Thursday, April 04, 2013

Diskusi tanpa Panas Dalam


Rabu sore, di sebuah pertemuan yang tiba-tiba saja menjadi diskusi dadakan. Yang tentu tak terencana. Hanya seakan merupakan pertemuan kawan lama. Coba, kawan seperti apa hingga bisa kusebut kawan lama, sedang seharinya bisa saja kami saling melihat kelebat masing-masing? Bukan sosoknya yang kawan lama, namun diskusinya.

Aku kan akhir-akhir ini sedang mematikan diskusi yang seperti itu. No newspaper, no outside discussion, and of course no staying at library. Aku pura-puranya sedang mematikan segala akses yang membuatku mengonsumsi hal-hal tak berguna buat jiwa ragaku. Pret. Diskusi di luar kampus adalah bahaya, perpustakaan adalah provider kelinglungan, dan koran adalah setan penyebar benih-benih ketidakotonoman. Jadi aku bertahan nggandholi yang ada di kampus aja. Asli, garing tenan sakjane.

Sampai akhirnya aku mulai beranjak dari keberanjakan. Melakukan perlawanan atas perlawanan. Berkelana dan diantarkan pada Rabu sore yang mendung, yang mengandung kawan lama: diskusi seperti itu. Absurd ya? Sini kujelasin:

Dalam mana sebuah diri bisa berbicara a be ce de e ef ge ha i je ka el em en o pe qi er es te u ve we ex ye zed, dan ada beberapa sosok di sebelah kirimu mendengar, mendengar saja tanpa memrotes yang frontal sehingga yang seperti itu tidak membuatmu terdiam seribu bahasa karena kadang protes frontal membuatmu panas dalam dan malas bicara. Dalam mana ada yang merespon segala a be ce de e ef ge ha i je ka el em en o pe qi er es te u ve we ex ye zed -mu, dan juga lalu kamu siap-siap kuping juga untuk a be ce de e ef ge ha i je ka el em en o pe qi er es te u ve we ex ye zed milik lawan bicaramu, tanpa memberi sanggahan tendensius yang akan menyebabkan temanmu itu panas dalam.

Diskusi tanpa panas dalam itu yang kurindukan. Itu dia kawan lamaku, yang, ya ampun, kayaknya aku rindu sangat hingga buih-buih ucapan terima kasih banyak sekali terucap ketika akhirnya kusadari pantatku sudah tepos karena ternyata sudah dua jam duduk di atas ubin yang ternyata keras. Aku ucap banyak terima kasih pada temanku, telah meladeni segala nonsense yang tak nonsense. Tentu aku tak ucap terima kasih pada ubin keras itu. Aku kini sedang menghindari yang bikin tipis-tipis soalnya, termasuk yang bikin kantong tipis, dan mungkin, otak tipis.. (padahal apa yang kulakukan sebelumnya kan bikin otak tipis, ih dasar sipit..)

Ada hal yang kurasa temanku tidak mengerti sepenuhnya, atau tak mau mengerti, tapi ia dengan sangat baik hati dan antusias telah mendengar dan menatapku yang ngomyang terus, seakan-akan yang kubicarakan penting sekali. Tapi aku tahu, sebenarnya topik itu sedikit ia hindari. Jadi ia hanya mendengar. Sedang aku tak kuasa tak berbincang tentang kegelisahanku ini, yang sudah seharian sebelumnya menyentak-nyentak kedirianku.

Aku mengatakan padanya betapa aku takut. Betapa kita tak pernah benar-benar mengenal diri kita. Betapa ada yang lebih besar yang mengontrol diri kita. Level yang tidak kita sadari. Segala rencana dan keinginan dapat bubrah karenanya, dan itu disebabkan oleh kedirian yang lebih besar, yang itu di bawah sadar. Ada 'diri' yang benar-benar tidak kita mengerti.

Kawanku itu hanya mendengar. Bisa jadi ia ngeri minta ampun mendengar kalimat awal barusan. Lalu aku singgung saja semuanya. Tentang konsep rencana Tuhan, tentang takdir, tentang kehendak, tentang alam sadar, tentang bawah sadar, tentang bayang-bayang itu. Aduh, ngelantur pun aku masih didengar. Spesial sekali rupanya aku sore itu.. Spesial atau sebenarnya tak tahu malu sekali..

Intinya ada yang lebih besar yang berkehendak atas diri kita. Dan itu bukan diri kita yang kita sadari. Atau bila kalian tak setuju denganku, biar kuubah kata kita jadi -ku: ada yang lebih berkehendak atas diriku, dan itu bukan diriku yang kusadari. Ada yang lebih tahu keputusan apa yang tepat untuk diambil. Bagiku, aku ingin mengenalnya, dan mengenalnya, dan menyatu dengannya, yang aku yakin ialah manifestasi Tuhan (aku skip bagian manifestasi ini ketika ngobrol dengan temanku).

Namun berbicara tentang filsafat Tuhan, memang tak pernah ada matinya. Segera saja aku merindu kawanku di seberang sana, yang setiap kali kutanya tentang Tuhan, jawab hadir membantuku merasionalisasi. Ah, kapan lagi aku bisa berbincang dengan dia langsung. Ngobrol dari sufi hingga cinta, atau dari Foucault hingga Imam Mahdi. Suatu ngobrol yang tak dibatasi konteks, namun keilmuan tetap menjaganya menjadi obrolan berkualitas. You know, it's totally not a stupid discussion, a stupid one where everyone wants to show their performance in order to show their power, their knowledge.

Diskusi itu obrolan seperti itu seharusnya. Ada dialektika. Ada rangsangan yang membuat diri pergi melayang merespon dengan pertanyaan-jawaban yang berkecamuk dalam benak. Yang membuat imaginasi tak mati, bahkan sebaliknya, membuatnya semakin hidup. Diskusi payah yang sengaja distratakan di kampus-kampus, yang seringnya bikin orang malas ngobrol, kurasa harus segera diimbangi dengan diskusi yang tidak menyebabkan panas dalam kayak gini. IMNHO (In Not-My Humble Opinion). Wkwk.

"So is it over?
Is this really it?
You've given up so easily,
I thought you loved me more than this
.." [Take It All, Adele]

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b