Saturday, October 31, 2015

Di Puncak Ia Membara, di Lembah Ia Merana


Hanya tiba-tiba saja ingin menulis. Mungkin karena sudah lama tak ngeblog, tapi semacam ada keinginan untuk kembali menulis. Semacam keinginan menulis yang seringnya hinggap lalu kembali mengembara. Hinggap sejenak, kembali mengembara yang jenak. Betapa hidup penuh dengan apologi.

Mari berbicara tentang ritual dan Tuhan.

Kadang ibu berceramah betapa kurang ritual ibadah anak-anaknya, sehingga terlihat banyak sekali hal negatif yang melanda. Aku termasuk salah satu anak tersebut. Mungkin ibu merasakan juga bagaimana bila ritual-ritual itu dijaraki, hal yang tak menguntungkan akan sering meliputi kehidupan. Dan seorang ibu tak ingin anaknya mendapati kemalangan seperti demikian. Tapi nasihat semacam itu jatuhnya ke anak "muda" lebih seperti melihat Tuhan sebagai sosok yang pamrih. Berdoa, mengaji, sembahyang, hanya "sekedar" untuk menyogok Tuhan agar memberi nasib yang baik. Dan bahkan pun banyak orang bijak mengatakan bahwa semua keadaan baik adanya karena segala itu adalah nikmat Tuhan. Entah yang terakhir ini dikatakan oleh orang bijak atau oleh orang yang sedang menghibur diri. Karena kiranya nasihat ibu pun benar adanya. Meski tidak sehitam-putih benar seperti itu.

Aku memaknai Tuhan sebagai penyedia energi ilahi, sebagai segala macam sumber energi, baik fisik maupun yang non-fisik. Maka ketika bahasan tentang ritual dan Tuhan kembali muncul, yang kembali menyeruak di benak adalah tentang hubungannya dengan energi. Beritual berarti diliputi dengan energi ilahi. Kurang beritual berarti jauh dengan energi tersebut, atau istilahnya loyo dan tak berenergi. Aku dapat merasakan beda keduanya. Aku dapat merasakan bagaimana tubuh (dan jiwa) yang penuh energi, dan bagaimana tubuh (dan jiwa) yang kurang energi. Beribadah meningkatkan energi itu. Semacam semedi, atau meditasi, yang juga menjaga agar tubuh tetap berada dalam koridor energi serupa.

Maka ibuku benar bila kurang beritual mendatangkan kenegatifan dalam keseharian. Tapi bukan berarti anak-anaknya beritual hanya sekedar untuk mendapatkan hal-hal yang positif, seperti hal yang dicitakan, benda yang diinginkan, status yang diidamkan. Result oriented selalu aku enggani. Hal itu semacam ketidakjujuran dalam tindakan: tidak ikhlas; pamrih. Dan orang pamrih selalu hipokrit. Dosa besar dan menggelikan. Maka biarlah kenegatifan itu datang, Ibu, sehingga aku dapat menjalani kesadaran beribadah dengan hati yang sumringah. Dengan hati yang siap menerima daya ilahi sepenuhnya. Meski belum yang berarti selamanya.

Dan bahkan iman pun seringnya serupa gelombang longitudinal: di puncak ia membara, di lembah ia merana.