Arcopodo – Mahameru – Arcopodo,
(sedikit) 26 & 27 Desember 2011
Alarm hand
phone-ku berbunyi. Semua milik anggota bahkan. Kurang beberapa menit
sebelum tengah malam. Tidurku tak begitu nyenyak, karena begitulah tidur di
tengah-tengah alam. Diam-diam aku merindu camp
konsentrasi Kumbolo. Dengan enggan aku segera bangun memenuhi panggilan
komandan.
Nasi dan abon segera disajikan. Air juga dimasak,
diminum hangat-hangat, dan disimpan sebagai bekal berbentuk teh dalam termos
mini milik Kimreng. Perbekalan disiapkan dalam tas Galdi yang paling kecil
(semua ini dilakukan di dalam tenda, dengan duduk, atau merunduk). Hujan hanya
bersisa rintik. Tapi aku dapat mendengar suara angin dari kejauhan. Rasanya
cukup memilukan, dan karenanya mencekam. Tapi tekad sudah bulat. Setelah
sarapan super dini, kami bergegas melakukan serangan puncak: Menyerang
Mahameru.
Tim kami adalah tim Arcopodo pertama yang berangkat,
seperti halnya kami adalah tim pertama yang dapat kapling tadi sore. Kami
sempat melihat satu tim sedang bersiap, yaitu tenda yang sejak tadi “mengaji”.
Memang ada satu tenda yang selalu memutar ayat Al-Qur’an. Aku mendengarnya
samar-samar saat tidur tak begitu nyenyak tadi. Kami rasa mas-mas di sana
adalah akhi-akhi. Bukan pun tak
masalah tentunya, lumayan bisa jadi bahan perbincangan.
Tentu kami sangat prima memulai perjalanan tengah
malam ini. Kantong penuh terisi, kaki yang tak begitu terseok-seok karena
bagiku sendiri perjalanan kemarin tak begitu
berat, dan istirahat yang lumayan cukup, walau kurang nyenyak. Karena
keyakinanku ini, aku bertaruh secara sepihak dengan Gusti, taruhan yang sungguh
sombong. Biasanya taruhan seperti ini manjur untuk urusan yang genting-genting,
seperti yang telah banyak orang alami. Aku merasa sungguh dekat dengan Mahameru,
dan karenanya aku merasa dekat dengan apa yang kucita-citakan. Untuknya, aku
bertaruh dengan Tuhan: aku akan dapat cita-citaku bila aku berhasil meraih
Mahameru. Nah, sombong sekali.
Akhirnya masing-masing kami siap dalam posisi,
lengkap dengan senter dan bekal. Seperti biasa, urutannya adalah Galdi-aku-Ucup-Kimreng.
Galdi menjadi orang pertama yang membawa ransel berisi perbekalan dan
macam-macam hal lainnya. Rintik hujan kembali menjadi besar ketika kami
melewati in memoriam untuk beberapa
pendaki yang meninggal di Semeru. Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku,
karena dengan sangat bodoh mengira in
memoriam adalah serupa kuburan. Ini reproduksi dari ingatan pertama in memoriam di Sumbing. Entahlah, yang
pasti walau hujan mulai deras, kami tak berkeputusan membuka jas hujan. Aku
sendiri yakin jaket biru masku bisa menahan air. Ah, sebenarnya tidak demikian. Sebenarnya aku sedang sok tahu mengira hujan sebentar lagi
akan sirna. Aku berharap demikian.
Setelah mengucap do’a barang sebentar (entah mengapa
kami melakukan ini – karena takut atau karena menghormati atau karena kombinasi
keduanya), perjalanan berlanjut. Kesadaran masih penuh. Tekad masih komplet.
Hujan kembali menjadi rintik. Aku lega, walau angin di atas masih terdengar
ngilu di hati.
Lalu batas vegetasi terlewati. Hujan kembali
mengguyur. Angin kencang mulai menampakkan diri. Di sini tak ada lagi hutan. Sekecil
pun pohon tak dapat lagi ditemukan. Bahkan rumput pun tak dapat kulihat. Kami
akhirnya berada pada jalur pasir Semeru. Jalur yang terkenal itu. Jalur yang
banyak menguji keteguhan hati para pendaki: melangkah satu berarti mundur
setengah. Kondisi yang mengharuskan semua orang berstamina super, karena
berarti tenaga ganda harus dikeluarkan.
Dalam jalur yang tanpa vegetasi seperti ini, aku
dapat rasai angin dengan bebasnya mulai menggerayangi tubuhku. Ia berkombinasi
dengan rintik hujan yang mulai menjadi besar. Kaki kami menapaki pepasiran
terjal itu: satu melangkah, melorot separuh; satu melangkah, bertahan; satu
melangkah, turun sepenuhnya; dan seterusnya. Kemampuan pandang dengan senter hanya
beberapa meter ke depan, sisanya hanyalah kegelapan. Kami tak tahu seperti apa
gambaran utuh jalur ini; seperti apa pemandangan lanskap
kiri-kanan-depan-belakang kami. Kami hanya tahu ia terjal berpasir tanpa satu
pun tumbuhan, ia sedang sangat berangin, guyuran hujannya mulai membasahi kami
tanpa ampun, ia sedang dipenuhi kabut, dan karenanya menyempurnakan dinginnya gelap
ketinggian.
Hujan menjadi semakin tak bersahabat. Sarung
tanganku telah basah. Juga kurasakan air mulai merembes ke bajuku. Hal yang
sama sepertinya dirasakan oleh yang lain. Kami berhenti dan segera memakai jas
hujan. Hanya Kimreng yang tidak: mungkin karena jaketnya benar-benar anti air.
Juga kami beristirahat sebentar. Jalur pasir ini mulai menguji stamina. Tapi
semangat tentu masih menggema.
Φ
Galdi mulai merasa tak nyaman dan kerepotan menjadi
orang di depan. Ia terlihat mulai kepayahan. Beberapa kali kami berhenti
menunggu keputusan langkah yang diambilnya. Aku sendiri tak memiliki keahlian
memilih jalur yang lebih mudah. Tapi kurasa jalur ini benar-benar “membunuh”,
karena memilih manapun adalah sama jua: sama-sama susah dilalui. Kebingungan
hanya merusuhi sebuah tekad yang melekat di benak. Tempo menjadi begitu lambat.
Kiranya walau telah memakai jas hujan (kecuali Kimreng), badan kami tetap basah
kuyup, badan Ucup tak terkecuali. Kondisi Galdi yang mulai “linglung” bisa jadi
merupakan akibat kelelahan karena atribut pendakiannya yang seadanya.
Bayangkan, Galdi hanya memakai sandal selop (catatan: bukan sandal gunung)
berbalut kaos kaki, yang tentu saja tak akan kuasa menghindarkan kakinya dari
siksa hawa beku. Lebih dari itu, properti semacam itu sungguh tak nyaman untuk
mendaki medan seperti ini. Tapi yang merasakan Galdi sendiri, sih..
Aku sendiri mulai frustasi, karena langkahku sering
kandas melorot sepenuhnya. Kedua tanganku yang turut merayap pun percuma. Aku
mendengar suara datang dari belakang. Seorang lelaki dengan gesit menyalip kami
– kemungkinan besar mas pembaca murattal.
Terlihat begitu takluknya medan berpasir ini padanya. Langkah demi langkahnya
efektif dengan persentase melorot yang tak signifikan. Ia tak berjas hujan, dan
walau demikian hujan dan angin tak menghentikannya. Kurasa jaket dan celananya
pasti berbahan anti air yang terbaik. Melihat ia menyalip kami dengan mudahnya,
aku seakan mendapat suntikan semangat, mendapat dewa penyelamat. Ah, tidak hanya aku, teman-temanku juga.
Bagiku lelaki barusan berhasil menunjukkan jalan yang mudah bagi kami. Aku
mencoba mengikuti jejak kakinya. Tapi tetap tidak semudah itu. Langkahku masih
tetap saja tergelincir dan tergelincir. Rupanya jalur ini mudah bagi siapa, dan
tak mudah bagi siapa. Levelku, level sandalku, sungguh berbeda dari lelaki
barusan.
Lalu ganti teman setim laki-laki tersebut unjuk
gigi. Tak segesit seperti yang pertama memang, tapi akhirnya ia melewati kami
juga. Dalam usaha kami mengikuti tapak kaki kedua lelaki penyalip itu, kami
menjadi terengah-engah. Galdi mundur tak dapat meneruskan tugas membuka
langkah. Aku tak mungkin menggantikan posisinya. Kami diam sejenak, Ucup pun
tak bersedia. Dua lelaki sudah hilang dalam gelap kabut malam yang membekukan.
Kimreng kemudian hadir mengganti posisi Galdi.
Pergantian formasi rupanya tidak berarti meneruskan
apa yang telah kami lakukan: bersama-sama mendaki walau dalam kelambatan. Kimreng
mewartakan akan ke atas terlebih dahulu, mencobai jalur mana yang lebih mudah
dilalui. Hamparan pasir tanpa tambatan menjulang entah sampai mana. Aku mulai
putus asa karena merasa sudah terlampau lama berjalan yang sama, namun tak
mendapat berita baik barang berupa puncak, atau barang berupa cuaca yang segera
menjadi bersahabat. Energi dari nasi sudah mulai mencair, dan kini aku
menyaksikan rombonganku berjalan terpecah. Galdi-aku-Ucup berjalan bersama,
dengan sesekali mengamati pergerakan Kimreng yang mulai hilang dari pandangan,
ditelan gelap si hitam malam. Entah kenapa aku jadi sedikit risau.
Aku tak tahu sudah jam berapa sekarang. Jam tanganku
mati karena kedinginan. Aku juga heran, ia anti air tapi selalu KO bila dengan
minusnya suhu. Karena ketidak-tahuan, pikiranku jadi ke mana-mana. Kami (Galdi-aku-Ucup)
kelihatan sangat payah. Kembali beberapa langkahku gagal. Aku tak bisa melihat
di mana Kimreng berada. Kata Galdi mungkin sudah di atas (pastinya begitu).
Kabut masih buram menyelimuti, seperti halnya gelap. Hujan masih menyerang dan
angin masih kerap mencekam. Dingin semakin menusuk dan semakin membekukan.
Sumber kehangatan barangkali hanyalah sisa-sisa semangat yang ada, dan bergerak
itu sendiri tentunya.
Lalu aku mendengar suara. Kimreng memanggil Galdi
untuk pergi ke arahnya. Suara itu terdengar dekat, mungkin hanya beberapa
langkah ke atas saja dari posisi kami. Tapi aku tak dapat melihat di mana
Kimreng berada. Galdi tak menyahut, mengira hanya sebuah panggilan lalu.
Kimreng mengulang panggilannya dengan nada berbeda. Sebuah panggilan janggal.
Segera kusuruh Galdi merespons perkataan Kimreng. Panggilan itu menjadi semakin
ganjil ketika Kimreng menyempurnakan permintaannya. Kali ini ia tidak hanya
memanggil Galdi, tapi juga aku dan Ucup – kami semua, untuk turut beristirahat
sebentar di tempatnya kini berada.
Segera kami bergegas ke arahnya, dan akhirnya dapat
kulihat wujudnya: duduk di atara kontur jalur yang melekuk seadanya, mencoba
berlindung dari godaan angin dingin. Kejanggalan itu terbukti. Ia mengeluh pada
Galdi, perutnya kram. Kimreng mengaduh sembari memegangi perutnya. Matanya
mengerjap menahan sakit. Aku terdiam, bingung melihat Kimreng. Aku juga bingung
karena tak pernah punya referensi kram perut dalam sejarahku. Tapi dari ekspresinya
aku tahu kram perut itu cukup ampuh membuat seseorang segera berhenti
beraktivitas.
Teh lalu dikeluarkan, karena ia satu-satunya
kemungkinan yang cepat membuat tenang perut Kimreng. Tehnya sendiri sudah tidak
panas, bahkan hangat pun hampir lenyap. Aku lalu menyarankan minum tolak angin
yang juga termasuk bekal kami. Kimreng terlihat mencoba terkekeh atas ideku
(sebelum kemudian ia ingat ia sedang kesakitan). Baiklah, aku murni tak tahu
harus bagaimana, karena mencoba mencari glukosa praktis yang dapat
membangkitkan energi tubuh secara cepat pun percuma. Cokelat sudah habis kami
makan siang tadi. Permen masih ada, tapi ia tak signifikan. Akhirnya cemilan
seadanya dikeluarkan walau jauh dari tugas mem-boost energi. Hujan yang tak juga berhenti membuat semuanya semakin
rumit.
Seluruh tim tampak kebingungan, Ucup utamanya. Galdi
terlihat menyempatkan membenarkan kondisinya sendiri yang hampir basah kuyup.
Minyak kayu putih menjadi treatment
selanjutnya, dioleskan ke tubuh Kimreng. Kiranya Kimreng basah paling parah
karena perlindungannya hanya jaket yang kini mulai kuragukan kemampuan
tahan-airnya. Beberapa kali ia meraung kesakitan. Minum-makanan-olesan rupanya
tak mempan. Ia lalu meminta Galdi dan Ucup turut berbaring bersamanya,
mendekapnya erat. Suhu tubuhnya pasti telah turun, bisa jadi sangat drastis,
dan karenanya berpelukan akan menghangatkan dan mengembalikan suhu tubuh
normalnya. Dingin yang bebal ini sungguh mematikan. Aku semakin tak tahu harus
berbuat apa. Sudah kiri-kananku hanyalah buram kabut gelap, kini giliran
perbedaan gender yang membuat semakin rumit.
Galdi dan Ucup segera berbaring memeluk Kimreng
erat-erat, melindunginya dari segala sumber dingin, memberinya selimut
kebersamaan. Aku duduk dekat kepala mereka, tentu tak dapat turut serta
berpelukan (walau ingin). Kini kami berhenti total dari berjalan. Aku merasai
hujan masih menampar-nampar mukaku, angin masih menggoyang-goyang jas hujanku,
dan malam di sekitar masih buram tertutup kabut yang semakin kelam. Kondisi
yang benar-benar mencekam. Kimreng tak lagi terdengar bersuara. Dua lainnya
berusaha menyempurnakan perlindungannya dengan memastikan posisi jas hujan
telah menutupi Kimreng tanpa celah.
Aku terdiam dengan kecamuk dalam pikiran. Beragam
doa kuucap pada Tuhan. Mengingat-Nya, aku lalu membodoh-bodohkan diriku. Ini
semua salahku karena telah mempertaruhkan tim dalam urusan kesombonganku. Air
mataku mengalir, menyesal karena dengan ceroboh telah membuat tim berada dalam
bahaya. Aku pun berbicara dengan yang kuanggap Tuhan, memohon agar menangguhkan
permainan yang telah kubuat. Aku meminta maaf pada-Nya. Permainan selesai.
Permainan telah usai.
Dingin semakin menjadi bebal. Telapak tangan dan
kakiku mulai kurasa menebal, dan sarafnya menjadi tumpul: kurang bisa
mengindera kecuali kebengkakan itu sendiri. Gigiku mulai saling bergelatuk.
Badanku menggigil kedinginan. Hujan masih intens turunnya, kadang menjadi
lebat, kadang menjadi rintik, sedang angin tak pernah absen barang sedetik pun.
Senter-senter mulai berdatangan dari bawah, dari rombongan
lain yang juga mencoba meraih Mahameru. Beberapa pendaki melewati kami,
terlihat juga mengalami kesulitan seperti yang tadi kami alami. Dalam tubuh
yang kedinginan total, aku memperhatikan lalu-lalang mereka. Di antaranya
terlihat kaget karena melihat tumpukan manusia di bawahku. Dari kesekian itu,
tak ada yang berusaha bertanya apa yang sedang terjadi pada rombongan kami. Pikiranku
kembali berkecamuk. Hujan dan dingin tiada berhenti menyerang walau fajar
sebentar lagi datang. Mana itu fajar yang sering dielu-elukan sebagai harapan?
Kini ia tak lebih dari pepatah yang kehilangan maknanya. Kondisi hatiku makin
terpuruk menyadari kenyataan ini. Aku bahkan telah melakukan pengakuan dosa
pada Tuhan, tak juga terlihat Ia menghiraukan.
Benakku kembali melayang-layang, mengingat pesan
penjaga base camp tentang pesan
kematian. Bahwa yang memaksakan kehendak yang seringnya meninggal di Semeru.
Bahwa suhu dingin yang lebih sering merenggut nyawa. Bayangan Kimreng menjadi
korban memenuhi pikiranku. Aku melihat tubuhnya terbujur, awalnya melemas namun
sudah tak bersisa denyut jantungnya. Kami dirundung duka yang sangat dalam.
Tubuhnya sudah kaku ketika akhirnya tim SAR datang dengan tandunya. Ia diangkat
hingga base camp, diperiksa dokter
yang dapat ditemukan di Tumpang untuk laporan pertanggung-jawaban kepada polisi
dan kemungkinan koran lokal, sebelum kemudian dikembalikan ke rumahnya. Aku
menyaksikan ibunya terisak-isak melihat putra kesayangannya terbujur kaku,
menyalahkan Tuhan karena ketidakadilan ini. Aku melihat Kimreng dikuburkan, dan
ini akan menghantui hari-hariku selanjutnya, selama hidupku. Kembali tangisku
melumer bersama percikkan hujan, menolak bayangan yang kuciptakan sendiri.
Segala doa dan mantra kukerahkan untuk merayu Tuhan. Jangan. Jangan. Jangan. Jangan ambil nyawa Kimreng… kataku dalam
hati.
Φ
Langit mulai meninggalkan gelap. Hujan dan kabut
bersama menyeruak dalam putih yang dingin. Aku mulai dapat melihat wajah
pendaki lain tanpa harus mengarahkan senter pada mereka. Tiga kawanku juga dapat
kulihat dengan jelas. Kimreng terlihat tenang. Ucup memberi isyarat ia masih
bernafas, dan kelihatan sedang tertidur. Fajar telah tiba, tapi beku tetap
menyergap. Hangat tubuhku sendiri semakin menguap.
Aku juga dapat melihat banyak pendaki – banyak sekali
– yang mulai menyerah: berjalan kembali ke bawah. Beberapa melanjutkan dengan
penuh keluhan, beberapa sempat duduk di sebelah kami, mengira kami juga sedang sebentar
beristirahat seperti mereka. Seorang pria yang lebih tua sedikit dariku
mengamati kami. Ketika ia lewat ia melihat wajahku. Ia kemudian tersenyum
singkat dan berkata padaku, “badai pasti berlalu, Mbak”. Aku tersenyum dan
merasa trenyuh: akhirnya ada yang
mengerti apa yang sedang kami alami.
Beberapa pendaki masih melewati kami. Beberapa di
antaranya menyerah, beberapa di antaranya masih kusut berjalan. Yang membuatku
heran di antaranya adalah bagaimana mereka tidak berjalan dalam satu rombongan
penuh. Mereka terpisah-pisah menjadi berdua, bertiga, dan bahkan sendirian. Aku
heran sekali melihat mereka yang sendirian berjuang menuju puncak. Dalam
tradisi ELMC, walau ada, yang begini tidak dianjurkan. Di antara pikiranku ini,
Kimreng tiba-tiba saja sudah bangkit, seperti habis tak terjadi apa-apa. Ia
bangkit dengan tubuh yang semacam telah pulih.
Sepertinya treatment selimut
kebersamaan sangat signifikan untuk meredakan kram perutnya. Aku sungguh lega.
Φ
Walau hari semakin putih, matahari tak juga
menampakkan dirinya untuk mencairkan segala rupa kebekuan ini. Badanku masih
saja menggigil karena diam dalam dingin. Kini giliran tubuhku yang membutuhkan
kehangatan. Aku harus segera bergerak untuk meraih titik hangat itu lagi.
Pilihannya hanya dua: kembali turun atau bergegas naik. Ucup kemudian membuka
diskusi. Kini aku menjadi tak kuasa melihat wajahnya. Kimreng sudah berwajah
cerah, Galdi masih terlihat baik-baik saja, tapi Ucup tampak sangat lelah.
Khawatirku segera merembet kembali. Tapi yang pasti bergerak harus segera
dilakukan. Kami harus menghangatkan diri kami kembali.
Entah seberapa parah bentuk wajahku kini, karena
baik Ucup dan Kimreng seperti khawatir aku tak dapat lagi melanjutkan
perjalanan. Bullshit. Di antara dua
pilihan bergerak yang sudah kurumuskan, tentu aku tak mau tak berpikir logis.
Aku tak mau menyesal, Mahameru tetap harus kami raih. Pun bergerak ke atas kami
tetap akan selamat, karena dengannya kami masih berjalan. Aku menyampaikan
keyakinanku, namun menjadi sedikit khawatir jangan-jangan malah teman-temanku
yang sudah ingin menyerah dan diam-diam mendambakan tenda dengan suhu yang
lebih hangat. Ucup dan Galdi jelas terlihat hampir kandas keoptimisannya.
Akhirnya aku lega ketika ternyata semangat mereka sama membaranya dengan
semangatku. Ah, wajah seringnya memang menipu. Ucup bahkan tak keberatan ganti
membawa ransel perbekalan kami. Hatiku tersenyum. Aku akan segera mendapat
kehangatan lagi.
Φ
Memulai perjalanan sungguh sangat sulit. Aku
terengah-engah dalam hanya beberapa langkah. Tapi dapat kurasakan hangat mulai
merayap di sekujur tubuhku. Badan yang mulai hangat disambut secercah sinar
mentari putih yang menembus rintik hujan (yang herannya masih saja ada). Aku
dan Galdi bersorak-sorai, berusaha segera mencapai sinar tersebut sebagai
sumber kehangatan. Akhirnya matahari itu menampakkan diri!! Optimismeku semakin
menggebu. Langkah demi langkah, walau sering kembali ke posisi semula, tidak
terasa sesulit tadi. Pendaki lain sudah mulai turun, sedang setelah kami tak
lagi ada pendaki lain yang naik. Kami harus segera sampai dan pergi di dan dari
Mahameru sebelum aktivitas paginya dimulai. Pukul tujuh sudah dinilai terlalu
siang. Jamku mati. Aku tak tahu ini jam berapa.
Kiranya bergerak itulah yang menjadi penting. Aku
ingat aku telalu tergesa ketika memulai perjalanan menyerang puncak tadi, dan
terlalu yakin seluruh badanku sanggup “menaklukkan” jalurnya seperti halnya
diriku menghadapi jalur Kumbolo-Kali Mati-Arcopodo kemarin. Aku benar-benar
terlalu sombong dan melupakan sebuah inti mendaki: berjalan. Kini berjalan di
jalur “suram” ini menjadi semacam tujuan untuk menghangatkan badan, untuk
kehidupan, bukan semata untuk meraih Mahameru. Mahameru adalah bonus, bilapun
nanti kami dapat mencapainya. Namun proses berjalan itu sendiri sudahlah merupakan
sebuah hasil. Maka aku hanya harus terus berjalan – demi membentuk proses
tersebut. Hangat dan semangat kini menyeruak kurasa.
Kami kembali berpapasan dengan pria yang tadi
menyemangatiku dengan kalimat “badai pasti berlalu”. Ia kini sedang berjalan turun. Diberinya
semangat (lagi) pada kami (-ku?) untuk tetap berjalan, karena Mahameru tinggal
sepenggal lagi. Walau mengucap terima kasih, aku sebenarnya tak menghiraukannya,
karena aku sudah menetapkan hanya ingin berjalan saja. Setelah berpisah dan
melanjutkan perjalanan masing-masing, omongan mas tadi terbukti. Lima belas
menit kemudian kami akhirnya menapakkan kaki di titik tertinggi di pulau Jawa.
Φ
Hanya tingal dua pendaki lain tersisa, yang terlihat
segera meninggalkan Mahameru. Kami cepat saja karena tak bijak bila berhenti
lama-lama di sini. Pertama karena ancaman aktivitas pagi semeru. Kedua yang
paling krusial, walaupun hujan mulai reda, berhenti lama-lama (lagi) hanya akan
membawa petaka. Telapak tangan dan kakiku masih kurasa begitu bengkak. Aku tak
mau mereka jadi beku betulan.
Makanan bekal (yang tersisa) dikeluarkan ketika
akhirnya tinggal kami yang berada di sini. Ucup yang masih setia membawa ransel
menobatkan Kacang Iyes pedas sebagai snack
“terpuncak” (pedasnya menghangatkan – layaknya surga – apalagi untuk tubuh yang
lelah-kelaparan). Beberapa candaan sempat dilontarkan. Raut-raut wajah bahagia
mereka sungguh menghangatkan. Dan hangat itulah yang menggerakkan. Bila mampu aku
ingin menghentikan waktu, lalu mengambil sari-sari kebahagiaan ini,
sebanyak-banyaknya, untuk kuabadikan dalam tablet-tablet keceriaan, hingga
kelak di kemudian hari, ketika beku menyerang laku, tak lagi aku bingung
mencari kehangatan yang mencairkan. Tak lagi aku menjadi gila akibat diri yang
tak dapat bergerak karena miskin inspirasi. Tablet-tablet itu akan menjadi
sumber mentari hidupku. Ah, andai aku dapat melakukannya..
Cepat-cepat kami melakukan aktivitas di sini walau
seberapa ingin kami menjelajahi puncak ini – berjalan ke sana ke mari. Tapi
Kimreng memberi tahu agar tidak sampai ke mana-mana, karena kemungkinan dapat
terjebak dalam kawah, juga kemungkinan hilang, sangat tinggi dalam cuaca
seperti ini. Afirmatif sepenuhnya, kami segera berfoto dengan bendera merah
putih dengan plang Mahameru 3670Mdpl. Ya, akhirnya Galdi mengeluarkan
kameranya. Hujan kini reda. Aku terkesiap sekaligus terharu dengan fakta ini.
Semeru benar-benar memberi jackpot-nya.
Semeru benar-benar memberi kejutannya kembali, walau kali ini dalam bentuk yang
tak begitu menyenangkan dengan nyawa sebagai taruhan. Aku jadi merinding
memikirkan ini semua.
Kami juga berfoto dengan in memoriam Soe Hoek Gie dan Idhan Loebis. Aku jadi ingat DNT.
Kusalamkan apa yang kuingat tentang apa yang ada dalam benak DNT tentang Gie
kepada in memoriam ini.
Mahameru yang sepi menakutkan juga. Alasan segera
bergegas pergi bertambah satu lagi. Kami pun segera meluncur meninggalkannya
dengan pikiran yang menggelitik: kami adalah tim pertama yang meninggalkan Arcopodo
untuk Mahameru, tapi merupakan yang terakhir meninggalkan Mahameru untuk
Arcopodo. Sungguh betapa kami seperti tukang yang membawa kunci sebuah ruangan.
Φ
Tak lebih dari dua puluh menit meninggalkan Mahameru
dengan berjalan ala sand-skating, kabut
lalu (percaya atau tidak) menguap. Langit biru menyeruak. Pemandangan
kiri-kanan kami mendapatkan wujudnya. Aku jadi sumringah bukan main. Semeru
kembali memberi hiburan. Bahkan aku dapat melihat gugusan gunung-gunung di
sekitar wajahnya yang sedang kami daki. Bukit hijau di bawah kami, bukit-bukit
yang telah kami lalui, juga terlihat sangat memukau. Keingintahuanku pada
pesona di Mahameru yang cerah jadi semakin menggebu. Mungkin kelak aku akan
kembali lagi ke sini. Semoga.
Merasakan betapa mudahnya turun di jalur pepasiran
ini, mau tak mau membuatku sedikit geli juga, mengingat betapa mati-matian
perjalanan mendakinya tadi. Entah apa pelajaran yang dapat diambil, yang pasti
aku bahagia sudah kembali mendapat kehangatan. Kami berempat sempat berfoto dengan
seragam “gak mbois” ketika telah
sampai di perbatasan vegetasi. Seragam “gak
mbois” itu adalah jas hujan. Ya, sangat gak
mbois banget.
Φ
Akhirnya kami kembali sampai di Arcopodo. Rombongan
lain sudah mulai membereskan camp
mereka. Beberapa malah sudah mulai turun. Aku ingin tidur. Dan tidur. Dan
tidur. Dan berjemur. Setelah makan seadanya
dan packing, aku melakukan keduanya
(atau keempatnya?). Mentari yang hangat seharusnya memanglah penyelamat. Aku
melihat wajah-wajah satu timku. Aku masih tak menyangka kami berhasil selamat
dalam perjalanan semalam. Sungguh aku bersyukur. Sungguh pula kami tak
menyangka Semeru benar-benar memberikan kejutan yang benar-benar kejutan kepada
kami. Cuaca ekstrem yang di luar perkiraan. Semeru sungguh begitu berat bagi
tim-tim tertentu, di titik-titik tertentu. Ia menyimpan karakter yang
berbeda-beda di setiap waktunya, di setiap titiknya.
Kini biarkan aku tertidur sepenuhnya, sebelum
kembali berjalan untuk berjumpa lagi dengan Kali Mati, Cemoro Kandang, Oro-Oro
Ombo Penawan Hati, dan si rupawan Kumbolo.
ekstrim yess..
ReplyDeleteaku ga membayangkan ada orang naik semeru pake sandal selop,,haha
selamat datang di dunia Galdi, hahaha..
ReplyDelete