Saturday, July 31, 2021

Sedang Darurat

#latteartAthome (private hashtag :p)

Mau tidak mau harus menyerah, dan menulis, meski barang menulis serampang saja.

Tak apa.

Alkisah kehidupan akhir-akhir ini dikungkung oleh penderitaan diri sendiri. Varian delta bisa jadi pemicu. Tapi sungguh pun keadaan memang sedang darurat. Kabar kawan meninggal. Sirine ambulans pagi siang malam lalu lalang. Tak berani terlalu banyak baca berita. Kotaku berduka.

Bahkan jauh sebelum darurat ini, hidup sudah mulai dilingkupi penderitaan. Aba-abanya sudah terasa di awal tahun. Kerja lapangan yang berat di luar dugaan. Seperti dihantam oleh cermin yang memaksa untuk melihat borok sendiri. Vipassana seakan tersenyum dengan welas asihnya: duduk merasakan diri sendiri saja tidak cukup, wahai Tuan Putri. Pergi dan hadapi penderitaanmu di luar sana. Semakin "terasa" penuh aku duduk bermeditasi, semakin sering aku dipertemukan dengan kondisi di luar zona nyaman, semakin sulit pelajaran untuk mengikhlaskan. Kadang yang dalam bentuk trauma dapat menguar membakar diri, melipat-gandakan kepedihan dan derita yang sudah ada. Kedamaian dari samadiku pun sirna.

Pesan Goenkaji tak pernah meleset: mulai lagi. Kiranya jalan pembebasan memang butuh tekad yang kuat. Addithana. Militan!


Ramadan 2021

Diri yang penuh kudapat di bulan ini. Puasa, sholat, mengaji, meditasi, menulis. Semua untuk diriku. Aku akhirnya dengan sadar merasakan apa itu self-love :')


Vipassana #2

Di Bali aku akhirnya dapat ikut kursus 10 hari lagi - ritual tahunan yang sebaiknya dilakukan oleh siswa lama sehingga meditasinya tetap berkelanjutan (selain dua kali dalam sehari masing-masing satu jam). Di 2020 aku tak mendapat kesempatan untuk turut serta karena alasan Covid dan pusat di Bogor yang entahlah itu punya kasus tersendiri sehingga sudah dicoret dari jejaring internasional (sayang sekali!). Namun karena ada jadwal grup meditasi daring dari US setiap harinya sejak tahun lalu, dan dibantu dengan sesi tanya jawab dengan guru atau asisten guru sehabis tiap sesinya, pengalaman meditasiku jadi cukup kuat, seperti yang pernah kutulis sebelumnya. Harapku pun melambung tinggi sebelum mengikuti kursus. Harap maklum, diri baru saja keluar dari pesantren Ramadan dengan kepenuhan diri, jadi semacam tak sudi kalau harus berbagi vibrasi... (HMEH)

Dan itu pun yang terjadi. Sangat berbeda dari kursus pertama. Dan itulah hal utama yang menjadi pelajaranku, bahkan sudah diindikasikan sejak awal tahun: kebencian yang dipicu oleh harapan yang tak terwujud (candu). Atau bahkan setelah itu, candu untuk membenci. Ini semacam penderitaan yang berpangkat-pangkat.

Harapanku di awal aku akan bermeditasi bersama, dan dengan kawan-kawan di sana dan guru, aku akan dapat pengalaman yang melebihi kepenuhan diri Ramadan. Sudah begitu candu. Padahal sudah sejatinya tak ada yang abadi. Jadinya aku penuhi lagi takdirku, seperti yang Goenka bilang: mulai lagi!

Di hari-hari tertentu aku kalah pada candu dan benciku. Sering aku lupa kalau yang demikian tak bisa dipaksakan. Di sini aku terlupa satu hal yang penting: candu atas kontrol. Kita selalu ingin hidup dalam kendali penuh, padahal tali kekang seringnya dipegang oleh diri bawah sadar yang misterius itu. Sebelum bersahabat betul dengannya, kita akan terus terpeleset meskipun ingin sangat diri ini berlari melenggang tanpa halangan. Kendali hanyalah ilusi.

Jadi kalau memang candu dan benci, aku seharusnya tidak menepisnya. Aku harus menyadari bahwa aku mencandu, bahwa aku membenci, dan pelan-pelan, sungguh pelan-pelan, karena ini bukan jalan instan, mengubah pola pikir/tindakan itu. Bila sadar, aku akan mengalami sensasi di tubuh ketika mencandu/membenci tersebut. Sensasi apa pun itu. Tanpa ekspektasi apa pun. Memang kalau dipikir-pikir Vipassana ini sungguh saingannya CBT (Cognitive Behavioural Therapy). Saat duduk fokus pada tubuh, pikiran melayang ke mana-mana, dimulai lagi candunya, dimulai lagi bencinya. Ketika mulai fokus, sudah mulai bisa merasa sensasi di tubuh. Dimulai lagi candunya, dimulai lagi bencinya, dimulai lagi, dimulai lagi. Pesannya: kalau suka dan tidak suka jangan reaktif. Rasakan saja. Trauma muncul: sedih, marah. Rasakan saja. Kalau sulit sekali, kembali ke nafas. Kadang kalau sudah rutin waras begini, saat di dunia luar ketemu hal yang bikin marah, secara tidak sadar badan langsung merasai nafas. Sungguh betapa terapi.

Dalam sepuluh hari itu, meski perjuangan melawan ego penuh emosi, ternyata samadhi-ku menjadi jauh lebih baik. Kemajuan pesat kudapat dalam Anapana, dan itu lebih dari cukup sebagai penghiburan (sembari mengingat: rasakan saja, sehabis ini juga lewat lagi, mulai lagi dari awal:).


Sampai di Jogja

Seadanya saja.

Sedang daruratttttt!!!