Saturday, July 26, 2014

Bila Aku Duduk Tenang Begini


Bila aku duduk tenang begini, memori liarku mulai berjalan-jalan dengan sendirinya. Mengenang banyak hal. Hal-hal yang melintas tentulah sangat random – maka dari itu kusebut liar. Kadang aku menuju sekolahku dulu ketika sedang menarik perhatian seorang kakak kelas pujaan hati. Kadang aku tiba-tiba berada di obrolan kemarin. Kadang aku di pantai sedang bersenda gurau dengan kawan karib. Kadang aku di gunung sedang menahan dingin yang menusuk tulang. Kadang aku di kamar sedang menangis tersedu sedan. Berjuta duduk tenang berarti pula berjuta mengenang, berjuta kenangan. Namun bila dengan posisi ini, di hari ini, aku jadi mengenang yang itu.

Aku sedang duduk dalam bangunan yang hanya tersisa dua manusia di dalamnya: aku, dan satu lagi temanku yang sedang asyik menghabiskan jatah film di kamarnya. Yang lain sedang menikmati Minggu pagi di alun-alun kota, mencoba mengalahkan kicau burung dan hiruk pikuk kendaraan pagi. Tentu hari Minggu adalah perayaan kata bagi mereka. Di hari apa lagi mereka bisa sedini ini berceracau? Di hari apa lagi, sedang enam hari yang lain mereka telah diperas untuk mau berbahasa yang itu-itu juga, untuk berpikir itu-itu juga? Yang mereka lakukan saat ini sebenarnya beraroma rutinitas juga. Ceracau mereka saat ini pasti tidaklah berbeda jauh dengan ceracau mereka Minggu lalu dan kemungkinan besar akan sama nadanya dengan ceracau mereka di Minggu yang akan datang, dan Minggu-Minggu berikutnya, dan berikutnya. Namun biarlah, yang begini ini jauh lebih menyenangkan karena paling tidak aku bisa melihat para robot dapat tersenyum dan tertawa lepas. Hanya di hari ini, hari Minggu.

Aku berada di depan televisi sekarang – duduk di depan televisi mati. Dalam kos yang penghuninya berjumlah enam belas orang ini, lengangnya zona televisi adalah hal yang sangat langka, apalagi di pagi yang masih dini seperti sekarang. Biasanya ada saja yang menyalakannya – ditonton kemudian ditinggal lalu-lalang, atau ditonton sampai akhir hari menyapa. TV harus diatur pada volume yang keras, karena bila sudah berkumpul, beberapa orang lebih senang bercerita dan pada akhirnya ada pihak yang merasa harus memperbesar volume suara TV, atas dasar tak mau ketinggalan cerita program yang sedang dilihatnya. Menurut prinsip ekonomi yang masih sedikit kuanut, kesempatan seperti ini harus kugunakan sebaik-baiknya. Aku tak mau rugi tentunya. Sudah cukup aku mendengar keras suara TV yang hanya dapat merusak kebersamaan seluruh anggota kosku. Sudah, kucukupkanlah argumenku, biar kini aku berbincang saja dengan TV yang tumben-tumbennya diam ini.

Aku sendiri telah melahap sarapanku yang terdiri dari sayur jamur yang terkombinasi apik dengan hijau sawi, dan tempe goreng, tak lupa nasi putih tentunya. Protein hewani kunilai terlalu berat untuk sarapanku – berat di ongkos. Kertas bungkusnya masih terbuka di depanku, bersih tanpa sisa. Aku membelinya di warung parasmanan sebelah perempatan jalan depan. Dudukku melipat lutut, tak lurus menghadap televisi sehingga aku harus menoleh sedikit ke kiri untuk dapat menangkap bayangan kurusku. Mataku beradu dengan bayangan dalam kaca televisi. Sensasi nyaman yang diberikan oleh perut yang terisi penuh segera saja membawaku pada pikiran-pikiran santai. Hari ini memanglah hari bersantai, hari yang menyenangkan. Aku tak perlu menyalakan televisi ini, karena kali ini aku hanya akan menikmati kediamannya, sebelum teman-temanku datang. Toh juga, aku sudah pernah menjadi penganut setianya. Bila kuingat-ingat lagi, lebih dari 12 tahun aku pernah menganut sekte “Sehari Minggu Penuh Dibodohi TV”. Semua selalu kuhubungkan dengan seminggu (enam hari) penuh berkonsentrasi di sekolah yang berarti TV adalah hak penuh bagiku di hari Minggu. Tidak ada yang boleh mengganggu ritual menonton kartun kesayanganku – kecuali sarapan. Namun ini tidak berlaku ketika bapakku di rumah.

Karena berbagai alasan, sejak umurku 5 tahun bapak dan ibuku harus hidup terpisah. Ibuku di rumah, dan bapakku harus bekerja di kota yang berbeda. Awalnya bapak hanya pulang satu bulan sekali, namun ketika aku duduk di kelas 3 SD, rutinitas pulangnya menjadi dua kali lebih sering yaitu dua minggu sekali. Bapak pasti sampai di rumah di hari Jumat dan pergi lagi di hari Minggu. Hanya di hari Minggu pagi inilah kita sekeluarga dapat berkumpul sepenuhnya seluruh waktu karena kami anak-anaknya masih harus sekolah di hari Jumat dan Sabtu. Sejak saat itu aku mulai mengenal hari Minggu yang tanpa kartun. Bapak sangat tidak senang melihat anak-anaknya bermalas-malasan di depan TV, melihat sesuatu yang menurutnya tidak penting. Menurut bapak TV itu membuat bodoh. Argumen seminggu berkonsentrasi di sekolahku pun habis tak bersisa di depan bapak. Kami harus mematikan TV di minggu pagi. Tak terkecuali ibu dan bapak sendiri, titik.

Bapak selalu berkutat di kebun. Di suatu Minggu pagi saat pulang, bapak mengerahkan seluruh anggota keluarga untuk membersihkan kebun salak yang baru saja dibeli. Luasnya sekitar dua kali luas lapangan bulu tangkis. Letaknya tepat di depan rumah kami. Selalu ada imbalan yang bapak beri setelah kami lelah bekerja, jadi kami dengan girang melakukan semua tugas yang diberikan bapak. Waktu itu aku masih duduk di kelas 4 SD. Tugasku menyapu tanah kebun yang kotornya minta ampun. Aku dibantu oleh salah satu kakakku. Yang lain melakukan pekerjaan yang lebih serius: membenahi pagar, memotong dahan-dahan, dan lain-lainnya. Ibu pun turut serta. Bapak dengan gagahnya mengomando kami semua untuk bekerja.

Di suatu Minggu yang lain, aku telah menjadi teman setia bapak dalam berkebun. Tugas utamaku masih menyapu. Tugas sampinganku mencari bunga salak jantan untuk diserbukkan ke bunga betina yang sudah mekar. Bila aku dapat banyak bunga jantan, aku akan diberi banyak bonus. Bonus adalah sesuatu yang kuidam-idamkan ketika bapak pulang. Arti bapak bagiku mulai berubah sejak saat itu: bapak berarti bonus dan itu berarti aku dapat menabung lebih. Aku mulai senang ketika bapak pulang walau itu berarti kartunku hilang.

Namun pernah juga aku dibikin sangat sedih, hingga rasanya kepala ingin meledak. Siang itu adalah Minggu siang ketika bapak sudah bersiap meninggalkan rumah lagi. Seperti biasa, kami berkumpul untuk makan bersama. Ibu, bapak, aku dan ketiga kakakku, juga satu sepupuku membentuk lingkaran kecil. Setelah bapak selesai makan, ia berpamitan. Momen seperti ini biasanya berarti uang saku, momen yang kutunggu-tunggu. Bapak memanggil kakak pertamaku. Ternyata bukan uang yang diberinya, namun oleh-oleh dari tugas bapak ke luar kota. Kakakku itu mendapat baju. Masku yang merupakan anak kedua mendapat celana pendek. Kakak ketigaku mendapat kaos bermain. Sepupuku pun mendapat celana. Aku menunggu namaku disebut. Belum juga aku dipanggil untuk diberi oleh-oleh. Ketika bapak mengucap salam meninggalkan rumah pun belum ada kudengar namaku. Aku bingung dalam diam. Mukaku pasti sudah merah padam waktu itu. Kutengok ibuku, berharap jatahku berada di tangannya. Tak ada reaksi. Pupus sudah. Harap terlalu tinggi. Aku pergi ke kamar, meledakkan tangisku dalam diam. Tak seorang pun tahu. Tahu pun semuanya diam, pura-pura tidak tahu, karena aku hanyalah seonggok daging berumur 12 tahun yang dipanggil “Dek” oleh mereka. Tak penting mempermasalahkan tangisku.

Kupikir dendamku akan menjadi kesumat karena peristiwa itu. Ternyata tidak. Di masa SMP, aku masih menjadi partner kesayangan bapak untuk menyapu kebun, menjadi satu-satunya partner bahkan. Tentulah aku yang paling bisa membantu karena kakak-kakakku sudah mulai keluar rumah. Dua kakakku sudah kuliah di kota lain, sedang satu lagi kakakku yang masih SMA sedang sangat sibuk dengan kegiatannya, sepupuku sudah diboyong bapak ke kota tempat bapak bekerja agar bapak ada temannya. Minggu tanpa kartunku berakhir dengan bonus tunggal, untukku seorang.


*

Minggu bapakku semakin sepi kala aku SMA. Aku satu-satunya anak yang masih tersisa menemaninya kala pulang. Di masa ini aku sudah berani curi-curi kesempatan untuk tidak menjadi partner berkebun bapak. Aku mulai mbeling dan kadang berani kembali menjadi budak kartun kala bapak sedang di kebun. Alibiku sangat pintar, atas nama sangat lelah telah berlatih Paskibra, ekstra kurikuler yang kuikuti di SMA, di hari sebelumnya. Kadang bapak menyerah dengan alibiku waktu itu, namun seringnya aku harus dengan dongkol hati menemani bapak ke kebun. Diriku waktu itu sedang dalam masa pembangkangan, membangkang semua yang dikatakan bapak. Ibuku yang cenderung demokratis bukan merupakan pihak yang kutentang – malah sebaliknya, aku sering memanipulasinya untuk membelaku di depan bapak. Bila kubayangkan pasti saat itu bapakku selalu mengelus dada ketika menghadapi putri terakhirnya mulai tidak menuruti kata-katanya.

Ketika aku kelas dua, ibuku dengan bijak mendamaikanku dengan bapak. Kurasa bapak yang menginginkan perdamaian ini – pastilah bukan aku karena aku adalah pihak yang tak waras. Jalan yang dipilih ibuku sangat-sangat tak kentara, sangat halus. Ibu menyuruhku mengirim makanan menyusul bapak di kebun. Kebun yang kumaksud bukan lagi kebun depan rumah. Sudah ada satu lagi kebun salak sekitar 300 meter jauhnya dari rumah. Kebun baru ini berada di areal kuburan, hanya dibatasi oleh jalan selebar lima langkah dari kumpulan batu nisan. Aku naik sepeda mengantar makanan untuk bapak. Awalnya kuantar saja lalu kutinggal pergi. Tega sekali, bukan? Ya, pada awalnya memang demikian, namun berikutnya kebiasaan ini berubah. Aku mulai mau ikut bapak jalan kaki ke kebun dan membawa bekal dari rumah. Awalnya hanya satu jam saja aku bisa menemani bapak, setelahnya aku merengek minta pulang. Pol-polnya sampai satu setengah jam. Namun di perjumpaan-perjumpaan berikutnya aku bisa tuntas melaksanakan tugas. Aku bersama bapak lagi. Menjadi patner berkebun terbaik bapak lagi.

Di suatu hari Minggu pagi yang lain, kala aku duduk di kelas tiga SMA, bapak mulai berbicara serius denganku. Kami sedang berada di kebun dekat kuburan, tanpa bekal karena bapak hanya ingin menengok kebun ini sebentar saja. Bapak memang selalu serius bila bicara, namun kami sangat jarang mengobrol tentang diriku. Bapak biasa mencurahkan hati padaku tentang kondisi anak-anaknya yang lain – kondisi kakak-kakakku. Ia biasa menginspirasiku dengan bercerita tentang yang lain. Bapak tak pernah membahas hal-hal yang remeh temeh semisal aktivitasku di sekolah. Satu jawaban sudah cukup bagi bapak. Bila bagus ia diam, bila mulai mengkhawatirkan ia akan berpendapat. Bapak pun membuka pembicaraan tentang jenjang sekolahku. Aku hampir lulus SMA. Aku berada di gerbang lagi. Bapak menyarankan beberapa ide. Namun kali itu harus kutolak semua opsi bapak. Aku ingin jalanku sendiri. Bapak tentu tak setuju dengan pilihanku. Kami pulang dari kebun tanpa kata terucap. Dua dari kami sedang ingin berperang dingin.

Ibu tetap menjadi pencairnya. Kali itu ibu seperti meminta hak penuh untuk “memegang”-ku karena setelah perang dingin yang tak begitu membekukan itu, ibuku berperan penuh dalam penentuan pilihan jurusan hingga berhasilnya aku masuk ke salah satu universitas terbaik dalam negeri. Bapak hanya tersenyum dengan hasil kinerja ibu. Entah senyum puas atau senyum prihatin, karena walaupun universitasnya bagus, jurusan yang kuambil bukanlah area yang disukai bapak – bahkan merupakan jalur yang sangat diwanti-wanti bapak untuk tidak diambil.


*

Hari Mingguku di masa kuliah seringnya sudah tanpa bapak, dan tanpa kartun. Tanpa bapak karena aku waktu itu sudah kuliah di kota lain sehingga tak bisa lagi mendapati kepulangan bapak. Tanpa kartun karena aku sudah bukan penganut sekte “Sehari Minggu Penuh Dibodohi TV”. Aku punya hal baru yang membodohiku. Minggu tak lagi menyatukanku dengan bapakku. Bapak dan ibu sama-sama jauh, sejauh diriku dengan saudara-saudaraku yang lain. Hubungan kami hanya via sms atau telepon, berkumpul bila Hari Raya, atau bila ada acara yang mengharuskan kami berkumpul. Namun bila libur semester aku menyempatkan pulang barang beberapa hari, kutepatkan dengan hari kepulangan bapak, hingga aku dapat mengulang ritual hari Minggu seperti yang dulu.

Kebun dekat kuburan sudah bukan lagi kebun salak seperti pada awalnya. Bapak membongkar semua pohon salak, dan menggantinya dengan, percaya atau tidak: durian. Obsesi bapak terhadap durian memang sangat tinggi. Bahasan durian di mata bapak tidak hanya bahasan buah enak, namun juga tentang filosofi tanam-menanam durian. Bila ditanya mengapa menanam durian, bapak selalu menjawab untuk persiapan jenjang magisterku kelak. Sungguh betapa alibi.

Pada suatu libur semester, aku memutuskan untuk menghabiskan dua bulan penuh liburanku di rumah. Hari aktif berarti berleha-leha di rumah jadi budak TV, dan akhir minggu bila bapak pulang berarti menjadi partner berkebunnya. Saat itu sekitar 3 kali aku mendapati kepulangan bapak: 3 kali hari Minggu.

Kepulangan pertama, pembicaraan kebun kami lebih serius dan intens daripada pembicaraan berbulan-bulan yang lalu – tentu bukan mengenai persoalanku. Bapak bercerita dan minta pendapat, tentang masalah yang menurutnya mulai menggerogoti ketenangannya. Aku hanya dapat menimpali sebisaku karena tahu apa lah diri ini di kala umur masih berkepala satu. Saat itu aku lebih menjadi semacam pendengar setia yang usil daripada partner berkebun, karena yang kulakukan hanyalah ada untuk bapak: mendengar dan memberikan celetukan-celetukan – berharap semoga bapak dapat tersenyum atasnya, melupakan sejenak masalah tersebut. Aku mulai berat melepas pamitan bapak di hari Minggu siang.

Di hari Minggu terakhir atas liburanku di rumah, ibu dan bapakku berargumen panas. Ada aku dan kakak pertamaku di sana. Kami hadir sebagai penengah. Mereka tengah membicarakan rencana pernikahan kakak ketigaku. Wajah kami tegang semua. Ibu mengeluarkan air mata emosi dan bergegas ke dapur. Bapak pun terdiam seribu bahasa, memendam apa aku pun tak tahu. Aku menyusul ibuku, merayunya agar mau menerima ide bapak, atas nama kebahagiaan bapak. Aku membujuk ibuku dengan bukti tekanan yang beberapa bulan terakhir menyerang bapak. Melunaklah hati ibu dan putusan pun akhirnya dibuat. Bulan depannya kakak ketigaku akan menikah.

*

Wajah bapak sedikit kaku dan terlihat tidak santai sama sekali di hari Minggu ini, ketika menantu barunya mencoba membaur dalam lingkaran kecil keluarga inti kami. Kakakku sudah menikah kemarin dan kami sekeluarga melihat senyum puas bapak mengembang kala kata “syah” diucapkan di ruang tamu. Bapakku bahagia sekali. Namun itu sudah lewat. Kini adalah hari Minggu, dan bapakku harus pergi lagi. Aku harus sekali lagi melihat punggungnya pergi mengecil lalu hilang di kejauhan. Kami tak akan berjumpa lagi untuk beberapa waktu. Aku harus kembali kuliah. Dan hari Minggu lain yang menyatukan kami masihlah merupakan sebuah misteri.

*

Namun aku tak menyangka misteri itu adalah hari Minggu ini, 5 minggu setelah hari Minggu terakhir kami bertemu. Kami berkumpul, namun tidak berdiskusi di kebun atau sedang asyik mengobrol di ruang makan. Aku, bapak, dan ibu berada di ruangan asing. Ada dua tempat tidur di sana. Bapakku terbaring di salah satunya yang paling dekat dengan pintu keluar. Alat bantu pernafasan, alat bantu makan, dan infus sudah lengkap menghiasi penampilan bapak. Dari balik bajunya keluar kabel-kabel yang disambungkan dengan monitor berisi informasi tekanan darah, jumlah oksigen dalam paru-paru, dan juga diagram pulsa jantung. Bapakku terkena stroke. Dua hari lalu bapak jatuh di kamar mandi setelah menghabiskan takjilnya. Aku tak bisa lagi berbincang dengan bapak. Aku mencoba menyapa namun tak kudengar ada balasan. Hanya mata bapak yang mencoba berbicara. Bapak menatap mataku lekat-lekat, mata putri bungsunya. Aku tersenyum dan kembali menyapa, mencoba tetap tegar mengucap kata, karna diam berarti mengiris-iris hati kami berdua, atau malah bertiga, karena ibu ada di sebelahku.

Yang kutahu itulah hari Minggu terakhirku dengan bapak. Itulah pandangan mata terakhir bapak untukku. Pandangan mata yang menembus jiwaku. Bapak meninggal di sekitaran Maghrib keesokan harinya, setelah seharian dinyatakan koma. Tak ada lagi diskusi hari Minggu ala bapak-anak di kebun durian. Tak ada lagi punggung yang semakin kulihat semakin kecil menghilang. Tak ada lagi senyum khas yang merespon celetukan-celetukanku.

Sejak saat itu hari Mingguku mulai menjadi hari yang standar. Tak banyak hal spesial yang terjadi. Tak ada rutinitas unik yang berbeda dari rutinitas orang kebanyakan. Dan kali ini aku memilih bermalas-malasan saja membaca apa yang ada, selain itu tentu aku sudah mengenang, mengenang bapakku.

Kulihat kembali bayanganku di kaca televisi yang masih mati. Tak terasa mataku sudah basah sedari tadi. Kuseka sisa-sisanya dan kuteguk air yang ada di sebelahku. Aku beranjak membereskan sampah sarapanku dan membuangnya. Duduk tenang memanglah senang, namun bila terkenang sangat mungkin hati akan jadi bimbang.

Pare, awal Mei 2012.
Ditampilkan di sini untuk mengenang kematian bapak, dua hari sebelum Iedul Fitri enam tahun yang lalu. Mohon Al-Fatihahnya ya.. :)

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b