Sunday, April 28, 2013

Tagihan


"Yang membedakan perempuan satu dengan yang lainnya hanya lenguhannya.." (seorang dosen)

yang lalu aku menyeletuk ke temanku: "it's only a flesh.." (sembari menunjuk seluruh badan). Afirmasi penuh kudapat, karna ia sudah mengerti sepenuhnya hal itu. Badan itu hanya gumpalan daging. Paras yang rupawan, ah, sungguh pun itu hanya daging. Kini di era semodern ini, daging mudah sekali dibentuk. Yang negatif, asal itu bentuknya material, mudah sekali digubah jadi positif. Ada rezim medis. Gigi tonggos ingin jadi serapih gigi kambing pun tak jadi soal. Semua kulit mau diputihin semua pun gampang sekali. Yang katanya jelek segera ditransform jadi yang katanya indah pun bukan hal yang sulit.

Dan semuanya itu hanya daging. Namun walau demikian, salut sangat aku sama dosenku itu yang penuh yakin atasnya. Memang hal-hal yang masih tertutup untukku sudah terbuka buatnya, karna garam asam yang sudah ia rasa. Namun bayangkan, susah sekali bukan untuk tidak melihat penampilan orang? Untuk tidak melihat fisiknya? Untuk tidak melihat keseluruhan badannya?

Atau kukoreksi sedikit deh, karena sebenarnya aku mudah ilfil sama orang yang cakep nian. Bagi kita, sangat sulit untuk tidak tertarik pada fisik yang rupawan. Paling tidak untuk scanning awal. Penampakan luar seakan menjadi hal pertama yang menjadi saringan. Aduh, duh, duh.. jadi, banyak sekali mereka yang tak menarik secara fisik sudah mengalami peminggiran sedemikian rupa, sudah tidak lolos ujian bahkan sejak di awal.

Tapi biar kukatakan, bagiku tak lolos pun apa masalahku? Sesat pikir tadi memang sangat menyebalkan, walau demikian sulit sekali untuk kulepas dari rekatan otakku. Makanya segera saja kubilang dosenku itu keren sekali, sudah benar-benar bisa melihat orang tidak dari fisiknya. Sedang aku, aaargghhhh!!! Masih terkungkung ideologi dominan. Walau sudah mengerti itu hanya daging saja, bila tak berisi pun maka berarti tanpa isi, masih saja aku sering 'tergiur' dengan fisik. Paling tidak di detik pertama. Aaaaaarggh!!! Itu menyebalkan. Aku tak suka ketika menjadi makhluk tak seharusnya begini.

But, indeed, body is just a flesh. Namun gelagat adalah segalanya. Namun juga seringnya aku menikmati daging-daging itu. Untuk apa aku juga tak tahu. Rupanya melihat daging ini itu berjalan ke sana ke mari memberi kesenangan tersendiri buatku. Apa itu aku juga tak begitu yakin. Bila ada yang 'menyejukkan', yaah kita berucap syukur. Bila ada yang mengingatkan pada sosok (-sosok), ya kita tersenyum saja. Bila ada yang membuat berdesir, yaaaa.... tauk deh.

Hahaha. Tauk deh, tauk deh. Eh, tapi yang bikin berdesir itu pada ke mana ya? Kucari di Mc. D gak ada. Kucari di kampus gak ada. Kucari di perpus, malah dapet yang bikin pusing. Aduhai, pasti memang seharusnya bukan mencari, tapi tetap menikmati. Jadinya, ya sudahlah, kunikmati saja. Yang bikin jantung terseok-seok hingga bikin ngrasa pusing seratus keliling pun harus tetap dinikmati. Yang bikin tersenyum ringan pun, wajib dinikmati. Yang bikin pengen muntah pun.. ya, wajib dimuntahi. LOL.

Ah, daging ya. Gimana ya, daging suamiku kelak? Ajiah, aku mulai berandai-andai lagi. Eh, dasar efek dua minggu yang lalu ini. Pergi ke Surabaya, menghadiri pernikahan sepupuku, berkumpul dengan keluarga, dan mendapat banyak 'tagihan'. Ah, ya, umur segini memang layak ditagih kalik ya? Aku siapin aja mental untuk ditagih, walau aku heran, aku pernah utang apaaa sama orang-orang ini, sampe sepupuku yang baru kuliah semester 1 S1 pun ikut-ikutan nagih. Wadehek kalik ya?

Ya, yang nanya "kapan kamu, Ki?"-lah, yang trus ditegesin "kapan nyusul?", trus "wah, habis ini Kiki nih..", ada lagi yang pake bawa-bawa ibuku segala: "tuh, ibukmu ki wes pengen mantu, lho.." (sedang pas kutengok ibuku, nyoba nyari pertolongan, beliau malah seakan mengafirmasi, haish..). Ya, di hati emang bilang "jigur tenan, kok", kayak jadi eneg banget kalo ditanyain begituan. Rupa-rupa butuh banget mereka orang kayak aku biar merasa lebih beruntung hidupnya. Yaitu, via, misal setelah ditanya pacarmu orang mana, aku trus bilang "masih kosong", trus nyerocoslah mereka dengan macem-macem perkataan, yang aku yakin dalam hati mereka bilang, "ya ampun, masih gak laku aja..", dan bersyukur atasnya, soalnya mereka dulu seumuranku sudah pada menikah, atau sudah punya calon.

Ya ampun, negatif banget prasangkaku. Hahaha, padahal aku gak ngurusin apa yang dikata orang. Maksudku, sudahlah, mau kamu pikir aku gak laku, apa sedang diobral, apa harganya ketinggian, apa gak punya harga, apa dilabelin for free, apa sok idealis, apa sedang sakit jiwa, apa kayak 'cowok', apa kurang 'menarik', apa terlalu berbahaya, apa ketinggian pikirnya, apa terlalu gak jelas, apa apa yang manaaaaa lah, aduhai terserah!! Maksudku terserah, ya sudahlah. Toh juga aku tahu label begituan kan, dibuat untuk yang memberi label. Artinya sebenarnya orang-orang itu melabeli aku bukan buatku. Tapi buat mereka sendiri. Dengan melabeliku kayak barang gitu, mereka bisa tahu posisi diri mereka (menurut mereka). Dan yakinilah, prasangka itu selalu meleset. Mati aja, deh.. Urip kok ngandalke sangkaan..

Tapi yaaaa, yang gak bisa kubiarkan adalah ekspresi ibuku tadi. Berat, euy! Aih, piye ya? *guling-guling*. Rasanya kayak yang kemarin udah merasa gak mau kepikiran lagi, jadi mau gak mau harus kepikiran. Aduhaiii, ini mengingatkanku pada versi pencarian Cum saat S1 dulu. Kuliah kayak robot bikin malasnyaaa minta ampun soalnya tak dapat makna. Eh, tapi pas liat ibu nangis di wisuda masku (satu-satunya yang akhirnya 'mau' diwisuda), akhirnya mau gak mau aku bertekad ber-IP Cum. Biar ibuku senang (walau sebenernya aku juga senang dapat selempang tambahan). Aihhh, kini masak aku harus dipaksa ekspresi ibuku lagi, siih? Auuuuuuuu....uuuuuukk dehhhh!!! Just want to enjoy ittt!!! Just want to enjoy ittttt!!!!

Seriously, I even think to get the other master again, considering nowadays knowledge is totally not enough. Aaaarrrgggghhh!!! Akuuuuuu masih sukaaa belajaaaarrr!!! >>> gila.

But, whatever. Yang pasti satu: suamiku nanti, entah kapan aku menikah, tak boleh pernah melarang aku untuk belajar. Belajar!!! Rakitan sinau ro nggendong anak yo ra popo, sing penting aku emoh mandeg sinau --> ndobosh pwol.

Jadi, kapan, Jek?? Grrrrrrr!!!!!!!
MIND YOUR NGEK!!! *gak santai*

Eh, daripada aku keterusan (sok) marah, aku kasih beberapa foto di acara kemarin.

Si Empus keren di penginapan

beloved Ksatria "Mas Atta" (muah!!)





Mom and Ganks (?) Dan...
GUWEH!!! (-__-")a -> stupid flesh

 
Hahahah!!! Eh, anyway, sebenarnya aku suka banget sih, kalo pada nagih gitu. Semacam didoakan. Yaaa, ditagih pun kalo ndak mau bayar, ya gak bakal bayar, kan? Heuheuheu (ala Sudjiwo Tejo).


"(Rasakanlah) 
Isyarat yang mampu kau tangkap 
Tanpa perlu kuucap.."
(Hanya Isyarat, Dee) 

Saturday, April 20, 2013

Sang Alkemis tak Jadi Narsis


Aku memanglah orang yang sangat narsis. Mungkin karena aku pecinta "Sang Alkemis" milik Paulo Coelho, maka dari itu aku sungguh narsis. Hubungannya? Cobalah buka prolog novel itu (dan aku pun beranjak mengambil novel tersebut). Eh, rupanya prolog yang kumaksud sudah ditiadakan oleh percetakan yang baru. Sumpah atas dasar apa aku tak tahu. Yang pasti aku jadi sebal bukan main, karena artinya aku tak bisa punya rujukan untuk menguatkan perkataanku di awal. Oh, sungguh pun rezim merujuk sudah mulai menubuh pada diriku. Bukannya itu adalah selemah-lemahnya diri kalau membutuhkan rujukan? Rupanya memang manusia modern ini adalah orang-orang lemah. Yakinilah. Uopoh.

Namun aku sebenarnya bukan ingin merujuk (lihat, aku mulai berapologi di sini). Aku hanya ingin memberi tahu bahwa betapa aku sangat terinspirasi oleh Sang Alkemis, dan betapa aku sangat membenci edisi cetaknya oleh Gramedia. Pertama karena aku merasa ada yang hilang, yaitu cover yang kurang merepresentasikan kenanganku atasnya. Yang kedua (khusus untuk cetakan terakhir dengan cover warna cokelat - yang kupunya) ia tercetak dengan gaya populer: kertas memburam dan tulisan membesar. Yang ketiga yang paling fatal yang barusan kutemukan: Gramedia menghilangkan prolog!! Whadeheekkk!!

Yang pertama: cover. Aku pertama kali membaca novel ini ketika duduk di kelas tiga SMP. Aku mendapat hadiah dari Mbakku. Bersama "Mimpi-Mimpi Einstein". Jangan bayangkan aku adalah sosok yang dari kecil suka membaca yang berat-berat macam dua buku itu. Sungguh tidak. Jadi walaupun aku ndak mudheng, aku tetap melahap keduanya hingga membuatku jadi tak jelas seperti ini (?). Alhasil, yang kuingat hanya prolog serta garis besar cerita saja (untuk novel pertama), dan cover untuk keduanya. Biru muda dengan gambar orang bersorban dan berjubah, kayak orang Arab lah, yang ternyata baru kemarin-kemarin ini kusadari, itu merupakan representasi dari The Alchemist, dan cokelat tua menuju hitam dengan kombinasi warna menuju emas (bronze) serta gambar jarum jam untuk Mimpi-Mimpi Einstein (yang tentu itu berarti relativitas miliknya).

Singkat kata, cover biru ini membawaku pergi pada suasana Toko Buku di Jogja yang entah di mana aku lupa (soalnya sudah belasan tahun yang lalu). Yang kuingat Mbakku memilihnya di bawah terang cahaya putih yang berpendar di seantero toko buku tersebut. Penataan bukunya berantakan, tak ada AC, namun bukan di kawasan Shopping. Hari sedang terang benderang, kami ke sana setelah mengisi bensin di sebuah perempatan (mana aku juga lupa - atau tepatnya waktu itu tak tahu/sekarang lupa). Sampul biru itu lalu membawaku pada percobaan memaknai novel filosofis ini ketika sesampainya aku di rumah - Malang (kala itu aku liburan sebentar di Jogja), yang berujung pada kegagalan. Aku membaca tanpa menangkap makna.

SMA, setelah kudapati novel tersebut dibawa lagi oleh Mbakku, mungkin karena "ih, adek gak bisa baca yang berat-berat begini kayaknya", aku menemuinya lagi di rentalan komik (dan buku). Aku sering bertandang ke situ karena mulai kenal dengan yang namanya One Piece, Naruto, dan bacaan wajib penghilang pusing LKS Fisika serta Kimia ala anak eS-eM-A. Di sini aku terkejut melihat The Alchemist dengan cover yang lain, yang menurutku waktu itu sangat sangat sangat "ih, apaan sih".

Ketika aku SMP, aku tak tahu apa itu arti The Alchemist. Dijelaskan sama Mbakku dengan istilah Sang Alkemis pun aku ndak tahu (maklum, SMP belum dapat mata pelajaran Kimia). Lalu tahu tidak apa yang ada di benakku saat itu? Bahwa The Alchemist sangat linier dengan kekristenan, jadi di benakku Sang Alkemis itu pasti sesuatu yang berbau Kristen. Ampun, deh, ajaran dari mana ini. Rupanya menjadi mayoritas, belum lagi karena di bawah pengawasan rezim keluarga yang masih 'takut' anaknya kurang cukup 'sangu' sehingga takut anaknya 'terjerumus' ke 'yang lain', membuatku mudah untuk turut melanggengkan stereotip-stereotip yang sudah ada. Dalam mana aku membaca banyak sekali kata Maria seperti dalam kalimat 'Maria Yang terkandung tanpa noda', yang sebenarnya adalah ideologi Paulo Coelho, membuatku mengartikan secara garis lurus bahwa novel itu seakan ingin membumikan ke-Katholikan. Begitulah aku kecil: memaknai 'yang lain' selalu 'memiliki misi'. Memaknai yang berbeda dengan stigma, dan karenanya wajib untuk 'was-was' atas kehadirannya. Ya, Tuhan..

Sampul Alkemis kedua (yang kutahu) saat itu bergambar seorang perempuan yang duduk memangku seorang bayi laki-laki. Bisa jadi itu gambar realis tervulgar yang pernah kutemui: ada beberapa bagian tubuh sang ibu yang terbuka, yang menurutku 'memancing' (cek saja di sini). Sampul ini membuatku teringiang-ngiang, karena sedetik setelah aku melihatnya, aku berbisik dalam hati "ih, apaan sih". Aku berkata demikian karena interpretasiku mudah saja: perempuan itu adalah Maria, dan yang dipangkunya adalah Jesus.

Namun pembacaan keduaku atasnya lebih memberi warna, karena selain pada pembacaan sebelumnya (saat SMP) aku sudah senang ada agamaku disinggung-singgung di situ, juga karena kali itu aku mendapat makna, dan menjadi cinta: mengejar impian, dan mencintai rasa. Dua hal yang selalu digembor-gemborkan oleh Coelho (jadi harap maklum bila aku menjadi sebegini cinta atas mencinta).

Cover yang menurutku saat itu masih tendensius pun, tak kugubris. Yang penting aku suka dengan ceritanya. Aku sudah dapat (paling tidak) menangkap makna. Mungkin karena kerangka pengetahuanku sudah bertambah. Apalagi aku sudah belajar kimia, walau sebenarnya gambaran alkemis baru benar-benar jelas gamblang kudapat kala aku duduk di S1, kala membaca Full Metal Alchemist: komik keren yang di setiap episodenya emosiku dapat campur baur - terbahak/menangis/terbahak.

Dan sampul yang dipilih Gramedia untuk terbitan Sang Alkemis, bagiku, kurang merepresentasikan 'kekunoan' cerita ini. Maksudku, apa yang digambarkan penerbit itu terlalu maksa untuk jadi kuno. Aku bilang 'kuno', karena novel ini terbit pertama kali di tahun 1988 (mungkin sengaja ditulis untuk merayakan tahun kelahiranku, ngek). Untuk menjaga keorisinalitasan kedirian novel tersebut, kupikir perlu untuk memilih warna-warna dan kertas yang representatif. Modelnya kini terlalu populer. Aku tak suka pokoknya. Yang dipilih Gramedia 'gak Alkemis banget'.

Yang kemudian mengantarkanku pada hal kedua: pilihan kertas dan ukuran huruf tercetak. Setahuku ada dua periode cover untuk Sang Alkemis ketika Gramedia sudah menaungi semua terjemahan Indonesia tulisan Coelho. Sampul versi terakhir, yang kupunya, menggunakan bookpaper (yang walau baunya ashoey, kertasnya mudah terkena 'campak' aka. bintik-bintik yang tentu merugikan). Keduanya dicetak dengan ukuran huruf rada besar. Menurutku sangat tidak sesuai untuk style novel serius. Ini aku hanya belajar sok-sok-an ngerti novel serius dan enggak aja. Yang pasti aku lebih suka penampilan buku-buku Coelho terbitan bukan Gramedia, termasuk versi Bahasa Inggrisnya. Nggak lebay dan simple. Kecil dan ringan (walau mahal). Penerbit luar negeri (yang kupunya), selalu berusaha simple, walau untuk novel pop. Jadi sebenarnya bukan masalah pop atau bukan. Ini masalah selera. Aku tak suka selera Gramedia. Bagiku selera mereka 'gak Alkemis banget'.

Yang ketiga yang paling fatal: menghilangkan prolog. Padahal ini bangunan nuansa cerita awalku, kan. Bagaimana bisa Gramedia menghilangkan kisah Narcissus itu, sehingga membuatku mengalihkan pembicaraan untuk mengenang beberapa hal tentang Sang Alkemis dan relasinya dengan kehidupanku sebelumnya? Artinya ini adalah hal genting, mengingat topik yang di awal ingin kutulis jadi terpendam dan malah membuatku kesasar nulis tentang Sang Alkemis. Bukan berarti kemudian tulisan ini jadi tidak berarti, lho ya.. Itu dua hal yang berbeda.

Karena pikir pun selalu tak pernah habis, kuceritakan saja lah prolog yang menggemaskan itu. Atau tak usahlah. Lebih baik kalian merasakan kegemasan versi kalian masing-masing, karena baru saja aku browsing dan mendapat prolog itu, yang bisa jadi besok langsung ku-print dan kutempel di bagian awal novelku. Ih, leday. Berikut prolog tersebut:

Alkemis itu mengambil buku yang dibawah seseorang dalam karavan. membuka-buka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.

Alkemis itu sudah tau legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. ia begitu terpesona oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh ke dalam danau itu dan meninggal. di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan narcissus.


Tapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.


Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar, telah menjadi danau air mata yang asin.


"Mengapa engkau menangis ?" tanya dewi-dewi itu.


"Aku menangisi Narcissus," jawab danau.


"Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus," kata mereka, "sebab walau kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat."


"Tapi...indahkah Narcissus ?" tanya danau.


"Siapa yang lebih mengetahui daripada engkau ?" dewi-dewi bertanya heran.

"Di dekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya !"

Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata :


"Aku menangisis Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu indah. Aku menangisi karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri."


"Kisah yang sungguh memikat," pikir sang alkemis.
(sumber: ini)

Nah, aku yakin, bagi mereka pembaca baru Coelho, pasti akan sangat rugi, karena ada prolog ini yang tidak (belum) mereka baca. Sayang sekali pokoknya. Bayangkan saja, anak SMA jaman kata 'narsis' baru mencuat, sudah bisa bercerita tentang legenda kata tersebut pada teman-temannya, sedang Wikipedia saat itu masih wacana. Guweh emang keren banget, deh! Pret!

Trus betewe, kenapa aku bisa berakhir dengan novel edisi Gramedia? Ceritanya Sang Alkemis edisi lama yang dibelikan Mbakku kupinjamkan temanku dan tidak balik! Si sampul biru diembat orang!!! Akhirnya, aku harus puas ngomel-ngomel atas kebodohan edisi yang kubeli sendiri. Tapi anyway, pasti ada alasannya itu kenapa prolog tak dimunculkan sedang epilognya ada. Jangan-jangan edisi internasionalnya yang terkini juga sudah menghilangkan prolog? Tidak! Tidak mungkin!!!*

Dan kini aku benar-benar lupa tulisan apa yang di awal ingin kubagi. Topik yang seharusnya adalah nuansa malah mengambil alih menjadi fokus tulisan ini. Tapi tak apalah, kapan lagi aku membahas novel yang paling kusuka sekaligus paling banyak kubaca ini? (applause meriah)

*: setelah kucek di Google Books, ternyata edisi internasional masih mengandung Prolog yang dimaksud

Thursday, April 04, 2013

Diskusi tanpa Panas Dalam


Rabu sore, di sebuah pertemuan yang tiba-tiba saja menjadi diskusi dadakan. Yang tentu tak terencana. Hanya seakan merupakan pertemuan kawan lama. Coba, kawan seperti apa hingga bisa kusebut kawan lama, sedang seharinya bisa saja kami saling melihat kelebat masing-masing? Bukan sosoknya yang kawan lama, namun diskusinya.

Aku kan akhir-akhir ini sedang mematikan diskusi yang seperti itu. No newspaper, no outside discussion, and of course no staying at library. Aku pura-puranya sedang mematikan segala akses yang membuatku mengonsumsi hal-hal tak berguna buat jiwa ragaku. Pret. Diskusi di luar kampus adalah bahaya, perpustakaan adalah provider kelinglungan, dan koran adalah setan penyebar benih-benih ketidakotonoman. Jadi aku bertahan nggandholi yang ada di kampus aja. Asli, garing tenan sakjane.

Sampai akhirnya aku mulai beranjak dari keberanjakan. Melakukan perlawanan atas perlawanan. Berkelana dan diantarkan pada Rabu sore yang mendung, yang mengandung kawan lama: diskusi seperti itu. Absurd ya? Sini kujelasin:

Dalam mana sebuah diri bisa berbicara a be ce de e ef ge ha i je ka el em en o pe qi er es te u ve we ex ye zed, dan ada beberapa sosok di sebelah kirimu mendengar, mendengar saja tanpa memrotes yang frontal sehingga yang seperti itu tidak membuatmu terdiam seribu bahasa karena kadang protes frontal membuatmu panas dalam dan malas bicara. Dalam mana ada yang merespon segala a be ce de e ef ge ha i je ka el em en o pe qi er es te u ve we ex ye zed -mu, dan juga lalu kamu siap-siap kuping juga untuk a be ce de e ef ge ha i je ka el em en o pe qi er es te u ve we ex ye zed milik lawan bicaramu, tanpa memberi sanggahan tendensius yang akan menyebabkan temanmu itu panas dalam.

Diskusi tanpa panas dalam itu yang kurindukan. Itu dia kawan lamaku, yang, ya ampun, kayaknya aku rindu sangat hingga buih-buih ucapan terima kasih banyak sekali terucap ketika akhirnya kusadari pantatku sudah tepos karena ternyata sudah dua jam duduk di atas ubin yang ternyata keras. Aku ucap banyak terima kasih pada temanku, telah meladeni segala nonsense yang tak nonsense. Tentu aku tak ucap terima kasih pada ubin keras itu. Aku kini sedang menghindari yang bikin tipis-tipis soalnya, termasuk yang bikin kantong tipis, dan mungkin, otak tipis.. (padahal apa yang kulakukan sebelumnya kan bikin otak tipis, ih dasar sipit..)

Ada hal yang kurasa temanku tidak mengerti sepenuhnya, atau tak mau mengerti, tapi ia dengan sangat baik hati dan antusias telah mendengar dan menatapku yang ngomyang terus, seakan-akan yang kubicarakan penting sekali. Tapi aku tahu, sebenarnya topik itu sedikit ia hindari. Jadi ia hanya mendengar. Sedang aku tak kuasa tak berbincang tentang kegelisahanku ini, yang sudah seharian sebelumnya menyentak-nyentak kedirianku.

Aku mengatakan padanya betapa aku takut. Betapa kita tak pernah benar-benar mengenal diri kita. Betapa ada yang lebih besar yang mengontrol diri kita. Level yang tidak kita sadari. Segala rencana dan keinginan dapat bubrah karenanya, dan itu disebabkan oleh kedirian yang lebih besar, yang itu di bawah sadar. Ada 'diri' yang benar-benar tidak kita mengerti.

Kawanku itu hanya mendengar. Bisa jadi ia ngeri minta ampun mendengar kalimat awal barusan. Lalu aku singgung saja semuanya. Tentang konsep rencana Tuhan, tentang takdir, tentang kehendak, tentang alam sadar, tentang bawah sadar, tentang bayang-bayang itu. Aduh, ngelantur pun aku masih didengar. Spesial sekali rupanya aku sore itu.. Spesial atau sebenarnya tak tahu malu sekali..

Intinya ada yang lebih besar yang berkehendak atas diri kita. Dan itu bukan diri kita yang kita sadari. Atau bila kalian tak setuju denganku, biar kuubah kata kita jadi -ku: ada yang lebih berkehendak atas diriku, dan itu bukan diriku yang kusadari. Ada yang lebih tahu keputusan apa yang tepat untuk diambil. Bagiku, aku ingin mengenalnya, dan mengenalnya, dan menyatu dengannya, yang aku yakin ialah manifestasi Tuhan (aku skip bagian manifestasi ini ketika ngobrol dengan temanku).

Namun berbicara tentang filsafat Tuhan, memang tak pernah ada matinya. Segera saja aku merindu kawanku di seberang sana, yang setiap kali kutanya tentang Tuhan, jawab hadir membantuku merasionalisasi. Ah, kapan lagi aku bisa berbincang dengan dia langsung. Ngobrol dari sufi hingga cinta, atau dari Foucault hingga Imam Mahdi. Suatu ngobrol yang tak dibatasi konteks, namun keilmuan tetap menjaganya menjadi obrolan berkualitas. You know, it's totally not a stupid discussion, a stupid one where everyone wants to show their performance in order to show their power, their knowledge.

Diskusi itu obrolan seperti itu seharusnya. Ada dialektika. Ada rangsangan yang membuat diri pergi melayang merespon dengan pertanyaan-jawaban yang berkecamuk dalam benak. Yang membuat imaginasi tak mati, bahkan sebaliknya, membuatnya semakin hidup. Diskusi payah yang sengaja distratakan di kampus-kampus, yang seringnya bikin orang malas ngobrol, kurasa harus segera diimbangi dengan diskusi yang tidak menyebabkan panas dalam kayak gini. IMNHO (In Not-My Humble Opinion). Wkwk.

"So is it over?
Is this really it?
You've given up so easily,
I thought you loved me more than this
.." [Take It All, Adele]