Monday, May 26, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (3)


Ranu Pani – Ranu Kumbolo, 25 Desember 2011


Kantong tidur yang membungkus tubuhku cukup dapat memberi kenyenyakan tidur, walau dingin dan hujan di luar serta beberapa calon pendaki lain sempat mengusik. Ternyata masih banyak calon pendaki yang tiba di base camp beberapa waktu setelah kedatangan kami. Tentu daerah ini sudah dingin bukan main. Kebiasaan (buruk?) ketika naik gunung adalah susahnya untuk segera beraktivitas ketika sudah nyaman berada di kantong tidur. Tapi kami harus segera mencapai target waktu. Target waktu apa aku juga tak tahu, hahaha.

Segera setelah mood-ku terkumpul, aku bangun. Subuh telah cukup lewat. Hari sudah bercahaya. Bangunan rumah ini rupanya tak sengeri bayanganku semalam. Rumah kosong ini menempel dengan satu bangunan lain, yang rupanya juga dibuat menginap. Bedanya bangunan sebelah digunakan untuk menitipkan motor. Di depan dua rumah ini terdapat tiang lengkap dengan bendera merah putihnya. Aku bergegas turun menunaikan sholat dua rakaat walau telat. Juga sekalian lama di kamar mandi, tidak untuk mandi tentunya.

Selesainya, aku melihat matahari bersinar. Hari ini kami akan memulai pendakian. Adrenalin yang kemarin menggebu-gebu, kini entah ke mana perginya, mungkin sudah habis ketika aku kesasar kemarin. Tapi gembiraku masih masif. Hanya bahagia saja karena tahu habis ini aku akan mendaki lagi…Kembali ke atas, aku dapat melihat Ranu Pani, danau yang tak terlihat seperti danau karena tertutup banyak tumbuhan air. Sayang sekali. Kini mungkin aku harus menggugurkan semua bayangan tentang titik-titik di Semeru yang kudapat dari membaca 5cm, sebelum aku kecewa dengan kenyataannya.

Sarapan kami memutuskan membeli. Nasi yang semalam tak dapat kami raih, wajib hukumnya kami dapat pagi ini. Kami juga mendapat telur dadar, tempe dan mie instan (walau beli tetap mie instan). Di depan tempat menginap, digelar matras. Empat orang kami duduk berjejer, nasi bungkus di depan masing-masing. Pancaran emas matahari menghangatkan sel-sel tubuh selagi kami menghabiskan santap sarapan. Hujan seakan telah habis. Pagi yang cerah ini seakan tersenyum merekah. Kisah hari kemarin terasa sudah lama terjadinya. Pagi ini aku diguyur gairah optimisme. Bersyukur aku karenanya. Bersyukur juga dapat menyantap nasi hangat yang dimasak sempurna, juga telur dadar yang nyaman di lidah, serta tempe dan mie instan yang bersemayam damai di perut ini. Bekal untuk beberapa jam berjalan ke depan.

Φ

Lebih baik aku segera mengenalkan sahabat-sahabatku ini. Yang sering kusebut-sebut sebagai team leader berinisial Kimreng (dengan re dibaca seperti re dalam bentukan kata “rembulan”). Ya, walau ini sebenarnya nama panggilannya, kurasa tak apa kusebut juga inisial. Kadang aku memanggil dengan sematan Mas di depan inisial ini, seringnya tidak bila konteksnya bercerita dengan orang lain. Ucup adalah inisial yang dari Yogyakarta namun yang tak tergesa. Kimreng, Ucup, dan aku direncanakan mendaki Semeru bertiga saja, sebelum Galdi, inisial orang keempat (orang biasanya ketiga, ini keempat, haha!) bergabung. Galdi lah yang kemarin selalu terpisah ketika seharusnya ia berkendara denganku.

Kimreng adalah seniorku sewaktu S1, maka bila memanggilnya langsung, aku selalu menggunakan sebutan Mas. Ucup dan Galdi adalah juniorku, setahun di bawahku ketika di kampus. Ucup menyematkan Mbak untuk memanggilku. Galdi cukup senang mengakui aku seangkatan dengan dia: panggilan Mbak buatku seakan tak pernah terlintas di benaknya. Alhasil dari penjelasan ini, terkesan Ucup adalah kawan yang paling muda, walau tentu, fakta selalu bercelah dengan cerita. Ha! Dua junior ini sedang dalam semangat paling ekstremnya untuk lulus dari strata satu Elektro UGM (kuharap demikian). Ucup di konsentrasi A, arus kuat, Galdi di Teknologi Informasi. Aku dan Kimreng sudah lulus tentunya. Aku memilih untuk mencari jalan murtad dari sarjana teknikku. Kimreng istikomah padanya dengan bekerja sesuai keahlian. Sewaktu kuliah ia mengambil arus lemah, konsentrasi C. Baiklah, rupanya pendakian ini akan komplet dengan senyawa ABC. Untung bukan baterai, atau mie instan.


Kenyang oleh sarapan, kami segera packing kembali. Di sela-sela packing, penjaga base camp mengajak mengobrol, dan seakan tertarik dengan “keperempuananku”. Maksudku, aku membawa carrier berbeban yang lumayan berat menurutnya, dan ia takut aku akan kelelahan sangat. Dari info bapak ini, kami harus berhati-hati karena ini pendakian kali pertama kami di Semeru. Semeru terkenal mematikan buat mereka yang keletihan dan yang memaksakan kehendak. Juga bukan karena letusannya gunungnya (aktivitas kesehariannya) ia mematikan. Namun karena hawanya yang mencekam. Aku tak tahu menahu tentang semua hal ini. Tapi itu informasi yang sungguh berguna, karena kupikir Semeru banyak menelan korban karena zat tak kasat mata hasil sendawanya yang beredar setinggi separuh betis manusia. Konon zat ini menelan Soe Hok Gie si aktivis ampuh itu. Rupanya suhu minus di atas sana yang lebih sering melahap mangsa. Untungnya memang bukan macan.


“Bila tak kuat, berhenti dan kembali saja..”, kata si bapak sambil mengamati kami yang mulai mengatur ruang dalam carrier kami seefisien mungkin. Mengetahui aku memiliki beberapa kudapan wafer berlapis karamel dan berlumur cokelat (sebut saja bengbeng), ia kemudian meminta satu dariku. Karena aku orang baik, tanganku refleks segera menyerahkan satu bengbeng. Tapi dalam hati aku juga nggerundel. Hahaha, wacana informasi tak gratis pun menyerang daerah seindah Ranu Pani. Oh, globalisasi…


Menit mulai menuju pukul delapan. Kami berangkat dengan bismillah, dan do’a disertai seru amiin dalam hati. Kostumku sudah kuperhitungkan matang-matang. Aku memakai straight jeans yang akhir-akhir ini telah menjadi sahabat baikku. Kaos biru tua berlengan pendek yang kuculik dari mas iparku, bergambar barang-barang yang harus dibawa ketika mendaki gunung. Aku sangat menyukai kaos ini. Memang bukan ukuran badanku, alias kebesaran. Namun aku suka. Gambarnya sangat pecinta nggunung banget, atau pecinta petualangan bila kau tak mau memakai istilah nggunung. Desain simpelnya berisi gambar tent, backpack, boots, 1st aid kit, jacket, flash light, compas, stove, sleeping bag, bottle, knife, dan camera yang disusun dalam matriks 3x4. Aku ingin ELMC punya kostum kebesaran (bukan kedodoran) semacam ini. Hanya biar terlihat keren saja, sih... Inginnya aku bilang “biar seperti anak panti asuhan sedang mendaki gunung”, tapi kalimat itu mengandung peminggiran pada subjek panti asuhan. Wah, ini bahaya, lanturanku sedikit kejauhan…


Mengalasi kaos tersebut adalah kaos panjang putih, artinya aku memakai rangkap dua kaos. Aku memakai jilbab yang juga berbahan kaos, berwarna hijau. Terakhir jaket merah Nightlogin sebagai pelengkap. Sendal gunung kupilih untuk misi kali ini. Kaos kaki sudah kupakai. Sarung tangan juga sudah. Diriku sudah mengangkat beban, kakiku menapak tanah. Ah, betapa rindu mengalami kondisi seperti ini…


Formasi berjalan sudah diputuskan: Galdi-aku-Ucup-Kimreng. Tujuan kami hingga Kali Mati, titik besar ketiga setelah Ranu Pani. Empat titik krusial Semeru selalu disebut oleh tiga rekan setimku ketika berkisah tentang Semeru. Aku sendiri tahu dari 5cm. Itu pun dengan ingatan samar karena sudah terasa lama sekali ketika aku membacanya. Aku terlalu malas survei informasi di berbagai media tentang gunung yang akan kudaki. Aku selalu mempercayakan teman-temanku. Menjadi pengikut kan hal yang paling enak sedunia. Ha. Aku benar-benar tak dapat membayangkan bila harus naik gunung bukan dengan teman-teman baikku; pasti tak nyaman.


Titik pertama tentunya adalah base camp, yaitu si Ranu Pani. Kedua Ranu Kumbolo yang di benakku hanya seperti danau saja, tak tahu berapa luasnya. Gambaran dari 5cm tak pernah kokoh hingga mendetail (lho, tapi kan aku sudah harus membuang jauh-jauh gambaran dari novel ini?). Yang ketiga adalah Kali Mati. Mungkin seperti kebanyakan sungai di gurun, yang bila hujan saja mengalir air, makanya disebut Kali Mati. Yang keempat Arcopodo. Bisa dibahasa-Indonesiakan dengan arca kembar. Kata 5cm, sih, hanya orang yang punya indera ke enam yang dapat melihat dua arca ini, atau orang yang ter-indera-keenam-kan. Semoga aku tak memiliki indera yang aku tak mengenalnya. Indera Herlambang tentu termasuk salah satunya. Aku mulai melantur lagi…


Terakhir tentu si Mahameru sendiri, titik tertinggi pulau Jawa. Meraihnya akan sangat susah dari Arcopodo. Sesusah apa itu, tak pernah terbersit di imajiku. Banyak yang bilang, menuju Mahameru memerlukan stamina ganda karena jalurnya berupa pepasir-batuan hasil aktivitas harian Semeru. “Naik selangkah, turun separo”, kata Kimreng mengulang kalimat yang pernah ia lontarkan beberapa tahun yang lalu ketika kami mendaki gunung Slamet. Pepasiran mengalikan setengah hasil usaha yang seharusnya kita capai. Aku tetap masih tak dapat membayangkan karena pendakian sebelum-sebelumnya tak pernah berhadapan dengan medan seperti itu. Tak juga di Slamet yang tertinggi se-Jawa Tengah itu.


Rencana hari ini kami akan menuju Kali Mati. Estimasi tujuh jam berjalan. Lalu tentu mendekam di sana hingga menyerang puncak dari titik yang sama. Wah, aku masih belum terbayang detailnya akan seperti apa. Aku hanya berdo’a semoga kaki ini tidak lembek dan cukup militan untuk bertemu Mahameru.


Meninggalkan Ranu Pani, kami melalui gerbang pendakian yang disambut oleh kebun warga. Ini merupakan tipikal jalur pendakian awal. Aspal jalan mulai terhenti ketika kami berbelok ke kanan. Di beberapa ladang tersebut, terdapat beberapa bangunan bambu, mungkin digunakan bu/pak tani sebagai gudang. Salah satu yang pertama kami lewati lengkap dengan suara ayam di dalamnya. Aku bertanya bahasa Inggris ayam jantan pada teman-teman, karena aku sudah mulai murtad dari teknik dengan menjadi pengajar bahasa Inggris, namun aku lupa bahasa Inggrisnya ayam jago. Ucup menjawab dengan gesit, “roaster”, katanya. Seratus untuk Ucup. Ia pasti langganan juara cerdas cermat saat duduk di bangku SD.

Jalan menanjak pertama mulai kami tapakki, meninggalkan ladang warga. Nafas sudah ngos-ngosan. Tempo di awal susah sekali didapat. Kiranya memulai memanglah hal yang tak mudah. Berkali-kali kami rehat sejenak, hingga tempo mulai stabil. Matahari tak terlihat di sini. Kabut turun menyejukkan panas diri akibat berjalan. Jalurnya sudah di-paving. Seru juga bila kondisinya terus seperti ini sampai puncak. Semoga, sih

Pukul sembilan seperempat kami sampai di pos satu, setelah sepuluh menit sebelumnya berhenti untuk beristirahat. Namun tetap kami nikmati pos satu ini. Kabut telah menguap. Dari kejauhan, matahari tampak menyirami pepohonan dalam hutan. Suara kresek-kresek kemudian terdengar. Dari arah Kimreng kulihat benda hitam berantena sedang bersuara. Radio!!! Aku bertanya perihal frekuensi di atas gunung, yang segera dijelaskan dengan gamblang. Semakin di atas gunung, semakin bisa meraih frekuensi dari mana-mana, karena tak terhalau gunung. Bahkan yang dari Surabaya pun dapat tertangkap oleh penerima frekuensinya.

Benda itu kini bersenandung Someone Like You-nya Adele. Alahmaaakkk! Jauh-jauh ke Semeru dapatnya Someone Like You! Hahaha. Kami semua diam menikmati musik yang sedang merdu mengiris kalbu.

Radio Kimreng bermerk “nggonku”, sama seperti semua merk benda miliknya. Kimreng selalu sedia tipe-x atau alat tulis lain bila memungkinkan, dan menuliskan kata “nggonku” pada barang kepunyaannya. Aku hampir yakin seratus persen, kelak istrinya akan diberi stempel “nggonku” pula. Hahaha.

Radio tersebut merupakan radio klasik berbentuk persegi panjang berwarna hitam, lengkap dengan antena. Melihatnya membuatku melayang pada kehidupan lampau ketika SD, di mana aku sering melihat tetanggaku menaruh radio sejenis di sampingnya ketika ia sedang bekerja membuat pot bunga. Dulu kampungku memang terkenal sebagai pusat pengrajin gerabah. Kini seiring kemusnahan kerajinan gerabah di desaku, radio yang membutuhkan dua baterai besar agar dapat beroperasi itu seakan turut menghilang juga. Tentu kejadian ini hanya kebetulan. Kebetulan pekerjaan membuat kerajinan gerabah tak lagi diminati ketika radio jadul mulai digantikan handphone (murah) lengkap dengan fasilitas pemutar musik, dan kadang juga radio, bahkan TV. Zaman radio memang semakin surut, tapi kenangannya tetap membekas pada kedirianku. Aku berpikir betapa kering mereka yang hidupnya dibesarkan dengan Youtube. Betapa kehidupan kini sudah beranjak pada rezim melihat yang miskin imajinasi…

Senja masih lama, namun sendu sudah membuat hati merindu. Salah radio “nggonku” atau salah Adele, ah, itu tak penting, karena mau tak mau kami serombongan harus segera melangkah lagi. Resmi sudah kubuang segala diri yang merasa direndahkan. Tujuan di depan sudah sangat jelas: Ranu Kumbolo menunggu.

Menapaki paving, kiri dan kanan kami (tetap) didominasi si pinus. Jaket masih belum kulepas, karena walau panas tubuh telah kudapat dari berjalan tak begitu menjanjak, matahari masih malu-malu. Teriknya tak begitu menyengat tubuh. Ransel di belakangku mulai terasa berat. Galdi terkadang mengambil gambar. Karena posisinya di depan, aku yakin gambar yang diambilnya bagus-bagus. Aku harap kelak teman-teman yang melihat foto kami tak berpikir bahwa hanya aku, Kimreng dan Ucup saja yang mendaki. Hehehe..


Φ

Baru saja aku mendaki jalan yang sampai saat ini paling curam dan melelahkan. Aku ngos-ngosan dan sedikit kecewa karena kupikir benar kata teman-teman bahwa di balik bukit ini ada Ranu Kumbolo. Sudah jam 10.36, 15 menit dari sejak kami beristirahat di pos III. Bukit terjal itu letaknya persis di atas pos III tersebut. Setelah setengah mati mendakinya, jalurnya malah menurun dan menurun. Tipologi lembahnya seakan menandakan adanya danau, namun tentu, Kumbolo masih misteri. Lembah ini hanya berisi semak belukar.

Kini kami duduk meluruskan kaki dan beristirahat di jalan yang datar, sembari mendengar radio “nggonku” berdendang. Aku sendiri meluruskan kekecewaan atas Kumbolo yang masih tak jelas keberadaannya. Radio menyebut-nyebut Semeru FM. Ada pula stasiun radio semacam itu, pikirku. Kelak ketika sudah turun, aku akan rutin mendengarkannya. Semoga ada siaran streaming-nya.


Kami tak banyak minum ketika beristirahat. Hanya sesekali saja. Juga tak mengeluarkan cemilan. Hanya seringnya permen kopiko. Dalihnya semoga dapat mengurangi beban walau tiga gram. Ah, agaknya nasi tadi pagi sudah mulai kehilangan efeknya. Jadwal makan siang entah masih berapa lama lagi.

Φ

Kami sampai pada jalur pinus yang terlihat habis terbakar, kemungkinan besar kemarin waktu kemarau. Kami banyak berpapasan dengan pendaki yang sedang turun. Kadang kami harus berhenti dan memberi jalan karena jalur sudah hanya berbentuk setapak saja. Jalur paving telah lama selesai di pos III sebelum tanjakan terjal yang panjang. Kandas harapan menikmati jalur seperti itu hingga puncak. Saat memberi jalan ini cukup lumayan buat beristirahat. Aku berpapasan dengan pendaki perempuan yang ranselnya dibawakan oleh teman laki-lakinya, mungkin kekasihnya. Mbak itu mengataiku “keren” karena membawa ransel segedhe gaban. Aku tak tersanjung dengan kata-katanya, karena aku sudah mulai kepayahan, perutku sudah mulai keruyukan, hipoglikemi di depan mata, walau aku yakin aku bisa membawanya sampai tempat kemah.

Di jalur ini banyak terdapat rumput serupa sawi. Aku yakin rumput itu sawi betulan, dan merasa seakan keinginanku untuk memasak mie instan komplet dengan sayurnya di atas gunung akan segera terkabulkan. Ucup resah karena menurutnya itu bukan sawi. Aku berkeras, hingga ketika kupetik dan kubau daunnya. Ternyata memang bukan sawi. Setengah mati teman-temanku lega. Aku tak jadi meracuni mereka. Untuk sementara, ngidamku makan mie kuah sehat kala mendaki harus kutangguhkan dulu.


Sudah hampir lima jam berjalan. Para pendaki yang berpapasan dengan kami mengatakan Kumbolo hanya sebentar lagi. Namun batang hidungnya tak kunjung tampak. Tepat ketika aku sadar danau tak pernah memiliki wajah, apalagi hidung, Ranu Kumbolo menampakkan diri dari kejauhan. Aku tersenyum melihatnya. Makan siang sebentar lagi, batinku. Beberapa saat kemudian, aku lupa pada perutku yang lapar. Aku terkesima oleh keindahan danau itu. Penglihatanku sungguh jauh berbeda dari gambaran Kumbolo hasil membaca 5cm. Ia kini hadir detail oleh mata kepalaku sendiri. Aku bisa tahu warnanya yang ternyata hijau dan seakan hanya telaga kecil bila dari kejauhan. Bukit-bukit yang juga hijau, mengelilinginya. Beberapa tenda dengan beberapa warna tampak didirikan di pinggir sisi paling jauh Kumbolo. Ada bendera merah putih dibentangkan di bukit di atas camping area tersebut. Pemandangan yang menakjubkan. Mengalami sendiri memang jauh lebih menarik daripada membaca pengalaman orang.


Beberapa foto dengannya lalu diambil. Kemudian kami segera bergegas turun untuk makan siang. Dua puluh menit setelahnya, kami sampai di pos IV. Ranu Kumbolo tepat berada di samping kiri dekat dari kami. Dengan latar belakang danau yang semakin terlihat luas seiring semakin mendekatnya kami, dokumentasi diambil kembali. Semua anggota tim berfoto dalam satu frame. Kami mempersembahkan empat pose berbeda. Pewaktu shutter kamera diatur untuk mengambil gambar ini.


Mendung tampak menggantung. Rintik hujan mulai turun. Namun bukan yang deras. Kami berjalan di pinggir Ranu Kumbolo dengan gontai, menikmati hijau pegunungan di sebelah kanan Ranu. Juga yang dari kejauhan. Juga menikmati Kumbolo itu sendiri. Sudah kusentuh airnya barang membasuh tangan. Dingin khas air ketinggian. Rintik hujan mulai menghilang. Tetap aku berharap pos berkemah segera teraih, tapi berjalan lamat-lamat pun tak ada salahnya. Berada di bibir Kumbolo tak berarti kami sudah sampai tujuan. Camping area masih beberapa jarak berjalan lagi. Setelah menikmati sembari berjalan, akhirnya sampailah kami di pos camping area di Kumbolo. Jam tanganku menunjuk pukul 1.36. Perutku memburu minta jatah makan siang.

Φ

Di areal ini terdapat dua bangunan. Satu bangunan terbagi atas beberapa bilik, salah satunya toilet tanpa air penuh bau dan sekalian ranjaunya. Bilik lainnya, total empat bilik, digunakan untuk istirahat-bermalam yang terlindung dari hujan, dan tentu lebih hangat bila disekap sleeping bag dalam bangunan tertutup. Lantainya masih tanah, namun mungkin pernah disemen tapi gagal. Bilik-bilik untuk menginap ini memiliki dua jendela, dan satu pintu. Kami memutuskan bermalam di salah satu bilik ini setelah menangguhkan rencana mendaki hingga Kali Mati. Hujan deras mengguyur hanya beberapa saat setelah kami sampai di areal perkemahan ini. Ranu Kumbolo seakan enggan ditinggal secepat itu.

Bangunan satunya cukup luas, namun atapnya tidak sempurna menutup. Dari kondisinya terlihat seng di atasnya sudah tertiup angin, copot, dan berlubang di sana-sini. Tidak seperti bangunan sebelumnya yang tertutup, bangunan ini terbuka, yang walau lantainya sudah bersemen, dindingnya hanya setinggi setengah badan saja. Kami tentu urung mengorbankan diri mendirikan tenda di lantai yang basah. Kami juga tak melihat mendirikan tenda di luar bangunan adalah sebuah pilihan yang tepat, walau langsung menghadap si rupawan Kumbolo. Dengan hujan besar seperti ini, kami rasa lebih baik tidak mengikuti jejak tenda-tenda yang telah berdiri di luar bangunan.


Kelelahan, segera kami mendirikan tenda dalam bilik yang sepertinya memang disediakan buat kami. Segera setelahnya, kami memasak, dan menikmati dingin Ranu Kumbolo. Sholat juga didirikan. Sembari menunggu Maghrib, kami menghangatkan diri dengan merebus air untuk membuat beberapa minuman hangat. Hujan masih saja menderas di luar. Kabut tebal menutupi areal camping. Kumbolo senja ini kandas dari penglihatan. Namun kami tahu, ia masih di tempatnya, menggenggam kami. Ia bahagia, karena malam ini ia tak lagi ditemani sepi.

Φ

Sebelum Maghrib menjelang, kami sadar bilik sebelah sedang membakar kayu untuk sumber kehangatan. Istilahnya perapian. Tapi terlalu memaksa. Asapnya sampai pada bilik kami. Kimreng menyebutnya sebagai camp konsentrasi. Aku tak suka asap dalam bentuk apa pun. Semoga kami esok tak benar-benar mati…

Beberapa saat kemudian, bergabung seorang dari kelompok lain. Tendanya yang berada di luar bangunan basah, dan digunakan oleh kawan-kawan perempuannya. Rombongannya cukup besar, tendanya tak cukup banyak. Yang laki-laki harus legowo mencari tempatnya sendiri. Salah satunya orang ini. Ada sedikit ruang tersisa untuk satu-dua orang di bilik ini. Kami menawarinya masuk tenda, namun ditolaknya. Ia memilih berada di sisa ruang tersebut. Mas ini juga berasal dari Malang dan kami pun berbincang tanpa bertatap muka. Ia tahu banyak mengenai daerah rumahku, dan berceloteh tentangnya. Teman-temanku senang bukan main mendapat hiburan. Kembali, guyonan tipikal dari mereka menggema.


Kejadian setelah kami makan malam ini menyempurnakan kebersamaan malam kedua kami. Asap memang mulai mengganggu pernafasan, namun hatiku sedang diliputi kedamaian. Bersama minus celsius Kumbolo, kubawa kehangatan ini ke alam mimpi.

Φ

kamera: Galdi

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b