Monday, April 27, 2015

Raden Saleh dan “Tanah” Belanda


Saat menginjakkan kakinya di Belanda pada 1929, apa kiranya yang pertama kali muncul di benak Raden Saleh, anak Nusantara yang paling awal[1] menempuh pendidikan di Negeri Tanah Landai itu? Kincir angin bisa jadi adalah yang utama yang membuatnya tersenyum dan merasa bergairah bukan main. Pasalnya itulah hal mencolok yang menjadi bukti bahwa ia telah berada dalam benua di mana “ilmu pendidikan tinggi berkilau bagai permata”[2]. Dan bukankah ia telah sering mendengar bahwa Belanda adalah Negeri Kincir Angin? Tapi setelah beberapa saat menghabiskan waktu berguru di studio pelukis ternama Cornelis Kruseman (1797-1857) yang terletak di kanal indah di Prinsegracht (Bachtiar et al. 2009: 36), Den Haag, Raden itu seharusnya menjadi tahu, bahwa di Belanda ada satu hal yang jauh lebih penting daripada si kincir angin. Orang sana menyebutnya dijk atau dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai tanggul.

Tanggul dan Tanggul

Si Raden mungkin sudah tahu dari obrolan-obrolan selama ia di Belanda, bahwa kebanyakan daerah di negeri itu tanahnya lebih rendah daripada permukaan laut, termasuk di Den Haag, tempat ia tinggal. Pasalnya daratan Belanda tak lain merupakan delta dari sungai Rhine, Mass, dan sebagian kecil dari Scheldt dan Eems (Van der Horst 2006: 76). Ia yang awalnya tak begitu menghiraukan bentuk sungai, kanal, dan daerah pantai di sekitarnya, kemudian menjadi mengerti bahwa “gundukan-gundukan” itu memiliki peranan sangat vital bagi kehidupan negeri pujaan. Sungguh pun gundukan-gundukan itu telah lama berada pada tempatnya. Gundukan pasir di sepanjang area luar Alkmaar hingga Den Hagg misalnya, mulai terbentuk sejak antara 5500 dan 3000 SM (Newton 1978: 7). Tapi yang ia saksikan saat itu tidak hanya The Old Dunes, tapi juga tanggul-tanggul baru, atau gundukan lama yang diperkuat dengan material batu[3]. Ia juga tidak hanya menyaksikan dinding-dinding yang membentengi Belanda dari laut, tapi juga tanggul, kanal, dan bendungan untuk sungai-sungai, yang dibangun sedemikian rupa agar paling tidak tetap ada lahan kering sebagai tempat hidup. Banjir bagi Hollanders adalah momok paling nyata di depan mata.

Polders and Polders

Bila Raden Saleh pergi dua abad sebelumnya (abad XVII), saat Belanda dalam masa super jaya atau biasa disebut Dutch Golden Age, ia akan melihat lebih jauh lagi. Suatu petak tanah yang ia pijak di suatu waktu pada 1829, bisa jadi belum ada dan masih tergenang oleh air di dua abad sebelumnya, mungkin masih berupa danau atau rawa. Sebagai catatan, teknologi “pertanggulan” pada masa itu juga sedang mengalami kejayaannya. Tanggul tidak semata dipakai untuk menghindari air, namun lebih jauh, tanggul dan kanal dipakai untuk “membuat” sebuah lahan baru, yang jamak disebut polder. Danau bernama Beemster adalah proyek terbesar pertama dan sukses “dikeringkan” (Van der Horst 2006: 86). Tanggul beserta kanal dibuat melingkar mengelilingi danau. Setelah sistem drainasenya siap, kincir angin kemudian dipakai untuk memompa habis air di danau. Terhitung dua tahun lamanya untuk mengeringkan air danau tersebut (dengan total empat tahun karena dua tahun pertamanya gagal). Usaha ini berhasil memulihkan lahan seluas 7.189 hektar (ibid.), atau sekitar sepersepuluh luas Jakarta di era kontemporer. Pada tahun-tahun Raden Saleh di Belanda, Beemster sudah kehilangan titel danaunya. Usaha pemulihan lahan ini menjadi investasi yang sangat menggiurkan untuk sang negeri. Pasalnya sebuah lahan kering berarti juga sebuah kemungkinan untuk pertanian, pemukiman, industri, transportasi, dan lain-lain – sebuah harapan cerah untuk isi kas negara.

Usaha reklamasi lahan terus dilakukan di Belanda sejak ribuan hektar yang telah berhasil dikeringkan itu. Apa yang Raden Saleh nikmati di tahun 1980-an adalah hasil dari proyek panjang orang-orang Belanda dengan kemampuan “trial-and-error”-nya. Pun hingga saat ini. Terlihat bahwa sebuah negeri memiliki teknologi yang sungguh hebat dikarenakan mereka secara berkelanjutan “mendapat” kesempatan untuk bereksperimen. Banjir yang selalu menghantuinya, yang pernah beberapa kali menggasaknya di masa lampau (terakhir pada 1953 menewaskan lebih dari 1800 orang, ibid.: 84) , menuntut Belanda untuk terus dan terus memperbaiki strateginya dalam menghadapi air, juga menuntutnya untuk terus mencari modal agar eksprerimen tetap terdanai. Terinspirasi dari alam, yaitu dari The Old Dunes, mereka terus “bermain” dengan air. Alam itu yang mengajarkan bahwa tanah tak hanya dapat digunakan untuk beteng pertahanan. Tanah juga dapat mengendalikan air. Dan kata-kata itu pun mendapatkan ruhnya: “God created the land, but Dutch created the Netherlands”. Raden Saleh pun turut tersenyum di atas sana.


Bahan Bacaan:

Bachtiar, Harsja W, Carey, Peter, Onghokham. 2009. Raden Saleh: Anak Belanda, Moei Indie dan Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu.
Newton, Gerald. 1978. The Netherlands: An Historical and Cultural Survey 1795-1977. London: Westview Press.
Poeze, Harry A. 2008. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600 – 1980. Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan KLITV-Jakarta. 
Van der Horst, Han. 2006. The Low Sky: The Book that Makes the Netherlands Familiar. Utrecht: Scriptum Publishers/Nuffic.
 
[1] Raden Saleh adalah salah satu yang paling awal mendapat kesempatan belajar di negeri Belanda. Setelah “hanya kebetulan” turut Inspektur Keuangan De Linge sebagai klereknya berlayar ke sana, ia meminta izin untuk tinggal lebih lama dan mendapat beasiswa sebesar 2.000 gulden dari Pemerintahan Hindia Belanda. Ini dimungkinkan karena sebelumnya selama di Nusantara ia memperoleh patron dari orang-orang Pemerintahan yang otoritatif, seperti Reindwardt (saat itu Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau-pulau sekitarnya) dan Gubenur-Jenderal Hindia-Belanda, Van der Capellen (Poeze 2008: 12-13). Raden Saleh tinggal di Eropa hingga 1851. Sepuluh tahun pertamanya ia habiskan di Belanda dan sisanya berkelana ke beberapa negara, termasuk lima tahun tinggal di Dresden, Jerman. Ia sempat mendapat audiensi dari Raja Louis Phillippe, Perancis, dan di Belanda sendiri sudah diangkat menjadi Pelukis Raja (ibid.: 15).
[2] Cupklikan tulisan Raden Saleh, terpampang di sisi kiri pintu masuk Galeri Nasional Jakarta saat pameran yang bertajuk Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia berlangsung tanggal 3-17 Juni 2012, lengkapnya di http://www.solopos.com/2012/06/21/rupa-sejarah-di-tanah-rantau-195363.
[3] http://dutchdikes.net/history/ diakses 27 April 2015.

2 comments:

  1. sesuk coba tak copas bab analisis tesis yo, gen do minggat kabeh..

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b