Ranu Kumbolo - Kali Mati - Arcopodo, 26 Desember 2011
Aku dididik dalam rezim pembenci bangun pagi.
Betapa tidak? Hampir selama hidupku aku diwajibkan
bangun pagi dengan paksaan, dan karena itu bersifat paksaan, maka segera saja
aku mudah membenci. Tentu bukan sifat wajib itu yang membuat benci. Namun ancaman untuk menanamkan keharusan
tersebut. Berdosa bila tak sholat Subuh, nanti dihukum karena telat masuk
sekolah, mendapatkan seringai tak menyenangkan dari bu/pak guru, dijauhi
teman-teman karena menempel lekat atribut “malas”, dan sebagainya. Mengapa
hampir selama hidupku aku tak dapat bebas memilih jam berapa aku harus bangun?
Setidaknya masa mahasiswa adalah masa yang paling menyenangkan. Aku memegang
kendaliku, walau itu berarti harus memiliki IP dua koma pada tahun pertama.
Dan akhirnya aku selalu berkeinginan untuk
memiliki kebebasan bangun siang. Seakan dengan bebas bangun sesiang-siangnya, aku
dapat balas dendam atas kehidupan-kehidupanku sebelumnya yang penuh ancaman.
Pikiran ini masih melekat kuat, bahkan di tempat sesyahdu Ranu Kumbolo. Bahkan
dalam misi nggunung terbesarku kali ini. Yang membuatku bangun (yang kumaksud
bangun adalah bangkit dari tidur, karena sebenarnya telingaku sudah bangun
walau mata hanya sesekali terbuka) pada akhirnya adalah fakta bahwa sudah tak
ada siapa-siapa di tenda.
Masih pagi dan dingin. Aku keluar mengambil
wudhu, dan sholat seadanya. Ranu Kumbolo tampak sendu dengan refleksi
monokromnya atas bukit-bukit sekeliling. Kelabu langit mendukung suasana pagi
ini. Walau demikian, ada secercah dua cercah biru terlihat mengintip di
baliknya. Matahari masih enggan menampakkan diri.
Terlihat beberapa tenda sudah mulai
beraktivitas membuat sarapan, atau sekedar membuat minuman hangat untuk
menikmati Kumbolo. Beberapa orang mulai duduk di tepiannya. Tak ada riak yang
nampak. Kumbolo benar-benar tenang, walau entah apakah itu juga berarti
menghanyutkan.
Kami tentunya juga sangat ingin menikmatinya.
Tim bergegas menggelar matras menghadapnya, di tempat terbuka agar leluasa
memandang kemegahannya. Secepat kilat kami segera mengusung beberapa peralatan
dan bahan memasak. Kami tak ingin posisi strategis itu diambil oleh tim lain. Anyway, aku sudah memiliki partner pipisku. Karena perempuan
sendiri, aku menculik satu anggota setipeku di rombongan sebelah, menemaniku
mencari semak-semak. Kurasa seharusnya aku tak bercerita tentang hal ini...
Duduk di atas matras dengan sajian Kumbolo pagi
nan syahdu, radio “nggonku” mendendang FM menyambut hari, membelakangi hijau Bukit
Cinta, serta dikelilingi peralatan masak, ah, rasanya benar-benar damai. Aku
segera melakukan tugasku menanak nasi, membuat orak-arik telur yang kemudian
kucampurkan pada sardin merek favoritku. Untuk bumbu tambahan, aku sudah
mengiris tipis bawang merah. Setelah kuoseng, garam aku tambahkan ke dalamnya,
lalu kutuangkan sardin, dan telur yang telah kuorak-arik.
Aku sendirian ketika membuat orak-arik ini,
hanya radio “nggonku” dan beberapa benda mati lainnya menemani, termasuk
selimut tokek penghangatku. Teman-teman sedang menyiapkan peralatan makan. Aku
dapati telur sudah berbau tak sedap ketika kubuka, seperti bau hampir busuk tak
layak olah. Wujudnya masih seperti telur normal. Namun aku sudah terlanjur
memasukkannya ke panci. Ketika ia bercampur dengan margarin yang wangi, bau tak
sedapnya hilang, dan aromanya persis seperti telur layak makan biasanya.
Refleksku langsung menuangkan sardin ke dalamnya. Aku tak membuangnya, karena
pengalaman mengatakan bila sesuatu tidak berbau, biasanya tidak berubah rasa.
Aku beranikan diri mencicip, ia masih layak makan. Namun hatiku gusar, karena
sisa telur yang lain pasti juga berkondisi serupa. Nanti saja setelah selesai
menyantapnya aku cerita ke teman-teman, kataku dalam hati. Banyak yang bilang
lebih baik tidak menyembunyikan sesuatu ketika mendaki dalam kebersamaan.
Gunung siap menguji siapa saja, bahkan menguji mereka yang coba-coba berbohong
walau kecil-kecilan. Aku tak mau hatiku diliputi kegusaran sepanjang perjalanan.
Kulihat teman-temanku tak mencurigai orak-arik
tersebut. Mereka makan dengan lahap. Aku dengan berhati-hati merasakan telur
tersebut setiap ia masuk dalam suapanku, dan tentu rasanya tidak seperti
bayanganku ketika memasaknya tadi. Nasi dan sardin turut serta menghilangkan
bayangan tersebut. Kami pun kenyang,
sebagai cadangan energi menuju Kali Mati. Ya, target hari ini sampai Kali Mati.
Aku tak tahu berapa jauhnya dari Ranu Kumbolo. Tapi pegal-pegal kakiku yang kurasa
kemarin telah mereda, walau tak sepenuhnya hilang. Aku siap mendaki kembali.
Semangatku pun kembali ekstra. Tragedi telur yang sempat menggangguku seakan
telah sirna (sebenarnya bukan baunya yang kurisaukan sangat, namun karena
dengan demikian telur-telur yang lain harus dibuang, dan itu artinya mengurangi
stok pangan kami).
Pengambilan gambar berlatar bukit cinta dan
bendera merah putih yang menempel pada salah satu sisinya segera diambil. Ini
akan menjadi momen syahdu merasai nikmat nasi sardin hangat (orak-arik telurnya
tak kusertakan) di kawasan Kumbolo pagi dengan dingin yang masih menggigit.
Makan bersama memanglah ritual komunal yang saling mendekatkan energi anggotanya. Aku jadi ingat betapa
banyak obrolan berkualitas dimulai di meja makan, dan bukan di meja diskusi…
Φ
Setelah sarapan, Kimreng dan Ucup kebagian
mencuci piring. Aku suka kinerja timku, karena ada yang berinisiatif segera
melakukan sesuatu. Memang hampir selalu begitu bila aku bekerja tim dengan kebanyakan
anak ELMC. Walau sebenarnya ada beberapa yang kurang sensitif keadaan, sehingga kurang dapat menampakkan
tanggung jawabnya. Tapi hanya sebagian kecil saja yang seperti itu. Tak heran
bila aku merasa begitu nyaman dalam kelompok ini.
Selesai ritual tersebut, jarum jam masih
menunjukkan pagi, tak melebihi pukul tujuh. Waktu untuk matahari emas sudah
lama berlalu, dan kami tidak mendapatkannya, karena ia terlalu malu-malu.
Beberapa dari kami mengurusi perut yang protes, sisanya yang baik-baik saja
segera menyiapkan ransel untuk melanjutkan perjalanan. Aku termasuk yang
kembali ke dalam bilik dan packing.
Hari ini aku dijadwalkan bertukar ransel dengan milik Galdi yang lebih kecil
dan ringan. Strategi untuk kelancaran pendakian.
Kumbolo sempat megah oleh cerah mentari pagi
yang menampakkan diri hanya beberapa menit. Setelahnya, ia menghilang di balik
awan, lalu kabut turun, dan hujan merintik. Kami menunggu sembari berdoa semoga
tak semakin deras. Kami yang sudah lolos dari maut camp konsentrasi (kecuali baju kami yang “ternodai” baunya), tak
mungkin harus terpaksa berjalan dalam hujan. Ah, itu hanya pikirku. Toh apa pun kesepakatan tim, aku akan
turuti. Mereka sumber kekuatanku, kukira.
Setelah menunggu sebentar, hujan tampak mulai
samar. Kami memberanikan diri segera pergi. Pagi segera saja akan tergelincir menjadi
siang, tak baik untuk rencana perjalanan ke depan. Kami berdo’a dalam amin,
bertemu dengan rombongan teman yang semalam turut satu bilik bersama kami, dan
berfoto berbagai pose berlatar Kumbolo berkabut-berintik, juga Bukit Cinta
bersama mereka.
Φ
Bukit Cinta adalah jalur selanjutnya yang harus
ditempuh. Ini artinya camping area
terletak dekat jalur menuju Kali Mati. Tak ada yang spesial kurasakan di Bukit
Cinta, karena aku benar-benar sudah lupa kisah detailnya. Yang pasti mitosnya
berhubungan dengan seseorang yang kita cintai. Aku sedang dalam fase
mendewasakan rasaku pada seseorang. Kurasa mitos yang tak memiliki sangkut-paut
dengan genealogis sejarah atas rasaku tersebut, tak akan punya kekuatan yang
cukup memadai untuk memengaruhinya. Aku dan rasaku bulat menyatu. Selama aku
hanya terpaku pada keduanya, yang lain
hanyalah debu…
Sekali lagi aku tak ingat seperti apa mitos
bukit cinta. Apakah menempuhnya tanpa keluh kesah atau bagaimana, aku lupa.
Sudahlah. Pada intinya bukit ini memang super menanjak. Aku berjalan dengan
tempo kesukaanku; tak tergesa, terkesan lambat, namun ajek…
Galdi dan Ucup sudah di depan. Kiranya formasi
belum diatur dalam perjalanan kali ini. Aku menduga mitos tersebut menyuruh
untuk secepatnya menyelesaikan Bukit Cinta. Nah, Galdi tentu jadi jawaranya
bila demikian. Kimreng bisa jadi yang sedang melaksanakan mitos tersebut, tapi
ia terlihat tidak tergesa-gesa, tak seperti dua lainnya. Ah, entahlah, kenapa
aku malah jadi kepikiran mitos itu…
Ranu Kumbolo di belakang tampak menggoda. Hujan
masih merintik. Tak ada satu pun dari kami yang memakai jas hujan, karena
percaya jaket masing-masing anti air (aku sendiri memakai jaket biru milik
(sekali lagi) mas iparku, yang kuharap cukup anti air). Aku sering sekali
menengok ke belakang, memperlambat tempoku. Tapi bukit ini tak terlalu tinggi,
jadi tak masalah bila sedikit-sedikit menengok si Kumbolo.
Tapi akhirnya aku pending kegiatanku tolah-toleh ke belakang. “Nanti lagi aku melihat
Kumbolo setelah sampai atas”, batinku. Walau kurasa tak terlalu tinggi, jalur
bukit cinta cukup curam dan cukup menghabiskan nafas sebagai jalur start. Nafasku terengah-engah. Dalam
berhenti sebentar, menengok ke belakang sebentar, dan menatap kembali ke depan,
aku akhirnya sampai di tempat Galdi dan Ucup menunggu. Hujan mereda. Aku
mengatur nafas. Kimreng terlihat khusyu’ berjalan (atau melaksanakan ritual
mitos?), dan dalam beberapa detik sudah turut bergabung bersama kami. Selesai
sudah Bukit Cinta. Entah apalah…
Melanjutkan jalur sedikit ke atas beberapa
meter, kami kemudian berada pada bibir sebuah lembah yang menakjubkan. Lembah
dengan aksen warna kuning dan hijau. Kuning adalah bunga, dan hijau adalah daun
yang berkombinasi dengan rerumputan. Sangat luas. Sungguh seakan berada pada
negeri antah-berantah. Ini seperti mimpi bagiku karena merupakan kali pertama
melihat dengan mata kepala sendiri sebuah lembah yang berisi banyak bunga.
Biasanya hanya kulihat di TV. Bila tidak di Eropa, maka di Eropa lagi (aku
sangat minim informasi geografis penyebaran bunga, sehingga mengira semua bukit
hijau penuh bunga hanya ada di Eropa).
Bukit penuh rumput hijau menjadi latar di
sebelah kiri kami. Ada jalan setapak ke arah sana, yang langsung terhubung
dengan jalan setapak pada hutan pinus di ujung lembah indah ini. Hutan pinus
tersebutlah jalur selanjutnya menuju Kali Mati. Kami tidak memilih jalan
setapak lewat bukit hijau tersebut karena terlihat sedikit jauh, dan juga
berarti tidak menikmati isi lembah indah ini. Kami memilih “terjun” ke
dalamnya, memotong jalan. Toh opsi itu disediakan juga. Terlihat ada jalur
membelahnya, walau terlihat tertutup di beberapa titik, dan untuk menuju jalan
setapak di bawah itu, kami memang sedikit harus “terjun”. Jalan turunnya cukup
curam.
Setelahnya, segera kami menikmati lembah itu.
Oro-oro Ombo namanya. Oro-oro berarti rawa, ombo (amba) berarti luas. Lebih pas bila ditambahkan frase “penawan hati”
– Oro-oro Ombo Penawan Hati. Pret.
Nah, aku pun sadar, perdu berbunga kuning berdaun hijau itu rupanya adalah
tumbuhan yang kukira sawi di perjalanan menuju Kumbolo kemarin. Hahaha. Betapa
aku berjodoh dengan tumbuhan ini.
Galdi yang berada di depan mengambil banyak
potret kami (aku-Ucup-Kimreng) yang berada di antara semak-semak indah ini. Ah,
baru kali ini aku menjajarkan semak-semak dengan kata positif “indah”, biasanya
selalu diasumsikan yang tidak-tidak. Nah, aku mulai lagi melantur. Yang pasti
lembah ini sungguh indaaaahhhh!!!!! Namun aku jadi berpikir, bila dia disebut
rawa, seharusnya memang terdapat genangan air, dan mungkin buaya. Bila Ranu
Kumbolo, si bidadari Semeru itu menyimpan naga (setidaknya demikian yang
Kimreng bayangkan), pasti rawa rupawan ini menyimpan paling tidak buaya. Tapi
aku memilih tidak menuruti insting lebaiku ini. Buaya akan mati beku di sini.
Dan paling ia hanya dapat makan lalat gunung, atau sawi bohongan yang indah
ini. Apa enaknya?
Sementara indera peraba-penglihat-penciumku
merasai kiri kananku, aku juga bertanya-tanya mengapa lembah ini tak menjadi
danau saja seperti Kumbolo di sebelahnya? Sepertinya sehabis pendakian ini aku
harus segera mencari asal-muasal pembentukan danau, karena pikiranku sudah
segera saja melayang pada bagaimana lucunya bila rawa ini menjadi danau, dan
bila airnya meluber, bisa banjir dan menyatu dengan air Kumbolo. Lho, ini imajinasi
tanpa landasan teori yang benar tentunya. Harus segera kualihkan pada pemaknaan
keindahan saja.
Akhirnya setelah berpuas menembus lembah rawa
indah, kami sampai pada mulut hutan pinus titik tujuan kami. Beristirahat pada
gelondongan pinus yang tergeletak saja, kami mengambil beberapa gambar bersama.
Kemudian terdengar dari atas beberapa orang turun dengan berlari. Tiga orang
total mereka, salah satunya nyentrik
tak memakai alas kaki. Karena mereka juga sama-sama beristirahat, kami
berbincang sebentar. Mereka adalah Bonek. Satu asal Sidoarjo, sisanya asal
Surabaya. Entahlah, aku tak pernah mengikuti konflik Arema dan Bonek, jadi tak
akan lucu bila aku menyinggungnya. Lebih dari itu aku pasti akan melucu tentang
diriku sendiri karena telah menjadi Arema palsu. Lagipula di atas gunung
segalanya disatukan. Kita memuja alam, perseteruan dunia sudah seharusnya
ditangguhkan, apalagi yang cuma
masalah suporter.
Kami juga menanyai kabar Mahameru. Mereka
mengabarkan mendung, tapi tidak hujan. Setelah lagi-lagi mengambil gambar, kali
ini bersama tiga Bonek keren ini, kami melanjutkan langkah. Aku mensinyalir
Oro-oro Ombo Penawan Hati tersebut telah memberi efek pada kami untuk lebih
senang berfoto. Haha, sebenarnya Ranu Kumbolo lah yang ajaib. Ikatan tim mulai
kuat terbentuk di sana. Aku tak dapat melihatnya, tapi aku bisa merasakannya.
Bermalam bersama membuat jiwamu mengenal jiwa masing-masing kawanmu. Kita tak
pernah bisa bilang benar-benar bersahabat dengan seseorang bila belum pernah
menghabiskan satu malam bersamanya. Bermalam di Ranu Pani merupakan fase
“pengenalan”, karena empat dari kami sebelumnya sudah lama tak bersua. Kumbolo
mengingatkan kembali pengalaman bersama. Setelah ingat, ikatan itu menguat.
Φ
Bukit berhutan pinus membentang di hadapan.
Beberapa kawasan terlihat tanpa pepohonan dan malah ditumbuhi rumput-rumput.
Tanahnya berwarna hitam, mungkin kombinasi dengan abu sisa kebakaran di musim
kemarau. Ada beberapa pohon terlihat masih berdiri, tapi batangnya terbelah
melintang jadi dua, dan hangus tanda habis terbakar. Ada pohon lain yang hanya tersisa satu
meteran, juga sudah gosong. Kata Galdi habis terkena petir. Aku ngeri setengah
mati membayang aku yang tersambar. Kemudian kubuka pembicaraan tentang
orak-arik telur menu sarapan di Kumbolo tadi. Aku melihat raut wajah yang
menelan kepahitan, seakan membayang sesuatu
sedang bergerak-gerak dalam perut mereka. Ekspresi yang cukup tak mengenakkan.
Aku meminta maaf karena baru bisa memberi tahu perihal ini. Kusampaikan pula
permohonan maaf karena telur lain tak dapat dipakai. Raut wajah tak berubah.
Terlihat sekali berita pertama lebih mengejutkan daripada berita lanjutannya.
Beberapa kata muncul sebagai reaksi, memaklumi seperti biasanya. Aku berharap
bayang-bayang ketika mereka makan orak-arik itu segera menguap seiring dengan
perjalanan pagi hari ini.
Φ
Hujan telah lama berhenti, matahari mulai tak
segan-segan bersinar. Langit terlihat sangat biru. Biru yang bersih dan cerah,
dengan aksen awan putih di sana-sini yang menyempurnakan kebiruan langit itu
sendiri. Hutan pinus ini menawarkan keajaibannya sendiri. Mataku masih terus
dibelai oleh keindahan demi keindahan perjalanan pendakian ini. Aku hanya
berharap penghiburan ini tak segera habis. Aku berharap Semeru menyimpan
beberapa kejutan lagi di depan. Ya, semoga.
Kontur tak begitu terjal hanya sebagai permulaan
saja. Tapi kemudian jalur menjadi menanjak tiada henti. Terik kadang menjadi
sangat melelahkan. Ransel Galdi memang lebih ringan daripada carrier yang kemarin sukses kubawa
hingga Kumbolo. Tapi tetap saja ia adalah beban yang sudah tabiatnya ada untuk
menguji stamina. Sudah hampir satu jam mendaki perbukitan pinus ini, perut kami
pun mulai mengeruyuk. Padahal masih belum ada tiga jam sejak kami meninggalkan
Ranu Kumbolo. Energi nasi putih bisa jadi tak begitu dapat bertahan lama,
apalagi dengan jalur panjang menanjak seperti ini. Belum lagi isi carrier teman-teman yang, well, mematikan.
Kimreng membuka cokelat mete untuk tim. Bagiku
itu merupakan sajian mewah, karena selama ini cokelat kumakan ketika sudah sampai puncak. Kini
bahkan belum ada apa-apa-nya
Mahameru, aku sudah mengecapnya. Aku sendiri jarang sengaja membeli cokelat
untuk bekal naik gunung, sekarang pun tidak. Karena walau banyak yang
menyarankan, aku tak pernah begitu membutuhkan energy booster di pengalaman mendaki sebelum-sebelumnya. Jika aku
membawanya, seringnya dihabiskan di puncak – semacam untuk perayaan. Aku jarang
nyemil selama perjalanan.
Ransum-ransum kubawa seringnya untuk teman-teman. Ini bukan upaya pencitraan,
lo.. (hanya akhirnya aku sadar betapa naifnya diriku ini).
Tapi lumayan, asam dalam perutku tak lagi
begitu bergejolak setelah makan cokelat. Kami pun meneruskan perjalanan, masih
dalam bukit hutan pinus yang tak begitu rapat sehingga matahari dan langitnya
masih dapat kami santap. Beruntung menjelang tengah hari ini mentari tak
serta-merta bersinar dengan ganas. Beberapa kali ia dihalangi oleh awan putih
yang berserakan di langit biru. Tentu ini nasib baik. Rupanya cokelat kunyah
yang kami makan sebelumnya turut menyelaraskan energi kami dengan energi alam.
Tadi ketika masuk hutan, kami masih dalam periode inisiasi – pengenalan.
Adaptasi tubuh terjadi. Alam pun beradaptasi untuk menerima kami. Energi yang
habis kemudian di-boost oleh cokelat.
Setelah tenteram si perut di sana, tenteram pula jiwa dan tubuh: siap menerima
alam yang mendekap kami. Alam yang tak lagi mendapat penolakan (walaupun kami
seakan sudah “fasih” mendaki, namun selalu ada waktu di mana selalu ada keluh
kesah atas suatu perjalanan berpetualang, termasuk keluhan sekecil apapun yang
disimpan dalam hati), akhirnya memberikan “restu”-nya, lalu diberikannya kepada
kami kondisi yang mendukung. Alam sendiri lebih jarang menolak, karena ia jauh
lebih bijak daripada manusia. Ketika sudah siap manusia menerima ke-alam-an
tersebut, kiranya yang ada hanyalah penyatuan – keselarasan. Itu yang kami
rasakan ketika kami lanjut berjalan dan akhirnya mencapai garis finish bukit berhutan pinus ini.
Omong-omong, hutan barusan bernama Cemoro Kandang. Kandangnya cemara memang…
Kini yang ada di hadapan adalah jalanan datar
yang cukup menyenangkan. Jalur bonus yang kelihatannya bakal cukup lama,
soalnya terlihat lumayan panjang ke depan. Kiri-kananku berisi semak-semak,
seperti rerumputan di puncak Merbabu atau yang biasa ditemukan di bawah puncak
Lawu, hanya di sini lebih “bergizi”, tampak lebih besar (di antara
gunung-gunung yang pernah kudaki, hanya dapat kuingat rumput serupa ada di Lawu
dan Merbabu). Di sela-sela rerumputan itu, menyembul Edelweis yang sayangnya, yah tentu sayang banget, tanpa bunga.
Desember tentu bukan musim untuknya berbunga. Aku membayang dataran luas ini di
bulan Agustus. Uhuk! Pasti indah banget!!
Di belakang dapat kami lihat puncak bukit
berpinus sebelumnya. Rupanya titik akhir hutan pinus yang kami lewati barusan
bukan titik tertingginya. Beberapa meter di sebelah kiri-kanan kami, tampak
semacam hutan dengan jenis pohon mirip dengan yang ada di perjalanan sebelum
puncak Sindoro (lagi-lagi hanya di gunung ini yang bisa kuingat). Pohon yang
sama di dua gunung yang berbeda ini memiliki ciri yang mirip dengan pohon petai
cina. Daun dan bentuk kayunya setidaknya mirip. Tapi aku tak pernah melihat
yang di gunung menghasilkan buah.
Awan-awan putih yang berkeliaran kini
mengumpul. Tak dapat kami lihat langit biru. Hari yang menuju tengah sungguh
jauh dari kata terik. Matahari malah bersembunyi. Suasana mulai berkabut.
Antara alhamdulillah atau ketar-ketir
karena khawatir tiba-tiba hujan menyergap. Mungkin karena telah selaras dengan
alam, atau mungkin karena cokelat yang tadi kami makan, atau mungkin karena
keduanya, aku masih merasa hatiku sedang disenangkan oleh jalanan bonus ini.
Lalu kami dapati hutan yang cukup rapat (karena
permukaan tanahnya cukup datar – sedikit menanjak lalu sedikit menurun, datar,
sedikit menanjak dan menurun dan datar dan seterusnya – maka pohonnya sama-sama
tinggi hingga dapat membentuk kanopi yang lebih rapat daripada bukit pinus
sebelumnya), dan karena matahari terhalang awan/kabut, situasi di sini sedikit
redup – mengingatkanku pada hutan hujan tropis (tentu sepertinya bukan). Entah mengapa aku merasa seperti tak jauh-jauh
dari alam belakang rumah saat aku kecil. Ah, mungkin hanya karena suasananya.
Ketika sudah habis kami melewati hutan ini
(dengan sedikit saja menanjak tanpa menurun), kami melihat Kali Mati. HAH,
SUDAH SAMPAI!?!?! Aku merasa betapa
cepat. Hanya tiga jam dari Ranu
Kumbolo!!! Hanya tiga jam, dan
padahal kami sudah kelaparan sekitar sejam yang lalu, ha ha ha.. Cokelat tadi
itu pasti punya daya sihir!!
Dan ya, tentulah apa yang sudah kuimajinasikan
tentang Kali Mati musnah adanya. Kali Mati itu rupanya luas banget. Berisi
pasir dengan rimbun rerumputan-semak serupa rerumputan di dataran sebelumnya di
mana ada Edelweis tak berbunga, namun kini tak “sesubur” di sana. Rumput-semak
kali ini lebih mirip dengan yang ada di Merbabu dan Lawu. Di kejauhan tampak
juga satu-dua Edelweis, tapi dia hadir di tempat yang bertanah saja, sedang di
hamparan luas Kali Mati yang tanahnya tertutup pasir ini, aku tak dapat
menemukannya. Benakku protes karena kali seharusnya tak datar seperti ini. Tapi
fakta bahwa tempat inilah yang dibanjiri lahar ketika Semeru meletus, membuat
benakku cukup diam, walau tak berhenti berimajinasi: ke mana Kali Mati
mengalirkan lahar yang diterimanya? Kurasa aku tak butuh mencari jawabnya.
Biarlah pikirku melayang-layang.
Di sebuah titiknya dapat kami lihat beberapa
tenda para pendaki, juga ada dua bangunan di sana, semacam bangunan di Ranu
Kumbolo namun lebih sederhana dan terkesan “ringkih” (atap seng-nya terlihat sudah berkarat, dan dua selnya
telah hilang entah ke mana,
alias bolong gedhe!!). Di belakang areal perkemahan tersebut, bukit pinus
(lagi-lagi) menjulang. Kawasan Kali Mati merupakan kawasan terbuka. Aku
merasakan kencang angin yang bertiup sebentar-sebentar. Aku rasa sedikit ngeri
juga bila membayangkan harus bermalam di sini. Semoga tak masuk angin, batinku.
Kami duduk tepat membelakangi
hutan pinus. Kaki kami luruskan sedemikian rupa. Ransel tergeletak di sekitar kami. Ucup mengeluarkan botol
minumnya, yang segera saja digilirkan untuk setim, mengurangi beberapa gram air
bebannya begitu. Langit masih benderang. Walau begitu matahari hanya sesekali
saja menampakkan dirinya. Beberapa ransum dikeluarkan. Salt Cheese, biskuit sandwich
cokelat dari tas
Kimreng (entah di mana letak garam dan kejunya), dinobatkan menjadi biskuit Kali Mati.
Aku menghirup bau tempat terbuka ini, sekaligus merasai nikmatnya kaki yang
diselonjorkan dengan punggung lelah tanpa beban dan bersandar. Ah, surga
sekali. Di saat seperti ini biasanya aku mencoba menghimpun energi dari tidur
sekenanya. Tapi karena staminaku sedang dalam kondisi optimal, aku tak
memerlukannya. Aku sepenuhnya terbangun merasai surga Kali Mati. Lagian juga
jam sebelas baru saja lewat.
Kimreng membuka diskusi tentang
persediaan air. Sekitar satu kilometer dari Kali Mati memang terdapat sumber
air. Itu serupa dengan (bila tak salah) satu jam perjalanan pulang-pergi.
Masing-masing sudah membawa dua liter tentunya. Menginap di Ranu Kumbolo juga
berarti hemat air untuk memasak. Akhirnya kami sepakat untuk menghemat waktu
dan tenaga. Persediaan air dinilai cukup hingga saat kembali ke Kali Mati lagi.
Satu tim merasa perjalanan
Kumbolo-Kali Mati cepat sekali berakhirnya. Karena hari ini dinilai belum puas berjalan (sepertinya efek cokelat
ajaib itu masih tersisa), rencana menginap di Kali Mati kami tangguhkan. Tak
begitu terlindungnya Kali Mati dari serbuan angin menjadi salah satu alasan kami membatalkan niat untuk
menginap. Hatiku sumringah mengetahui kami tak jadi menginap di sini. Mahameru
kembali mendekat dalam angan. Menyerang puncak dari Arcopodo secara nalar akan lebih tidak berat daripada bila kita
memulainya dari Kali Mati. Ya, logis pikir ini (semoga) memang tepat. Langkah pun kami
bawa ke Arcopodo.
Φ
Berjalan kembali dimulai.
Melintasi pepasiran Kali Mati hingga di ujungnya kami dapati pintu masuk hutan
pinus menuju Arcopodo. Hanya beberapa menit dari gerbang tersebut, kami
berpapasan dengan rombongan dari Mahameru. Mereka menyerang puncak dari Kali
Mati dini hari tadi (ketika kami masih lelap tertidur dalam kamp konsentrasi).
Sudah tengah hari dan mereka belum juga sampai di Kali Mati, padahal pagi tadi tim bonek sudah sampai di Oro-Oro Ombo Penawan
Hati dan bersua dengan kami. Mahameru bisa menjadi begitu berat bagi beberapa
tim tertentu, kurasa.
Seperti biasanya, kami
berbincang sebentar dengan rombongan. Rupanya satu di antaranya merupakan
lulusan Geologi UGM. Kami sempat bertukar alamat Facebook, seperti juga yang
kami lakukan terhadap rombongan Bonek (aku heran juga kenapa). Pesan hati-hati
kami dapatkan, agar segera turun dari Mahameru ketika matahari sudah naik. Bisa
jadi rombongan ini sempat “mencicipi” gemuruh aktivitas paginya, mengingat
betapa siang mereka turun. Tapi mereka enggan memberi tahu lebih, hanya secuil
peringatan tersebut yang mereka
katakan. Setelah mengucap salam berpisah, kami melanjutkan pendakian.
Langit terasa sedikit muram.
Kanopi hutan pinus yang rapat membuat sempurna kondisi ini. Walau muram, kami
merasa diuntungkan. Mendaki jalur terjal dalam balutan megah mentari tentunya
merupakan suatu siksaan. Tim terlihat begitu bersemangat menuju Arcopodo. Well, aku sebenarnya cukup heran tentang
semangat yang kami dapat hari ini. Dua hari sebelumnya kami benar-benar merasa
kepayahan, apalagi bila aku mengingat perjalanan menuju Ranu Pani. Hari ini tim
terlihat begitu bahagia dan bergairah lebih. Sihir gunung memang ada-ada saja.
Jalur menuju Arcopodo adalah
yang paling terjal dibandingkan dengan jalur-jalur sebelumnya. Carrier-ku cukup ringan, dan ya, aku
bersemangat sekali hingga tanganku turut serta mendaki. Aku memaknai jalurnya
seperti wahana, dan dengan tempo konstan yang menyenangkan aku berpindah dari
titik yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, kadang berpegangan bagian pohon
yang bisa membantu; batang atau pun akarnya. Hutan pinus ini berbeda kondisi
dengan hutan pinus sebelumnya
di Cemoro Kandang. Pohonnya lebih rapat-rapat. Kabut yang menyergap
membasahi tanahnya. Kelembabannya lebih tinggi, dan terasa lebih sejuk.
Matahari yang tak jelas juntrungannya, semakin menjadi tak jelas keberadaannya,
terlebih ketika rintik hujan mulai mengguyur.
Kami tak mengeluarkan jas hujan,
dan percaya jaket kami dapat melindungi. Pun rintik tak menjadi begitu besar.
Hujan kecil ini, alih-alih menyurutkan semangat kami, malah menjadi semacam
pelecut. Lapar kami mulai merasa
(lagi). Makan siang belum kami lakukan memang, demikian juga sholat
Dzuhur. Tapi walau mulai merasa kelelahan, keringat yang tak banyak mengucur
lumayan membuat kami bersabar. Ini menyenangkan.
Istirahat kedua akhirnya kami
lakukan. Performa tim sungguh hebat: tak banyak mengeluh, tak banyak bicara,
tak banyak istirahat, hanya berjalan dan merasa kesyahduan sejuk hutan, dan mungkin kesyahduan berjalan
itu sendiri. Kehausan pun tak kami rasa begitu sangat. Sungguh kami
bersyukur di jalanan menuju Acopodo ini. Walau demikan, lapar mau tak mau tetap dapat menyergap.
Estimasi kami satu jam lagi baru akan sampai Arcopodo, kira-kira jam tiga sore.
Artinya satu jam lagi kami
baru bisa makan siang. Maka kami segera beranjak, dan..
Dan lima menit berikutnya kami
sudah berada di Arcopodo. Yaelah,
lagi-lagi kami beristirahat cukup lama tepat di bawah titik tujuan. Seakan
sia-sia saja sudah bersiap diri untuk jalur yang lebih panjang. Demikian
adanya. Arcopodo. Tertulis 2.999mdpl. Aku terhenyak. Berjalan sekian lama hanya menuju ketinggian segitu saja? Bahkan tak lebih dari
ketinggian Merbabu. Hahaha, Semeru ini seperti ini rupanya. 2999, dan kami
harus meraih sisa 600 meter lebihnya dalam (kurang dari) semalam? Baiklah,
kusimpulkan perjalanan selama dua hari ini bukan apa-apa. Sungguh bukan..
Φ
Arcopodo merupakan areal landai
terakhir yang dapat ditemukan sebelum Mahameru. Daerah ini sebenarnya sudah
merupakan kawasan berbahaya, karena termasuk yang rawan erosi. Kami dan pendaki
lainnya diwajibkan mendirikan kemah di Kali Mati, dan menurut peraturan memang
sudah tak boleh pergi ke Mahameru. Kami anggap itu hanya aturan lalu tentunya.
Seperti sebelumnya, gambaran
Arcopodo hasil pembacaan 5cm kandas
kembali. Dua arca kembar itu entah ada di mana. Yang dapat kulihat hanya plang
bertuliskan Arcopodo 2.999mdpl. Itu saja. Aku tengak-tengok kiri kanan juga tak
merasa kehadiran dua patung itu. Sempat aku berpikir bisa saja arca itu ada di
balik semak-semak di sekitar areal ini, tapi ya mungkin saja.. Walau gambaran di 5cm tak terbukti, mistis yang pernah kurasakan ternyata tak menguap. Aku masih berpikir ada
yang tak kasat mata yang serupa yang berjumlah dua di sini, atau di sebelah
sana, yang pasti di areal ini, yang kini sedang mengamati kami. Aku jadi ngeri setengah mati. Aku mengandai
ada anggota tim kami yang punya kemampuan klenik semacam melihat yang tak
nampak, tapi ia tak mau cerita. Bayangan itu terus menghantui dan kuputuskan
untuk berbincang lalu tentang apa saja dengan teman-teman supaya menghalau bayangan yang semakin
tidak-tidak. I’m fine. Completely fine. I hope.
Kami berfoto dengan ceria,
dengan beberapa pose kesatuan (entah apa maksudnya aku menulis ini).
Setelahnya, segera bergegas menentukan tempat kemah paling yahut, yang
terlindung serbuan angin dan di bawah kanopi sehingga hujan tak mengguyur
langsung ke tenda. Tempat itu kemudian kami dapati di areal sebelah kanan.
Tenda pun dibangun. Aku mengamati dan sedikit saja membantu, hehehe. Cover tenda terpaksa tidak terpasang dengan pasak standar,
tapi terikat ke sana ke mari, sebut saja ke semak-semak/pepohonan di sekitar. Tak masalah, daripada mati
kehujanan kiranya.
Φ
Hal pertama yang segera kami lakukan adalah
bersiap untuk makan siang. Aku lega mengetahui teman-teman segera membuka
pembicaraan masalah telur yang tak bisa dipakai. Ia disisihkan, dan esok
dibuang. Kemungkinan malam nanti ada tikus gunung yang mengobarak-abrik sampah,
ah, atau binatang apa aku tak begitu mengerti yang laki-laki ini sedang
bicarakan. Pikiranku terlalu absurd membayang binatang yang tinggal di atas
sini sama halnya seperti yang di bawah. Bila demikian ular pun jadi sangat available. Oh, tidak..
Beberapa saat kemudian hujan mengguyur. Hari
sudah mulai meninggalkan pukul tiga sore. Kami masih menjadi penduduk pertama
Arcopodo siang ini. Di dalam tenda kami menikmati menu makan siang. Rencananya
sebelum tengah malam kami harus bangun; mempersiapkan diri untuk menyerang
puncak. Persiapan itu adalah makan sangat awal tentunya. Memasak di malam hari
tentu merepotkan mental untuk puncak. Alhasil sore ini kami juga memasak untuk
nanti malam. Memang hanya memasak nasi. Kimreng sempat bertanya apakah nasi
sore ini tak apa buat dimakan nati malam. Dengan kondisi dingin begini, tentu
malah tak apa. Abon akan mendampingi nasi yang kami masak sore ini.
Beberapa sholat sudah didirikan. Setelah
selesai menyiapkan beberapa hal untuk nanti malam, kami bersiap beristirahat
secepatnya. Stamina harus maksimal untuk nanti malam, begitu komandan pendakian
ini berkhotbah. Aku memang merasa capai. Tapi mengingat perjalanan Kumbolo-Arcopodo
hari ini, tubuhku ingin lebih. Apapun itu, aku tetap harus beristirahat. Di
luar mulai terdengar beberapa pendaki berdatangan. Akhirnya kami tak sendiri.
Semakin tergelincirnya matahari semakin kami dapat rasai Arcopodo yang mulai
ramai. Aku tersenyum entah kenapa.
Φ
|
Kamera: Galdi |