Friday, May 30, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (6 - finale)


Arcopodo - Ranu Kumbolo, 27 Desember 2011


Senja mulai menjelang ketika kami sampai kembali di Ranu Kumbolo. Perjalanan turun cukup menyenangkan, dengan sedikit berlari dan tempo yang tak tergesa. Arcopodo seketika menjadi senyap oleh kehadiran manusia saat kami meninggalkannya. Seluruh pendaki yang sejak kemarin menempatinya sudah turun, sementara belum ada satu pun rombongan calon penyerang Mahameru berikutnya yang sampai di titik tersebut. Keadaanku tidak begitu prima, keadaan seluruh tim juga kurasa. Asupan makan kami jauh dari kata sempurna, karena kami memilih membaringkan badan daripada membuat makan. Beruntung ada roti yang cukup bisa mengganjal. Kiranya kisah dini hari tadi sungguh menyita stamina. Namun kembali aku bersyukur sudah dapat melewatinya. Aku jadi teringat rombongan alumni Geologi yang kemarin kami temui di gerbang menuju Arcopodo. Bisa jadi kami memiliki kisah yang serupa.

Arcopodo - Kali Mati kami tempuh selama kira-kira setengah jam, dan sempat kami lihat Mahameru yang tersingkap dari serbuan awan putih di atas sana. Aku mengirimkan senyum padanya, seperti senyum-senyum yang kulemparkan dari rumah untuknya di hari-hari sebelum pendakian ini (dan kelak setelahnya). Baru 30 menit berjalan, persediaan air yang masih cukup, dan juga kiranya menghindari spekulasi pikir atas kemungkinan hujan, kami segera beranjak dari Kali Mati. Mendung tipis bergelayut hingga kami mencapai Cemoro Kandang. Terjalnya daerah tersebut memaksa kami beberapa kali istirahat, saling kejar-mengejar dengan beberapa rombongan yang juga turun. Dalam sebuah berhenti, seorang mas-mas dari rombongan lain menghampiriku dan memberikan slayernya padaku. Nantinya setelah di rumah aku baru sadar slayer itu masih steril belum sempat dipakai, meski kurasa tidak baru. Aku yang terlampau lelah tak sempat menjadi heran, walau sempat kudengar kata salut darinya karena aku seorang perempuan dan berhasil mencapai Mahameru. Setelah kupikir-pikir lagi mungkin ia adalah salah satu yang sempat melihat versi hampir beku diriku di peristiwa menyerang Mahameru tadi. Aku ucap terima kasih dan langsung kumasukkan dalam kantong ranselku. Setelah berjalan kembali dan berpisah jarak dengan rombongan mas-mas tersebut, teman-teman berpesan untuk hati-hati, mereka takut slayer itu sudah diberi mantera tertentu. Aku afirmatif sepenuhnya, berharap mendapat mantera expelliarmus meski aku tak punya tongkat sihir.

Sesampainya di ujung Cemoro Kandang dan kembali melihat megahnya Oro-Oro Ombo Penawan Hati, kami kembali beristirahat sebelum menceburkan diri ditelan keindahan padang tersebut. Matahari kini tampak bersinar miring beserta awan kapas yang mengiringinya. Aku melihat dan teringat satu tanda yang sangat penting dalam pendakian Semeru ini, sebuah benda yang menjadi penanda bahwa kita berada pada jalur pendakian yang benar: pita plastik beraksen hitam-kuning, mirip sekali dengan motif kantong kresek hitam-putih yang biasa ditemui di pasar (yang dari  kejauhan kurasa bahannya juga serupa kantong kresek tersebut). Aku menyebutnya "police line". Tanda ini ada hingga batas vegetasi sebelum jalur pasir menuju Mahameru. Guide selanjutnya yang mencegah pendaki tersasar hingga seremnya bisa masuk ke blank 182 75 adalah tugu-tugu kecil setinggi pinggangku, yang keadaannya sudah miring-miring - kurasa akibat aktivitas vulkanik Semeru. "Police line" biasanya diikat di ranting pohon atau di badan pohon. Guide utamanya tentu papan-papan spotlight penunjuk arah. Walau demikian, kehadiran si hitam-kuning menjadi isyarat sebuah aman, mengingat papan-papan penunjuk arah hanya ada di titik-titik atau belokan-belokan krusial.

Di Oro-Oro Ombo kami tak berlama-lama menceburkan diri, dan memilih jalan cukup datar (meski panjang) yang mengakseni bukit hijau di sebelah kanan - jalur yang kemarin tidak kami pilih. Kini kiranya jalur kemarin membutuhkan daya super kelak di ujungnya, mengingat bagaimana kami kemarin sedikit "terjun" saat memasukinya. Total hampir 45 menit kami habiskan sejak beristirahat di akhir Cemoro Kandang hingga kembali melihat si Kumbolo di Bukit Cinta. Waktu yang cukup lama untuk jalur yang hanya "secuil". Ini berarti kami menikmati dengan sangat kesyahduan hari menjelang sore di megahnya Oro-Oro Ombo Penawan Hati. I really want to be back here someday.

Ketika hari sudah lewat setengah lima sore, kembali tubuh kami mengindera siulan mesra angin Kumbolo. Hari tampak cerah dan riuh. Mentari sore membuat si Ranu menjadi gemebyar. Kumbolo ramai oleh para pendaki. Semua bilik dalam bangunan tempat kami "bermukim" dua hari lalu telah penuh. Tim terlihat sudah begitu tersengat lelah karena kusadari kami tak segera bergegas mengambil keputusan perihal tempat berkemah. Aku yang merasa mulai menuju titik penghabisan, mau tak mau mendambakan sebuah tempat berbaring. Badanku mulai menunjukkan keremuk-redaman. Makan yang kurang memadai kusinyalir menjadi sebab. Logisnya kawan-kawanku juga sudah sangat kelelahan, dan kelaparan. Satu ide untuk turun hingga base camp tentunya sudah dicoret masak-masak. Kami ingin menikmati Kumbolo walau hanya semalam lagi.

Akhirnya diputuskan mendirikan tenda di kawasan lain, di sisi lain Kumbolo. Letaknya hampir berseberangan dengan camping area, dan berada sekitar di bawah pos 4 (atau 5?), di mana kami mengambil gambar bersama beberapa hari ketika kali pertama kami sampai di ranu ini. Titik yang juga menghadap langsung si Kumbolo ini ku/kami raih dengan segenap rupa, dengan segala energi yang tersisa, mengingat letaknya yang "dekat di mata jauh di kaki". Dari sini pula kami dapat melihat camping area di seberang. Langit yang mulai terlihat memerah, menjadi hiburan mata hati. Sebersit sabit menyimpulkan senyum paling manisnya di sebelah barat. Kumbolo terasa begitu hangat dan syahdu. Sekitar pukul setengah enam tenda akhirnya berdiri beberapa meter dari permukaan air danau. Setelah kemah siap, aku seketika roboh di dalamnya, tak kuasa menikmati sisa-sisa keajaiban senja Kumbolo. Kiranya tubuhku tak lagi sanggup menahan belaian lembut dingin angin danau. Kali ini para lelaki berkontribusi penuh mengurus dapur. Beberapa saat berikutnya aku dibangunkan untuk makan: sebuah kemewahan sarimi yang tersisa. Galdi menginformasikan gemerlap malam langit Kumbolo, lengkap dengan bintang dan sabitnya. Aku menengok ke luar sekilas, menyunggingkan senyum serupa pada si sabit, dan bergegas kembali pada kantong tidur. Kami semua sepakat segera tak menyadarkan diri setelah dua sholat didirikan.


Φ

Malang, 28 Desember 2011


Kereta Kimreng telah berangkat ketika Galdi dan Ucup, dan si Biru sampai di rumah Mbakku. Perjalanan pulang yang kiranya tak mudah, karena si Biru kembali berulah. Setelah tiga jam lebih menapaki jalur turun Ranu Kumbolo - Ranu Pani, kami beristirahat sebentar, melapor ke pos, mengambil gambar, dan kemudian sekitar pukul setengah satu siang segera memacu dua motor untuk kembali ke Malang karena Kimreng mengejar Malabar setengah empat. Kimreng hari ini sudah bolos kerja, dan esok ia harus kembali menunjukkan muka di depan bosnya. Kimreng dan aku dengan si Biru, Galdi dan Ucup dengan motor Galdi. Meski formasi awalnya si Biru mengambil start duluan, Galdi dan Ucup akhirnya menyalip kami. Hari yang cukup benderang seakan membuat mood ter-boost.

Mendung tipis mulai menggantung ketika dua motor sudah terpisah jauh. Tak diduga-duga, si Biru kembali membuat masalah. Businya Kimreng sinyalir mati ketika kami baru saja melewati jembatan di belokan penuh berlubang. Jalanan Ranu Pani - Desa Ngadas memang begitu memprihatinkan. Dan mogoknya Si Biru membuat diriku seakan benar-benar sedang diserang negara api. Aduh, mati. Mood yang sempat ter-boost kini tinggal kenangan.

Jalan begitu sepi, meski tak kupungkiri bukit-bukit di sekitar cukup membuatku tenteram. Kimreng berlari mendorong si Biru di jalan datar, aku membantunya di jalan menanjak, dan jalan turun menggelindingkan kami bertiga. Terlihat begitu tergopoh-gopohnya kakak angkatanku satu itu: tiket pulangnya setengah empat, kendaraannya mati sekarat, dan jarak kawan di depan seakan menyayat. Keringat kembali membanjiri tubuh. Kadang mendung tipis berganti jadi matahari yang menyengat. Sebelum nasib minta diratapi, kami akhirnya melihat Galdi dan Ucup. Firasat mereka kalau Biru kenapa-kenapa lalu terjawab.

Masih dengan cara mendorong dan "menggelinding", akhirnya kami sampai di  Desa Ngadas. Sekitar dua puluh menit aku mencari bantuan, sekiranya ada montir di desa yang punya persediaan busi Shogun. Nihil. Keputusan diambil: Kimreng dan aku memakai motor Galdi, dua sisanya mengambil posisi kami sebelumnya hingga bertemu bengkel. Skor minus buatku karena si Biru kembali sukses ngerjain seluruh tim. Aku malu luar binasa.

Kembali melewati pintu masuk air terjun primadona Coban Pelangi, gapura Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru, perkebunan Apel Kecamatan Poncokusumo, pos perizinan Perhutani, pasar Tumpang, akhirnya aku dan Kimreng sampailah di rumah kakakku, sekitar sejam sebelum Malabar berangkat. Kimreng bergegas menyalakan HP-nya, berkirim kabar ke ibunya di Yogya, lalu bersih diri, memakai seragam ber-epauletnya, makan Pop Mie (yang untungnya tersedia di dapur), kembali mengatur isi carrier dan setelahnya segera kami berlanjut ke stasiun.


Aku tadi juga sudah sempat menelpon kakak-ibuku. Dikabarkan oleh kakakku bahwa ibuku kalut menangisiku di 26 Desember malam, karena Malang diguyur hujan sangat deras semalaman, tak berhenti-berhenti hingga pagi. Mungkin ini yang disebut ikatan ibu-anak, karena di dini hari itu aku merasai maut yang teramat dekat, dini hari ketika menyerang puncak. Sejak malam itu ibuku sangat khawatir hingga esoknya semakin menjadi karena tak beroleh kabar dariku, sedang ponselku pun dihubungi percuma adanya sebab aku masih di areal tanpa sinyal. Ketika tadi aku berkabar, mataku juga sempat meleleh karena mengingat kejadian di pepasiran menuju Mahameru.


Φ

Sekembalinya aku ke rumah kakakku, Galdi dan UCup belum terlihat batang hidungnya. Aku yang sendirian di rumah ini merasa sangat krik-krik-krik, karena tiba-tiba menjadi sendiri. Si diri melankolis mengambil alih komando mengingat kebersamaan dalam petualangan yang besar ini
seakan direnggut dengan amat paksa. Beruntung sebelum kendali penuh ia ambil, kudengar suara si Biru dari luar. Aku sedikit terselimur.

Dan tentu, aku rasa lega luar biasa, sekaligus memohon maaf sepenuhnya. Dua kawanku penuh santai berkata tak apa karena saat di Poncokusumo mereka bisa menemukan bengkel, dan jalanan relatif selalu turun tanpa menanjak setelah Desa Ngadas. Masing-masing lalu mengabari keluarganya.

Setelah bersih diri dan beberapa sholat dijalankan, ketiga anggota tim tersisa segera mengatur strategi pulang. Aku aman karena ini kotaku, tinggal ngeeeng ke selatan dan sudah begitu saja. Ucup menolak ide untuk bareng Galdi ke Yogya dengan motor, karena menurutnya tidur di bus akan sangat menyenangkan. Tapi bus Malang-Yogya sudah tak menyisakan kursi buatnya, jadi akhirnya ia putuskan naik bus dari Surabaya. Galdi yang tak mungkin berkendara lintas propinsi dengan tubuh yang melayang, menerima tawaranku untuk menginap di rumah. Setelah bulat diputuskan, kami segera memacu motor menuju titik penghabisan misi: Bakso Bakar Pak Man dekat SMP 3. Di maghrib hari, kami penuhi lambung kami di sana dengan kuliner super khas kotaku itu. Setelahnya, Ucup berpisah jalan di terminal. Aku dan Galdi menuju ke selatan, dan bisa kurasa hatiku mulai terseret-seret ke sindrom
after nggunung yang menyerang manusia kontemporer: sindrom mematikan (dan anehnya juga menghidupkan) yang membuat diri seperti telah mengalami mimpi yang sangat indah, namun tiba-tiba ia terbangun dari mimpi tersebut. Sindrom yang tercipta karena kebersamaan kokoh dalam sebuah petualangan singkat yang serta-merta terenggut karena harus kembali pada kesibukan masing-masing anggota tim. Kesenjangan rasa yang timbul ketika bersama dan ketika akhirnya sendiri yang begitu mendadaknya mau tak mau membuat diri jadi sekarat, namun tentu yang menghidupkan adalah kenangan itu sendiri, yang tersimpan di benak, dan terpatri di hati.

Aku mau tak mau harus bersiap menghadapinya: kenyataan yang mematikan, dan kenangan yang menghidupkan.




[fin]

Get Adobe Flash player
Foto dan kamera: Galdi Chul

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b