Tuesday, May 27, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (5)


Arcopodo – Mahameru – Arcopodo,
(sedikit) 26 & 27 Desember 2011


Alarm hand phone-ku berbunyi. Semua milik anggota bahkan. Kurang beberapa menit sebelum tengah malam. Tidurku tak begitu nyenyak, karena begitulah tidur di tengah-tengah alam. Diam-diam aku merindu camp konsentrasi Kumbolo. Dengan enggan aku segera bangun memenuhi panggilan komandan.

Nasi dan abon segera disajikan. Air juga dimasak, diminum hangat-hangat, dan disimpan sebagai bekal berbentuk teh dalam termos mini milik Kimreng. Perbekalan disiapkan dalam tas Galdi yang paling kecil (semua ini dilakukan di dalam tenda, dengan duduk, atau merunduk). Hujan hanya bersisa rintik. Tapi aku dapat mendengar suara angin dari kejauhan. Rasanya cukup memilukan, dan karenanya mencekam. Tapi tekad sudah bulat. Setelah sarapan super dini, kami bergegas melakukan serangan puncak: Menyerang Mahameru.

Tim kami adalah tim Arcopodo pertama yang berangkat, seperti halnya kami adalah tim pertama yang dapat kapling tadi sore. Kami sempat melihat satu tim sedang bersiap, yaitu tenda yang sejak tadi “mengaji”. Memang ada satu tenda yang selalu memutar ayat Al-Qur’an. Aku mendengarnya samar-samar saat tidur tak begitu nyenyak tadi. Kami rasa mas-mas di sana adalah akhi-akhi. Bukan pun tak masalah tentunya, lumayan bisa jadi bahan perbincangan.

Tentu kami sangat prima memulai perjalanan tengah malam ini. Kantong penuh terisi, kaki yang tak begitu terseok-seok karena bagiku sendiri perjalanan kemarin tak begitu berat, dan istirahat yang lumayan cukup, walau kurang nyenyak. Karena keyakinanku ini, aku bertaruh secara sepihak dengan Gusti, taruhan yang sungguh sombong. Biasanya taruhan seperti ini manjur untuk urusan yang genting-genting, seperti yang telah banyak orang alami. Aku merasa sungguh dekat dengan Mahameru, dan karenanya aku merasa dekat dengan apa yang kucita-citakan. Untuknya, aku bertaruh dengan Tuhan: aku akan dapat cita-citaku bila aku berhasil meraih Mahameru. Nah, sombong sekali.

Akhirnya masing-masing kami siap dalam posisi, lengkap dengan senter dan bekal. Seperti biasa, urutannya adalah Galdi-aku-Ucup-Kimreng. Galdi menjadi orang pertama yang membawa ransel berisi perbekalan dan macam-macam hal lainnya. Rintik hujan kembali menjadi besar ketika kami melewati in memoriam untuk beberapa pendaki yang meninggal di Semeru. Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku, karena dengan sangat bodoh mengira in memoriam adalah serupa kuburan. Ini reproduksi dari ingatan pertama in memoriam di Sumbing. Entahlah, yang pasti walau hujan mulai deras, kami tak berkeputusan membuka jas hujan. Aku sendiri yakin jaket biru masku bisa menahan air. Ah, sebenarnya tidak demikian. Sebenarnya aku sedang sok tahu mengira hujan sebentar lagi akan sirna. Aku berharap demikian.

Setelah mengucap do’a barang sebentar (entah mengapa kami melakukan ini – karena takut atau karena menghormati atau karena kombinasi keduanya), perjalanan berlanjut. Kesadaran masih penuh. Tekad masih komplet. Hujan kembali menjadi rintik. Aku lega, walau angin di atas masih terdengar ngilu di hati.

Lalu batas vegetasi terlewati. Hujan kembali mengguyur. Angin kencang mulai menampakkan diri. Di sini tak ada lagi hutan. Sekecil pun pohon tak dapat lagi ditemukan. Bahkan rumput pun tak dapat kulihat. Kami akhirnya berada pada jalur pasir Semeru. Jalur yang terkenal itu. Jalur yang banyak menguji keteguhan hati para pendaki: melangkah satu berarti mundur setengah. Kondisi yang mengharuskan semua orang berstamina super, karena berarti tenaga ganda harus dikeluarkan.

Dalam jalur yang tanpa vegetasi seperti ini, aku dapat rasai angin dengan bebasnya mulai menggerayangi tubuhku. Ia berkombinasi dengan rintik hujan yang mulai menjadi besar. Kaki kami menapaki pepasiran terjal itu: satu melangkah, melorot separuh; satu melangkah, bertahan; satu melangkah, turun sepenuhnya; dan seterusnya. Kemampuan pandang dengan senter hanya beberapa meter ke depan, sisanya hanyalah kegelapan. Kami tak tahu seperti apa gambaran utuh jalur ini; seperti apa pemandangan lanskap kiri-kanan-depan-belakang kami. Kami hanya tahu ia terjal berpasir tanpa satu pun tumbuhan, ia sedang sangat berangin, guyuran hujannya mulai membasahi kami tanpa ampun, ia sedang dipenuhi kabut, dan karenanya menyempurnakan dinginnya gelap ketinggian.

Hujan menjadi semakin tak bersahabat. Sarung tanganku telah basah. Juga kurasakan air mulai merembes ke bajuku. Hal yang sama sepertinya dirasakan oleh yang lain. Kami berhenti dan segera memakai jas hujan. Hanya Kimreng yang tidak: mungkin karena jaketnya benar-benar anti air. Juga kami beristirahat sebentar. Jalur pasir ini mulai menguji stamina. Tapi semangat tentu masih menggema.

Φ

Galdi mulai merasa tak nyaman dan kerepotan menjadi orang di depan. Ia terlihat mulai kepayahan. Beberapa kali kami berhenti menunggu keputusan langkah yang diambilnya. Aku sendiri tak memiliki keahlian memilih jalur yang lebih mudah. Tapi kurasa jalur ini benar-benar “membunuh”, karena memilih manapun adalah sama jua: sama-sama susah dilalui. Kebingungan hanya merusuhi sebuah tekad yang melekat di benak. Tempo menjadi begitu lambat. Kiranya walau telah memakai jas hujan (kecuali Kimreng), badan kami tetap basah kuyup, badan Ucup tak terkecuali. Kondisi Galdi yang mulai “linglung” bisa jadi merupakan akibat kelelahan karena atribut pendakiannya yang seadanya. Bayangkan, Galdi hanya memakai sandal selop (catatan: bukan sandal gunung) berbalut kaos kaki, yang tentu saja tak akan kuasa menghindarkan kakinya dari siksa hawa beku. Lebih dari itu, properti semacam itu sungguh tak nyaman untuk mendaki medan seperti ini. Tapi yang merasakan Galdi sendiri, sih..

Aku sendiri mulai frustasi, karena langkahku sering kandas melorot sepenuhnya. Kedua tanganku yang turut merayap pun percuma. Aku mendengar suara datang dari belakang. Seorang lelaki dengan gesit menyalip kami – kemungkinan besar mas pembaca murattal. Terlihat begitu takluknya medan berpasir ini padanya. Langkah demi langkahnya efektif dengan persentase melorot yang tak signifikan. Ia tak berjas hujan, dan walau demikian hujan dan angin tak menghentikannya. Kurasa jaket dan celananya pasti berbahan anti air yang terbaik. Melihat ia menyalip kami dengan mudahnya, aku seakan mendapat suntikan semangat, mendapat dewa penyelamat. Ah, tidak hanya aku, teman-temanku juga. Bagiku lelaki barusan berhasil menunjukkan jalan yang mudah bagi kami. Aku mencoba mengikuti jejak kakinya. Tapi tetap tidak semudah itu. Langkahku masih tetap saja tergelincir dan tergelincir. Rupanya jalur ini mudah bagi siapa, dan tak mudah bagi siapa. Levelku, level sandalku, sungguh berbeda dari lelaki barusan.

Lalu ganti teman setim laki-laki tersebut unjuk gigi. Tak segesit seperti yang pertama memang, tapi akhirnya ia melewati kami juga. Dalam usaha kami mengikuti tapak kaki kedua lelaki penyalip itu, kami menjadi terengah-engah. Galdi mundur tak dapat meneruskan tugas membuka langkah. Aku tak mungkin menggantikan posisinya. Kami diam sejenak, Ucup pun tak bersedia. Dua lelaki sudah hilang dalam gelap kabut malam yang membekukan. Kimreng kemudian hadir mengganti posisi Galdi.

Pergantian formasi rupanya tidak berarti meneruskan apa yang telah kami lakukan: bersama-sama mendaki walau dalam kelambatan. Kimreng mewartakan akan ke atas terlebih dahulu, mencobai jalur mana yang lebih mudah dilalui. Hamparan pasir tanpa tambatan menjulang entah sampai mana. Aku mulai putus asa karena merasa sudah terlampau lama berjalan yang sama, namun tak mendapat berita baik barang berupa puncak, atau barang berupa cuaca yang segera menjadi bersahabat. Energi dari nasi sudah mulai mencair, dan kini aku menyaksikan rombonganku berjalan terpecah. Galdi-aku-Ucup berjalan bersama, dengan sesekali mengamati pergerakan Kimreng yang mulai hilang dari pandangan, ditelan gelap si hitam malam. Entah kenapa aku jadi sedikit risau.

Aku tak tahu sudah jam berapa sekarang. Jam tanganku mati karena kedinginan. Aku juga heran, ia anti air tapi selalu KO bila dengan minusnya suhu. Karena ketidak-tahuan, pikiranku jadi ke mana-mana. Kami (Galdi-aku-Ucup) kelihatan sangat payah. Kembali beberapa langkahku gagal. Aku tak bisa melihat di mana Kimreng berada. Kata Galdi mungkin sudah di atas (pastinya begitu). Kabut masih buram menyelimuti, seperti halnya gelap. Hujan masih menyerang dan angin masih kerap mencekam. Dingin semakin menusuk dan semakin membekukan. Sumber kehangatan barangkali hanyalah sisa-sisa semangat yang ada, dan bergerak itu sendiri tentunya.

Lalu aku mendengar suara. Kimreng memanggil Galdi untuk pergi ke arahnya. Suara itu terdengar dekat, mungkin hanya beberapa langkah ke atas saja dari posisi kami. Tapi aku tak dapat melihat di mana Kimreng berada. Galdi tak menyahut, mengira hanya sebuah panggilan lalu. Kimreng mengulang panggilannya dengan nada berbeda. Sebuah panggilan janggal. Segera kusuruh Galdi merespons perkataan Kimreng. Panggilan itu menjadi semakin ganjil ketika Kimreng menyempurnakan permintaannya. Kali ini ia tidak hanya memanggil Galdi, tapi juga aku dan Ucup – kami semua, untuk turut beristirahat sebentar di tempatnya kini berada.

Segera kami bergegas ke arahnya, dan akhirnya dapat kulihat wujudnya: duduk di atara kontur jalur yang melekuk seadanya, mencoba berlindung dari godaan angin dingin. Kejanggalan itu terbukti. Ia mengeluh pada Galdi, perutnya kram. Kimreng mengaduh sembari memegangi perutnya. Matanya mengerjap menahan sakit. Aku terdiam, bingung melihat Kimreng. Aku juga bingung karena tak pernah punya referensi kram perut dalam sejarahku. Tapi dari ekspresinya aku tahu kram perut itu cukup ampuh membuat seseorang segera berhenti beraktivitas.

Teh lalu dikeluarkan, karena ia satu-satunya kemungkinan yang cepat membuat tenang perut Kimreng. Tehnya sendiri sudah tidak panas, bahkan hangat pun hampir lenyap. Aku lalu menyarankan minum tolak angin yang juga termasuk bekal kami. Kimreng terlihat mencoba terkekeh atas ideku (sebelum kemudian ia ingat ia sedang kesakitan). Baiklah, aku murni tak tahu harus bagaimana, karena mencoba mencari glukosa praktis yang dapat membangkitkan energi tubuh secara cepat pun percuma. Cokelat sudah habis kami makan siang tadi. Permen masih ada, tapi ia tak signifikan. Akhirnya cemilan seadanya dikeluarkan walau jauh dari tugas mem-boost energi. Hujan yang tak juga berhenti membuat semuanya semakin rumit.

Seluruh tim tampak kebingungan, Ucup utamanya. Galdi terlihat menyempatkan membenarkan kondisinya sendiri yang hampir basah kuyup. Minyak kayu putih menjadi treatment selanjutnya, dioleskan ke tubuh Kimreng. Kiranya Kimreng basah paling parah karena perlindungannya hanya jaket yang kini mulai kuragukan kemampuan tahan-airnya. Beberapa kali ia meraung kesakitan. Minum-makanan-olesan rupanya tak mempan. Ia lalu meminta Galdi dan Ucup turut berbaring bersamanya, mendekapnya erat. Suhu tubuhnya pasti telah turun, bisa jadi sangat drastis, dan karenanya berpelukan akan menghangatkan dan mengembalikan suhu tubuh normalnya. Dingin yang bebal ini sungguh mematikan. Aku semakin tak tahu harus berbuat apa. Sudah kiri-kananku hanyalah buram kabut gelap, kini giliran perbedaan gender yang membuat semakin rumit.

Galdi dan Ucup segera berbaring memeluk Kimreng erat-erat, melindunginya dari segala sumber dingin, memberinya selimut kebersamaan. Aku duduk dekat kepala mereka, tentu tak dapat turut serta berpelukan (walau ingin). Kini kami berhenti total dari berjalan. Aku merasai hujan masih menampar-nampar mukaku, angin masih menggoyang-goyang jas hujanku, dan malam di sekitar masih buram tertutup kabut yang semakin kelam. Kondisi yang benar-benar mencekam. Kimreng tak lagi terdengar bersuara. Dua lainnya berusaha menyempurnakan perlindungannya dengan memastikan posisi jas hujan telah menutupi Kimreng tanpa celah.

Aku terdiam dengan kecamuk dalam pikiran. Beragam doa kuucap pada Tuhan. Mengingat-Nya, aku lalu membodoh-bodohkan diriku. Ini semua salahku karena telah mempertaruhkan tim dalam urusan kesombonganku. Air mataku mengalir, menyesal karena dengan ceroboh telah membuat tim berada dalam bahaya. Aku pun berbicara dengan yang kuanggap Tuhan, memohon agar menangguhkan permainan yang telah kubuat. Aku meminta maaf pada-Nya. Permainan selesai. Permainan telah usai.

Dingin semakin menjadi bebal. Telapak tangan dan kakiku mulai kurasa menebal, dan sarafnya menjadi tumpul: kurang bisa mengindera kecuali kebengkakan itu sendiri. Gigiku mulai saling bergelatuk. Badanku menggigil kedinginan. Hujan masih intens turunnya, kadang menjadi lebat, kadang menjadi rintik, sedang angin tak pernah absen barang sedetik pun.

Senter-senter mulai berdatangan dari bawah, dari rombongan lain yang juga mencoba meraih Mahameru. Beberapa pendaki melewati kami, terlihat juga mengalami kesulitan seperti yang tadi kami alami. Dalam tubuh yang kedinginan total, aku memperhatikan lalu-lalang mereka. Di antaranya terlihat kaget karena melihat tumpukan manusia di bawahku. Dari kesekian itu, tak ada yang berusaha bertanya apa yang sedang terjadi pada rombongan kami. Pikiranku kembali berkecamuk. Hujan dan dingin tiada berhenti menyerang walau fajar sebentar lagi datang. Mana itu fajar yang sering dielu-elukan sebagai harapan? Kini ia tak lebih dari pepatah yang kehilangan maknanya. Kondisi hatiku makin terpuruk menyadari kenyataan ini. Aku bahkan telah melakukan pengakuan dosa pada Tuhan, tak juga terlihat Ia menghiraukan.

Benakku kembali melayang-layang, mengingat pesan penjaga base camp tentang pesan kematian. Bahwa yang memaksakan kehendak yang seringnya meninggal di Semeru. Bahwa suhu dingin yang lebih sering merenggut nyawa. Bayangan Kimreng menjadi korban memenuhi pikiranku. Aku melihat tubuhnya terbujur, awalnya melemas namun sudah tak bersisa denyut jantungnya. Kami dirundung duka yang sangat dalam. Tubuhnya sudah kaku ketika akhirnya tim SAR datang dengan tandunya. Ia diangkat hingga base camp, diperiksa dokter yang dapat ditemukan di Tumpang untuk laporan pertanggung-jawaban kepada polisi dan kemungkinan koran lokal, sebelum kemudian dikembalikan ke rumahnya. Aku menyaksikan ibunya terisak-isak melihat putra kesayangannya terbujur kaku, menyalahkan Tuhan karena ketidakadilan ini. Aku melihat Kimreng dikuburkan, dan ini akan menghantui hari-hariku selanjutnya, selama hidupku. Kembali tangisku melumer bersama percikkan hujan, menolak bayangan yang kuciptakan sendiri. Segala doa dan mantra kukerahkan untuk merayu Tuhan. Jangan. Jangan. Jangan. Jangan ambil nyawa Kimreng… kataku dalam hati.

Φ

Langit mulai meninggalkan gelap. Hujan dan kabut bersama menyeruak dalam putih yang dingin. Aku mulai dapat melihat wajah pendaki lain tanpa harus mengarahkan senter pada mereka. Tiga kawanku juga dapat kulihat dengan jelas. Kimreng terlihat tenang. Ucup memberi isyarat ia masih bernafas, dan kelihatan sedang tertidur. Fajar telah tiba, tapi beku tetap menyergap. Hangat tubuhku sendiri semakin menguap.

Aku juga dapat melihat banyak pendaki – banyak sekali – yang mulai menyerah: berjalan kembali ke bawah. Beberapa melanjutkan dengan penuh keluhan, beberapa sempat duduk di sebelah kami, mengira kami juga sedang sebentar beristirahat seperti mereka. Seorang pria yang lebih tua sedikit dariku mengamati kami. Ketika ia lewat ia melihat wajahku. Ia kemudian tersenyum singkat dan berkata padaku, “badai pasti berlalu, Mbak”. Aku tersenyum dan merasa trenyuh: akhirnya ada yang mengerti apa yang sedang kami alami.

Beberapa pendaki masih melewati kami. Beberapa di antaranya menyerah, beberapa di antaranya masih kusut berjalan. Yang membuatku heran di antaranya adalah bagaimana mereka tidak berjalan dalam satu rombongan penuh. Mereka terpisah-pisah menjadi berdua, bertiga, dan bahkan sendirian. Aku heran sekali melihat mereka yang sendirian berjuang menuju puncak. Dalam tradisi ELMC, walau ada, yang begini tidak dianjurkan. Di antara pikiranku ini, Kimreng tiba-tiba saja sudah bangkit, seperti habis tak terjadi apa-apa. Ia bangkit dengan tubuh yang semacam telah pulih.  Sepertinya treatment selimut kebersamaan sangat signifikan untuk meredakan kram perutnya. Aku sungguh lega.

Φ

Walau hari semakin putih, matahari tak juga menampakkan dirinya untuk mencairkan segala rupa kebekuan ini. Badanku masih saja menggigil karena diam dalam dingin. Kini giliran tubuhku yang membutuhkan kehangatan. Aku harus segera bergerak untuk meraih titik hangat itu lagi. Pilihannya hanya dua: kembali turun atau bergegas naik. Ucup kemudian membuka diskusi. Kini aku menjadi tak kuasa melihat wajahnya. Kimreng sudah berwajah cerah, Galdi masih terlihat baik-baik saja, tapi Ucup tampak sangat lelah. Khawatirku segera merembet kembali. Tapi yang pasti bergerak harus segera dilakukan. Kami harus menghangatkan diri kami kembali.

Entah seberapa parah bentuk wajahku kini, karena baik Ucup dan Kimreng seperti khawatir aku tak dapat lagi melanjutkan perjalanan. Bullshit. Di antara dua pilihan bergerak yang sudah kurumuskan, tentu aku tak mau tak berpikir logis. Aku tak mau menyesal, Mahameru tetap harus kami raih. Pun bergerak ke atas kami tetap akan selamat, karena dengannya kami masih berjalan. Aku menyampaikan keyakinanku, namun menjadi sedikit khawatir jangan-jangan malah teman-temanku yang sudah ingin menyerah dan diam-diam mendambakan tenda dengan suhu yang lebih hangat. Ucup dan Galdi jelas terlihat hampir kandas keoptimisannya. Akhirnya aku lega ketika ternyata semangat mereka sama membaranya dengan semangatku. Ah, wajah seringnya memang menipu. Ucup bahkan tak keberatan ganti membawa ransel perbekalan kami. Hatiku tersenyum. Aku akan segera mendapat kehangatan lagi.

Φ

Memulai perjalanan sungguh sangat sulit. Aku terengah-engah dalam hanya beberapa langkah. Tapi dapat kurasakan hangat mulai merayap di sekujur tubuhku. Badan yang mulai hangat disambut secercah sinar mentari putih yang menembus rintik hujan (yang herannya masih saja ada). Aku dan Galdi bersorak-sorai, berusaha segera mencapai sinar tersebut sebagai sumber kehangatan. Akhirnya matahari itu menampakkan diri!! Optimismeku semakin menggebu. Langkah demi langkah, walau sering kembali ke posisi semula, tidak terasa sesulit tadi. Pendaki lain sudah mulai turun, sedang setelah kami tak lagi ada pendaki lain yang naik. Kami harus segera sampai dan pergi di dan dari Mahameru sebelum aktivitas paginya dimulai. Pukul tujuh sudah dinilai terlalu siang. Jamku mati. Aku tak tahu ini jam berapa.

Kiranya bergerak itulah yang menjadi penting. Aku ingat aku telalu tergesa ketika memulai perjalanan menyerang puncak tadi, dan terlalu yakin seluruh badanku sanggup “menaklukkan” jalurnya seperti halnya diriku menghadapi jalur Kumbolo-Kali Mati-Arcopodo kemarin. Aku benar-benar terlalu sombong dan melupakan sebuah inti mendaki: berjalan. Kini berjalan di jalur “suram” ini menjadi semacam tujuan untuk menghangatkan badan, untuk kehidupan, bukan semata untuk meraih Mahameru. Mahameru adalah bonus, bilapun nanti kami dapat mencapainya. Namun proses berjalan itu sendiri sudahlah merupakan sebuah hasil. Maka aku hanya harus terus berjalan – demi membentuk proses tersebut. Hangat dan semangat kini menyeruak kurasa.

Kami kembali berpapasan dengan pria yang tadi menyemangatiku dengan kalimat “badai pasti berlalu”.  Ia kini sedang berjalan turun. Diberinya semangat (lagi) pada kami (-ku?) untuk tetap berjalan, karena Mahameru tinggal sepenggal lagi. Walau mengucap terima kasih, aku sebenarnya tak menghiraukannya, karena aku sudah menetapkan hanya ingin berjalan saja. Setelah berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing, omongan mas tadi terbukti. Lima belas menit kemudian kami akhirnya menapakkan kaki di titik tertinggi di pulau Jawa.

Φ

Hanya tingal dua pendaki lain tersisa, yang terlihat segera meninggalkan Mahameru. Kami cepat saja karena tak bijak bila berhenti lama-lama di sini. Pertama karena ancaman aktivitas pagi semeru. Kedua yang paling krusial, walaupun hujan mulai reda, berhenti lama-lama (lagi) hanya akan membawa petaka. Telapak tangan dan kakiku masih kurasa begitu bengkak. Aku tak mau mereka jadi beku betulan.

Makanan bekal (yang tersisa) dikeluarkan ketika akhirnya tinggal kami yang berada di sini. Ucup yang masih setia membawa ransel menobatkan Kacang Iyes pedas sebagai snack “terpuncak” (pedasnya menghangatkan – layaknya surga – apalagi untuk tubuh yang lelah-kelaparan). Beberapa candaan sempat dilontarkan. Raut-raut wajah bahagia mereka sungguh menghangatkan. Dan hangat itulah yang menggerakkan. Bila mampu aku ingin menghentikan waktu, lalu mengambil sari-sari kebahagiaan ini, sebanyak-banyaknya, untuk kuabadikan dalam tablet-tablet keceriaan, hingga kelak di kemudian hari, ketika beku menyerang laku, tak lagi aku bingung mencari kehangatan yang mencairkan. Tak lagi aku menjadi gila akibat diri yang tak dapat bergerak karena miskin inspirasi. Tablet-tablet itu akan menjadi sumber mentari hidupku. Ah, andai aku dapat melakukannya..

Cepat-cepat kami melakukan aktivitas di sini walau seberapa ingin kami menjelajahi puncak ini – berjalan ke sana ke mari. Tapi Kimreng memberi tahu agar tidak sampai ke mana-mana, karena kemungkinan dapat terjebak dalam kawah, juga kemungkinan hilang, sangat tinggi dalam cuaca seperti ini. Afirmatif sepenuhnya, kami segera berfoto dengan bendera merah putih dengan plang Mahameru 3670Mdpl. Ya, akhirnya Galdi mengeluarkan kameranya. Hujan kini reda. Aku terkesiap sekaligus terharu dengan fakta ini. Semeru benar-benar memberi jackpot-nya. Semeru benar-benar memberi kejutannya kembali, walau kali ini dalam bentuk yang tak begitu menyenangkan dengan nyawa sebagai taruhan. Aku jadi merinding memikirkan ini semua.

Kami juga berfoto dengan in memoriam Soe Hoek Gie dan Idhan Loebis. Aku jadi ingat DNT. Kusalamkan apa yang kuingat tentang apa yang ada dalam benak DNT tentang Gie kepada in memoriam ini.

Mahameru yang sepi menakutkan juga. Alasan segera bergegas pergi bertambah satu lagi. Kami pun segera meluncur meninggalkannya dengan pikiran yang menggelitik: kami adalah tim pertama yang meninggalkan Arcopodo untuk Mahameru, tapi merupakan yang terakhir meninggalkan Mahameru untuk Arcopodo. Sungguh betapa kami seperti tukang yang membawa kunci sebuah ruangan.

Φ

Tak lebih dari dua puluh menit meninggalkan Mahameru dengan berjalan ala sand-skating, kabut lalu (percaya atau tidak) menguap. Langit biru menyeruak. Pemandangan kiri-kanan kami mendapatkan wujudnya. Aku jadi sumringah bukan main. Semeru kembali memberi hiburan. Bahkan aku dapat melihat gugusan gunung-gunung di sekitar wajahnya yang sedang kami daki. Bukit hijau di bawah kami, bukit-bukit yang telah kami lalui, juga terlihat sangat memukau. Keingintahuanku pada pesona di Mahameru yang cerah jadi semakin menggebu. Mungkin kelak aku akan kembali lagi ke sini. Semoga.

Merasakan betapa mudahnya turun di jalur pepasiran ini, mau tak mau membuatku sedikit geli juga, mengingat betapa mati-matian perjalanan mendakinya tadi. Entah apa pelajaran yang dapat diambil, yang pasti aku bahagia sudah kembali mendapat kehangatan. Kami berempat sempat berfoto dengan seragam “gak mbois” ketika telah sampai di perbatasan vegetasi. Seragam “gak mbois” itu adalah jas hujan. Ya, sangat gak mbois banget.

Φ

Akhirnya kami kembali sampai di Arcopodo. Rombongan lain sudah mulai membereskan camp mereka. Beberapa malah sudah mulai turun. Aku ingin tidur. Dan tidur. Dan tidur. Dan berjemur. Setelah makan seadanya dan packing, aku melakukan keduanya (atau keempatnya?). Mentari yang hangat seharusnya memanglah penyelamat. Aku melihat wajah-wajah satu timku. Aku masih tak menyangka kami berhasil selamat dalam perjalanan semalam. Sungguh aku bersyukur. Sungguh pula kami tak menyangka Semeru benar-benar memberikan kejutan yang benar-benar kejutan kepada kami. Cuaca ekstrem yang di luar perkiraan. Semeru sungguh begitu berat bagi tim-tim tertentu, di titik-titik tertentu. Ia menyimpan karakter yang berbeda-beda di setiap waktunya, di setiap titiknya.

Kini biarkan aku tertidur sepenuhnya, sebelum kembali berjalan untuk berjumpa lagi dengan Kali Mati, Cemoro Kandang, Oro-Oro Ombo Penawan Hati, dan si rupawan Kumbolo.

Φ
Kamera: Galdi

2 comments:

  1. ekstrim yess..
    aku ga membayangkan ada orang naik semeru pake sandal selop,,haha

    ReplyDelete
  2. selamat datang di dunia Galdi, hahaha..

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b