Sunday, January 29, 2017

Dewasa dalam Merasa, atau, Entahlah..

Aku merasakan hatiku berdesis ketika ransel hitam yang konon manja itu, ('ransel manja adalah ransel yang butuh sandaran untuk berdiri sendiri'), kubereskan dalam kantong plastik tempat ia biasa bernaung beristirahat. Untuk dirinya yang harus beristirahat, aku merasa sebuah sedih. Sebuah pernyataan bahwa aku pun harus berhenti sejenak. Sebuah lagi episode koma.

Baru beberapa hari berlalu aku mendapat berita untuk kembali berjalan. Girang kurasa. Tersenyum bahagia saat kulihat lagi si hitam itu. Mari dude, kita berpetualang lagi.

Kali ini Sumbing. Tak begitu lama seperti pergi-pergi sebelumnya. Tapi bahkan sebelum sebelum-sebelumnya aku telah berpergian seperti ini. Kudaulat sebagai hobi. Kini aku ingin mengulangnya.

Meski demikian, kabar Sumbing itu cukup membuatku kaget. Sudah sedemikian lama aku tak naik gunung, dan sekalinya naik gunung, harus lebih dari 3.300mdpl? Tetap saja jurus jitu kukeluarkan: bulat tekad.

Walaupun tetap, sebenarnya aku mendamba Merapi - sosok yang sering diam-diam mengintipku dalam suatu waktu - seakan berisyarat sebuah rindu ingin dikunjungi.

3.300mdpl. Sanggupkah?

Konon sepatu dan jaket baru menyertai. Dan hujan pun menantang kebaruannya. Dan pas juga jalur yang dilalui juga baru buatku, juga buat dua kawan pendakian kali ini. Dua dari mereka bukan orang baru. Tentunya.

Basecamp kurasa sudah demikian tinggi. Jalur Kaliangkrik. Berbeda dengan jalur "mainstream" yang sering dipakai kami sekawanan di setelah Parakan sana. Rumah-rumah di dusun terakhir tersusun seperti teras miring yang masing-masing lapisnya adalah cor-coran dengan bangungan rumah-rumah di atasnya. Senja berintik ketika kami sampai di lapis paling atasnya. Mentari di balik kelabu awan malu-malu menebar sinar vanila. Pemandangan senja yang terpantul di atas basah lantai cor-coran. Seakan berada di sebuah pelabuhan di atas awan. Lho, kenapa basecamp sudah sebegini indah?

Agak ciut sebenarnya hati merasa. Hujan tak kunjung berhenti, sedang rencana mendaki siang sudah jauh dari kenyataan. Mendaki malam dalam basah sedang jalur ini adalah jalur baru buat kami, dan 3.300mdpl? Benakku lalu merasio malam pun berjalan tak apa, asal hujan tak begitu ganas. Seperti biasa, mari mencoba memulai terlebih dahulu. Apa yang akan terjadi kemudian baru dipikir pada saat ia terjadi.

Pendakian pun dimulai dalam hujan yang mereda. Meski jalan bebatuan yang teratur karena masih areal perkebunan warga, jalur ke pos 1 itu sudah sungguh terlalu curam buatku. Demikian halnya jalur ke pos 2. Curam dan curam. Teman sependakian sudah menginfokan sejak awal. Seperti layaknya pendakian-pendakian sebelumnya, aku tak mencari info mengenai kondisi jalur yang akan ditempuh. Aku manut - atau lebih tepatnya malas saja mencari info. Percaya sudah bila berjalan dengan sekawan. Aku juga telah diberi tahu nanti akan menyeberang sungai ketika menuju pos 3. Dalam benakku ada sebuah sungai besar yang akan kami seberangi, layaknya sungai untuk rafting begitu. Namun sungguh pun telah salah aku membayang. Memang karena malam aku tak melihat dengan gamblang seperti apa bentuk sungai-sungai itu (ya, bukan hanya satu atau dua sungai yang kami lalui, tapi beberapa!!). Hanya, aku sadar bayanganku meleset karena debit air sungai hanya-lah seakan mengericik saja, dan pikir praktisku berkata layakkah disebut sungai sedang aliran itu seakan hanya tumpahan-tumpahan kecil dari satu ember di atas sana yang tak lagi muat menampung hujan? Kepala ini terlalu dungu untuk mengingat pelajaran Geografi perihal macam sungai di atas bumi - atau di atas gunung: yang adalah sejatinya sebuah hulu. Yang pasti aku tahu, di setiap kami menyeberang aliran air di dinding bebatuan itu, ada jurang-jurang gelap tepat di bawah kaki ini, siap menerkam kala diri sedikit saja luput memperhati.

Perjalan dengan sungai-sungai tajam dalam basah gelap malam itu sungguh pun penuh peluh. Energi begitu habis terkuras. Kami harus sangat waspada ketika menyebrangi si aliran. Beberapa batuan seringnya melenakan ketika ia terus-terusan tersiram air: licin, cyin.. Sepatu baru memang sedikit membantu. Tapi bagaimana bila hujan terus mengucur, dan ia terus-terusan direndam saat menyeberang aliran, serta pada saat bersamaan ketinggian posisi berarti juga bertambahnya minus suhu? Pos tiga kami berhenti. Sudah hampir jam dua malam. Nothing good after 2 a.m., konon HIMYM berkata. Tenda berdiri. Makan seadanya. Suhu sudah terasa membuat beku. Obrolan demi obrolan. Diri demi diri. Tebakan jitu sebuah judul lagu. Jam tiga barulah mencoba tidur. Bagiku ini sudah terlalu larut..

Tentulah, puncak tak dapat teraih. Kabut dan mendung menyelimuti sebagian besar hari esoknya. Aku urung membulatkan tekad untuk puncak karena secara perhitungan preferensi, aku memilih tidur di tenda daripada harus menghadapi perjalanan ke puncak dalam putih kabut dan kemungkinan besar hujan ketika turunnya. Pun bila hanya putih atau kelabu uap air itu saja pemandangan yang ada di puncak, sendiri dalam tenda di pos tiga kiranya lebih menggiurkan. Belum lagi sepatu baru yang didaulat tahan air itu masih juga basah, serta kurangnya kurasa tidur yang jenak. Jadi awalnya aku dengan senang hati memberi opsi untuk ditinggalkan. Ternyata satu kawan sungguh tak ingin bila harus meninggalkan perempuan sendiri dalam camp. Jadi satu grup tak berpuncak. Aku agak merasa bersalah. Tapi mungkin sudah jadi sebuah kebiasaan untuk berusaha bijak ketika berada di alam. Puncak memang menantang. Tapi batasan tetap diperlukan, karena alam selalu penuh dengan misterinya sendiri.

Setelah beberapa episode mengobrol dan menyantap makan minum serta tiduran, kami resmi turun dalam sore yang penuh rintik hujan. Baru kusadari, ternyata di tebing-tebing sudah ada Edelweis. Maka diri tak jadi heran mengapa perjalanan dari basecamp ke pos tiga cukup berat. Menjadi tak heran lagi ketika kembali menyeberangi sungai-sungai kecil yang curam. Dan barulah aku tahu betapa elok tumpahan-tumpahan air dari atas itu. Air terjun - air terjun kecil yang, sayangnya, bila tak berhati-hati akan mengandaskan nyawa karena di beberapa titik, batuannya diam-diam menjatuhkan. Inilah si penyerap energi kami malam sebelumnya. Siang saja kami harus konsentrasi penuh ketika menyeberang gemericik air itu. Dan bahkan kami melintasinya di gelap malam!*

Maka aku dan ransel hitam itu kembali berjalan - mungkin sebuah penutupan sementara yang cukup menyenangkan baginya sebelum beristirahat barang beberapa bulan, atau minggu - siapa yang tahu. Bahagia ada diri-diri yang turut bermunculan di sana. Kawan-kawan serombongan. Awalnya ada rasa membuncah sisa dua perjalanan sebelumnya yang mau tak mau turut terbawa. Laku mendaki kali ini berhasil paling tidak sedikit mengendapkannya, membuat diriku kembali menapak pada permukaan bumi - meski terkadang masih tak kuasa untuk tak melayang.

Dewasa dalam merasa. Kiranya itu pesan yang kudapat. Atau, entahlah..

Merapi yang diam-diam mengintipku di suatu waktu

Senja di pelabuhan sekitar awan
Salah satu jurang berbatu yang indah-indah menggedubrakkan

With misty forest!

Apology for the slightly wrong focus
*Empat hari setelah kami turun, satu orang pendaki tewas di siang hari karena terjatuh di salah satu aliran ini. Mendengar kabar barusan, rasanya agak bagaimana begitu, mengingat hanya beberapa hari sebelumnya saja kami berada di tempat pendaki tersebut meninggal.