Wednesday, February 27, 2013

Maka Sekaratlah..


"Bagaimana rasanya dibuang?"
Menjadi sampah maksudmu?
"Lebih dari itu. Bagaimana rasanya menjadi sampah sejak dahulu kala?"
Ah, ya. Tentu itu maksudmu. Dan kau tanya bagaimana rasanya?
"Ya. Bagaimana rasanya?"
Hati yang telah muram kembali diinjak-injak. Rasanya seperti tiba-tiba kau tak pernah hadir di dunia ini. Rasanya seperti otoritasmu limbung.
"Itu abstrak sekali.."
Kau pernah merasa kecil sekali karena tak ada yang memberi apresiasi kehadiran dirimu?
"Kurasa itu sering terjadi. Aku sering mengalaminya. Normal sekali terjadi pada setiap manusia."
Oh, ya? Kau bisa contohkan padaku pengalamanmu?
"Aku sering mendamparkan diri menjadi sosok anonim yang diam. Aku pergi ke sebuah perkumpulan tanpa harus menyebutkan identitas. Tak ada yang mengapresiasi kehadiranku. Tak ada yang mengajakku bicara. Namun aku bahagia."
Ya, karna kau tak kenal satu pun orang itu, dan terlebih kau memang hanya ingin menjadi pengamat. Menikmati segala. Bagaimana bila perkumpulan itu adalah tempatmu sehari-hari berkecimpung? Senang bila mereka tak memberi apresiasi barang sezarah pun?
"Oke, aku mulai mengerti ini."
Bayangkan organisasimu itu adalah satu entitas utuh dalam sebuah tubuh manusia. Hampir setiap hari kau berkelebat dengannya, lalu wadah itu seakan telah menjadi rutinitas keseharianmu.
"Rutinitas keseharian. Itu artinya kamu dan manusia itu adalah dua yang begitu dekat?"
Kupikir demikian.
"Kau pikir demikian? Bagaimana sebuah kedekatan dapat direka-reka? Kurasa itu dirasa." 
Begini. Bagaimana kau bisa yakin yang kau rasa itu adalah sebuah realita?
"Kita akan segera berdebat tentang arti realita kukira."
Ya. Dan lebih baik kita akhiri sebelum dimulai. Intinya adalah bagaimana bila yang dulu kau rasa adalah realita, ternyata adalah bukan?
"Kenangan memang selalu kompleks. Aku tak pernah memungkiri itu. Ia selalu di belakangmu. Membayangimu. Lengah sedikit, akan segera berdarah-darah kita dibuatnya."
Dan aku sosok yang sangat senang mengenang.
"Kupikir hanya aku satu-satunya orang bodoh di dunia ini. Aku dapat teman bila demikian. Namun mungkin kita berbeda."
Apa bedanya?
"Aku suka membiarkan kenangan itu menerkamku. Toh juga itu berasal dari diriku, jadi kubiarkan saja. Kunikmati saja tamparan demi tamparannya. Aku selalu memberi waktu baginya untuk melakukan itu semua."
Kau gila. Bukannya bila yang berjenis pahit akan sangat meremukkan?
"Ya. Kadang sangat meremukkan. Tapi kubiarkan. Kamu tahu mengapa?"
Mengapa?
"Karena aku yakin, keesokan harinya kenangan serupa akan hilang. Dan memori lain yang akan datang menghambur. Bila kini yang pahit sekali datang, esok yang sangat kontras darinya yang datang. Bila kini meremukkan, esok membuatmu melayang tinggi."
Kupikir-pikir memang selalu itu yang terjadi padaku. Mengapa memori selalu datang dengan wajah tak sama dan selalu saja tak pernah utuh?
"Aku tak tahu jawab pastinya. Namun hati selalu berusaha untuk melindungi. Bisa jadi itu adalah mekanisme pertahanan saja."
Apa maksudmu? Bagaimana ia bisa bertahan bila tak pernah ajeg dalam mengolah memori? Pagi bersemangat, sore lumpuh total?
"Begini, lho. Walau ia tampaknya berkhianat dalam misinya, sebenarnya khianatnya hanyalah sebuah pukulan tak terduga. Kuambil ini dari The Alchemist, seharusnya kamu mengerti tentang ini."
Ingatkan lagi, aku sungguh lupa.
"Ah, baiklah. Hatimu suka mengenang panjang lebar, dan berkomentar panjang lebar. Besok bilang D, besoknya lagi bilang Z.."
Zakiyah Derajat..
"Namun sebenarnya ia tahu mana tujuan yang ingin ia capai. Pengkhianatannya hanyalah representasi ketakutannya atas kehilangan."
Aku tak mengerti apa yang kau omongkan.
"Artinya, bila sekarang kamu sedang terkenang kenangan yang membuat hatimu sakit, lalu besoknya terkenang bayangan yang membuatmu bersemangat luar biasa, sebenarnya dua kenangan tersebut memiliki benang merah. Yaitu tujuanmu. Bayangan yang pertama hanyalah rasa khawatir yang hadir karena kamu bersiap untuk meninggalkannya. Bayangan kedua adalah penyemangat untuk tujuanmu."
Dan itu berarti hati selalu berkhianat dari tujuan untuk menyelamatkanku?
"Untuk menandakan bahwa kamu takut. Takut bila tujuanmu tak dapat kamu raih, dan akibatnya kamu akan kehilangan yang akan kamu tinggalkan. Mekanisme penyelamatannya tidak di sini. Ia akan menyelamatkanmu ketika kau sadari tujuanmu."
Bagaimana bisa ia menyelamatkan bila ia selalu takut di saat-saat yang tak terduga?
"Penderitaan atas kehilangan yang akan kamu tinggalkan, memanglah ada, dan nyata. Namun 'rasa takut akan penderitaan justru lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri'. Istilah sadisnya, lebih baik kita kehilangan daripada takut kehilangan. Jadi aku selalu bilang pada hatiku: kita sudah kehilangan. Mari bersedih."
Dan aku selalu merasakan sebuah siksaan yang lebih masif daripada yang kau rasakan.
"Benar. Karena kamu hanya merasa takut kehiliangan. Sebaiknya segera saja mengubahnya menjadi kehilangan. Hingga siksaan itu segera selesai."
Namun aku tak hanya kehilangan. Aku diinjak-injak.
"Ya. Itu terlihat jelas di perangaimu akhir-akhir ini."
Perangaiku? Yang mana?
"Dari marahmu. Aku tahu itu sangat menyakitkan.."
Kau tak tahu apa-apa.
"Aku tahu. Zakiyah Derajat pernah dengan jelas mengatakannya. Sebuah marah hanyalah representasi sebuah sakit. Kita bisa tahu sejauh mana orang merasa sakit hanya dari kemarahannya. Sebuah benci yang dahsyat berarti juga sebuah kemarahan yang dahsyat dan itu berarti sebuah sakit yang dahsyat."
Hah, kata-kata orang tengil itu kau cuplik?
"Ternyata pun ada benarnya, kan?"
Jangan meledekku. Aku hanya tak suka disakiti.
"Semua orang kiranya begitu. Tak suka bila disakiti. Apalagi dibuang seperti sampah begitu.."
Lagi-lagi kau menyindirku.
"Menangislah bila kamu ingin."
Tak apa, biar kusimpan saja.
"Aku tahu. Merasa menjadi bukan siapa-siapa memang selalu membawa kita pada titik terlemah. Diingatkan bahwa kamu sebenarnya adalah siapa-siapa pun percuma, karena itu tidak penting buatmu saat ini. Karena kamu hanya ingin menjadi siapa-siapa untuk satu manusia itu saja. Aku turut berduka bila kenyataannya kamu tak pernah menjadi siapa-siapa untuk sosok itu."
Kau sengaja ingin membuatku menangis?
"Ya, mungkin. Menangislah.."
Apa yang harus kulakukan?
"Jangan nonton Mario Teguh."
BwaHaHaHa!!!!
"Kamu masih mau tertawa rupanya. Kurasa itu pertanda baik. Aku hanya bisa kasih saran ini. Cukupkan sekali saja merasa tersiksa dengan sebuah penderitaan kehilangan. Artinya jangan pernah takut lagi kehilangan, karena kamu telah kehilangan. Jangan pernah takut lagi menjadi bukan siapa-siapa, karena kamu memang bukan siapa-siapa."
Tapi rasa menjadi sampah ini? Akan lama menempel dalam hidupku kiranya?
"Well, let's see.. Seseorang yang menyampahkan seseorang, kurasa seharusnya ia bukanlah seseorang. Bila orang tak tahu cara berperilaku, ia akan kumasukkan dalam katalog berjudul 'Binatang'."
Kau mulai membencinya, yang bahkan bukan siapa-siapamu.
"Biar kuingatkan. Dia juga bukan siapa-siapamu. Segeralah menghilangkan rasa takutmu itu."
Tak semudah itu.
"Ingat. Kamu bukan siapa-siapa."
Benarkah?
"Bisakah kamu membuktikan sebaliknya?"
Tidak. Tidak pernah bisa..

Wednesday, February 20, 2013

Daydreamer


Euforia ternyata bisa membuat rencana tidur sore menjelang maghrib-mu berantakan. Sangat berantakan. Ledakan itu benar-benar menggebrak. Tak mungkin penyebabnya adalah penyetan (sambal bawang) pedas yang kumakan sebelumnya (yang rasanya maknyos tenan!). Tak mungkin. Karena sambal tak pernah membuat hatiku berdebar-debar begini rupa. Tak juga pernah membuat bibirku terus-terusan menyunggingkan senyum. Ini dia euforia, yang malah memberantakkan rencana recharge energi via tidur-ku.

Rasanya pikiran dipenuhi oleh kesenangan, hati dipenuhi oleh kehangatan. Kombinasi keduanya membuat nadi berdetak melebihi detaknya ketika terinjeksi kopi dosis harian. Gulang-guling di atas kasur pun percuma. Yang ingin kulakukan hanyalah berteriak karena kegirangan, yang sayangnya tak bisa kulakukan di kamarku. Akhirnya aku nulis ini aja! Teriak-teriak di sini aja! Aaaaargghhh!!! Aku senang! Aku senang!! Aku senaaaang bangeeeeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttt!!!!! Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!! :"D

Jangan berpikir macam-macam dulu (kyaaaaaaaaaaaaaaa!!!!! Hahahaha!!!!!!!!!). Pokoknya senang. Pokoknya senang. Eits, jangan-jangan mi Aceh semalam yang bikin aku kayak gini? Yang konon ada ganjanya itu? Probably. Tapi jelas euforia ini nyata. Nadiku pun masih menyentak-nyentak saat ini. Hihihi.

You may say I just got a good news. Not the big one. But just like a little winning of a small war. Timing-nya perfect banget, sih.. :D Anggap saja aku sedang menghadapi sebuah perang; perang kecil. Tension-nya kerasa banget bila 'musuh' itu berada di sekitarku. Kemarin aku dapati kemenangan kecil atasnya. Lalu tadi siang aku mendapati nada kekecewaan dari 'musuh' itu. Setelah itu posisiku semakin diteguhkan dengan good news ini. Alhamdulillahirrabbilaalaamiin.. :) :D :D Hihihi. Really, goodnews, walau kecil, bila bertubi-tubi itu rasanya bikin kita kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!! Hahahaha!!

Dan kebahagiaan hari ini tak hanya itu. Bangun tidur pagi tadi tiba-tiba aku teringat project-ku yang belum juga kelar kulakukan. Padahal ini udah kurancang sejak 2011. Naudzubillah ya? Wkwk. Anyway, it's totally NOT about writing. Lain lagi yang ini. Mungkin bisa jadi aku diingatkan Amélie yang kutonton kemarin bareng dua film yang sebelumnya kubicarakan (yang kutulis di sini).

Amélie ini sosok yang selalu ingin melihat orang-orang di sekitarnya bahagia. Ini mengingatkanku pada sisi diriku yang kusukai, yang kini mulai menipis (hiks). Dulu aku selalu berusaha sepenuh hati bikin orang-orang itu bahagia. Gifting is one of my mediums. Bahkan dulu aku pernah berusaha banget jadi match-maker buat sahabatku, yang tentu tidak berhasil karena ia kucomblangkan dengan sahabatku juga (posisiku jadi serba salah: target tidak tertarik berhubungan pacaran, hanya ingin berteman, sedang sobatku satu lagi sangat ngebet ingin berpacaran - #errrrr). Dan banyak lagi yang tak bisa kubicarakan di sini karena ada beberapa hal yang rahasia yang hanya aku dan Tuhan yang tahu (apasih). Hahaha.

Nah! Project itu juga berkaitan dengan sifatku yang itu! Dan seharian ini aku terngiang-ngiang bagaimana bila akhirnya nanti bisa berhasil itu rencana yang sudah setahun tak kusentuh. Pasti sangat menyenangkaaannn!!!! Kyaaaa!!! Penuh bahagia aku oleh fantasi akan terwujudnya harapanku yang satu ini. Masalah yang ada hanyalah teknis, yang semoga bisa segera kuselesaikan dan kudapat jalan keluarnya. Aku sendiri sudah tak sabar merasakan senyum-senyum itu lagi.. :) :) :) *aku sedang tersenyum ketika mengetik kalimat barusan*.

YANG PASTI, aku akan segera mewujudkannya. Dan menebalkan kembali sisi diriku yang kusuka. Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!

*ya ampun, crazy banget post-ku yang ini, hihi*

Daydreamer
Sitting on the sea
Soaking up the sun
He is a real lover
Of making up the past
And feeling up his girl
Like he's never felt her figure before
(Adele - Daydreamer)

Sunday, February 17, 2013

Mengunjungi Minggu


Apa yang lalu membuat hatimu merasa teriris-iris di siang menjelang kumandang adzan Dzuhur? Adalah adegan kasih seorang ayah untuk anaknya, yang diungkapkan dalam versi 'tidak sayang'. Dan ini adegan nyata.

25 tahun. Sebut saja Zakiyah (aku dong?). Dikunjungi ayahnya di Minggu yang cerah. Angin lembut berhembus. Terik membakar jalangnya sang siang. Bunyi bel pintu tiga kali dengan pola tekan berbeda setiap darinya. Teeeet-teeeet-tet. Bergegas Zakiyah keluar kamar mandi tergopoh-gopoh. Tak menyangka kedua orang tuanya secepat itu sampai, sedang ia baru saja membuat kamarnya tampak rapih nian, sedang baju pun baru saja dilepas dari tubuhnya sebagai pengawal ritual mandi. Tak jadi mandi, ia kenakan kembali baju itu dan membukakan pintu untuk sepasang laki perempuan paling penting di hidupnya.

Ayahnya berperawakan besar, ibunya sekurus dirinya. Hati Zakiyah berdegup-degup tak karuan. Pikirannya berkelebat. Kunjungan ini tak pernah ia sukai. Bayangkan saja, di tengah tidurnya yang kurang karena tidur subuh, ia harus menerima telepon dari orang tuanya yang sudah dalam satu jam perjalanan saja dari tempatnya. Ia harus bangun, dan menghadapi kamar yang kotor berantakan. Ia iri dengan kamar temannya. Baginya keadaan kamar sebelahnya itu lebih mending daripada miliknya, meski itu berarti buku berterbaran di mana-mana. Tinggal menatanya kembali dalam lemari, batinnya dalam hati. Namun kamarnya adalah sarang debu dan kotoran. Buku tak banyak bertebar. Debu membahana. Kelabakan di pagi menjelang siang itu ia lebih rasai sebagai persiapan sebuah razia. Kunjungan yang seharusnya menjadi ajang lampiasan kasih sayang orang tua dan anak, kini hanyalah neraka baginya.

Dulu sempat ia menyukai kunjungan semacam itu. Bertahun-bertahun yang lalu. Ia tak perlu repot membersihkan kamar, karena kedatangan orang tuanya penuh cinta. Setidaknya apa yang mereka bawa adalah apa yang semua orang bilang sebungkus kasih. Kasih sayang yang membuat senang. Ibunya akan masuk kamarnya, dan hanya geleng-geleng melihat betapa berantakan dan kotornya kamar anaknya. Sang Ibu dengan tersenyum akan turun tangan membereskan dan membersihkan. Zakiyah dan ayah juga turut serta. Mereka damai dalam sebuah kunjungan kasih sayang. Setelahnya mereka akan pergi makan siang. Di gudeg langganan beberapa kilometer dari kos-kosan, lalu dilanjutkan jalan-jalan di Malioboro. Zakiyah senang karena kunjungan orang tua berarti juga sendal baru, atau baju baru untuk kuliah. Juga berarti tambahan duit makan. Bahagia mereka mengitari Minggu Jogja yang indah. Namun kini tak lagi.

Bukan berarti tak lagi ada kasih sayang. Ini hanya masalah cara mengasihi yang berbeda. Kunjungan yang digubah maknanya sebagai razia oleh Zakiyah itu membuatnya tercekik hingga harus menahan emosinya. Ayahnya bukan lagi seorang yang tampaknya bangga nian dengan masuknya dirinya di kampus idaman Nusantara beberapa tahun lalu. Ibunya tak lagi menyunggingkan senyum kepuasan karena telah melahirkan gadis pintar yang beranjak dewasa. Bayangan mengecewakan terpantul jelas dari masing-masing mata orang tuanya. Ia melihatnya dan menelannya sebagai kepahitan dirinya. Kepahitan yang perlahan menggerogotinya.

Kuliah tak selesai-selesai dengan IPK sekarat agaknya merupakan alasan yang tepat. Begitu masuk ke kamar, ayahnya penuh selidik menanyakan ini itu. Dengan berbahasa yang halus ia menjawab seadanya, masih dengan kesedihan yang mendalam karena berada dalam sebuah diri yang ia lihat dari mata kedua orang tuanya. Kamar yang sudah rapih tak diberi apresiasi. Duduk sebentar, ayahnya pun pamit ke belakang.

Sekembali ayahnya ke kamar, geram menyertainya karena ia dapati baju anaknya yang menumpuk kotor di sebelah kamar mandi. Tumpukan yang semakin mengeruhkan pemandangan areal yang sejak awal sudah terasa suram itu. Banyak di antaranya sudah menjamur, beberapa basah tak berupa, yang kering sudah penuh oleh sarang laba-laba. Meledaklah grundelan itu. Zakiyah beranjak membereskannya, bersama ayahnya yang meluncurkan sejuta kata penuh emosi kekecewaan di sampingnya.

"Ya Tuhan, Nduuk, uwis slawe tahun kok yo kayak ngene.. Iki piye to, awakmu.. Ayo kuwi diresikki. Kok isa klambine keteteran kayak ngene. Kuwi enek sing teles sisan. Kene lebokke kresek, tak gawa mulih gen tak bong mengko sampe omah. Owalah.. Nduk, nduk.. slawe tahun lho.."

Menahan emosi, entah marah atau sakit hati, Zakiyah tak begitu paham, air mata mulai menggenangi matanya. Namun ia pantang menangis. Ia tahu ia mengecewakan. Ia sadari itu. Tapi ia tak tahu bagaimana untuk keluar dari jurang mengecewakan itu. Lalu hatinya semakin teriris ketika emosi ayahnya telah memuncak dan.. 

"Dug!", suara kepalan tangan sang Ayah didaratkan ke dinding kamar mandi yang lalu dilanjutkan pergi meninggalkannya agar emosi semakin tak menjadi. Kaget setengah mati dengan mulut bungkam tak dapat berucap, hanya linangan itu yang akhirnya mengalir di mata Zakiyah. Dalam diam isak ia segera melanjutkan mengurusi baju-baju sialannya itu, kali ini dalam senyap tanpa gerutu sang ayah.

Beberapa menit kemudian, dengan muka tertunduk ia menuju kamar bersama tiga kantong besar baju kotornya. Ibu dan ayahnya diam. Ia undur untuk mandi barang sebentar, sebelum pergi makan siang bersama, atau yang sebenarnya brunch bagi dia.

Ia pun mandi dan mendinginkan panas tubuhnya karena emosi. Bersiap diri menghadapi adegan-adegan selama beberapa jam ke depan. Bagi Zakiyah, berjam-jam bersama mata yang memandangnya dengan penuh rasa kecewa adalah neraka yang nyata. Ia ingin segera mengakhiri hari ini dan kembali ke kamar mandi itu lagi, untuk menangis sepuasnya.

Sayup-sayup kumandang adzan Dzuhur membahana. Aku tersadar, ayah Zakiyah sudah lama pergi ditelan bumi. Namun ada yang mengirisku ketika mendengar ungkapan kasih sayang seorang ayah kepada gadis kecilnya di depan kamar mandi itu. Di sebuah Minggu siang menjelang Dzuhur.

Saturday, February 16, 2013

Silver Lining the Wallflower


Last night I spent my 8 hours not for sleeping. It was for movie watching. I thought it would be great for me to eat all those books this week before my new semester starts. But then, I realized that books without writing is useless, and writing without motivation is nauseous. Their combination was indeed killing. You may say I was dead. And my brain asked me to leave all books - and the article I must write. I took off all those shits, started calming down the nerve.

Then I got this two movies: Silver Linings Playbook and The Perks of Being a Wallflower. Ok, let me switch my language (anyway, I'm in the middle of my meal right now - first meal of the day. Pasta. It's just that wheat named pasta, boiled in salty water, chopped fried garlic plus pepper, and I gave cheese on it, bon appetite).

Jadi di tengah kunyahan gandum yang tak juga bisa kulepas jeratnya ini, aku ingin berkisah tentang dua film tadi. Aku tak begitu mengerti, mengapa jemariku memilih dua film itu. Tapi aku tahu mengapa film itu ada dalam HDD-ku, karena the genre is gue banget (ingat, aku adalah gadis FTV itu, jadi drama selalu membuatku senang). Even the most important thing in The Bourne Trilogy, as for me, is the drama part, not Bourne's action.

Dua film ini termasuk dalam jajaran yang teromantis di tahun 2012, IMdb version, of course. Mungkin ngepasin aja aku buka situs IMdb waktu V-day (Vagina day? :O) - tapi sudahlah, aku tak ingin membahas hal-hal yang di luar kemungkinan (apa lagi ini?).

The Perks of Being Wallflower. Diangkat dari novel (bestseller bok!) dengan judul yang sama. Cerita tentang tahun pertama Charlie di highschool-nya. Buat orang Amrik, awal tahun SMA sungguh menakutkan. Sekali kau tak dapat teman di minggu pertama, jangan bayangkan bisa jadi populer. Yang selalu ditakutkan adalah ketika seseorang bisa jadi 'bulan-bulanan' bagi anak-anak yang populer. Lingkungan baru memang berarti pertemanan yang baru. And make friends is so hard for the one like Charlie. Psikisnya terganggu, dan karenanya ia cenderung menjadi anak yang sungguh pendiam, yet he's so dumbass smart (chew).

Ah, agaknya aku juga pernah merasakan kegusaran serupa. Tentang menghadapi SMA. Mbakku adalah saksinya. Dengan bodoh aku berkata padanya, "Mbak, aku takut". Bukan karna takut tak punya teman, "aku takut Kimia. Apa itu? Aku selama ini hanya dapat Fisika dan Matematika. Tapi Kimia baru. Aku takut", lanjutku. Well, yeah, that was me. Science girl. Hahaha. Anyway, seperti orang tua dan Pak Guru Charlie yang menasehati bahwa semua akan baik-baik saja, mbakku, yang melewati masa SMA-nya sebagai masa kejayaannya, tentu juga bilang, "semua akan baik-baik saja. Kimia kuwi mung ngunu tok, kok. Opo sing diwedeni?" Ah, ya, orang populer pasti selalu berkata demikian (mbakku termasuk kategori populer, karna masnya (masku juga) adalah artis di SMA-nya - dia sendiri akhirnya juga menjadi artis karna parasnya).

Dan ketika cerita bergulir, memang semua baik-baik saja. Kimia, well, malah ia yang mengantarkanku berhasil nembus SPMB, sedang jawaban soal Fisika kuawur C semua (mengawur dengan strategi tentunya). Begitu pun Charlie. Akhirnya dia dapat geng. Bergabung dengan grade terakhir pula. Dengan Sam dan saudara tirinya Patrick (dengan nick-name 'Nothing'). Sungguh beruntung.

Hanya yang membuat spesial film ini bukan itu (swallow). Ya, tentu bukan itu. Did I mention about psyche? Itulah. Psikis Charlie sangat mengkhawatirkan. Di awal kupikir kenapa kan, eh ternyata parah juga. Charlie memiliki histori yang tak menyenangkan, dan membuatnya trauma, yang lalu bikin dia sering ingin mengakhiri hidupnya. Like the real depression gitu. To be in your lowest point is indeed not easy. So hard, even. Apalagi mereka yang pernah punya trauma. Dalam trauma yang mendalam, konsep bertahan mungkin berbeda, atau tak ada. Jadi buat mereka, untuk bertahan adalah dengan membunuh diri sendiri (mungkin). Kasus Charlie, ketika ia mulai merasa sendirian dan karenanya 'kambuh', ia lalu berpikiran bahwa segala kesusahan yang ada di sekitarnya diakibatkan oleh dirinya. Pikirannya berkelebatan oleh pertengkaran-pertengkaran orang di sekitarnya dan beranggapan bahwa segalanya tersebut dikarenakan olehnya (yang tentu sebenarnya bukan). Fokus hilang, dan pikiran negatif tersebut menguasainya. Tak ada teman, segalanya memuncak, dan mati buat dia menjadi cara menebus dosanya. Menebus dosa atau apa, aku gak tahu. Gak dijelasin juga. Sampai saat ini aku masih menduga-duga saja, apakah konsep bertahan mereka berbeda dengan orang kebanyakan, mati berarti bertahan, bukan lagi hidup, atau memang sudah tak ada. Tapi kayaknya yang terakhir hanya pendapat absurd deh.. (damn, how could I be so interested in this subconscious world!!).

Kisah trauma yang sesungguhnya disimpan di bagian akhir. Awalnya penonton pasti mengira itu trauma karena tante Charlie yang meninggal karena kecelakaan. Namun, eits, their little secret was not about Charlie's birthday gift. Yang diingat-ingat Charlie sebagai 'rahasia kecil' dengan tantenya itu akhirnya benar-benar teringat olehnya. Sexual abuse. Something finally recalled Charlie's memory. Tantenya pernah semacam melakukan kekerasan seksual padanya, waktu ia masih kecil. Entah seperti apa, karena tidak dijelaskan secara gamblang, and moreover I don't know much about sexual harassment to a little boy, that's why I don't know it for exactly.

Beruntung Charlie ingat, karena dengan demikian ia jadi bisa tahu penyebab sakit psikisnya. Kalo udah tahu sakitnya, penyembuhan lebih mudah dilakukan. For sure.

Yang menarik adalah bagaimana kinerja tubuh melupakan memori tersebut. Trauma itu berbahaya, dan menurut teori psikoanalisis, itulah cara tubuh melindungi dirinya, dengan tidak mengingatnya, dan memendamnya. Istilah memendam juga memiliki maknanya sendiri. Ia akan terkuak, tergali, hanya jika ada alat untuk menggalinya. Suatu kejadian membuat memori itu terkuak kembali dalam benak Charlie. Bukan kematian tantenya yang membuat ia 'views some things' (ya benar, bila sedang tak stabil, Charlie mulai dapat melihat hal-hal yang diproduksi memorinya - yang tak dilihat orang lain - juga suara-suara, yang tentu tak didengar orang lain), tapi karena kekerasan seksual yang dilakukan terhadapnya di masa kecilnya.

Where's the drama story? Here they are. Charlie loves Sam and gets his first kiss from her, whereas Sam is in relationship with other guy. Although at first they can't be together, finally, yeah, you can guess the next story - it's cliche anyway. Patrick is a gay, and get separated with his boyfriend who loves him and whose father doesn't want a gay son so he keeps hitting Patrick's boyfriend 'till they break up. The story about their friendship is awesome too. To be a silent boy means you 'mean' everything, and it makes Charlie knows what his best friends want for a gift. On Christmas eve, Charlie gives each of them the perfect gift, and makes everyone cries (spectators included). Awesome!!

Ini ada dialog antar Charlie dan Pak Gurunya ketika Charlie bertanya-tanya mengapa Sam memilih kekasih yang bukan anak baik-baik:

Charlie: Why do nice people choose the wrong people to date?

Mr. Anderson: We accept the love we think we deserve.

Charlie:
Can we make them know that they deserve more?

Dialog serupa (namun tak sama), nantinya di akhir film juga terjadi, antara Sam dan Charlie (kali itu Sam yang bertanya karna tahu her date cheats behind her). Hehe. Cinta itu emang buta, sih. Kita gak bakal dengan mudah sadar that we deserve better, right? Bila sudah sadar, nanti kayak yang Frau bilang deh: "... tetapi esok nanti, kau akan tersadar, kau temukan seorang lain yang lebih baik..". Namun sekali lagi, baik sama enggak itu hanya masalah apa yang di bangun di benak. Dan itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Hihih..

Film satunya, Silver Linings Playbook, herannya juga bernada psyche-psyche gitu. That's why I was wondering why. Apa lagi jaman ya di Amrik ngorek-ngorek tentang mereka yang sakit mental? But unfortunately I didn't watch many movies in 2012 to answer it. Shame on me.

Film ini, menariknya dibintangi Bradley Cooper. Ih, siapa sih yang gak gandrung sama mas ini? Sejak nonton dia di....(mengingat) "He's Just Not That into You" (2009), aku udah jatuh cinta sama aktor ini. Tom Cruise emang gak bakal kalah, tapi Bradley ini lain.. Oh! Watch his movie, you'll know why I adore him!! Aktingnya gak begitu super memang, tapi lambat laun sudah jauh lebih baik. For some reasons, this guy has his guts! Sudahlah, tonton saja. (Clue: dia yang paling seksi dari segala yang main di The Hangover. Hikikik).

Oke. Kisah psikis Brad yang memerankan Patrick (pas banget Patrick lagi, apa iya emang lagi jaman? Jangan-jangan director-nya sama inih? whatever -__-'), lain dengan kisah Charlie. Patrick, yang disapa akrab Pat, sudah jauh lebih dewasa. He's married. Kisah traumanya juga lain. What happened to him? Dia membunuh laki-laki yang dengan mata kepalanya sendiri terpergok sedang make love dengan istrinya. He killed the man as soon as he caught them cheating. Ih, gilak deh pokoknya. On spot pula membunuhnya.

Plotnya sama. Tentang membunuh ini juga baru diingat Pat belakangan. Di awal, ia hanya tahu ia dikirim untuk rehabilitasi karena telah memergoki istrinya yang tengah enjoy dengan pria lain, di kamar mandi di rumahnya. Baru terkuak di akhir, traumanya lebih dari itu. Ia membunuh pria yang sedang ada di kamar mandinya (dengan istrinya). Wuuuu ngeriiiiii (don't ever try this at home!).

It's indeed drama. Pat, setelah keluar dari rehabilitasi (atau penjara ya? semacam itu lah), akhirnya bertemu dengan Tiffany, yang juga mengalami neurosis. La la la la... ah, ini drama abis. Pat masih berharap sangat pada Nikki, istrinya, sedang ia sedang dalam kondisi terkungkung hukum: tak boleh dekat-dekat Nikki, dsb. dsb. Tiffany yang membutuhkan Pat sebagai pasangan dansanya untuk sebuah kompetisi, mengiming-imingi Pat untuk menjadi 'mediator surat-menyurat' dengan Nikki. Pat setuju hingga tiap hari ia bertemu dengan Tiff, berlatih dansa. Di awal kita pasti udah tahu si Pat ini tertarik sama Tiff (Tiff mah, emang udah tertarik duluan). Namun Pat berkeras ia tidak tertarik, karna baginya ia masih terikat dengan Nikki. Sungguh lucu melihat dua orang yang dianggap gila atau tidak normal di lingkungannya, justru saling menggila-gilakan satu sama lain. Pat pada akhirnya mengerti, Tiff tak pernah menjadi mediator antaranya dengan Nikki (lagian dimediasi juga percuma, Nikki sudah keburu takut sama Pat). Namun banyak yang ia dapat dari latihan dansa yang tiap hari ia lakoni dengan Tiff. Pertama ia jadi fokus, bipolar disorder-nya jadi 'lunak', dan karenanya ia tak pernah 'kambuh'. Kedua, ia mendapatkan tumbuh kembang rasa tertarik keduanya. Pat tak sendiri. Tiffany pun dapat teman. Emosi yang meledak-ledak yang Pat miliki, pelan-pelan surut. Di akhir, ya tentu, memang klise, Pat menyadari rasanya terhadap Tiffany. And damn, he's so matured over there!!! Aaaarrrrgghhh!! Dewasa bangett!!!

Aku suka gaya Tiffany di awal yang keukeh menyatakan bila Pat tertarik sama dirinya. Tentu Pat menolak mentah-mentah pernyataan Tiff. That was so funny. Di sono, hanya orang yang dicap gila yang bilang tidak tertarik padahal kelakuannya mengindikasikan hal sebaliknya (dan plis ya, orang tuh ga goblok-goblok banget kali hingga gak tahu mana perilaku yang menandakan tertarik sama mana yang enggak). Di sini, jih, berjibun deh orang munafik, hingga ada istilah PHP di kamus anak muda jaman sekarang. PHP di amrik mah, nama web machine. Ada memang PHP, mereka pakai segala frase yang berhubungan dengan 'hook', tapi mereka gak hipokrit. Ih, mual aku dengan kemunafikan (dih, biasa aja kali, Jek).

Intinya... (ah, akhirnya ending juga). Kedua film ini mengangkat tema serupa. Mental disorder atau apalah itu namanya. Seakan mereka berbicara, untuk mem-boom-kan orang-orang yang terpinggirkan ini. Dengan nonton dua film ini, kita jadi tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang serupa, yang konon mentalnya terganggu. Entah apa bahasa yang tepat untuk mereka, yang kukira gak bakal ada yang tepat, namun satu hal yang pasti: film ini diangkat tentu tak berdasarkan penutupan mata. Ada representasi realitas di sana. Dan pengucilan dari masyarakat hanya memperburuk keadaan si subyek. Banyak pihak lho yang pernah punya trauma sangat berat. Dan itu bukan salah mereka kan, tentunya. Terlihat seperti salah mereka pun kita tak punya hak jadi penghukum yang menghakimi. Kedua film ini, tanpa sengaja mengajari, telah memberi pelajaran pada yang menonton. Kita diajak untuk menerima mereka, yang sangat membutuhkan teman dan suasana kondusif, namun ironisnya cenderung dikucilkan. No, they have life either. They are also human being. And human being needs friends. Don't we dare hurt them who have got hurt already.

And anyway, Silver Lining sendiri berarti optimisme. Suatu yang selalu dikatakan Pat agar ia selalu optimis untuk bisa kembali pada Nikki. Yes, he loved Nikki so much. Dalam yakinnya, di adegan-adegan awal dia berkata,

"If clouds are blocking the sun, there will always be a silver lining that reminds me to keep on trying, because I know that while things might seem dark now, my wife is coming back to me soon.” 

Allright, Pat. I mean, whatever, Pat.. Hahaha.

Namn it, I just used so not-awesome title for this post! arrgh!!

Saturday, February 09, 2013

Selamat datang, Alergi!


Aku tak pernah berharap yang seperti ini terjadi padaku lagi, atau sebenarnya pernah, sih..

Syahdan, seorang Zaki Pstp pernah menulis:

"Bagaimana bila tubuhku kemudian penuh bentol, ..." (Bagaimana Bila - 2012)

dan aku benar-benar mendapatkannya! Nyata! Lagi! Sudah 24 jam!! Alergi!!!

Rasanya sudah lama sekali tanpanya, tidak ada ketika mulai pindahan ke Jogja, tidak menyerang ketika masih di pare, tidak juga kala mendaki Semeru. Sudah setahunan lebih berarti. Aku tak pernah mengharapkan kehadirannya. Bahkan saat ini. Tidur gak bisa (mau bisa gimana bila gatal di mana-mana?). Usap sini, usap sana, dan menggaruk sama saja dengan neraka. Aaaaaaaaaaaaarrrrrghhhh!!!!!
 
Aku tahu dua minggu ini sangat emosional. Aku tak pernah menyangka pertahananku akan sejebol ini. Pasalnya tiga bulan lalu, di mana kesibukan kuliah dan tugasnya yang berjibun lalu membuat pola makan dan tidurku keteteran bukan main dan karenanya membuatku berpikir alergi seperti ini akan muncul, ternyata aku masih bertahan. Tak ada bentol-bentol sama sekali. Tak ada sesak nafas sama sekali. Malah saat ini: kuliah tak ada, semua deadline sudah lewat, eh, alergi itu muncul. Imunku benar-benar turun drastis. Kuakui memang tidur dan makanku juga berantakan. Tapi aku tak bisa terima kenyataan ini. So illogical.

Dan sebuah pernyataan sebenarnya bermakna kontras darinya. Sebenarnya ini logis, sangat logis bahkan. Level bawah sadar memang tak dapat diprediksi. Bila ia tak dapat menahan cobaan, luber ia ke tubuh, menyerang yang sadar. Pak Guruku pernah bilang bahwa kata-kata selalu bermakna, dan punya seringai. Ia bisa menyerang siapa pun, dan apa pun. Bisa jadi kau tak punya hati, namun kata-kata selalu dapat menunjukkan kekuatannya. Dalam kasusku, kata-kata sungguh telah menyerang sedemikian rupa. Hati sudah merasa, tubuh mengindra hadirnya, dan bawah sadar menerimanya. Bertahan tak dapat, ia salurkan pada yang sadar. Telak bila alergi itu muncul. Pilihannya hanya dua: rusak jiwa atau rusak fisik. Mungkin itulah yang terjadi pada mereka yang dianggap gila. Sistem bawah sadarnya tidak dapat membagi 'sakit'-nya pada yang sadar, sehingga jiwanya tak lagi seperti kebanyakan orang. Pola pikirnya yang berbeda, dan ketidaksadarannya bahwa ia berbeda, membuat ia mendapat predikat 'gila'.

Semuanya ada pada input. Aku harus segera mengounternya. Meluruskan segala bahasa yang masuk. Bahasa yang baik -kata-kata yang baik- akan menjelma menjadi sebuah yang baik pula. Ialah yang sebenar-benarnya medium. Konsumsi bahasa adalah konsumsi level pikir, dan karenanya adalah konsumsi bawah sadar. Lalu dengannya muncul sikap sebagai representasi konsumsi. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana aku mengatur level pikirku, karna hanya ia yang tahu apa itu yang baik, dan apa itu yang buruk.

Segera melakukan perlawanan, membangun pertahanan. Aku tak mau imunku segera hancur dan harus terikat (lagi) dengan rezim medis. Aku tak mau jadi bangkai yang terkapar tak berdaya dengan jarum menusuk vena pergelangan tanganku. Tidak lagi.

Lalu biarkan aku berdoa, karena aku sedang sok religius:

"Tuhan, berikan aku kekuatan untuk membersihkan kamarku. My roommate is about to come.."

Aamiin..

PS: bahkan resolusi 2013: program LIVE-T-ku, sudah kuhianati dalam sebulan saja, aaarrrgggghhhh!!!!

Sunday, February 03, 2013

Grundelan Si Penyakitan


Apa jadinya ketika malam itu kau bilang 'aku tak mau mengirimu sms lagi'? Akan seperti apa hari ini ketika hari itu kau tak menjawab pertanyaanku dengan kata 'tidak apa-apa'? Akan berada di manakah diriku sekarang ketika sejak awal kau bilang saja bila kau sudah punya kekasih?

Mengapa pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu berkelebat di benak? Sebegitu menyesalkah aku telah mencintaimu sedemikian rupa?

Lihatlah diriku, yang kini sebegitu mengandai-andai untuk pergi dari kekinian. Pergi entah ke mana. Ke waktu yang antah berantah, menyederhanakan kehidupan.

Oh, kau kini balik badan. Tanpa melambaikan tangan. Pergi dari pandangku. Menggandeng tangan perempuan itu. Perempuan itu.

Apa ini? Cemburu? Erangan sebuah kekalahan?

Seakan memilikimu adalah segalanya. Namun memang segalanya. Ini sungguh memuakkan. Mengapa tidak sejak awal saja kau hentikan? Mengapa kau tetap membuatku jatuh? Lalu kini kau cabut semua ketika aku sudah begitu dalam terjatuh. Itu siapa yang lacur, wahai Tuan?

Kau hadir menawarkan diri, for free. Begitu sudah kau berada dalam keranjang belanjaku untuk sedemikian lama, kau teriak-teriak. 'Aku gak suka di sini, woeii!!!'. Ini apa? Apa yang harus kulakukan? Aku tak dapat begitu saja mengosongkan keranjang belanjaku, tidak setelah selama itu kau berada di dalamnya, Tuan..

Iya, membayang berada dalam kotak seukuran diri, terpaku dari luar dan dialirkan ke Bengawan yang sedang meluap itu sungguh serasa sangat indah. Menutup mata dan terombang-ambing hingga tahu-tahu aku sudah ada di perut ikan Laut Jawa. Indah sekali..

Membayang itu, dan kembali membayang, apa jadinya diriku kini tanpa hadirmu di tahun lalu? Tanpa mencintaimu di tahun lalu? Tanpa mengambil dirimu untuk mengisi keranjang belanjaku yang kosong?

Membayang ini dan itu. Aduh, betapa hidup dalam kesedihan seperti ini sungguh menyedihkan..