Wednesday, December 31, 2014

Desemberku, Sukidesu!!


Sore hari di akhir 2014. Meski sebenarnya tak begitu penting apa itu waktu, namun penting juga mengingat aku tak boleh menghindari semua definisi ini. Karena menghindari definisi adalah menghindari hidup. Dan padahal baru saja aku membuat definisi baru tentang sebuah definisi. Prakk.

Rasanya sedang bahagia, hanya karena pusing ini mendadak hilang. Tadinya kukira hari ini akan menjadi hari yang cukup menentramkan tanpa pusing-pusing. Ternyata tanda tadi siang itu jitu juga. Awalnya aku tak akan ke perpustakaan, karena semua yang kubutuhkan di perpus sudah kudapat seharian kemarin di sana. Rupanya yang sudah kudapat tak begitu sempurna, semacam tubuh yang tak pernah sempurna, meski justru karena tak sempurna itulah segalanya jadi sempurna. Ngek. Dan hasrat ke perpus itu tiba-tiba muncul saja. Jebrat jebret kurang dari 15 menit saja sudah siap aku berangkat. Alam lalu bikin tanda. Hujan tiba-tiba merintik di hari terang. Rasanya gimana gitu soalnya sudah menggebu tapi ada penghalang. Sebal sekali. Mana tipikalku kan kalo sudah menggebu benar-benar jadi gila begitu. Karena itu aku jadi sok positif: harus ditentang semua perintang. Nah, ini karakter banget dah stubborn ini ga ilang-ilang. Ga pernah rela melepaskan, harusnya ikhlas saja kalau sudah hujan begitu: tinggal di kos, bekerja di kos, melakukan rencana awal - dan karakter macam begini sudah jadi kesehari-harian alias kronis, meski kini sudah punya kemauan untuk berubah. Soalnya kalau stubborn ga mau liat tanda-tanda, ntar di akhir bakal kejadian hal-hal yang bikin mood ilang, dan seringnya bikin ga enak hati. Kalau sudah seperti itu, prinsip koevolusi susah banget diterapin. Dan bagaimanapun sebenarnya itu bisa dimasukkan jadi melatih diri agar lancar berkoevolusi ya. Tapi bila tak enak di hati terus-terusan terjadi, lelah sekali rasanya.

Sudah sampai perpus, langit tak jadi murung. Matahari malah tampak benderang. Oh, entahlah aku benar-benar tak mengerti. Meski tak mengerti aku merasa menang, soalnya berpikir rintik hujan tadi hanya cobaan. Meleset banget. Aku katakan meleset karena hal yang seharusnya kucari di perpus malah gagal kudapat gara-gara komputer perpus tak menerima piranti HDD eksternal, hanya flash disk yang bisa melakukan transfer data di sana, sedang unduhan sekitar satu gigaku sudah selesai - jadi aku keluar ruangan "warnet" perpus (ruangan yang sama di pos sebelumnya) dengan pepesan tangan kosong. Rasanya hampa banget. Meleset kedua adalah meleset yang bikin eneg hati. Ada bayangan sosok tak begitu tinggi melintas di depan mata saat aku turun dari lantai dua perpus dalam berjalanku ke parkiran. Seorang perempuan yang terlihat semakin ter-upgrade dengan high-heels yang semakin tinggi. Celana pensil yang terlihat semakin menjerat kakinya juga bikin ngilu hatiku. Dulu tak seketat itu aku rasa. Entahlah beragam upgrade apa lagi yang ia lakukan mengingat mukanya tak sempat terlihat (kan bayangan doang :p). Demi apa juga aku tak tahu. Tapi tahu-tahu bikin gemuruh di hati. Ceritanya ada yang eneg-nya belum kelar terus dibikin eneg lagi. STUBBORN I said it.

Di jalan aku memakna. Pernah aku merasa aku harus meng-upgrade diriku juga. Mulai tergila-gila dengan heels tinggi, baju feminin tapi yang lebih kuartikan dengan "sesuai ukuran tubuh", rutin menggunakan masker, dan semacamnya. Merawat tubuh tentu masih berusaha kujadikan ritual (kukatakan berusaha karena di beberapa titik aku sering kebosanan melakukannya), mengingat itu untuk investasi kesehatan. Namun perubahan fashion adalah yang paling bikin jengah, karena tak ada logis yang jitu untuknya. Jadi hingga beberapa saat lalu aku berpikir, apaan lah aku yang seperti itu. Feel like I lose myself. Dan kalau sudah kehilangan diri sendiri itu rasanya jadi ga penting banget. Ini merupakan hal yang semata-mata terjadi karena aku tak mau meyakinkan diri bahwa aku adalah pemakai heels tinggi di keseharian, pemakai fashion up-to-date, and so on and so on. Tentu bila kuyakinkan aku akan merasa nyaman. Tapi mau meyakinkan saja aku sudah merasa tak nyaman, mengapa harus kuteruskan? Akhirnya tubuhku saat ini adalah hasil dari koevolusiku: jins kedodoran (karena badan yang mengurus), sepatu seadanya, baju lebih sering ditutupi jaket (yang kedodoran juga), dan mata yang mengantong karena suka ngalong. Bah. Lagian ada satu fakta yang kuingat: ada penelitian yang siap menerkam dan mengancam kedirian. Biarlah yang masih berusaha meng-upgrade dirinya secara visual meneruskan apa yang ia lakukan. Tapi meski bilang biarlah begini eneg masih terus hadir di hati. Let it go let it go. Orang punya urusan masing-masing. Let it go let it go.

Jadi begitulah cerita orang stubborn hari ini. Coba aku duduk manis di kos. Mungkin malah tidur. Bah. Benar juga. Tak ada yang tahu. Aku ingin ke perpus juga karena menghindari suasana kos siang yang kurang mendukung buat berfokus. Tapi sampai perpus juga mendapati pengguna komputer lain yang berisik diskusi sama teman sebelahnya. Kadang kalau begini aku ingin mencicip luar angkasa, macam film-nya Nolan yang baru (iya betul, yang judulnya Interstellar itu). Soalnya kehampaan udara membawa hening yang begitu dalam, seakan-akan damai yang paling nyata terkandung padanya. Mendengar diri sendiri pasti jadi lebih mudah jika demikian.

Meski sudah merasionalisasi keenegan macam cerita di atas, tubuhku tak lalu jadi tenteram. Badan tiba-tiba saja jadi pusing - menghangat kiranya. Bisa jadi karena AC perpus sejak kemarin. Lemah ya, kena eneg sekali saja badan langsung keteteran. Sampai kos, pusingnya bertambah karena ingin beli cilok tapi langit sudah gelap sekali. Semakin bertambah lagi karena perut lapar tapi katering belum datang, sedang hati tak berkenan dengan cemilan yang ada. Ah, repot bener. Fokus jadi amburadul. Kucing di kos juga sedang berisik. Aaaargggh. Akhirnya kesambet apa lagi tapi mungkin cuma ingin lari, aku malah mencari film buat ditonton. The Hobbit dua yang ada Ed Sheeran ngisi salah satu back song-nya. Tanya kamar sebelah ia tak punya. Pokoknya ingin Hobbit! Aku ke lantai dua. Bertanya pada karib yang kini juga sekos denganku, DNT. Dia bilang masih ada The Desolation of Smaug di HDD-nya. Aku teriak histeris. Pusing tetiba hilang. Mungkin juga berbarengan dengan DNT yang sedang mengupas mangga. Senang rasanya. Hancur lebur diri yang kabur. Sembari menghabiskan irisan mangga, perasaan menggebu untuk menonton Hobbit sedikit memudar tergantikan dengan menulis. Antara blog atau melanjutkan tulisan yang masih tersendat-sendat. Oh, Desemberku sungguh penuh akan diri yang menggebu-gebu!! Tapi aku suki desu!! (???)

"DESOLATION COMES UPON THE SKYYYYYYYY----YYYYY!!!"
(I See Fire, Ed Sheeran)

*ini pos ditulis dengan gangguan kampret sedemikian rupa dari dua makhluk sedemikian rupa, hhhhh*

Wednesday, December 24, 2014

Sebenernya Emang Cengeng


7.15 pm. In library. "Tasting" new facility. Like internet cafe, with lenovo-all-in-one-monitor-pc-sound-so forth (aye kaga ngerti apa nama barang beginian, tapi cukup bikin pengen).

Ini yang ingin kuceritain. Semacam ada emosi yang belum tuntas sedari tadi pagi, dan itu masih tersisa hingga sekarang hingga diri ini masih sensitif. Terlampau mudah terbawa suasana. Yet I like this feeling so much. Very much.

Barusan membaca tesis tentang wacana mothering dan cloning dalam anime Final Fantasy VII (FF VII) The Advent Children. Tentu aku ga bakal cerita isi tuntas tesis ini. Tapi karena membaca itu aku jadi tahu bagaimana anime ini dikisahkan. Dan lebih itu kurasa dengan membaca tesis seseorang itu kita seperti dikisahkan tentang sebuah kisah. Semacam ada yang bercerita tentang sebuah film kepada kita. Tak jauh beda seperti teman kos sebelah yang sangat pintar menceritakan kembali kisah film yang baru ditontonnya. Menonton film kini memiliki cara baru. Menonton lewat kisah. Mungkin semacam review atau ulasan, tapi membaca tesis lebih dari ulasan. Kisahnya berliuk-liuk, dan lebih komplet daripada hanya membaca ulasan yang cuma satu lembar saja. Tapi sampai sini semoga ga ada yang menganggap apa yang kutulis tesas tesis ini semacam sebagai pencitraan ya. Eh tapi begitupun juga tak apa deng..

Dan ketika narasi tesis beranjak pada kisah pemuda-pemuda kloningan di FF VII yang tak punya ibu biologis (juga ibu sosial) sedang berjuang mati-matian demi mendamba ibu sejatinya, apalah arti ibu sejati itu (dalam narasi itu disebutkan Jenova, semacam sel makhluk luar angkasa jahat yang sebelumnya ingin memusnahkan bumi). Sedang mereka sadar betul ibu mereka tidak sama dengan ibu kebanyakan manusia di bumi, yang secara biologis berbentuk perempuan dsb. dsb., yang secara sosial lemah lembut penuh kasih sayang dan perlindungan, dsb. dsb., pemuda-pemuda itu ternyata menginginkan dengan sangat seorang ibu yang mencintainya unconditionally, and so forth and so forth.

Tega banget yang bikin anime. Serius. Macem udah bikin cerita seru-seru tentang kloningan gitu. Tentang sebuah teknologi yang mantab habis bisa menciptakan manusia tanpa harus perempuan menggunakan tubuhnya untuk menerima sperma, mengandung, melahirkan, eh, akhir-akhirnya dibikin cerita kalo manusia hasil kloningan masih aja butuh sosok ibu yang semacam itu. Seharusnya kalau memang mau bikin masyarakat bebas ibu kan ya dibikin sistemnya yang sempurna, yang terisolasi kek dari wacana ibu yang mengasihi selayaknya wacana dominan yang kini ada di masyarakat di dunia. Apa bikin wacana baru tentang kehidupan yang tanpa mendamba seorang ibu (ya, aku tahu ini pikiran radikal banget, bukan berarti membenarkan, tapi ini hanya semacam protes aja atas kurang bertanggung-jawabnya anime tadi atas apa yang ia ciptakan di awal, hahaha). Tentu yang radikal begini bisa lah dilakukan. Misalnya di Jepang aja perempuan-perempuan yang dengan sengaja memilih menjadi single mother sudah ada sejak 70-an. Dan kini jadi biasa. Di Indonesia sudah mulai. Di Jepang bahkan sudah diakui anaknya sama pemerintah, semacam masyarakat juga sudah menerima kondisi baru itu. Yakin nanti di Indonesia juga bakal ada pemakluman, semacam juga pemakluman pada kondisi rumah yang rusak (maksudnya broken home). Begitulah. Semua wacana radikal itu bisa-bisa aja diterapin gitu, yang pasti ada niat untuk memulai wacana baru. Bahwa ibu itu tak harus perempuan, bahwa ibu itu tak harus lemah lembut misalnya, tentu bisa-bisa aja. Itu intinya.

Dan satu lagi (karena perpus udah mau tutup nih). Gara-gara baca pemuda-pemuda hasil kloningan itu masih mendamba sosok ibu yang mengasihi gitu kan, jadi kerasa kayak mereka kurang kasih sayang. Huhuhu... Apeulah saya jadi cengeng banget hari ini.

Udah!!!