat apa yang sedang dilakukan si pemuda. Pemuda ini berusaha menghancurkan kaca keranda itu. Tak dapat. Percuma. Hingga peluhnya habis pun percuma, karena masyarakat setempat pernah mencoba hal yang sama, bahkan selama sebulan penuh tanpa henti. Awalnya masyarakat ingin menyelamatkan perempuan ini, sama seperti niatan pemuda tadi. Namun beberapa saat setelahnya alasan tersebut berubah karena kampung tempat tinggal mereka menjadi begitu muram atas kehadiran mayat hidup perempuan tersebut. Sebulan usaha mereka sia-sia. Ada pula yang mencoba memakai alat berat untuk memindahkannya. Dan sekali lagi, tanpa hasil. Seakan merupakan keranda yang telah mengakar di tempatnya berada. Perempuan dalam keranda bening itu akhirnya tetap meringkuk di situ, di suatu sudut, di kampung itu.

Namun pemuda itu berkeras hati. Walau demikian tetap saja keranda itu bergeming. Beberapa hari setelahnya, di beberapa titik di permukaan keranda tersebut, usaha pemuda itu secara menakjubkan terlihat membuahkan hasil. Tiba-tiba lima titik terlihat merembeskan air. Lima titik itu saja. Tak lebih. Dipaksa dengan tenaga lebih pun tak lagi ada. Air pun mengalir keluar. Sejak saat itu, basah tak hanya ada di bagian dalam keranda bening. Tanah di sekelilingnya juga turut basah. Basah dan basah. Dan perempuan di dalamnya, tetap tenang menunduk tak bergerak, kepala tetap menyentuh lutut dan tubuhnya tetap tertarik gravitasi yang seakan terpusat di tengah keranda tersebut. Tak seorang pun berhasil membebaskannya. Tidak juga pemuda asing itu.

Beberapa saat kemudian masyarakat sepakat untuk meninggikan letak keranda itu. Sekitar tiga setengah meter tingginya. Dengan susah payah akhirnya keranda bening itu, yang isinya perempuan sendu yang tetap diam meringkuk itu, berhasil juga dijadikan tugu monumen. Tegak berdiri di atas semen setinggi tiga setengah meter dengan air yang tetap merembes dari dalamnya. Perempuan dan kerandanya itu menjadi simbol kampung ini.

Setahun sudah. Setahun sudah. Setahun sudah. Kini rembesan dari keranda bening itu mengalir dengan jalur-jalur yang telah dibuat oleh masyarakat: sengaja dialirkan agar tidak banjir. Lima total jalurnya membentuk parit kecil layaknya kali. Arusnya kadang besar, kadang kecil. Tak ada yang tahu mengapa. Ikan-ikan pun bermunculan. Ikan mas, lele, wader, ceblong, bahkan ular air sering sekali berenang di alirannya. Masyarakat yang awalnya muram oleh kehadiran keranda bening itu, oleh kehadiran mayat hidup perempuan itu, kini jadi senang. Ikan-ikan dapat ditangkap untuk sekedar pauk. Lumayan menghemat kala semua harga melambung hebat.

Walau kemuraman tak dirasa sebegitu menyayat seperti awal mula kehadiran perempuan mati namun hidup itu, apalagi didukung kehadiran ikan-ikan untuk lauk makan itu, bayang-bayang hitam masih menghantui kampung tersebut. Hanya segelintir orang saja yang dapat merasakan hadirnya. Mereka adalah pemerhati sejati, yang peka mengindera. Di antara wajah muram itu, terbias dalam meningkat drastisnya jumlah kematian orang kampung. Kesuraman perempuan itu rupanya juga menarik kematian...

Setahun sudah. Setahun sudah. Banyak ikan sudah. Banyak yang mati sudah. Perempuan itu masih juga diam meringkuk dengan gravitasi di tengah yang menahan posisinya dalam keranda bening itu.

Kemudian di suatu pagi, gempa dahsyat melanda kampung itu. Kampung itu saja. Entah hadir darimana, entah episentrumnya darimana. Dahsyat nian. Banyak yang mengira itu kiamat. Masyarakat berlarian ke tanah lapang. Saling meneriakkan nama Tuhan. Begitu dahsyat. Tapi anehnya tak ada yang mati. Juga tak ada yang porak-poranda. Seakan semu saja. Seakan goyangan itu hanya melanda tubuh mereka saja. Hanya dirasa tubuh mereka saja.

Dan tentu, goncangan dahsyat itu juga dirasa oleh tubuh perempuan sumber kemuraman itu, yang akhirnya menggoncang juga keranda bening tempat ia meringkuk selama setahun itu. Tergoncang dahsyat, dan tergoncang dahsyat. Tugu penyangganya pun mulai ikut tergoncang dahsyat. Satu menit, dua menit, tiga menit, ..... perempuan itu masih terlihat tergoncang yang haibat, namun tetap saja ia terlihat muram, dan diam. Di menit ke lima guncangan, keranda itu lepas, jatuh menggelinding, dan DHUARRR!!! Terdengar sebuah ledakan menggelegar. Gempa dahsyat berhenti. Masyarakat segera berlarian ke arah tugu simbol kampung itu, di mana sumber ledakan keras berasal. Bangunan tersebut porak poranda, keranda bening itu hancur...

Dan perempuan itu..

Dan perempuan itu..

Dan perempuan itu..

Dan perempuan itu terlihat sedang duduk bersimbah darah di antara sisa-sisa reruntuhan tugu tempatnya hampir setahun ini berada. Ia duduk, namun tak lagi meringkuk, walau masih terlihat menunduk. Nafas dan darahnya sama-sama sedang tertatih. Dari badannya terlihat ia sedang tergesa-gesa menghirup udara. Dari merah anyir itu terlihat luka hadir di sana-sini. Luka yang nyata, yang  menyelimuti sekujur tubuhnya. Tak ada kata aduh. Ketika warga mulai mendekatinya, ia berdiri. Terlihat sangat lemah ia berdiri. Ribuan pecahan kaca terlihat nyata sebagai sumber lukanya. Namun tetap, tiada kata aduh terucap, walau darah telah gencar memancar di sana-sini.

Perempuan itu berdiri. Wajahnya bermandikan darah, juga sekujur tubuhnya. Badannya basah. Matanya basah. Tak ada lagi cairan yang mengalir dari tubuhnya, selain hanya pancaran darah. Saat sudah sempurna berdirinya, mimiknya yang suram menggeram. Warga bersiaga. Dengan sekuat tenaga perempuan itu, yang tak lagi dapat merasa luka itu, menjerit melengking. Seantero kampung mendengarnya. Sebuah jeritan paling pilu yang pernah terdengar. Hewan-hewan turut menyahut. Sapi Bu A melenguh sedu, anjing Pak B melolong sedih, kucing-kucing mengeong menyayat. Sungguh merupakan susana paling lara yang pernah dirasa warga.

Perempuan itu pun melapuk. Roboh seketika setelah menuntaskan jeritan. Bukan mati lagi, hanya pingsan semata. Warga segera membawanya ke mantri kampung. Merawat perempuan ini.

***

Monumen hancur. Keranda bening juga telah lebur. Kehidupan kampung kembali normal meski tak lagi ada ikan gratis buat lauk makan. Rupa perempuan itu sudah mulai wewujud. Tak lagi suram. Tak lagi buram. Tak lagi menarik kematian. Namun tubuh bagian dalamnya menyisakan cerita; menyisakan derita. Tak dapat terelakkan. Hidupnya kini benar-benar tinggal sedepa.


Sunday, July 07, 2013

Mati

Mati itu memang selalu ada, dan akan selalu ada. Ia akan tampak menyembul di waktu yang telah ditentukan. Kapan, itu tentu rahasia Tuhan.

Aku tak pernah takut mati, sungguh tak pernah. Karena ia hadir di sana. Sudah duduk manis sembari tersenyum menunggu saat beraksinya. Tinggal sebuah titah dari Maha Mentitah, dan eksekusi pun ia lakukan. Tak perlu takut akan kematian. Ia hakiki. Absolut. Tak perlu lari dari kenyataan yang telah digariskan.

Namun ketika sudah tanda-tanda kematian itu muncul, rupanya takut itu segera saja menyeruak. Keberanian yang sebelumnya membulat, lumat habis tak bersisa. Diri yang membayang malaikat pencabut nyawa, betapa sakitnya rongga dada sebelah kiri karena diserbu berisik kekuatan tak kasat mata, betapa tubuh lumpuh tak berdaya tanpa roh yang menghidupinya.

Mati itu, segera saja kubayangkan rasa sakitnya. Segera saja kubayangkan betapa beratnya. Segera saja kubayangkan betapa sesaknya.

Keberanianku lenyap tanpa jejak. Aku kembali takut mati.