Wednesday, July 11, 2012

Bandung Mawardi


Berbicara tentang Bandung Mawardi. Aku menyebutnya sebagai guru Bahasa Indonesiaku. Guru Bahasa Indonesiaku yang sebenarnya. Ini menuju pada kenangan akan guru-guru sebelumnya. Di SD aku diajar oleh guru kelas. Aku tak begitu tahu apa itu puisi. Hanya bait, dan ada pantun, syair, dan sejenisnya. Aku hanya dapat mengingat “Bila ada sumur di ladang // Bolehlah kita menumpang mandi // Bila ada umur yang panjang // Bolehlah kita berjumpa lagi //”. Di waktu SMP, guru Bahasa Indonesiaku selalu
textual, mengandalkan lembar kerja dan buku. Aku masih ingat warna buku paket Bahasa Indonesia kelas 1 waktu itu: biru berukuran folio – besar dan tak praktis sama sekali dan harus kami bawa ketika kelas Bahasa Indonesia. Kami tak pernah dikenalkan pada produk sastra sesungguhnya. Tak ada novel, tak ada antologi puisi, tak ada praktek deklamasi. Guru berkacamataku hanya senang pada buku paket. Guru di kelas-kelas selanjutnya pun demikian.

Namun sekali pernah aku melihat Taufiq Ismail membacakan puisinya di stasiun TV. Panjang dan melenakan – aku terlena dan jatuh cinta, pada nada dan cara resitasi puisinya. Indah. Pemujaan pun kulakukan: aku mulai mendamba menjadi seorang pembaca puisi, dan penulis puisi. Namun tak ada yang mengajariku membaca. Aku menulis tanpa isi – menulis remahan yang tertangkap indra. Aku juga membaca sajak “Aku Ingin”-nya Sapardi Djoko Damono dalam buku antologi puisi kakakku yang saat itu sedang kuliah. Merinding dan mengena. Semakin aku memuja puisi itu. Majalah masa kecilku juga membantuku dalam menyukai menulis. Sayangnya bukan berarti lebih senang membaca. Guru Bahasa Indonesiaku tak pernah memberi dendam untuk senang membaca lebih, untuk senang menulis lebih, untuk senang berkritisi lebih. Guru Bahasa Indonesia di sekolah formalku sangat patuh tunduk pada buku paket – dan melupakan fenomena Bahasa Indonesia yang sesungguhnya: aksara yang bertebar dalam bentuk novel, buku, diskusi, dan puisi. SMA juga bercerita senada. Tak ada resitasi puisi, tak ada penulisan suatu karya, tak ada diskusi sastra. Lembar kerja, lembar kerja, dan lembar kerja. Makna hilang yang terganti oleh struktur. Segalanya menjadi matematis kaku. Segalanya berumus. Bermajas pun berumus. Berpuisi pun berumus. Nggilani.


Berguru pada Bandung Mawardi menjadi hal fantastik. Guru yang kupuja karna layak dipuja. Sosok idaman bagi yang haus. Bandung Mawardi memberi dendam pada pendengar. Dia hadir dan menyalak layaknya anjing. Menyalak yang liar, mewartakan kebobrokan sang pendengar. Berada di hadapannya tak pernah menjadi benar. Merasa dibenarkan pun berujung pada kekecewaan karna tersadar perasaan itu hanya semu. Dia mampu menampar dan membawa mimpi buruk. Dia adalah pribadi gelisah dan selalu menebarkan hasil kegelisahannya pada segala yang berada di sekitarnya. Produknya berupa kegelisahan jua. Bandung Mawardi adalah penebar dendam dan kegelisahan. Dendam untuk terus membaca, memakna, menulis, dan puisi. Gelisah atas segala tanya, dan atas segala kemunculan ragu yang menderu. Manusia yang ampuh. Guru Bahasa Indonesiaku yang sebenarnya. Orang itu: Bandung Mawardi.


Bicaranya selalu membawa pihak lain. Dalam satu pertemuan, dia bisa menghadirkan puluhan tokoh dalam puluhan buku. Dia mengisahkan segala. Tak pernah ada buku paket pembodohan. Dia akan menyalak lantang mendidihkan benak pendengar. Otaknya cepat meramu kata, sekejap menjadi kalimat yang bermuara pada kesejatian. Dia membawa buku agar kami semakin dendam membaca. Dia agen kata dan selalu membawa produk kata. Dia selalu menyematkan dendam kepada kami. Selalu menyebut judul buku, selalu menyebut nama seorang pengarang, selalu menyebut nama seorang filsuf, selalu berkisah sesuatu yang tak pernah kita tahu. Dia selalu memberi spoiler yang membangkitkan curiousity. Dan itu menyebalkan sekali. Setelah berapi-api, kami disuruhnya menulis. Setelah menulis, kami mewartakan tulisan kami. Resitasi dari buih kata yang telah kami tangkap. Seluruh kelas mendengarnya. Juga sosoknya. Duduk bersila menunduk dan syahdu mendengar. Tak ada komentar. Hanya nafas yang bergetar dan kadang terkumpul menjadi angguk, senyum, atau gumam kelabu yang hanya dia seorang yang tahu maknanya. Namun jelas terlukis di wajahnya bila dia sedang terpikat dengan sebuah tulisan dari salah satu kami.


Di kelas pertamaku, aku ingin memikatnya dengan keangkuhan pengalamanku dengan alam. Sungguh tak pernah berhasil. Di pertemuan-pertemuan lanjutan baru kutahu dia adalah penghujat mereka-mereka yang mengatasnamakan traveler. Dendamku semakin memuncak. Dia menghadirkan dua pilihan di hadapanku: gunung atau kata. Pilihan paling sulit karna sampai sekarang aku tak mau memutuskan. Aku ingin tetap memiliki semangat gunung dalam kataku, dan semangat berkata kala nggunungku. Dua kata besar dalam hidupku ini tak akan pernah kupertaruhkan satu sama lainnya. Tak bakal walau Bandung Mawardi menyuruhku bertaruh.


Aku tak pernah sanggup memikatnya. Malah aku sangat terpikat padanya dan sering merasa sangat iri karna pihak lain berhasil memikatnya. Iri dan sangat dengki. Dendam lain hadir karna dia sekali pernah berkata: “Aku tak memandang IPK seseorang, aku menghormati orang yang mau menulis”. Tak mau aku menjadi bodoh di matanya hanya karna aku tak mau menulis. Aku akan terus berusaha memikatnya dengan terus menulis. Memikat Guru Bahasa Indonesiaku yang sesungguhnya itu.