Saat
menginjakkan kakinya di Belanda pada 1929, apa kiranya yang pertama kali muncul
di benak Raden Saleh, anak Nusantara yang paling awal[1]
menempuh pendidikan di Negeri Tanah Landai itu? Kincir angin bisa jadi adalah
yang utama yang membuatnya tersenyum dan merasa bergairah bukan main. Pasalnya
itulah hal mencolok yang menjadi bukti bahwa ia telah berada dalam benua di
mana “ilmu pendidikan tinggi berkilau bagai permata”[2]. Dan
bukankah ia telah sering mendengar bahwa Belanda adalah Negeri Kincir Angin?
Tapi setelah beberapa saat menghabiskan waktu berguru di studio pelukis ternama
Cornelis Kruseman (1797-1857) yang terletak di kanal indah di Prinsegracht
(Bachtiar et al. 2009: 36), Den Haag, Raden itu seharusnya menjadi tahu, bahwa di
Belanda ada satu hal yang jauh lebih penting daripada si kincir angin. Orang
sana menyebutnya dijk atau dalam
bahasa Indonesia dipahami sebagai tanggul.
Tanggul dan Tanggul
Si Raden mungkin
sudah tahu dari obrolan-obrolan selama ia di Belanda, bahwa kebanyakan daerah
di negeri itu tanahnya lebih rendah daripada permukaan laut, termasuk di Den
Haag, tempat ia tinggal. Pasalnya daratan Belanda tak lain merupakan delta dari
sungai Rhine, Mass, dan sebagian kecil dari Scheldt dan Eems (Van der Horst
2006: 76). Ia yang awalnya tak begitu menghiraukan bentuk sungai, kanal, dan daerah
pantai di sekitarnya, kemudian menjadi mengerti bahwa “gundukan-gundukan” itu
memiliki peranan sangat vital bagi kehidupan negeri pujaan. Sungguh pun gundukan-gundukan
itu telah lama berada pada tempatnya. Gundukan pasir di sepanjang area luar
Alkmaar hingga Den Hagg misalnya, mulai terbentuk sejak antara 5500 dan 3000 SM
(Newton 1978: 7). Tapi yang ia saksikan saat itu tidak hanya The Old Dunes, tapi juga tanggul-tanggul
baru, atau gundukan lama yang diperkuat dengan material batu[3].
Ia juga tidak hanya menyaksikan dinding-dinding yang membentengi Belanda dari laut,
tapi juga tanggul, kanal, dan bendungan untuk sungai-sungai, yang dibangun
sedemikian rupa agar paling tidak tetap ada lahan kering sebagai tempat hidup. Banjir
bagi Hollanders adalah momok paling
nyata di depan mata.
Polders and
Polders
Bila Raden Saleh
pergi dua abad sebelumnya (abad XVII), saat Belanda dalam masa super jaya atau
biasa disebut Dutch Golden Age, ia
akan melihat lebih jauh lagi. Suatu petak tanah yang ia pijak di suatu waktu
pada 1829, bisa jadi belum ada dan masih tergenang oleh air di dua abad
sebelumnya, mungkin masih berupa danau atau rawa. Sebagai catatan, teknologi
“pertanggulan” pada masa itu juga sedang mengalami kejayaannya. Tanggul tidak semata
dipakai untuk menghindari air, namun lebih jauh, tanggul dan kanal dipakai
untuk “membuat” sebuah lahan baru, yang jamak disebut polder. Danau bernama Beemster adalah proyek terbesar pertama dan
sukses “dikeringkan” (Van der Horst 2006: 86). Tanggul beserta kanal dibuat
melingkar mengelilingi danau. Setelah sistem drainasenya siap, kincir angin
kemudian dipakai untuk memompa habis air di danau. Terhitung dua tahun lamanya
untuk mengeringkan air danau tersebut (dengan total empat tahun karena dua
tahun pertamanya gagal). Usaha ini berhasil memulihkan lahan seluas 7.189
hektar (ibid.), atau sekitar sepersepuluh luas Jakarta di era kontemporer. Pada
tahun-tahun Raden Saleh di Belanda, Beemster sudah kehilangan titel danaunya.
Usaha pemulihan lahan ini menjadi investasi yang sangat menggiurkan untuk sang
negeri. Pasalnya sebuah lahan kering berarti juga sebuah kemungkinan untuk
pertanian, pemukiman, industri, transportasi, dan lain-lain – sebuah harapan
cerah untuk isi kas negara.
Usaha reklamasi lahan terus dilakukan di Belanda sejak ribuan hektar yang telah berhasil dikeringkan itu. Apa yang Raden Saleh nikmati di tahun 1980-an adalah hasil dari proyek panjang orang-orang Belanda dengan kemampuan “trial-and-error”-nya. Pun hingga saat ini. Terlihat bahwa sebuah negeri memiliki teknologi yang sungguh hebat dikarenakan mereka secara berkelanjutan “mendapat” kesempatan untuk bereksperimen. Banjir yang selalu menghantuinya, yang pernah beberapa kali menggasaknya di masa lampau (terakhir pada 1953 menewaskan lebih dari 1800 orang, ibid.: 84) , menuntut Belanda untuk terus dan terus memperbaiki strateginya dalam menghadapi air, juga menuntutnya untuk terus mencari modal agar eksprerimen tetap terdanai. Terinspirasi dari alam, yaitu dari The Old Dunes, mereka terus “bermain” dengan air. Alam itu yang mengajarkan bahwa tanah tak hanya dapat digunakan untuk beteng pertahanan. Tanah juga dapat mengendalikan air. Dan kata-kata itu pun mendapatkan ruhnya: “God created the land, but Dutch created the Netherlands”. Raden Saleh pun turut tersenyum di atas sana.
Usaha reklamasi lahan terus dilakukan di Belanda sejak ribuan hektar yang telah berhasil dikeringkan itu. Apa yang Raden Saleh nikmati di tahun 1980-an adalah hasil dari proyek panjang orang-orang Belanda dengan kemampuan “trial-and-error”-nya. Pun hingga saat ini. Terlihat bahwa sebuah negeri memiliki teknologi yang sungguh hebat dikarenakan mereka secara berkelanjutan “mendapat” kesempatan untuk bereksperimen. Banjir yang selalu menghantuinya, yang pernah beberapa kali menggasaknya di masa lampau (terakhir pada 1953 menewaskan lebih dari 1800 orang, ibid.: 84) , menuntut Belanda untuk terus dan terus memperbaiki strateginya dalam menghadapi air, juga menuntutnya untuk terus mencari modal agar eksprerimen tetap terdanai. Terinspirasi dari alam, yaitu dari The Old Dunes, mereka terus “bermain” dengan air. Alam itu yang mengajarkan bahwa tanah tak hanya dapat digunakan untuk beteng pertahanan. Tanah juga dapat mengendalikan air. Dan kata-kata itu pun mendapatkan ruhnya: “God created the land, but Dutch created the Netherlands”. Raden Saleh pun turut tersenyum di atas sana.
Bahan Bacaan:
Bachtiar, Harsja W, Carey, Peter, Onghokham. 2009. Raden Saleh: Anak
Belanda, Moei Indie dan Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu.
Newton, Gerald. 1978. The
Netherlands: An Historical and Cultural Survey 1795-1977. London: Westview
Press.
Poeze, Harry A. 2008. Di
Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600 – 1980. Jakarta.
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan KLITV-Jakarta.
Van
der Horst, Han. 2006. The Low Sky: The
Book that Makes the Netherlands Familiar. Utrecht: Scriptum
Publishers/Nuffic.
[1] Raden Saleh adalah salah satu yang paling awal mendapat kesempatan
belajar di negeri Belanda. Setelah “hanya kebetulan” turut Inspektur Keuangan
De Linge sebagai klereknya berlayar ke sana, ia meminta izin untuk tinggal
lebih lama dan mendapat beasiswa sebesar 2.000 gulden dari Pemerintahan Hindia
Belanda. Ini dimungkinkan karena sebelumnya selama di Nusantara ia memperoleh
patron dari orang-orang Pemerintahan yang otoritatif, seperti Reindwardt (saat
itu Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan
pulau-pulau sekitarnya) dan Gubenur-Jenderal Hindia-Belanda, Van der Capellen (Poeze
2008: 12-13). Raden Saleh tinggal di Eropa hingga 1851. Sepuluh tahun
pertamanya ia habiskan di Belanda dan sisanya berkelana ke beberapa negara,
termasuk lima tahun tinggal di Dresden, Jerman. Ia sempat mendapat audiensi
dari Raja Louis Phillippe, Perancis, dan di Belanda sendiri sudah diangkat
menjadi Pelukis Raja (ibid.: 15).
[2] Cupklikan tulisan Raden Saleh, terpampang di sisi kiri pintu masuk
Galeri Nasional Jakarta saat pameran yang bertajuk Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia
berlangsung tanggal 3-17 Juni 2012, lengkapnya di http://www.solopos.com/2012/06/21/rupa-sejarah-di-tanah-rantau-195363.
[3] http://dutchdikes.net/history/
diakses 27 April 2015.