Wednesday, November 09, 2016

Oh, She's Back??!!

Jadi pun aku berjalan lagi. Benar-benar di atas sendal jepit hitam, sedang beban hampir menuju 15 kilo. Kumaki diriku karena telah tak acuh pada kata hati agar memakai sandal gunung saja sejak awal. Aku tak mengira aku akan berjalan begitu jauh lagi dengan ransel menjulang, dan menjadi begitu membumi seperti ini. Ini tanah bukan tanah kelahiranku, tapi aku merasa aku harus sedemikian menyatu dengannya. Seakan ada kehendak luar yang menarik-narikku untuk melakukannya. Seolah berkata, "Ayo, Jek, bergabung dengan kami. Kami juga ingin bermain denganmu!"

Kulepas segala risau. Terik yang membuncah pun semakin membulatkan tekad. Mari berjalan, sendal jepit hitam, ransel hitam, dan, tentu saja, kulit yang menghitam!

Sunyi. Terlalu sunyi. Ini siang yang terlalu sepi. Rumah terakhir sudah sepuluh menit berlalu, dan jalan aspal seadanya ini masih membawa misteri ke mana akan membawaku. Kiri kanan hanya landaian diselingi bambu, pepohonan, dan ladang semata. Di depan kulihat jalan mulai menganjur ke atas. Kurasakan sandal jepit hitamku mulai meliuk. Oh, semoga dia kuat. Dan, semoga lutut kananku tidak bercericit manja.

Keringat bergulir di tengah terik yang sunyi. Faktanya memang aku sedang berada di antah berantah, tapi aku merasa begitu di rumah. Seperti bertemu dengan keakraban kawan lama. Ada hentakan girang kurasakan berpendar di sekitar diriku. Mereka sedang gembira rupanya. Dan aku, meski begitu deras kurasa keringat itu mengucur, tak bisa tidak untuk terus tersenyum. Kuinjak dedaunan kering, di mana suaranya begitu syahdu di hati. Kusesap hembusan angin yang membelai dengan gemulainya. Dan kini terik pun telah menyatu, sebagai cahaya ia menyuguhkan komposisi warna yang sungguh damai. Aku merasai harmoni.

Suara mesin dari belakang mendekat. Sebuah mobil putih dengan dekorasi interior merah meriah. Musiknya pun meriah. Tiga laki-laki di dalamnya. Tak bisa menolak. Aku diwajibkan menumpang hingga kampung di depan. Bukit itu tak jadi kudaki.

Tak banyak rumah di situ. Sebuah senyum tulus menyambutku. Energi feminin. Kami berbincang barang lima belas hingga dua puluh menit. Aku memutuskan ingin kembali berjalan dan berjalan, mumpung terik belum usai. Empat puluh lima menit berikutnya, setelah beberapa kali beristirahat, aku melewati kampung yang sibuk. Aku merasai mata-mata yang mendaratkan pandangan penuh tanya dan curiga padaku, dan pada saat bersamaan, mencoba tak acuh. Aku bersyukur karena laku demikian memungkinkanku untuk tak acuh juga kepada mereka. Aku tak ingin berhenti dulu. Aku masih ingin berjalan. Aku masih harus menghemat energi. Maka mataku pun tak mencoba memancing obrolan. Hanya wajah yang meramah kepada pandang yang dibuang. Begitulah. Aku pun lanjut melangkah.

Begitu bermakna. Dan kutemukan lagi sisi diriku yang belum begitu kukenal. Selama beberapa saat bersamanya, muncul ia yang selama ini tak pernah kuhiraukan. Di suatu jalan sepi manusia namun penuh oleh hiruk-pikuk komposisi alam: liukan bukit dan pohon di kejauhan, sawah yang telah dipanen padinya, lambaian nyiur hijau, lembut semilir angin, dan matahari yang mulai menguning - dengan keadaan yang hampir kelelahan sangat; aku merasa terbelah menjadi dua. Ada aku yang ingin pergi ke arah sana, dan ada satu lagi diriku yang ingin kembali ke jalan utama, untuk masuk ke jalan lain yang telah terlewati namun belum kutelusuri. Beribu pertimbangan muncul di benak. Aku putuskan maju ke depan. Lima langkah, aku berubah keputusan, lalu berbalik. Lima langkah lagi, aku mengubah lagi keputusan - berbalik, dan menuju arah yang kutuju sejak awal. Lima langkah lagi, balik badan lagi, lima langkah lagi, balik badan lagi, dan seterusnya... Pikirku penuh oleh abcdefghijklmnoprstuvwxyz. Aku mondar-mandir tak karuan.

Aku menertawakan diriku. Tak pernah kusangka, rupanya jauh di dalam sana ia seperti ini. Ada diri yang selalu bimbang dengan pertimbangan-pertimbangan sok logisnya, yang selama ini selalu kubungkam dalam-dalam. Di satu sisi aku tertawa, di sisi lain aku takjub bukan main. Ini kali pertama diri luarku kalah, dan yang selama ini terbungkam pun menyeruak keluar. Aku sadar betul sekian lama ini aku hidup dengan pola berhati-hati, di mana keseharian selalu penuh oleh rencana, plot dan plot, perhitungan dan pertimbangan, dan semacamnya dan semacamnya. Namun aku tak pernah mendaulat diriku sebagai pembimbang. Sungguh tak pernah. Cangkang luarku selalu strategis dalam berkeputusan praktis. Hanya memang, untuk perihal pemahaman yang lebih dalam, aku selalu berkeputusan untuk berada dalam ranah abu-abu. Sebisa mungkin tidak pernah hitam putih.

Dan bagaimana rasanya jika diri abu-abu itu yang berkuasa, ketika situasi sedang membutuhkan pertimbangan praktis si diri strategis? Maka aku hanya bisa mondar-mandir ke sana ke mari selama sekitar sepuluh menit. Ya, sepuluh menit. Aku membayangkan betapa kawan-kawan di sebelah sana akan tertawa tanpa henti jika melihatku seperti ini. Pikirku di awal, aku akan mengikuti ke mana langkah membawaku. Tapi otakku terlalu keras kepala untuk diambil alih oleh kaki. Dan begitu sebenarnya adanya: aku tak akan pernah mengizinkan kakiku melangkah tanpa otak. Keras kepala kan, kubilang.

Letih mondar-mandir, aku pun ingat. Biasanya posisi yang sungguh abu-abu ini berarti mau ke mana pun aku bulat tekad, akan sama saja hasilnya. Meski masih bimbang dalam posisi dua pilihan yang sungguh setimbang, aku mulai melangkah ke depan lagi. Ke tujuan awal. Dua puluh meter kemudian aku berhenti (lagi). Kali ini tidak berbalik badan. Aku duduk, minum seteguk air, dan bernafas dalam-dalam. Aku putuskan menunggu-mengharap motor lewat, lalu menumpang untuk kembali ke jalan utama. Aku bahagia cangkang luarku telah kembali.

Berjalan yang harfiah. Sendiri yang harfiah. Menelusuri tanah antah berantah. Tak pernah aku mengira. Berjalan sendiri menelusuri bumi di luar tubuhku. Akan mengantarku. Kembali pada. Diriku sendiri.

Dan diri itu. Masih pun begitu misteri.

I might travel the outer world, but it's within I'm aiming at.

Perhaps.
 

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b