Friday, September 28, 2018

"In My Heart He Left a Hole"


Kau bukakan pintu itu untukku - untuk kita berdua. Aku melangkah terlebih dahulu. Ruangan bersih dan segar dengan pencahayaan putih ramah menyambut. Kuperhatikan alis matamu mengernyit dengan mulut sedikit ternganga ketika memperhatikan detail dalam ruangan, yang sebenarnya sederhana saja.

"Aku tak tahu tempat seperti ini bisa hadir di tengah lingkungan yang super bising. Maksudku, Kau tahu kan, di luar sana barusan?" katamu dengan kedua tangan yang turut memeragakan betapa ricuh Sabtu malam di kotaku. Aku mengerti keherananmu, tapi badanku sudah cukup lelah untuk memproses sebuah jawaban verbal. Alhasil aku hanya tersenyum sembari melangkah ke depan bersamamu, menuju satu-satunya lift yang tersedia - alasan mengapa ruangan itu ada.

Alis yang berkerut itu lalu semakin turun sembari memandangku. Kulihat bola mata cemerlang itu berkilat-kilat ketika sudah kuraih tombol lift. Raut mukamu berubah dari penuh heran ke meredam gugatan. Protes sudah siap kau layangkan, namun harus kau tahan karena denting tanda pintu lift yang sedang terbuka dan aku yang bergegas masuk.

Aku berbalik dan melihatmu masih terpaku di luar. Kutahan pintu lift dan kudengar nada dingin darimu, "Aku tahu lift apa ini. Aku tak mau masuk. Aku mau berjalan."

"Berjalan dengan hiruk-pikuk kegilaan di luar sana? Ayolah, aku sudah lelah, dan ini satu-satunya pilihan terbaik untuk kita sekarang."

Kilatan di mata itu mereda. Kau mendengus. Badanmu sedikit gemetar ketika melangkah ke dalam lift. Kulepas tombol, dan pintu di depan kita segera menutup. Hening darimu segera menyeruak. Hanya tinggal suara mesin yang sedang menarik kita entah ke mana.

"Kau bisa menyalakan rokok..."

"...aku tak ingin meracunimu", potongmu dengan simpul senyum. Aku turut tersenyum karena lega protesmu sudah teredam. Kau lalu menoleh kepadaku. "Berapa menit yang kita punya? Aku merasa tidak enak sebenarnya sampai kau repot-repot mengeluarkan uang untuk tumpangan lift ini."

Kau menunduk sambil menyandarkan badanmu pada dinding lift. Aku turut bersandar sembari tangan kiriku meraih tangan kananmu. Kau balas menggenggamnya rapat-rapat. Kurasakan kencang otot lenganmu menempel pada lenganku. "Kau, yah, sebenarnya kita, akan merasa lebih tidak enak nantinya jika lanjut berjalan dalam gaduh di luar sana. Kita akan di dalam sini selama kira-kira dua puluh menit, dan keluar pada dua jam sebelum keretamu berangkat."

Sunyi lagi darimu. Kulihat kau mencoba menerawang pintu lift di depan.

"Aku ingin ikut pergi bersamamu", aku kembali bersuara.

"Tidak bisa. Kau sudah tahu betapa kelamnya duniaku di bawah sana."

"Aku berani bertaruh hidupku lebih kelam...", jawabku setengah menggumam.

"Apa? Maaf aku tidak mendengar", katamu dan menoleh padaku lagi. Aku tersenyum menahan berat di hati.

"Kemarilah". Dengan lembut kau menarikku dalam lenganmu. Hati kita berhimpitan. Satu menit kemudian air mataku meleleh pada kaos merah hati yang menempel pas di badanmu.

"Aku tak ingin kehilangan dirimu", pecah suaraku terdengar.

Kau tarik lenganmu, menatapku, dan menjawabku dengan sebuah kecupan di kening. "Kumohon bertahanlah", katamu. Aku melihat mata yang juga berkaca-kaca. Kita pun menghabiskan menit yang tersisa dengan lengan yang saling erat mendekap, seakan enggan berperan serta dalam permainan ruang dan waktu.

Lift itu lalu berhenti persis dua jam sebelum keretamu berangkat. Kereta yang akan memisahkan kita berdua. Tapi semoga tidak hati kita.

Thursday, September 06, 2018

Mahameru Kali Kedua


-Beberapa hari di pertengahan Juli 2017-

Panggilan untuk nggunung kadang menjadi begitu menggebu dan sekaligus menentramkan ketika kau tahu itu bukan mimpi semata karena jadwal sudah di depan mata. Hampir setiap hari kulihat Semeru tersenyum begitu aduhai dari pojokan teras rumah. Tekad untuk mendakinya kembali, untuk mengulang pendakian di akhir 2011 lampau, sudah bulat. Semoga dengan kedirian yang lebih penuh, pengalaman kali ini akan lebih syahdu. Tim pendakian sudah dibentuk dan mari tersenyum menyongsong diri yang segera akan kembali berjalan.

Di 2011, banyak hal terjadi. Hatiku agak terlalu gaduh untuk dapat menyesap tiap langkah yang amat bermakna - meski sebenarnya pengalaman itu tetap begitu bermakna, apalagi kisah-kisah kenaifan sosok-sosok muda dalam tim saat itu. Beberapa tahun berlalu, aku agak khawatir diriku tak lagi begitu prima. Tulang tua, begitu mereka bilang. Awal tahun aku terseok-seok untuk jalur Kaliangkrik Sumbing. Kali ini aku tak mau. Tapi sebenarnya sampai Kalimati pun juga tak apa. Tak apa, kan?

Cuaca benderang. Kami mulai dengan naik jip untuk sampai Ranu Pani. Jurang di kiri kanan itu begitu mengagumkan. Mahameru terlihat syahdu dari kejauhan dengan aksen langit biru dan semburat putih awan yang menawan. Pertemuan dengan jalur Bromo ternyata begitu menggairahkan. Bukit-bukit hijau dan lautan pasir itu sungguh merupakan lukisan yang amat indah. Belum satu jam, aku sudah merasa banyak sekali yang terlewatkan saat pengalaman pertamaku mendaki Semeru di 2011. Kala itu hanya hujan, kabut, dan gelap. Kurasa ini akan menjadi pengalaman yang baru dan sangat berbeda.
Pertemuan dengan jalur Bromo; foto: Jek
Tiba di Ranu Pani, kami satu tim dan beragam tim lain (baca: rame banget) diberi pembekalan. Ini juga hal baru. Dulu kami tak pernah tahu kalau ada kemungkinan bisa bertemu macan di jalur sehabis pos 3. Ah, aku lupa. Sebenarnya aku tak pernah tahu apa-apa ketika naik gunung. Yang terbaik yang bisa kulakukan sepenuhnya adalah menyerahkan informasi-informasi berkaitan dengan teknis mendaki kepada kawan seperjalanan. Dasar pemalas. Sekarang mau tak mau aku harus tahu informasi tertulis perihal pendakian Semeru.

Kami mulai berjalan kira-kira jam dua, dan aku begitu terperangah dengan... YA AMPUN ADA YANG JUALAN SEMANGKA DAN GORENGAN DI POS 1. DI POS 2 JUGA!!! Malam sudah turun ketika kami sampai pos 3 - tapi kalau masih ada matahari di situ juga ada yang jualan semangka dan teman-temannya. Selama perjalanan sore, langit cerah sedikit berawan. Dengan kondisi ini, rupanya dari Pos 1 bisa terlihat Pos 2, dan sebaliknya - dan juga bisa terlihat juga jurang dan kontur jalur di kejauhan. Di 2011, berjalan siang pun yang terlihat hanya kabut semata. Ah, aku terlalu sinis. Sebenarnya beberapa vegetasi dan pepohonan juga terlihat, namun memang itu, mereka redup tersiram kabut. Hahaha. Masih indah, tapi sensasinya tetap berbeda ketika akhirnya aku dapat melihat apa yang sebenarnya ada di balik kabut itu. Di suatu langkah aku menengok ke atas dan 'HAIII!', kulihat Mahameru menyapa kami. Saat itu aku tahu aku tak hanya akan berjalan sampai Kalimati saja.
Mahameru yang nyembul di langit sore; foto: Jek
Bermalam di Ranu Kumbolo, oh, bagaimana kabar sang primadona aku hanya bisa merasa hilir angin dan suara buih kecil ombaknya. Langit gemerlapan. Bulan belum terbit. Entah itu Bimasakti atau bukan, tapi gemerlapan itu telah membuat hati berdesir begitu rupa. Gubuk Penceng menjadi pertanda bumi bagian selatan.

Pagi hari mentari berpesta bersama si Primadona. Hatiku tersenyum riuh. Menuju siang kami kembali berjalan ke arah Kalimati. Jalan menuju Bukit Cinta secara harfiah meranggas kehilangan ruh magisnya. Ia kering tanpa makna. Tapi ketika sudah sampai di rimbun pohon di puncaknya, duduk di atas jalinan akar-akar yang menonjol sambil menikmati gebyar Kumbolo di bawah sana, hati kembali merasa penuh. Rupanya itu makna hakiki Bukit Cinta: ketakziman untuk dia di bawah sana.
Kumbolo di cerah pagi; foto: Jek
Oro-oro Ombo sayangnya juga meranggas. Hanya ada satu dua ungu yang dikira Lavender, tapi itu pun kalah oleh panas yang membuatnya mati. Kiranya untuk titik ini pendakian 2011 menang telak: saat itu lembah penuh oleh bunga berwarna kuning. Aku memberi analisis sok tahu. Bunga ungu yang dikira Lavender itu, yang ternyata adalah Verbena, yang ternyata bahaya untuk ekosistem, adalah tanaman yang mematikan bunga kuning yang kukira sawi di pendakian sebelumnya. Saat ekosistem lembah tergantikan oleh Verbena, lembah akan menjadi ungu akibat warna bunganya. Cuaca kering membuat dia mati, dan tanaman berbunga kuning itu pelan-pelan kembali subur di musim penghujan, membuat lembah berwarna dominan kuning. Hingga ketika Verbena bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan bangkit kembali dan mati kembali dan...
Menuju Oro-Oro Ombo (yang kering); foto: Ana
Cemoro Kandang: Semangka. Jambangan: Semangka. Kalimati: sumber air. Yak betul. Kali ini aku harus tahu bagaimana rupa sumber air itu. Aku bersyukur turun untuk mengambil air karena kiri-kanan jalur sungai lahar ke bawah itu sungguh berbeda dari jalur utama. Jurang di kiri kanan menjulang. Sempat terlihat monyet-monyet di kejauhan. Jalurnya seperti wahana yang menyisir sungai curam tanpa air yang diapit dua jurang di dua sisinya. Batu-batu besar dan agaknya beberapa titik longsor sempat terlewati. Agak ngeri juga. Kalau sudah mendekati malam orang didaulat tak boleh pergi ke sumber air. Aku rasa pasti itu jalur macan haumm...

Malamnya satu tim serentak untuk Mahameru. Ramai nian yang menyerbu puncak. Dingin? Oh, tentu! Tapi aku sudah mempersiapkan diri untuk itu. Malam yang gemerlap. Sungguh betapa aku tunduk pada keindahan langit malam yang penuh bintang seperti ini. Kadang aku dikode alam untuk melihat ke suatu titik tepat ketika satu bintang di situ terpeleset dan jatuh... Oh, meteor...

Jalanan menuju Arcapada sungguh telah begitu berubah dari pendakian di 2011. Oh, bahkan titik Arcapada 2011 telah didaulat sudah ambyarrr!!! Tempat yang dulu kami gunakan berkemah sudah hilang entah ke mana. In memoriam pun sudah terlihat sedikit lagi tergerus longsor. Gunung ini sungguh begitu aktif, kataku dalam hati. Perjalanan hingga Arcapada yang entah di mana itu menghabiskan lebih banyak energi daripada jalur lama di 2011. Rupanya jalur kali ini lebih panjang. Jalur lama pun katanya sudah berkali-kali berubah karena frekuensi longsor yang cukup sering.

Perbekalan? Jangan khawatir. Kudapan penyedia energi cepat sudah disiapkan. Kali ini tak akan kubiarkan otakku melenakan perut yang lapar. Sedikit saja perut terasa lapar, segera kujejalkan perbekalan agar tak diam-diam kelelahan. Yang telah kupelajari dari tubuhku selama ini kiranya adalah: mengantuk saat lelah punya dua makna, aku benar-benar kelelahan atau adalah tanda awal kelaparan. Sebenarnya satu lagi maknanya: kelelahan dan pada saat yang bersamaan kekenyangan.

Setelah batas vegetasi, kembali tantangan yang paling nyata itu dimulai. Kini pasirnya lebih susah untuk dipijak. Kata kawan-kawan karena musim kemarau yang membuat pasirnya lebih licin. Dan kali ini terlihat begitu di tengah antah berantah, sedang di 2011 lalu rasanya diselimuti kabut badai yang mematikan. Keduanya terasa mencekam dengan caranya masing-masing. Kini langit begitu penuh gemintang, tapi jurang-jurang di kejauhan serasa siap menelan. Dulu langit tak kelihatan, tapi desau angin dan tumbukan hujannya mengancam dengan beku hingga hati terdalam.

Diam-diam di ufuk timur ada sabit menyembul. Sempurnalah syahdu langit malam kali ini. Sedikit demi sedikit berjalan kelelahan dengannya. Sedikit demi sedikit berhenti. Sedikit demi sedikit ada angin meraung. Sedikit demi sedikit, duh, kenapa tak sampai-sampai jua. Hingga mentari itu riuh oranye terbit menggilas malam, belum sampai juga. Dini hari tergantikan. Aku melihat pemandangan lanskap di kejauhan: jalur-jalur yang telah kami lalui, bukit-bukit di sekitarnya, Bromo dan figuran indah di sekelilingnya. Sungguh betapa kemegahan dari atas awan.

Waktu selalu penuh misteri. Kali ini aku juga sampai di Mahameru di sekitaran jam tujuh pagi, mirip seperti pendakian 2011. Lucu juga kalau dipikir. Ketika sampai, aku merasa tak percaya aku kembali bertemu Mahameru. Di pendakian kali ini aku tak begitu yakin akan sampai puncak, tapi ternyata aku masih bisa. Hatiku begitu sumringah karena ini berarti harapan terbuka untuk perjalanan-perjalanan ke depan. Aku bersorak-sorai dalam hati. Tulang tua itu masih kuat!

Di pendakian 2011 kabut terlampau tebal, dan agaknya Mahameru tertutup awan sepenuhnya sehingga jarak pandang hanya sekian meter saja. Tak pernah kutahu kawah Mahameru itu seperti apa. Tapi tentu kini aku tahu. Jalan setapak sebagai bibir kawah yang terlarang untuk didekati itu tampak seksi dari kejauhan... (/meh?)

Mendaki kali ini aku tak harus tergesa untuk turun. Maksimal hingga jam 10 pagi karena di atas itu angin akan berubah arah sehingga ketika Mahameru meletus, materialnya akan mengarah ke jalur pendakian. Letusan pertama pagi itu katanya sudah lewat - sebelum aku sampai puncak. Aku tak begitu paham tentang ini sebetulnya. Hanya... Em... Di tengah ritualku tidur di puncak, dan sedang berjemur di bawah terik matahari demi kehangatan semesta (*maaf diksi mulai alay), aku dibangunkan oleh suara gemuruh 'jedhuarr!!!' dan terikan orang-orang di sekitar, 'Mbak! Mbak! Bangun!! Meletus! Meletus! Aduh! Itu apaan!!!', mau tak mau aku jadi paham mengapa orang begitu berkoar-koar tentang letusan ini. Temanku bingung ingin lari, tapi jadi lebih bingung karena banyak yang malah mendekati letusan. Kira-kira chaos itu bertahan beberapa detik di kepalaku dan berakhir dengan kesimpulan bahwa orang ingin pamer foto dengan letusan yang tak(/belum?) berbahaya ini. Tentunya aku juga harus ikutan mengabadikan momen ini untuk kelak aku pamerkan ke khalayak.

Kira-kira sekian saja. Pulangnya begitu mengesankan karena ada beberapa cerita misteri tentang ini itu. Ada beberapa yang mengaku diikuti ini itu. Duh, lucu juga aku satu tim sama teman-teman yang 'sensitif', dan sekaligus mendidihkan rasa penasaranku akan hal-hal demikian. Oh, drama lintas frekuensi. Hrrrgghhhhhh.

Anw, ada beberapa catatan penting dari perenungan mendaki kali ini dan dibandingkan dengan pengalaman 2011. Kira-kira poinnya seperti ini:
1. Di 2011 aku terlalu naif dengan perbekalan seadanya, atau meski sudah kurasa cukup, untuk pendakian semacam itu dengan cuaca semacam itu, tetap harus ada rencana B yang harus dipikir masak-masak. Mungkin aku masih bisa selamat, tapi taruhannya terlalu besar untuk masa depan, karena kemungkinan cidera akibat kurang nutrisi begitu bahaya. Kehilangan kesempatan untuk melanjutkan hobi adalah senyata-nyatanya kerugian bagi kehidupan.
2. Betapa berjalan di 2017 ini lebih penuh rasanya daripada 2011. Bukan lagi menggebu yang sangat amatiran. Hahaha.
3. Tentang amatir ini tentu karena aku sekarang sudah pakai sepatu gunung, jaket khusus, celana khusus. Aku dulu terlalu ga perhatian pada hal-hal semacam ini, jadi investasinya diarahkan ke hal lain. Ckck..
4. Ini pendakian pertamaku membawa beban lebih di mana aku juga membawa nesting dan kompor untuk masak. Beban memang berat, tapi entah mengapa aku tak merasa seterseok-seok itu. Bahkan sakit lutut yang biasa kurasa kali ini tak muncul, makanya aku terkejut sendiri ketika sukses sampai Mahameru, dan aman ketika sampai Ranu Pani kembali. Kusinyalir ada dua sebabnya: aku rutin minum VCO waktu mendaki dan sepatu gunung yang kupakai juga membantu (tentunya persiapan rutin skipping sebelum pendakian juga merupakan faktor signifikan).
5. Yang lucu adalah, tim pendakian ini dan kali pertamaku sama-sama berjumlah 4 orang. Dulu aku perempuan sendiri di antara tiga laki-laki, kini dari  total empat orang, hanya satu anggota laki-laki (yang menjelaskan kenapa aku akhirnya mau membawa nesting dan kompor :p).
6. Perjalanan menuju Mahameru akan selalu berbeda, utamanya pada jalur sehabis Kalimati, karena ia sungguhlah aktif dan karenanya mudah saja topografi jalur berubah; bahkan aku tak bisa lagi mendapati galur-galur di antara jalur pepasiran di pendakian 2011. Sungguh pengalaman yang baru.

The Team!!! foto: Jek
Sunrise di medan pasir menuju puncak; foto: Ana
Negeri di atas awan uhuiiii, performing: Bromo di kejauhan; foto: Jek
Jonggring Saloka AAAAAAAAA, foto: Jek
Pamer dulu, sama DHUARRR!! foto: Ana
Oh, yes, 3676MDPL! foto: Ana
NB: harusnya bikin album di Flickr tapi malezzzzz wwkwkwk

Thursday, May 24, 2018

Struggling


Kadang sungguh sebuah rasa sakit menjadi nyata dan nyata menjadi. Luka fisik. Luka hati. Luka fisik yang melukai hati. Luka hati yang melukai fisik. Subjek yang mengalami mau tak mau mengindentifikasi dirinya dengan luka-luka, pedih-perih yang dirasakannya: dengan penyangkalan, kemarahan, kesedihan, kejemuan, dan berakhir hingga penerimaan, jika memungkinkan. Semua meliputi dirinya. Mengapa ia mengalami sakit sedemikian rupa. Mengapa tubuhnya rentan. Mengapa hatinya rentan.

Perspektif makhluk. Perspektif diri yang mengalami.

Dalam sebuah ruku', sebuah pemahaman banjir menggenang. Dia, Dia yang lain, Mereka, dan Semesta. Sakit pun tak lagi penting... hingga perspektif makhluk itu kembali menguasai.

Yang ada hanyalah ada, kata mereka yang bijak.

Wednesday, April 04, 2018

Kesambet Kamar Tergelap

Wow, rasanya sudah berabad tidak mendarat di blog sendiri, halo apa kabar blogku tersayang, apakah dikau merindukanku kalau gw mah kagak bwkbwkbwk (?)

Ke-random-an macem begini yang bikin orang ogah main di mari, lol, like I care.

#kumats

Nulis itu macam khutang. Di dalam otak ini rasanya muncul berjibun ide apalagi kalau habis digelontorin dosis kafein harian. Masalahnya dosis itu cuma berlangsung beberapa jam saja. Berjibun ide membanjiri benak, dan luapan energi pasca kopi hanya cukup untuk eksekusi satu ide - itupun seringnya tak penuh. Dan ide menulis itu kerap kali jadi pilihan kesekian setelah ide-ide lain, dan karena ide-ide itu muncul setiap hari, jadi sekarang kira-kira "WACANA" yang masih kabur bentuknya itu jumlahnya sudah segitu banyak (sambil nunjuk cucian). Iya betul, sudah menggunung macam cucian kotor di pojokan itu (moga bauknya ga sama sih) 💩💩💩 (HEY MY FAVE EMOJIIIIII!!!!)

Tapi paling tidak akhirnya terdampar di sini lagi.

Kira-kira sepuluh bulan lalu, atau sebelas bulan, atau setahun tepat mungkin, aku sudah tak begitu ingat, aku kesambet fotografi analog. Dahulu kala masih muda pernah beberapa kali mainan SLR FtB punya kakak, terus beberapa kali menyisihkan uang makan harian buat mencetak film-film itu. Rasanya bahagia melihat warna-warna dan buram-buram bokeh ala-ala lensa SLR terpapar di atas kertas foto - dengan proses yang jauh lebih lama dan cukup rumit daripada cetak-mencetak ala foto digital saat ini. Kesambet itu mengantarkanku pada beberapa halaman pencarian tentang a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z - awalnya cuma ingin beli kamera SLR analog karena sudah tidak bisa pakai punya kakak, tapi akhirnya aku berakhir untuk menjawab tuntas penasaranku pada sejarah dan proses fotografi analog. Sudah lama aku memendam penasaran ini. Dulu waktu mencuci cetak (afdruk? - omg this sounds so old word already!) film, aku selalu kepingin biar bisa bikin lab sendiri, semacam ruang kotak kecil gelap begitu, trus goyang-goyanging ember berisi larutan ga jelas, trus muncul gambarnya di atas kertas. DUH ITU RASANYA SURGA BANGET GAK SIHHH.

#geekdetected

Saat itu kupikir masalah terbesarnya hanya tentang karena aku memulai ini semua dari NOL: aku tak punya kamera analog, aku tak punya film, aku tak punya larutan yang bisa mencuci film, dst., sehingga jalan keluarnya adalah hunting kesemuanya itu. Aku tak ingin terlalu banyak mengeluarkan uang untuk kamera, dan karena membaca sejarah fotografi, aku berpikir kenapa tidak memulai dari yang paling sederhana tentang bagaimana benda menangkap cahaya? Dan serius, semua ini kan tentang cahaya saja!! Apalagi semua ini DIY!! Aku bisa bikin sendiri kameraku!!! Tak perlu berlama-lama. Tiba-tiba saja aku sudah punya kamera lubang jarum, bahasa kemenggresnya PINHOLE CAMERA. WA KEREN BANGET DAH 💀💀💀

Nerd macam saya begini kalau dipicu DIY project udah pikiran jadi carut-marut banget. Tak hanya cinta yang membuatku bahagia dan kalang kabut set dah ini napa jadi ngomongin begituan lagi 👺 Halaman-halaman internet aku bacai hingga ada satu yang cihuik banget ngasi versi pinhole paling gampang yang pakai film 35mm, bukan pakai kertas film, the so called dippold pinhole camera.

Dippold itu macam nama orang yang baik banget udah bikinin template pinhole. Langkah-langkahnya aku nemu di sini, lalu karena jaman sekarang kan otak jadi agak lemah gitu kalau ga ada tutorial youtube (dang apology), jadi kira-kira youtube ini bisa menggambarkan keseluruhan proses membuat dippold pinhole:



Kyaaa Pinhole-kuuu
Itu pinhole akuh!!! 💓💓💓Serius cuma dari kertas udah bisa bikin foto! Kertas, cubles jarum, lubang jarum itu jadi lensanya, dilewati oleh cahaya pantulan benda target potret waktu shutter dibuka, lalu film menangkap sekilat bayangan cahaya tadi (kalau dalam ruangan dibuka sampai dua tiga menit deeeng), dan there you go your very first picture!!

Untuk mengetes, aku coba pakai film berwarna. Yang hitam putih sekarang jadi mahal banget dong, lebih mahal bahkan daripada yang berwarna. Dulu (10 tahun lalu) seingetku cuma duapuluh ribuan, sekarang yang hitam putih itu sekitar 70rb per-roll! Yang berwarna merk Kodak, 55rb, didapat di toko tidak online, sebut saja Central Studio yang teramat kondang itu. Karena penasaran sudah sampai ubun-ubun, aku belum mau main mencuci filmku sendiri. Jadi aku keluarin 30rb untuk cuci film - dan betul, hanya di Central Photo itu yang masih menerima cuci film 35mm. Aku sudah pede banget dengan hasilnya pasti bakal indah banget. Tapi ternyata pinhole itu kayak gitu yah.. APALAGI KALAU LUBANG JARUMNYA KEGEDHEAN BAHAHAHAHAHHAHAHAH 💩💩💩

Nih, aku bagi eksperimen pertamaku. Maap-maap ya kalau yah, kayak gitu deh :B

First Pinhole Feb2017


Buram yak. Hahahhahah. Tapi serius aku bahagia banget lho. Aku khawatir gambarnya ga bakal muncul karena isolasi hitamnya kurang rapat atau karena semacamnya, soalnya rasanya tuh ga yakin banget dan takut film di ruang belakang itu kebakar. Eh anw, Central Photo cuma bisa nyuci film, lalu dari sana aku pergi lurus ke barat dan belok kanan di perempatan pertama menuju Diamond Photo yang scanner film-nya masih oke (tapi di sini ga bisa cuci film), dan murah cuma 10rb saja per-rol. Oh, aku masih ingin banget cuci cetak ya sebenarnya, tapi serius paling maksimal sekarang tuh cuci rol film lalu di-scan. Cetak manual yang kertas di goyang-goyang gitu sudah ga ada :( Padahal kan beda banget hasilnya sama cetak digital dari hasil scan film :(

Pake pinhole ini seru sih, karena ala-ala ga jelas banget gitu moto apaan. Tapi jujur sebenarnya aku agak kamfret sih ngira-ngira kalau bener konfigurasi lubangnya mungkin bisa nyamain si SLR trus keren bisa mainan bokeh dengan kamera hasil gunting tempel gunting tempel begitu. Ya ampun dasar mimpi siang bolong ya. Lalu aku tetiba teringat masa lalu pakai kamera saku gitu - seru banget dulu waktu SMA punya kamera saku otomatis sendiri, merk Fujifilm warna silver, bisa ASA 400, tapi rusak karena jatuh dari almari :B. Jadi, tentu saja, aku hunting lagi kamera itu. Muter-muter mampir ke studio-studio foto, tapi mereka sudah ga jual kamera murah meriah itu lagi, dan paham sih sekarang lagi jamannya polaroid. Ada kamera film otomatis second sih, dan di atas seratus ribu. Tak mau aku. Karuan kalau tahan lama. Ntar kalau cuma dua bulan aja ih rugi barbih. Coba buka online, lhah malah nemu kamera mainan AQUAPIX murah meriah HAHAHAHAHAHAH.

Kesambetnya jadi banyak ya. Tapi utamanya masih tentang penasaran ingin cuci film sendiri dan itu berarti kepingin yang ala-ala bikin ruang gelap sendiri awesome gitu. Selain pakai pinhole dan kamera mainan enteng di kantong, untuk meminimalisir pengeluaran aku harus juga cari 35mm yang murah meriah. Jadi pun terdampar di web sini, di web sana, syalala, sampai akhirnya yang mudah dipantau ya, grup jual beli di Facebook. Aku ikutan ini dan ini. Dari terdampar-terdampar itu, aku putuskan cari film kadaluarsa, karena adalah pilihan yang murah meriah. Sebutan kerennya film kadal, wkwkwk. Konon film kadal bisa lucu banget hasilnya, ala-ala bikin hasil gambar seperti beberapa efek kamera lomo (lame? :p) tapi ga perlu pakai modifikasi kamera cuma main di kualitas film aja. Dapat harga per-filmnya 25rb, beli tiga plus ongkos kirim jadi 89rb. Si Aquapix beli dua plus ongkir dan bungkus dari Surabaya jadi 90rb. Pinhole pun sudah dibenarkan lubangnya. Perjalanan kamar gelap (lol "kamar") ku pun dimulai.



Kamera mainan Aquapix. Analog banget bunyinya krekk kreekk buat memutar film. Jangan ketawain Snow White, pilihannya cuma itu :p

Ambil foto dulu deeeeng. Coba di sana coba di sini. Aku pakai satu film kadal dulu untuk si Aquapix. Film habis, saatnya kamar gelap (diction pls). Kesambet ke banyaaak banget halaman-halaman internet. Apa yang harus dipersiapkan, butuh apa aja, dst. dst. Tutorial ini, tutorial itu. Forum ini, forum itu. Aku baca forum kaskus yang udah berdebu banget alias forum lavvazz. Repot juga ternyata mau cari kimia-kimia yang dibutuhkan. Kira-kira ada tiga jenis larutan/kimia yang dibutuhkan: developer, fixer, stop bath. Developer, untuk memproses film biar muncul gambar, fixer untuk melarutkan ala-ala perak di film yang jadiin dia bening, dan stop bath untuk menghentikan si developer & fixer biar ga berhenti efeknya karena larutan developer/fixer masih nempel di film. Aku baca-baca, larutan penghenti ini bisa diganti pakai campuran air dan cuka, atau air aja tapi diulang banyak kali. Untuk dev/fixer, aku coba putar-putar Jogja, cuma dapat yang, well, udah kadaluarsa lama (merk fixer terkenal: ACIFIX). Aku juga kepikiran untuk lanjut ke cetak manual, tapi ternyata hasil  tangkapan cahaya/gambar dari film ke kertas foto itu butuh proyektor, dan butuh banget ruang gelap yang di dalamnya air bisa mengalir. Itu mustahil untuk dilakukan. Ada tutorial DIY film projector, tapi kamarku belum siap untuk dialiri air dalam beragam rupa. Jadi nafsu harus ditahan sampai eksperimen nyuci film dulu. Developer dan Acifix ini, kira-kira aku habis 40rb. Acifix dihargai mahal di Central Photo, walaupun udah kadaluarsa. Pengembangnya aku dapat di Duta Photo kalau ga salah - sekitar 15rb.

Masalah lainnya, ada satu tank tapi bukan buat perang, yang dibutuhkan buat wadah mencuci biar di luar ruang gelap pun film tetap aman dari cahaya (ini teknologi keren banget sih - jadi larutan bisa keluar-masuk tanpa film di dalamnya terpapar cahaya). Developing tank bahasa enggres-nya. Tangki pengembang - yang ternyata, mak, mahal dan sudah langka tentunya. Di Central Photo dihargai 300rb. Aku berniat cari-cari banget yang murah. Pikirku, pasti studio lavvas masih menyimpan barang ini, dengan harga miring - atau paling tidak lebih masuk akal daripada 300rb. Tanya studio ini itu, dari siang hingga maghrib, akhirnya nemu di ..... namanya di Google Map sih, Super Photo, di Jl. Godean, dekat Super Indo sana. Aku nemu review lawas di web-web, konon mereka dulu cukup komplet jual alat ini-itu. Pas ke sana, udah digital banget jualannya. Ala-ala stik selfi, tripod, kamera digital dan aksesoris lainnya. Tentu orang-orang pada heran aku nyarinya barang lavvas. Tapi ada satu bapak di toko itu yang kelihatannya pemain lama, dan bilang kalau mau ditanyakan ke gudang. Fingerscrossed. Dan pas banget masih ada dua - harga satunya 125rb (buat single roll). Rasanya mau sujud syukur. Dalam perburuan tetek-bengek ini, aku selalu kepikiran: anak-anak ISI kalau sedang belajar fotografi analog perginya ke mana ya? Apa mereka punya studio sendiri? Tapi kok aku ga pernah dengar? Kok ga pernah ada bahasan di internet? Kok gini kok gitu? #geminikumats

Ruang gelap itu tentu pakai kamarku yang untung posisinya di pojokan. Jendela dan ventilasi kututup sedemikian rupa pakai kantong tidur (warna hitam), pakai tikar, pakai kantong plastik hitam, pakai segala cara pokoknya biar ga ada cahaya bocor, termasuk handuk bekas untuk selipan di bawah pintu. Konon 35mm itu sensitif banget sama cahaya. Bahaya kan kalau eksperimen pertama gagal - mana juga sudah foto mas-mas gebetan pun. BAHAHAHAHAHAH.


MY DARKEST ROOM SETTING BAHAHAH
ps: abaikan yang nyanthol-nyanthol :p
Kamar yang semakin entahlah dengan ditambahnya jemuran film
Dan yah, percobaan pertama GAGAL sodara-sodara. Film hasil cucian gelap banget gitu, dan lapisan peraknya masih nempel banget. Maaf mas gebetan (dadakan - aka. sudden crush), aku hanya bisa mengenang senyumu dalam imaji :( #VRET

Analisis pertamaku karena larutan kadaluarsa itu (trouble shooting-nya juga lewat web demi web). Lalu aku mendamparkan diri lagi di sana sini buat belajar bikin larutan-larutan sendiri. Yang terkenal teknik untuk pengembangnya namanya caffenol. Pakai kopi dan vitamin C. Banyak Youtube yang bikin tutorialnya, tapi youtuber bule, jadi menyesuaikan bahan-bahannya agak susah untuk di mari. Aku coba kombinasi belajar di forum lavvas kaskus juga. Aku akhirnya coba pakai kopi instan yang dulu kusuka, INDOCAFE. Vitamin C, Vitacimin yang digerus aja, dicampur di air hangat (aromanya agak aduhai geje gitu - pertama bau sih ga enak, lama-lama terkenang jua :p). Dan aku berburu lagi buat fixer. Katanya pakai garam hypo. Ada banyak yang jual online, tapi aku terlanjur kesambet banget kalau harus nunggu barang datang. Revot cyin. Jadi mari mencari toko kimia terdekat. Aku coba di Jalan Simanjuntak sederetan Pands sana. Ada garam hipo, tapi aku harus beli sekilo. BAHAHAHAH. 30rb, dan per-fixing cuma butuh 5 sendok teh (untuk 500ml). GAPAPA KETAVVAIN AJA.

Percobaan kedua. Dua rol kadal pakai larutan ini. Ada beberapa gambar yang muncul. Tapi cukup parah cuma muncul bintik ga jelas, alias gagal pula x_x

Aku jadi kesambet banget sama caffenol ini, karena yang pernah bahas ini seringnya pada bilang ini ampuh, tapi pakai si kadal gagal mulu. Dan fixer pakai garam hipo juga keren, meski hasilnya ga sebening kalau cuci di Central. Analisisku karena si larutan kopi memang bikin terlalu hitam. Kata forum-forum kaskus juga gitu. Jadi aku mulai menaruh curiga pada si film kadaluarsa. Dan aku ga akan lega kalau ga mencoba beneran pakai film yang beres. Sampai ruang gelap berhasil pokoknya. Belilah aku B/W film 70k, dan berburu film baru yang murah: aku dapat harga 45rb/rol untuk Kodak berwarna 36exp. Karena aku berpikir pasti akan kesambet terus fotografi analog ini, aku beli 7 rol sekaligus. BAHAHAHAHAH. Jatuhnya hampir 350rb udah sama ongkir. Yah maklum, lagi kesambet.



Film 45rebu dan cucian paling beres pertama kali (yang juga moto cucian - jemuran deeeng)

Aku masih kaku mutar rol film dalam gelap ke dalam tangki pengembang, jadi dari percobaan pakai film B/W (ga kadal), ada beberapa yang rusak, dan agak ga jelas gitu, mungkin karena pakai kamera mainan Aquapix - juga karena gambar-gambar diambil di dalam ruang, jadi underexposed/kurang cahaya. Selain itu ada noda-noda aneh, tau deh apaan, mungkin terlalu alay pas agitasi. Nah yang film kodak berwarna malah seru hasilnya, entah karena aku pakai pinhole lagi, atau karena lama agitasi sama caranya udah agak smooth dan less alay. Pakai kamera lubang jarum berarti masukan cahaya bisa diatur karena bukaan bisa diatur sampai lama, tapi lensa yang berupa lubang itu meski sudah dibenarkan pakai jarum paling imut di seantero kamar pun ternyata tetap menghasilkan gambar yang blur (yang menurut teman-teman "kaya foto-foto hantu", bahahah). Sedang pakai kamera mainan Aquapix, masukan cahaya sudah default-nya cekrek sekian mili(?) detik doang, tapi lensanya sudah pakai alat optik dan hasilnya tajam dengan catatan harus di luar ruangan. Di dalam ruangan mah Aquapix bubar. Dengan demikian aku mengandai Aquapix ala-ala bukaan pinhole, atau lubang jarum ala-ala lensa Aquapix (OK, fix besok bongkar Aquapix, lol).

MATI AJA LO KESAMBET DIY MULU.

Meski begitu, Diamond Photo tak bisa scan film-film hasil caffenol ini. Katanya "terlalu hitam". Jadi aku terdampar lagi di halaman-halaman tutorial DIY scanner. Serius dah, kesambetnya jadi ke mana-manaaaaaa. Tapi sebelum aku ke DIY scanner, aku coba dulu Helmut Photo Scanner, aplikasi di Play Store. Hasilnya agak parah :p

Pada intinya pemindai itu cuma semacam "mendigitalkan" suatu gambar/tulisan. Jadi yang DIY DIY itu pada pakai kemampuan potret. Karena cuma punya modal kamera HP, aku sikat dah.


Kaya gini scanner-nya. Bahahah. Itu pakai lampu banget di bawah.


So kesambet dah pokoknya
Toy Camera + Caffenol first try
Caffenol Attempt #1

Dan kesambet nyetak gilak!
Pinhole yang udah kubenerin ternyata ada kesalahan muter film-nya, entah gimana yang bener juga aku agak pusing. Jadinya ala-ala frame satu masuk ke frame berikutnya, jadi sedikit foto sebelumnya gabung ke foto berikutnya, dan seterusnya. Kalau pengaturan lubang jarum sebelumnya (yang kucuci di Central) malah loncat kosong satu frame (~35mm). Harusnya dicoba lagi, tapi aku sudah lelah. Mainan ruang tergelap pun aku lelah. Bahahah. Eh, terus di FJB FB itu ada yang jualan Canonet 350k. Murah banget!! Lanjut dah beli karena sudah rindu hasil ala-ala SLR.



Eh, ga taunya hasilnya ngeblur semua alias lensanya udah buram banget. Pusing dah wa 350rb+cuci cetak 65rb (ceritanya ini udah ga kuat nyuci sendiri :p) agak melayang entah ke mana. Demi pengalaman kata orang. VRET.

Kalau dihitung-hitung sampai sebelum ketemu canonet dan tanpa biaya cetak, aku habis kira-kira:
55k+ 30k+ 10k+ 89k+ 90k+ 40k+ 125k+ 15k(kopi instan+vitamin)+ 30k+ 70k+ 350k = 904ribu.
Ditambah tragedi canonet 350k+65k+~100k (cetak), total jadi 1jt419rb.

Bahahahah. Cuma ngingetin, kalau kesambet dikit-dikit aja, jangan kemaruk :p

Ini yang last (?) try yang pakai lubang jarum:

Second Pinhole + Caffenol Second Try!

Itu kesambet tahun lalu. Tahun ini, aku kesambet hal lain. Kesambet kamuh? 💀💀💀

#VREEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT