Tuesday, October 05, 2021

Sebuah Pengantar yang Terlalu Lama Ditunda


Di tahun 2019, aku mendapat kesempatan untuk menonton film Kucumbu Tubuh Indahku aka. Memories of My Body - film yang sempat bikin gempar karena ia sarat muatan queer dan sempat menuai protes di mana-mana sampai ada yang buat petisi menolak penayangan film ini. Aku tak terlalu gimana-gimana banget dengan usaha eksplorasi kaum budayawan/hiburan tentang isu seksualitas. Biasa aja gitu maksudnya. Satu-satunya alasan kenapa aku ingin banget nonton film ini adalah... karena lakon cilik yang memerankan pemain utamanya adalah anak temanku... (bangga punya kenalan artis, lol)

Beruntung juga waktu itu aku masih di Jakarta, dan ada kawan yang tiba-tiba saja bilang, "Aku mau nonton film di Goethe Institut nanti sore..."

Oh, ya ampun senang sekali sekaligus mengunjungi Goethe! What an old beautiful memory!! (clue: essay writer;). Lol, apa dah, kejayaan masa lampau yang sudah usang!

Juga ada Mas Garin si sutradara, dan penulis naskah (atau semacam itu?). Setelah film diputar, ada diskusi satu setengah jam yang seringnya diisi monolog si sutradara.

Sejujurnya aku gak terlalu suka film Indonesia - sering kecewa karena sudah berharap dalam merekam adegan akan ngga terlalu kacau, atau cerita gak terlalu dibuat-buat. Film Garin satu ini juga belum termasuk yang bikin aku puas. Ada satu yang sempat bikin aku terkesan, yaitu Ziarah. Plotnya natural, dan bahkan simbah itu sudah 90 tahun, melakukan acting yang begitu keren. Alurnya menarik, aku sukak!

Catatan untuk paragraf di atas (tentu harus ada catatan!), aku masih terlalu bias dengan gempuran Hollywood, atau industri film barat! Jadi referensi pembandingku selalu dan hampir melulu film-film luar negeri (berengsek) itu. Padahal gap-ku dengan industri film barat itu terlalu lebar - s u n g g u h   t e r l a l u   l e b a r r r untuk dapat memberi penilaian yang lebih fair. Misal saja, Bahasa Inggris bukan bahasa ibuku, jadi ada banyak konteks yang pasti lepas. Berbeda ketika lihat film Indonesia, yang akan mudah banget kukritik karena aku mengerti konteks Indonesianya. Kadang memang, film terasa bagus kalau kita bisa penuh tertipu olehnya. That's why context matters a lot. But once we know the reality, it's kind of more difficult to find good entertainment. Hence my preference now is more into kind of good fantasy, of which reality/context I won't be able to trace.. :p

Sampai sini, aku jadi ingat. Garin selalu mendapat penghargaan film internasional, daripada di dalam negeri (malah katanya gak pernah dapat penghargaan di Endonesa). Oh, jangan-jangan orang-orang luar negeri juga telah tertipu layaknya daku kalau menonton film barat! Ha!

Sehubungan dengan bias pemujaanku atas budaya barat - yang masih terus saja digempur untuk tetap suka lewat media (online utamanya), film kedua Garin yang diputar malam itu di Goethe berjudul Nyai. Ya, memang ada dua film disuguhkan. Aku pun terlambat tahu informasi ini, karena aku terlambat waktu datang.

Film Nyai dan dunia barat. Diambil dalam single shot, ala film yang hanya ada satu "action" dan "cut"-nya. Lelah lihatnya. Terlalu banyak monolog si Nyai - agak membosankan begitu, dan terasa banget teatrikal. Kurang nyantai pembawaan tokoh utamanya. Film ini terinsipirasi oleh banyak bacaan - Garin memang pelaku riset sejarah (dan sosiologi, dan antropologi?) yang cukup oke sih, dan dia masukkan itu kuat-kuat dalam elemen filmnya. Salah satu novel yang menginspirasinya adalah Bumi Manusia-nya Pram. Aku tidak akan bahas seluk-beluk kenapa Garin gak jadi menggarap film yang benar-benar based on this novel, aku berniat untuk menceritakan gelisahku akibat film ini.

Tapi, cerita ini harus kutunda hingga tiga tahun lamanya. Alasannya karena film tersebut mengingatkan pada keinginanku untuk membaca ulang tetralogi Buru. Untuk membaca ulang empat novel tebal tersebut tidaklah mudah, sebab beberapa bukunya masih tergolong tidak mudah untuk didapatkan (buku yang dulu kubaca milik kakak iparku - sekarang berada di rak di rumah Malang, yang tak bisa selalu kuakses dan berat banget karena cetakan lama). Dan meski akhirnya sudah kudapatkan keempat-empatnya, godaan agar tidak membaca selalu saja ada. My ultimate procrastinating soul took the control. Namun akhirnya kuselesaikan juga, dan hutang menulis ini juga harus kubayar. Meski demikian diri sok perfeksionis masih juga menunda dan menunda... Dan mari kita lihat seberapa jauh kali ini aku bisa menulis.

Bersambung ke bagian dua saja ya!

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b