Saturday, December 08, 2012

Pseudo-selesai


Di suatu siang, atau pagi, atau entahlah, aku juga lupa settingnya, seorang bernama kamu mulai mencampakkanku. Kamu, atau aku yang mencampakkan? Tak begitu penting, karena.. karena.. pada akhirnya kita berpisah juga. Hati kita setuju untuk keduanya saling mencampakkan. Lucu ya, padahal sering dia merasa tiba-tiba menjadi sangat gusar, menjadi sangat gelisah tanpa sebab musabab. Itulah kita dan hati kita. Mereka..... sungguh anomali.....

Seorang kamu, aku ingat betul, berwajah yah, lumayan lah, walau kadang kuperhatikan ada nada aneh di seringaimu, dan sedikit tone kebrengsekan di sana, sedang dengan nada itu berdiri, berbicara dengan yang lain, yang lalu membuat diriku seakan selesai untuk sedemikian kalinya. Apa yang lalu terjadi? Aku lalu berjalan, ya, berjalan saja, menemuimu, dan mendapati dirimu yang sedang berbicara dengan yang lain, yang lalu membuat diriku kembali merasa selesai yang tak selesai-selesai. Kadang aku bertanya, mengapa sebuah kisah selesai menjelma menjadi suatu proses yang tak kunjung berakhir, dan dengannya bukan lagi menjadi sebuah akhir, malah terus mereproduksi diri, terus berlanjut menjadi awal sebuah cerita. Anomali..

Namun apa artinya selesai? Apakah seperti tulisan ini dengan akhir paragrafnya, yang lalu esok disambung kembali dengan cerita lain yang sebenarnya ada dalam sebuah kelinearan utuh sebuah kisah? Kembali lagi itu namanya bukan selesai, karena selalu berlanjut. Jadi apakah selesai itu selalu hanyalah sebuah semu yang mengudara yang memberi jeda bagi jengah sebuah getar? Aku menulis ini seakan bermakna bahwa selesai hanyalah benar berarti selesai bagi mereka yang esensialis, yang sebenarnya semu jua, karena bayang-bayangnya tak kan pernah lepas dari kedirian mereka. Bayang-bayang yang mereka coba selesaikan itu, akan terus menghantui mereka. Meghantui di kala mereka berdiri, di kala mereka menanak nasi, di kala mereka bersepeda, di kala mereka mengaji. Akan selalu menjadi hantu, karena bayang-bayang itu adalah diri mereka. Selesai itu semu, karena tak kan pernah selesai-selesai. Terlihat selesai pun ia tetap ada untuk masa depan sebagai hantu bernama `diri`. Diri yang, kau tahu, sungguh anomali..

Lihatlah, dirimu kali ini berdiri, tinggi dengan bayangan yang besar, seakan ingin mencaplok segalanya. HAP!!! Kau tangkap dengan mulutmu, dan dengan rakus kau gasak semuanya. Ya, SEMUANYA! Lalu kau telan, bulat-bulat, tanpa dikunyah, semuanya. Ya, SEMUANYA! Di situlah letak kebrengsekanmu, tuan.. Di mulutmu itu, yang terlalu lebar dan terlalu manis, hingga semuanya pun mau saja dilahapmu! "HAP!! Lumat kalian dalam perangkap!!", begitu katamu.

Aku juga adalah salah satu korban penelanan massalmu itu. Ah, kau pasti ingat kapan kau pernah menelanku mentah-mentah. Absurd kalau kau tak ingat, karena akulah yang paling sering mau ditelan olehmu. Karena bila tidak demikian, maka akulah yang absurd. Hatiku kan ingin selalu terikat dengan hatimu, jadinya pun aku tunduk saja bila kau sudah mengambil ancang-ancang untuk menelanku. Karena hanya dengan begitu aku dapat begitu dekat dengan hatimu. Karena hanya dengan berada dalam tubuhmu, aku dapat menjadi denyutmu. Aku berada dalam lambungmu, lalu dicerna menjadi sari-sari energi untuk jantungmu, untuk nadimu yang selalu berdenyut, untuk otakmu yang selalu gelisah, dan untuk keutuhan seorang dirimu. Karena dengan begitu aku dapat merasa dirimu. Sungguh dekat dengan dirimu.

Namun sering juga aku menjadi enggan untuk kau caplok lalu kau telan. Aku kan tak ingin berada di lambungmu bersama sampah-sampah itu. Kau selalu saja tak pernah selektif dalam memilih mana yang ingin kau konsumsi. Hobimu hanya main caplok. Jika sudah begini, seringnya aku jadi bingung sendiri, karena denyutmu semakin berjarak dengan denyutku. Berjarak jauh sekali, hingga, pada akhirnya aku menyerah, ketika mulut lebar dan manismu itu kembali berada di hadapanku, tersenyum dan merajuk diriku agar kembali mau ditelan. Aduhai, betapa dirimu juga terlihat begitu berantakan tanpa asupan bernama diriku. Pada akhirnya, aku kembali menjadi denyutmu.

Ah, pangeranku, bisakah kau tidak menelan sampah-sampah itu? Sampah yang selalu memproduksi kesemuan sebuah selesai, dan kesemuan sebuah pencampakkan. Sampah-sampah itu membuatku muak, yang lalu membuatku merasa muak juga dengan tubuhmu, dengan aromamu, dan dengan nada aneh di seringaimu itu..

"I'm the hero of the story don't need to be saved!"
(Regina Spektor)

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b