Tuesday, December 25, 2012

"Setahun"


Kemarin, ketika berada dalam kemacetan sebuah trayek mobil Solo-Yogya atas nama pulang dari kondangan sahabat tercinta, kami berhasil merumuskan  beberapa akhitvitas untuk tahun baru. Memang tak ada yang spesial dari tahun baru, kecuali karena ketidakspesialannya tersebutlah aku kemudian membincangkannya, bahkan menulis post ini. Bagiku pola tahun hanyalah sebuah konstruksi - digunakan untuk mempermudah perhitungan. Setelahnya detik masih berlanjut, bumi terus berputar mengelilingi matahari dan juga berotasi di tempatnya. Karena revolusinya terhadap matahari, karena tiga ratus enam puluh lima seper-empat harinya tersebut, posisi matahari di bagian-bagian bumi tertentu memberi dampak tertentu. Seasons are changing and waves are crashing and stars are falling all for us (The Red Jumpsuit Apparatus - Guardian Angel). Kecuali alasan ilmiah ini, bagiku tahun baru tidak ada spesial-spesialnya. Atau sebenarnya ada? Ya, mungkin ada juga sih..

Yang lucu kan bagaimana orang-orang bisa begitu bahagia ketika tahun baru. Ada banyak kembang api, pesta, dan sebagainya. Seakan rutinitas setahun dilepas, dan bersiap untuk menghadapi tantangan tahun depan yang tak terduga. Hahaha. Ya itu lho, lucu kan? Kelihatan tidak sisi lucunya? Sebuah sistem telah menyergap mereka dalam kungkungan rutinitas, dan negara memberi satu tanggal merah untuk rehat sejenak, setelah itu yuk, cus lagi.. Sebenarnya yang lucu ini siapa? Yang mbikin kita jadi cyborg atau kita yang sudah cyborg?

Nah, dari situ aku kemudian nyeletuk sesuatu dalam mobil. "2013 ya.. sudah tidak 2012 lagi..". Lalu kami berbicang dan merumuskan betapa lucunya kata "setahun", karena beda menit saja sudah beda angka jadi 2013. Lalu karenanya kita melantur tentang aktivitas "setahun" yang mungkin dilakukan. Diantaranya:
1. Tidur setahun - yang biasa kulakukan
2. Membaca setahun - aw, sepertinya keren
3. Menulis setahun - iw, ini lebih keren!
4. Di kamar mandi setahun - istilah yang sudah biasa muncul sebagai konotatif, namun bagus bila direalisasikan
5. Jongkok setahun - tawa pun berderai, lalu muncul yang lebih lagi:
6. Ngupil setahun - (pokerface)
7. Naik gunung setahun - zzz, di musim seperti ini? NO!
8. Makan setahun - well, ini juga istilah konotatif, tapi seru juga bila didenotasikan ya?
9. Mantengin TV setahun - udah biasa beud
10. Berpikir setahun - jadi inget Descartes, "aku berpikir setahun maka aku ada", hakakak
11. Masak setahun
12. Menggambar setahun
13. On line setahun
14. Nyetir setahun
15. Berjalan setahun
16. ............................. - apa lagi ya??

Ya, pasti banyak lagi. Yang paling gak penting adalah bayanganku yang tiba-tiba muncul: ML setahun, soalnya tiba-tiba kepikiran seorang temanku yang jago begituan, hahaha. Bisa jadi hal-hal yang udah kusebutkan tadi memang dilakukan untuk mendapatkan predikat "setahun", terlebih bagi mereka yang selama setahun ini dikungkung dalam sistem yang itu-itu mulu. Ya sudahlah, biarkan saja mereka itu tetap dalam candu ekstasi kehidupan, atau dalam perspektif lain: biarkan sajalah kita (dalam hal ini aku dan yang serupa denganku), tetap terbuai dalam candu keilmuan. Tak ada bedanya, karna hidup adalah candu. Dan lebih dari itu, di benakku terlintas satu lagi aktivitas yang bagus untuk predikat "setahun": `setahun memikirkan aktivitas yang bagus untuk dapat predikat "setahun"`. Hahahaha!

*ditulis dalam kegejean yang sangat di sebuah pagi di rumah yang hangat dengan kuota internet yang keparat*

Saturday, December 08, 2012

Pseudo-selesai


Di suatu siang, atau pagi, atau entahlah, aku juga lupa settingnya, seorang bernama kamu mulai mencampakkanku. Kamu, atau aku yang mencampakkan? Tak begitu penting, karena.. karena.. pada akhirnya kita berpisah juga. Hati kita setuju untuk keduanya saling mencampakkan. Lucu ya, padahal sering dia merasa tiba-tiba menjadi sangat gusar, menjadi sangat gelisah tanpa sebab musabab. Itulah kita dan hati kita. Mereka..... sungguh anomali.....

Seorang kamu, aku ingat betul, berwajah yah, lumayan lah, walau kadang kuperhatikan ada nada aneh di seringaimu, dan sedikit tone kebrengsekan di sana, sedang dengan nada itu berdiri, berbicara dengan yang lain, yang lalu membuat diriku seakan selesai untuk sedemikian kalinya. Apa yang lalu terjadi? Aku lalu berjalan, ya, berjalan saja, menemuimu, dan mendapati dirimu yang sedang berbicara dengan yang lain, yang lalu membuat diriku kembali merasa selesai yang tak selesai-selesai. Kadang aku bertanya, mengapa sebuah kisah selesai menjelma menjadi suatu proses yang tak kunjung berakhir, dan dengannya bukan lagi menjadi sebuah akhir, malah terus mereproduksi diri, terus berlanjut menjadi awal sebuah cerita. Anomali..

Namun apa artinya selesai? Apakah seperti tulisan ini dengan akhir paragrafnya, yang lalu esok disambung kembali dengan cerita lain yang sebenarnya ada dalam sebuah kelinearan utuh sebuah kisah? Kembali lagi itu namanya bukan selesai, karena selalu berlanjut. Jadi apakah selesai itu selalu hanyalah sebuah semu yang mengudara yang memberi jeda bagi jengah sebuah getar? Aku menulis ini seakan bermakna bahwa selesai hanyalah benar berarti selesai bagi mereka yang esensialis, yang sebenarnya semu jua, karena bayang-bayangnya tak kan pernah lepas dari kedirian mereka. Bayang-bayang yang mereka coba selesaikan itu, akan terus menghantui mereka. Meghantui di kala mereka berdiri, di kala mereka menanak nasi, di kala mereka bersepeda, di kala mereka mengaji. Akan selalu menjadi hantu, karena bayang-bayang itu adalah diri mereka. Selesai itu semu, karena tak kan pernah selesai-selesai. Terlihat selesai pun ia tetap ada untuk masa depan sebagai hantu bernama `diri`. Diri yang, kau tahu, sungguh anomali..

Lihatlah, dirimu kali ini berdiri, tinggi dengan bayangan yang besar, seakan ingin mencaplok segalanya. HAP!!! Kau tangkap dengan mulutmu, dan dengan rakus kau gasak semuanya. Ya, SEMUANYA! Lalu kau telan, bulat-bulat, tanpa dikunyah, semuanya. Ya, SEMUANYA! Di situlah letak kebrengsekanmu, tuan.. Di mulutmu itu, yang terlalu lebar dan terlalu manis, hingga semuanya pun mau saja dilahapmu! "HAP!! Lumat kalian dalam perangkap!!", begitu katamu.

Aku juga adalah salah satu korban penelanan massalmu itu. Ah, kau pasti ingat kapan kau pernah menelanku mentah-mentah. Absurd kalau kau tak ingat, karena akulah yang paling sering mau ditelan olehmu. Karena bila tidak demikian, maka akulah yang absurd. Hatiku kan ingin selalu terikat dengan hatimu, jadinya pun aku tunduk saja bila kau sudah mengambil ancang-ancang untuk menelanku. Karena hanya dengan begitu aku dapat begitu dekat dengan hatimu. Karena hanya dengan berada dalam tubuhmu, aku dapat menjadi denyutmu. Aku berada dalam lambungmu, lalu dicerna menjadi sari-sari energi untuk jantungmu, untuk nadimu yang selalu berdenyut, untuk otakmu yang selalu gelisah, dan untuk keutuhan seorang dirimu. Karena dengan begitu aku dapat merasa dirimu. Sungguh dekat dengan dirimu.

Namun sering juga aku menjadi enggan untuk kau caplok lalu kau telan. Aku kan tak ingin berada di lambungmu bersama sampah-sampah itu. Kau selalu saja tak pernah selektif dalam memilih mana yang ingin kau konsumsi. Hobimu hanya main caplok. Jika sudah begini, seringnya aku jadi bingung sendiri, karena denyutmu semakin berjarak dengan denyutku. Berjarak jauh sekali, hingga, pada akhirnya aku menyerah, ketika mulut lebar dan manismu itu kembali berada di hadapanku, tersenyum dan merajuk diriku agar kembali mau ditelan. Aduhai, betapa dirimu juga terlihat begitu berantakan tanpa asupan bernama diriku. Pada akhirnya, aku kembali menjadi denyutmu.

Ah, pangeranku, bisakah kau tidak menelan sampah-sampah itu? Sampah yang selalu memproduksi kesemuan sebuah selesai, dan kesemuan sebuah pencampakkan. Sampah-sampah itu membuatku muak, yang lalu membuatku merasa muak juga dengan tubuhmu, dengan aromamu, dan dengan nada aneh di seringaimu itu..

"I'm the hero of the story don't need to be saved!"
(Regina Spektor)