Sunday, June 30, 2013

Menutup Mata


“Apa yang terjadi ketika kau menutup mata?” Kau memulai kalimatmu. Aku diam menunggu, karena itu pertanyaan retoris yang tak butuh jawaban.

“Menutup mata yang harfiah, berhenti menggunakan indra penglihatmu. Coba biar kucontohkan terlebih dahulu.” Lalu kau pun menutup matamu, mata yang indah itu, yang setiap saat ingin kusentuh, ingin kudaratkan sebuah ciuman terhadapnya. Tak hanya sebuah, dua, tiga, ah, ratusan pun aku bersedia.

“Ya, begini”, katamu melanjutkan. “Kau hanya perlu menutup matamu. Tutup saja seperti ini. Tutup saja." Aku tersenyum geli memandangimu. Tega sekali kau memainkan permainan anak kecil ini. Semua orang bisa bila hanya menutup mata. Apa kau sungguh lupa bila aku adalah ratu tidur? Aku ini orang nomor wahid bila hanya masalah menutup mata.

“Ayo tutup matamu, Lia..”. Kau membuka mata indahmu itu, memergoki diriku yang sedang mengamati. Aku bilang aku tak mau, tapi kau menyela untuk melakukan saja, untuk tidak banyak protes. Kau ini, betapa senang menghalangiku melakukan apa yang kusuka. Dirimu yang kupuja sedang duduk utuh bersila di depanku. Dan kau suruh aku menutup mata. Aku ingin menikmatimu. Ingin menikmati indahmu.

“Tutup dulu, Sayang..”

Pada akhirnya aku selalu lumpuh bila sudah kau panggil aku dengan kata sayang itu. Protesku terhenti dan, baiklah, sayangku, aku tutup mataku, rapat-rapat. Kau lalu tertawa terbahak ketika sudah sedetik kututup mataku aku bertanya apa hukumnya bila aku ngintip sedikit-sedikit. Aku hanya bisa membayangkan gelak tawa itu. Pasti merupakan sebuah gelak tawa yang manis yang kau produksi. Serta-merta aku ingin membuka mata. Namun aku menahannya sekuat tenaga. Sungguh ini cobaan yang berat. Bagaimana bisa aku mengaksesmu bila tanpa mata?

“Apa yang kamu lihat sekarang, Lia?” Kali ini sebuah kombinasi kalimat dengan kata kamu. Khas sekali dirimu, Aku suka membahasakan dirimu sebagai kau, dan kau gemar membahasakan diriku dengan kamu. Aku benar-benar mengidolakan segala yang berbau dirimu, tak terkecuali penggunaan kata ‘kamu’ milikmu.

“Apa, Sayang? Kamu sekarang lihat apa?”, kau bertanya kembali setelah tak mendapat satu jawab. Pertanyaan yang tak kumengerti. Mengapa senang betul kau menanyakan hal beginian? Sedang aku dalam keadaan tak dapat melayangkan suatu protes apa pun, kujawab saja sekenanya bahwa aku sedang melihatmu. Kau tergelak lagi. Kau bilang aku bercanda. Memang, sayangku, aku memang sedang bercanda, seperti yang sedang kau lakukan kali ini. Sudah jelas-jelas aku sedang menutup mata, dan kau tanya aku sedang melihat apa. Lama-lama candaanmu jadi tak lucu.

“Apa, Lia sayang? Apa yang kamu lihat?”, untuk ketiga kalinya kau mengulang pertanyaanmu. Dengan kesal kujawab jua bahwa jelas aku tak melihat apa-apa. Kembali terdengar kau tergelak, namun kali ini tersirat sedikit nada protes di dalamnya, yang hampir dapat dipastikan berarti ketidaksetujuan. Aku tahu. Aku tahu. Kau sedang menjebakku. Karena ini hanya awal. Pertanyaan-pertanyaan tak lucu ini hanya sebagai pengantar kisahmu. Jadinya pun aku tersenyum dalam tutup mataku. Menunggu instruksi berikutnya, agar segera kudengar inti permainan ini.

“Sungguh kau tak melihat apa pun?”, kau menegaskan pertanyaanmu seakan ingin menegaskan bahwa seharusnya aku melihat sesuatu. Namun aku hanya dapat menjawab dengan sebuah anggukan karena memang tak melihat ada jawaban lain (lagian kan, mataku sedang tertutup).

“Hitam, Sayang, yang kamu lihat adalah warna hitam. Hitam yang sering dianalogikan dengan ketiadaan. Kamu memilih jawaban tidak melihat apa-apa untuk pertanyaanku tadi. Padahal, Sayang..”, kurasakan tanganmu membelai wajahku. “Hitam itu adalah sebuah warna. Ia ada..”, kau melanjutkan, masih dengan jemari yang bergerak perlahan-lahan menyusuri lekuk wajahku. Hatiku berdegup tak karuan, adrenalin mulai merayap merambati tubuhku. “Mata kita tetap berfungsi walau serapat apa pun kita menutupnya”, kini tanganmu menyentuh mataku yang sedang tertutup. “Hitam hanyalah sebuah intensitas cahaya yang panjang gelombangnya tak dapat direpresentasikan sebagai warna lain oleh indra penglihat kita”, kau melanjutkan sembari lembut memainkan jemari itu di sekitar nafasku. Aku merasa dingin. Nervous. Namun aku hanya dapat tersenyum bahagia mendengar semua darimu. Dan merasa semua. Bahagia karena ternyata kau sedang menikmati diriku yang tak memiliki kuasa penglihatan. Bahagia karena kau sedang mencoba menelanku, sembari berkisah tentang hitam. Aku membayangkan dirimu yang sedang menatapku lekat-lekat, melumatku habis-habisan dalam sebuah tatapan. Permainan ini mulai menarik, walau tanganku (dan sekujur tubuhku sebenarnya) mulai menjadi dingin.

Lalu kau lepas sentuhanmu pada kulit wajahku. Jantungku masih kencang berdegup. Senyumku tetap di tempat. Mataku masih tak memiliki otoritasnya. Aku merasa tubuhmu kau geser lebih dekat hingga lutut kita saling bersentuhan dalam posisi bersila. Kau gumamkan kata-kata betapa kau menyukai senyumku. Aku semakin tersenyum. Hatiku semakin berdebar. Aku tahu itu. Aku tahu itu, Pangeranku. Aku tahu betapa kau memuji senyumku, dan aku berterima kasih karena kau telah mengungkapkannya. Mengetahui menjadi sangat diinginkan oleh seorang dirimu seperti ini adalah hal paling indah yang pernah ada dalam hidupku. Aku berucap terima kasih telah membuatku merasa sebegini istimewa. Namun kau menolak ucapanku dan memilih meneruskan permainan.

“Mari kita lakukan hal yang lain, Lia”. Hal apakah itu gerangan, Tuan? Aku tak sabar menunggunya. Aku tertawa kecil ketika kau bilang aku tak boleh berpikir macam-macam. Pikiranku hanya beberapa macam saja, Tuan, karena aku sedang menutup mata. Pasti kaulah pihak yang sedang memiliki beribu imajinasi dalam otakmu, karena matamu terbuka gamblang sedang menikmati diriku.

Lalu kau melanjutkan, “Aku sekarang turut menutup mataku. Kita berada pada posisi yang sama. Sama-sama bersila, sama-sama berhadapan. Mari benar-benar menutup mata, Sayang.”

Ah, kau mulai lagi. Kupikir permainan kita yang tadi akan kita lanjutkan. Kau selalu begitu, selalu menghentikan segala yang sangat kuinginkan. Sekarang juga demikian.

“Hentikan, Lia sayang. Kamu harus berhenti melayangkan protes-protes diam-mu itu”, katamu menyentakkan ribuan grundelan yang barusan terucap dalam hatiku. Kau pasti sedang tersenyum ketika kutanya bagaimana kau bisa tahu bila aku sedang ngomel-ngomel dalam hati. Kau bilang karna kau mendapati laju nafasku yang memburu dan terkesan tak tenang, berbeda dari ritme nafas sebelumnya. Mengindikasikan emosi negatif. Ah, baiklah, Tuan yang super tahu segalanya, mari kita lanjutkan melakukan hal yang lain ini.

Kau menginstruksikanku untuk kembali mengatur ritme nafas. Aku melakukannya jua. Hingga akhir hayatku aku ingin selalu mendengar instruksimu. Apa pun itu, yang penting kau tak boleh menjauhiku dan meretakkan segenap hatiku.

“Bila tadi kita memusatkan energi pada penglihatan, sekarang mari kita alihkan energi itu pada pendengaran. Mari kita mendengar. Mendengar segalanya, Lia."

Tadi melihat, kali ini mendengar. Ah, mengapa benar-benar hal-hal yang remeh-temeh. Tapi sudahlah, aku harus berhenti nggrundel, atau nanti ketahuan olehmu lagi. Bisa malu dua kali aku.

Namun aku merasa tak nyaman. Mendadak hening begini, pikranku berkata macam-macam. Jantungku juga mulai berdegup tanpa aturan, nafasku bukannya teratur, malah hampir tersengal-sengal. Aku mewartakan apa yang kurasakan kepadamu. Lalu jawabmu lembut menenangkan, “Jangan bimbang karena hitam yang ada pada matamu. Lupakan masalah intensitas cahaya yang tadi kukatakan. Sekarang mari kita diam dan mendengar. Hanya mendengar.”

Aku tahu apa yang kau sedang coba lakukan. Dulu kau pernah bercerita tentang hal ini. Semacam meditasi mendengar semesta. Kau dapat itu dari buku Paulo Choelho. Entah buku yang mana, karena aku hanya membaca The Alchemist saja, itu pun karna kau paksa. Lalu aku tak lagi dapat kau paksa membaca bukunya yang lain, karena bagiku komik lebih menarik daripada segalanya. Namun aku jelas ingat, yang dulu kau ceritakan tidak seperti ini. Kau dulu berkisah bahwa meditasi yang digambarkan Coelho itu tidak harus dilakukan dengan posisi duduk bersila begini. Bahkan sambil tiduran pun tak apa. Yang penting menutup mata dan lalu fokus mendengar segalanya. Dan yang penting keajegan melakukannya, semisal harus sekali sehari. Dulu kau berkisah ingin juga mencoba latihan itu, namun kau hanya tahan dua minggu. Katamu dengan melakukannya secara rutin, kita akan dapat mendengar alam, bahkan lebih dari itu, kita akan lebih dekat dengan sesuatu yang berbau-bau immateri. Kita bisa jadi lebih sensitif, dan poin terpentingnya adalah kita mampu mendengar pesan Tuhan.

Ya. Tuhan. Tuhan yang selalu kau banggakan itu. Kau selalu tertarik untuk mengerti bahasa alam. Kau selalu menggebu-gebu jika itu tentang mengerti tanda-tanda yang diberikan Tuhan, hingga nantinya tak akan bingung-bingung lagi mana jalan yang benar, dan mana jalan yang salah. Kadang aku menebak-nebak, jangan-jangan kau ini ingin jadi paranormal. Tapi yang seperti itu kan masalah sepele. Jalani saja. Mana ada jalan didikotomikan menjadi benar dan salah seperti itu. Kita sudah sering berdebat mengenai ini. Aku yang selalu memandang semua jalan itu benar adanya, dan kau yang keukeh pada pendirian bahwa Tuhan selalu mengarahkan kita pada jalan yang benar, dan arahan itu tak dapat lagi didengar oleh manusia sehingga karut-marutlah kehidupan ini. Debat yang selalu berujung pada toleransi pendapat. Jadinya aku menghormati apa pun yang kau yakini, dan kau selalu berusaha mencintai apa pun yang kuimani. Nah, sekarang aku dan kamu duduk layaknya orang semedi begini jadinya. Berdua. Saling menutup mata.

Kau berkata lagi, “Kita sekarang mendengar saja. Jangan ada kata terucap, atau apa pun yang lainnya. Coba 15 menit saja, Lia. Setelah itu terserah, kamu mau memutuskan untuk melanjutkan atau kamu mau berhenti. Yang penting mendengar semuanya. Semuanya. Tak terkecuali hal yang kecil sekali pun."

Baiklah, Rajaku. Aku turuti titahmu. Aku mencoba. Mencoba mendengar semua. Kami berdua diam. Mulai tak kuhiraukan hitam yang meresahkan itu. Hanya kufokuskan saja pada suara. Kemudian mulai dapat kudengar teriakan suara tukang sayur di depan rumah beserta gerobaknya yang sedang didorong, suara keran air dari kamar mandi sebelah, suara kucing, suara.. macam-macam.

Namun isi dalam pikiranku masih tetap mendominasi porsi telingaku. Aku mendengar diriku bicara, terus-terusan berbicara tanpa henti. Heran juga mengapa bisa aku sedemikian cerewet. Dan nafasku kembali lagi memburu. Kembali lagi aku pada hitam yang meresahkan, yang kukira sudah kutindas habis-habisan.

Aku tak tahan lagi. Ini terlalu menyiksa. Kubuka mataku. Kuselesaikan semuanya, bahkan sebelum dua menit usai. Kulanggar aturan 15 menitmu. Dan itu dia dirimu, yang akhirnya dapat kulihat lagi. Berada hanya sekitar 25 senti saja di depanku. Kau sedang syahdu mendengar segala dengan mata tertutup, dan terlihat menahan semua kata agar tak meluncur dari mulutmu. Aku yakin kini kau tahu aku sudah curang karena telah membuka mata terlebih dahulu.

Aku tersenyum, nafasku yang tadi memburu sudah mulai kembali teratur. Dan aku tahu kau dapat merasa senyumku, walau tetap terlihat begitu bergeming. Kali ini kupandangi habis-habisan wajahmu. Wajah yang selalu kurindukan. Tetap kau bergeming. Tak tahan, akhirnya aku mendekatimu, mencium kelopak mata yang sedang tertutup itu, lalu kugeser bibirku menuju telingamu, dan kubisikkan sebuah kalimat di sana: “Aku tak tahan mendengarmu diam. Selesai melakukan ini turunlah, kita sarapan bersama.” Kukecup keningmu, lalu aku turun dari tempat tidur, menuju dapur untuk memasak sarapan. Kapan-kapan saja lah bila ingin mengajakku menutup mata namun yang tidak untuk tidur.

Yogyakarta, Sekitaran tengah Desember 2012
*atas nama biar Juni gak kosong posting*