Saturday, August 25, 2012

A Wreck Day


Aku sudah berada di Jogja lagi. Bukan tiba-tiba, namun karna sudah dijadwalkan. Tujuan berada di rumah juga tidak berarti pengerukan cinta (dari keluarga) untuk dijadikan sangu beberapa bulan ke depan (berapa ya?). Pulang karna memang untuk menghabiskan sisa Ramadhan dan kemudian ber-Iedul Fitri. Sisa akhir Ramadhanku, alhamdulillah not too bad, altough the life after Ramadhan was a bit a wreck.

One keyword: a wreck. Dan kebetulan kemarin lusa was also totally a wreck. Bila hari setelah Ramadhan aku merasa gersang di mana tak lagi kusentuh mushaf, di mana tak lagi kulakukan rentetan ritual panjang yang biasa kulakukan setelah Isya, atau sebelum Subuh (I feel that I've lost my Ramadhan and although I said I would keep the spirit of Ramadhan in my daily life, it wasn't that easy - aku pun jadi sedikit linglung karna dosis yang tiba-tiba kuhentikan), maka kemarin lusa adalah hari di mana aku merasa dikerjain habis-habisan. Habis-habisan dikerjain. Sama Tuhan.

Istilah kurang ajar, memang. Anggap saja ini adalah istilah salah yang telah kupakai dari sejak lama, sehingga bekas-bekasnya susah untuk dihilangkan. Seperti sakit di tangan yang tak kunjung hilang karna telah kita gunakan untuk mengayunkan tubuh yang berat. Istilah ini sudah hadir sejak lama, di mana seharian emosiku akan terpacu dengan rencana-rencana yang sudah disusun dengan sangat baik namun gagal dilaksanakan karna alasan yang tak dapat dihindari.

Akan lebih mudah bila aku segera bercerita. 23 Agustus, aku kembali ke Jogjakarta. Keberangkatan ini sudah kurencanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Katakanlah dua minggu sebelumnya. Sungguh awal, karna pagi di tanggal 24 harinya aku harus menghadiri acara akad nikah dua sahabatku yang akhirnya menjadi pasangan (yey! :D). Rencana sudah kususun serapih mungkin dengan menimbang faktor-faktor sehingga kemungkinan kegagalannya kecil. Aku dengan bangga menyebut diriku sebagai a thoughtful planner. Terkesan perfeksionis memang, namun tujuannya satu: I should be landed on Jogjakarta in a good condition.

Tiket bus sudah dibeli jauh-jauh hari, setiap hari kucek kebenaran tanggal keberangkatannya. Rencananya aku akan naik dari garasi bus, yang artinya aku harus berangkat lebih awal. Mengapa tak naik dari terminal seperti yang seharusnya penumpang lakukan? Karna aku sedang berstrategi. Aku butuh akses di Jogjakarta. Di benakku, aku harus menghidupkan kegiatan bersepeda, walau nantinya aku akan membawa Si Red (motor). Namun untuk mengisi kekosongan sebelum Si Red dikirimkan, aku memutuskan untuk segera membawa Pogo, nama sepeda ijoku. Karna aku pernah melihat bagasi bus malam Handoyo Malang-Yogyakarta besar, aku berspekulasi Pogo bisa masuk bagasi dan terangkut ke Jogja. Rencana B: bila tak bisa ya tak usah, akan dibawa pulang kembali oleh sepupuku.

Aku berangkat jam setengah 3 sore dari rumah. Dibantu seorang sepupu, akhirnya kami sampai di garasi jam 4. Kutemui yang bertanggung jawab, dan nyatanya sepedaku cukup masuk bagasi. Great!. Yang jadi masalah ternyata itu bukan busku. Aku mendapat tiket di bus no.2. Bapak yang bertanggung jawab bilang tak apa, nanti di terminal barangnya dipindah. Good. Aku pun bertemu kondektur bus 2, dan juga sopirnya yang bermuka masam. They didn't like my plan bringing Pogo in their baggage, but their boss said it was ok, so they must say ok - yet it was against their will. Apa pun itu, seberapa masam pun muka kalian, aku harus bekerja sama dengan kalian. Demi Pogoku. Kataku dalam hati. Lalu aku pun turut bersama Pogo pergi ke terminal dengan bus 5 - arah Semarang.

Sesampainya di terminal, kondektur bus 2 pun memindahkan Pogo ke bagasi busnya - aku memindahkan barang yang lain (one box full of books, one heavy backpack for hiking, and one big bag for cloth - pindahan jilid dua ini ceritanya). Maghrib menggema dan aku melaksanakan 3 + 4 rakaat seorang musafir (halah). Setelahnya, aku naik bus dan menempati tempat dudukku, dua terbelakang: no.37. Rasa damai mengguyur, karna akhirnya dapat duduk kembali. Checking tiket dilakukan. Lalu tiba-tiba ada kombinasi bapak anak menghampiriku. Bapaknya berkata "Mbak no. 37?". Jelas aku menjawab "Ya". "Saya juga, ini tiketnya", sembari menyodorkan tiket si bapak berkata. "Oh, mbaknya 37 juga ya?", secara inoccent anak perempuannya ikut menginterogasi. Merasa zona nyamanku (dan Pogo) mulai terserang, aku pun mencari bantuan. It must be mine. Pogo will never leave this bus, I said it to myself. Kulihat ada mbak yang mengabsen tiket. Segera kudatangi.

"Mbak, tabrakan nih tiketnya sama punya bapak ini", aku memulai usahaku mempertahankan kursi. "Oh, iya, mbaknya pindah ke bus 6", dengan santainya mbak tiket menjawab. Whats? Segampang itu dia bilang? Helllooooooooo!!! I got bunch of things! Usahaku sampe bus ini ndak mudaaahhh dan semudah itu kau bilang aku harus pindah bus??. Namun yang keluar dari mulutku: "Lho, mbak, aku udah dapet tiket ini seminggu yang lalu, kok bisa segampang itu dipindah?". Dia menjawab, "Udah, mbaknya sekarang ke loket aja". What the heck. Aku pun ke loket, 50 meter jauhnya dari bus. Berjalan. Dalam luapan emosi.

Kejadian di loket pun tak berdampak apa-apa. Tiketku diambil, ditutup dengan type-ex, nomor bus diganti dengan bus 6 nomor kursi 17. Gila. Protesku tak didengar. Dan salah satu mas crew ticketing `ngadem-ngademin` dengan mengatakan "Iya mbak, yang sabar ya, bapak tadi perjalanannya lebih jauh daripada Mbak, jadi tuker sama punya Mbak. Barang-barang Mbak dipindah ke bus 6 saja". Speechless, atau lebih tepatnya powerless, aku pun menurutinya. Bertemu dengan kondektur bermuka masam, dan mengatakan hal yang terjadi. "Ya, Mbaknya cari crew bus 6 buat mindahin sepedanya". What the heck. Aku gak tahu yang mana! Maka aku pun mencari-cari-cari-cari crew bus 6. Di tengah pencarianku, aku melihat plang Solo-Jogja di bus 6 yang muram. Bukan. Bukan. Ini bus salah. Aku harusnya naik bus arah Jogja-Magelang. Maka kembali aku ke loket. Ditindasnya sekali lagi tiketku dengan type-ex, sekarang jadi Bus 7 no. 7. Shit. JELEK!! Seenaknya gitu ya ngganti-ngganti. Aku udah pesen seminggu yang lalu WOEI!!.

Berjalan kembali ke bus 2. Kali ini sopir dan kondekturnya berkolaborasi menyerangku dengan muka masamnya (asem bener). Sopir dengan nada mengintimidasi berkata, "Mbak, ayo cepet, sepedanya ndang dipindah". "MasyaAllah Pak, saya lagi nyari crew bus 7 Pak", kalo aku bisa buka bagasi bus 7, udah kupindah sendiri kalik, Pak!, jawab emosiku secara lahir dan bathin. Bila diteruskan, yakin aku akan meledak di situ. Mataku sudah berkerut-kerut. Breath. Inhale. Exhale. Damn. Dan sang kondektur pun sudah mengeluarkan Pogoku di samping bus, lengkap dengan muka penuh kerutnya. Lalu malaikatku datang: Crew bus 7 dan mas ticketing yang tadi "ngadem-ngademin" di loket. Dibantunya aku memindahkan barang bawaan ke bagasi 7. Pogo termasuk salah satunya.

The next unintended plan appeared. Bus 7 ternyata merupakan additional bus. Busnya lama dan terlihat semuram bus 6, walaupun catnya terkesan modern. Bus lama ini berarti juga bagasi yang lebih kecil. Dibutuhkan 30 menit ekstra untuk memasukkan Pogo ke dalam bagasi. Itu pun dengan ekstra tenaga setelah dengan beberapa paksaan, dan beberapa emosi yang kami bertiga keluarkan. Salah satu pemaksaannya berupa 2 pedal yang dicopot, dan stang yang dikendorkan. I felt so glad that Pogo was in a safe place, eventually, after all sufferings that it had.

Aku mencoba berdamai dengan diriku. Crew bus 7 yang baik, yang menggantikan muramnya crew bus 2. Tak apa bila aku tertunda berangkat, karna jadwal bus tambahan yang sejam lebih lambat berangkat daripada bus normal. Harganya pun berbeda. Uangku dikembalikan 18 ribu. Ini jalan buatmu, Jek. Terimalah. Kataku dalam hati.

Namun keterlambatan jadwal berangkat ini meresahkanku. Paginya (yang artinya sehari sebelum hari ini), aku harus menghadiri akad nikah dua sahabatku. Tak bisa tidak. Aku khawatir aku akan terlambat sampai di Jogja dan gagal menghadiri acara tersebut. Kekhawatiran yang serta merta dijawab dengan fakta-fakta yang semakin menggelisahkan. Additional bus means additional crew. Must have been something wrong. Apa itu? Pertama, sopir bus 7 yang mengemudi di awal ternyata tak hapal jalur Malang-Jogja. Fatal. Kami hampir tersesat di kawasan Japanan. Untungnya ada sopir ke-dua yang mengetahui ketersesatan tersebut sehingga kami harus putar balik ke arah yang benar. Sejak itu, hatiku dirundung mendung - khawatir tersesat lagi. Aku mensinyalir supir ini diada-adakan. Trayek yang dia hafal adalah jalur Sumatra. Dan Jawa is a mess for him. Mengapa. Mengapa bus Handoyo mulai membuatku kecewa padahal aku sungguh membutuhkannya, dan biasanya kupuja karna lebih baik (lebih ekonomis) daripada armada yang lain? Mengapa?

Kucoba untuk tidur. Bangun ketika bus berhenti di Rumah Makan. Setengah dua. What the.. Itu sangat-sangat terlambat. Biasanya setengah dua kami sudah melaju menuju Sragen. Tak apa lah. Segera aku turun dan melakukan ritual makan dini hari selama, well believe it or not, sepuluh menit saja, sudah termasuk do number 1. Kegelisahan berikutnya mengalir. Crew bus 7 tak kunjung naik. Aku harus menunggu 50 menit berikutnya untuk keberangkatan bus. Beberapa penumpang lain sungguh pun sudah mulai murka. Setengah 3 kami berangkat kembali. Sedang di bus normal, aku memperkirakan mereka sudah mengarah ke Klaten. Ah, well, it's better than if I should be in bus 2.

Kali ini sopir satunya yang menyetir. Aku suka gayanya. Kebut-kebutan. Sippo. Everything's gonna be ok. Terlalu berharap rupanya. Tak sebegitu mudahnya. Klaten yang penuh lampu merah memaksa bus untuk sering berhenti, dan di 4.40, bus pun melenggang di Jogja. Prambanan. Aku sudah bersiap untuk menyambut belokan Babarsari karna Bus seharusnya akan belok kanan menuju Jalan Kaliurang untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Magelang. Semerta-merta harapku kandas ke titik paling rendah. Bus melaju lurus, bukannya berbelok. Oh, Tuhan. Dengan penuh tanya (dan sebenarnya emosi yang sudah terakumulasi), aku mendatangi Kondektur dan sopir yang hanya tiga langkah jaraknya dari tempat dudukku. "Mas, ini bus ndak lewat Kentungan to? Harusnya kan lewat?", kataku dengan emosi tertahan. "Ke terminal dulu, Mbak..", timpal Pak Sopir. "Oh, mutar-mutar dulu ya?", kesalku sembari kembali ke tempat duduk.

Beberapa orang turun Janti dan perempatan arah Wonosari, lalu di terminal Giwangan.... tak ada seorang penumpang pun yang turun! Wow! Hanya, Pak Sopir yang turun. Yang Wow! Itu rupanya mengapa ia bersikeras pergi ke Giwangan. Wow! dia bermisi! Gila. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5.30. Langit pagi Jogja sudah begitu gemilang. Merapi dapat kulihat dengan gamblang ketika kami kembali melewati fly over Janti. Hangat mulai terasa, karna walau sebegitu siangnya, pada akhirnya bus 7 ini berada pada arah yang benar. Pertigaan Babarsari belok kiri menuju Jalan Kaliurang yang kudamba bahkan sejak seminggu lalu ketika aku membeli tiket. Oh, betapa perjalanan ini. Sekitar jam 6 aku turun. Pogo dan barang-barang yang lain pun terlihat bahagia karna akhirnya mereka menghirup udara segar. Bunch of thanks I delivered to Mas Kondektur. Semenit kemudian, taksi putih seakan menungguku. Kuakhiri deritaku dengan memintanya mengantar diri dan Pogoku ke kos baruku. Pogung Baru Blok B yang juga bernomor 7. Sungguh betapa 7 benar-benar membahana.

Sebenarnya apa yang terjadi? Aku pun tak begitu yakin. Namun pasti ada yang salah sehingga Tuhan pun mengerjaiku. Atau istilah yang lebih tepat sebenarnya `sehingga aku pun tak dapat menerima unintended plan dengan kelapangan dada sepenuhnya - dan stress di jalan karenanya`. Untuk merunutnya aku harus kembali ke tanggal 23 siang, ketika aku sedang bersiap berangkat. Namun tak ada yang salah. Aku sudah siap, barang-barangku sudah siap, aku sedang makan ayam sambal pelecing ibu yang terenak sedunia. Everything was ok.

Mari kulihat sejam sebelumnya: 1.30 siang.

Aku sedang mandi dan bernyanyi Chrismas Light milik Coldplay. Fine. Nothing was wrong.

Sejam sebelumnya: 12.30 siang.
Aku terkapar tidur dengan balutan bad cover dan kaos kaki yang menutup kaki. Mengapa bisa aku tertidur sedemikian lelap?

3 jam sebelumnya: setengah sepuluh.

Aku menyelesaikan packing terakhirku. Tas besar berisi baju tambahan untuk dipakai di Jogjakarta. Di sebelahnya sudah terlihat ransel besar yang berhias matras, seemed like I was ready for hiking, but I didn't intend to hike any montain. Juga kardus yang sudah dipack rapih yang di dalamnya novel-novel Paulo Coelho mendominasi. Namun ini terlalu enteng untuk menyebabkanku terlelap sedemikian rupa. Mataku sangat berat. Hatiku gelisah.

7 pagi.

Aku menemukan diriku sedang menyetrika. Dalam duka. Oh, ini rupanya.

Sekitar 6 pagi 

Tulisku di Twitter:

`Just sent a very heart-breaking text message. Beautiful, but.. well, hurting..`

Ah, sudah kutahu jawabnya. Rupanya itu alasan mengapa emosiku tak tertahan ketika menghadapi segala hal di luar rencana. Itu alasannya mengapa a wreck day came and said hello to me. Padahal aku biasanya berhasil dalam retorika. Kali itu segala retorika melemah. Seakan semua kekuatanku telah lenyap. Bahkan ketika di Rumah Makan, semua pihak hampir menolak retorikaku. Parah. Dan kudapat alasannya. Aku sudah menghabiskan energiku di jam 7 pagi. Menyetrika dalam duka. Lalu tak seorang pun menganggapku "ada" di waktu selanjutnya. Karna aku terlampau lemah, hingga sinyal hidupku pun tak dapat mereka tangkap. I was a zombie, for sure. Walau sudah kucoba tidur, namun semangat non-lokalku tak serta-merta membaik.

Namun, berita bagusnya, dalam rentetan peristiwa kemarin, aku menemukan kejengahan akan diriku. Berikut beberapa twitter yang kutulis:

  • Not awesome - tak seharusnya aku kehilangan diriku seperti ini.. AYO, BANGUN!!!! JANGAN HIRAUKAN!
  • Jeki kembali ke Twitter - mau jadi orang asik lagi, jengah tiap hari sok melankolis
  • Bukan. Ini bukan lari namanya. Hanya ingin kembali jadi orang asik. Itu mengasikkan loh!!!! Been there! And I miss myself! Jeki, I miss you!
  • Awesome - I start to be talkative! Again!! LET'S DANCE WITH ME!!!!! JEK, I FOUND YOU!!!

Dalam permainan Awesome/Not awesome (yang sering kulakukan ketika sedang menghadapi 'gila'nya sebuah hari), aku tersadar akan betapa tidak nyamannya diriku atas diriku sendiri. Dan aku ingin kembali, menjadi Jeki yang penuh bahagia, dan penuh afeksi. Ke siapa pun. Kepada diri yang berbahagia dan menerima dirinya sendiri. Bila aku pernah berkata "I need to be serious", aku akan menjadi serius. Namun kesalahanku sebelumnya adalah aku menjadi serius dan menghilangkan diriku yang asik. Aku lupa bila aku suka pada diriku yang easy going dan friendly abis.  That's it. And I'm gonna find myself again. Aku akan tetap menjadi seorang yang easy going walau keseriusan harus terus mengguyur hari-hariku. Happy means Jeki although Jeki needs a locus to stay focus. Good luck, Jeki..! :')

Ransel dan aku
Dengan ransel berisi SB, buku, dan SEPATU! Ketika aku belum tahu bahwa hari akan menjadi begitu liar. Begitu emosional.

Poligon Ijo
Pagi hari ketika sudah sampai kosan - Pogo menjadi begitu kotor dan terlihat sangat tersiksa. Joknya robek sedikit. Oh, kasihan sekali Pogoku, ini.. :'|

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b