Monday, May 26, 2014

Mahameru itu Berada di atas Semeru (4)


Ranu Kumbolo - Kali Mati - Arcopodo, 26 Desember 2011


Aku dididik dalam rezim pembenci bangun pagi. Betapa tidak? Hampir selama hidupku aku diwajibkan bangun pagi dengan paksaan, dan karena itu bersifat paksaan, maka segera saja aku mudah membenci. Tentu bukan sifat wajib itu yang membuat benci. Namun ancaman untuk menanamkan keharusan tersebut. Berdosa bila tak sholat Subuh, nanti dihukum karena telat masuk sekolah, mendapatkan seringai tak menyenangkan dari bu/pak guru, dijauhi teman-teman karena menempel lekat atribut “malas”, dan sebagainya. Mengapa hampir selama hidupku aku tak dapat bebas memilih jam berapa aku harus bangun? Setidaknya masa mahasiswa adalah masa yang paling menyenangkan. Aku memegang kendaliku, walau itu berarti harus memiliki IP dua koma pada tahun pertama.

Dan akhirnya aku selalu berkeinginan untuk memiliki kebebasan bangun siang. Seakan dengan bebas bangun sesiang-siangnya, aku dapat balas dendam atas kehidupan-kehidupanku sebelumnya yang penuh ancaman. Pikiran ini masih melekat kuat, bahkan di tempat sesyahdu Ranu Kumbolo. Bahkan dalam misi nggunung terbesarku kali ini. Yang membuatku bangun (yang kumaksud bangun adalah bangkit dari tidur, karena sebenarnya telingaku sudah bangun walau mata hanya sesekali terbuka) pada akhirnya adalah fakta bahwa sudah tak ada siapa-siapa di tenda.

Masih pagi dan dingin. Aku keluar mengambil wudhu, dan sholat seadanya. Ranu Kumbolo tampak sendu dengan refleksi monokromnya atas bukit-bukit sekeliling. Kelabu langit mendukung suasana pagi ini. Walau demikian, ada secercah dua cercah biru terlihat mengintip di baliknya. Matahari masih enggan menampakkan diri.

Terlihat beberapa tenda sudah mulai beraktivitas membuat sarapan, atau sekedar membuat minuman hangat untuk menikmati Kumbolo. Beberapa orang mulai duduk di tepiannya. Tak ada riak yang nampak. Kumbolo benar-benar tenang, walau entah apakah itu juga berarti menghanyutkan.

Kami tentunya juga sangat ingin menikmatinya. Tim bergegas menggelar matras menghadapnya, di tempat terbuka agar leluasa memandang kemegahannya. Secepat kilat kami segera mengusung beberapa peralatan dan bahan memasak. Kami tak ingin posisi strategis itu diambil oleh tim lain. Anyway, aku sudah memiliki partner pipisku. Karena perempuan sendiri, aku menculik satu anggota setipeku di rombongan sebelah, menemaniku mencari semak-semak. Kurasa seharusnya aku tak bercerita tentang hal ini...

Duduk di atas matras dengan sajian Kumbolo pagi nan syahdu, radio “nggonku” mendendang FM menyambut hari, membelakangi hijau Bukit Cinta, serta dikelilingi peralatan masak, ah, rasanya benar-benar damai. Aku segera melakukan tugasku menanak nasi, membuat orak-arik telur yang kemudian kucampurkan pada sardin merek favoritku. Untuk bumbu tambahan, aku sudah mengiris tipis bawang merah. Setelah kuoseng, garam aku tambahkan ke dalamnya, lalu kutuangkan sardin, dan telur yang telah kuorak-arik.

Aku sendirian ketika membuat orak-arik ini, hanya radio “nggonku” dan beberapa benda mati lainnya menemani, termasuk selimut tokek penghangatku. Teman-teman sedang menyiapkan peralatan makan. Aku dapati telur sudah berbau tak sedap ketika kubuka, seperti bau hampir busuk tak layak olah. Wujudnya masih seperti telur normal. Namun aku sudah terlanjur memasukkannya ke panci. Ketika ia bercampur dengan margarin yang wangi, bau tak sedapnya hilang, dan aromanya persis seperti telur layak makan biasanya. Refleksku langsung menuangkan sardin ke dalamnya. Aku tak membuangnya, karena pengalaman mengatakan bila sesuatu tidak berbau, biasanya tidak berubah rasa. Aku beranikan diri mencicip, ia masih layak makan. Namun hatiku gusar, karena sisa telur yang lain pasti juga berkondisi serupa. Nanti saja setelah selesai menyantapnya aku cerita ke teman-teman, kataku dalam hati. Banyak yang bilang lebih baik tidak menyembunyikan sesuatu ketika mendaki dalam kebersamaan. Gunung siap menguji siapa saja, bahkan menguji mereka yang coba-coba berbohong walau kecil-kecilan. Aku tak mau hatiku diliputi kegusaran sepanjang perjalanan.

Kulihat teman-temanku tak mencurigai orak-arik tersebut. Mereka makan dengan lahap. Aku dengan berhati-hati merasakan telur tersebut setiap ia masuk dalam suapanku, dan tentu rasanya tidak seperti bayanganku ketika memasaknya tadi. Nasi dan sardin turut serta menghilangkan bayangan tersebut. Kami  pun kenyang, sebagai cadangan energi menuju Kali Mati. Ya, target hari ini sampai Kali Mati. Aku tak tahu berapa jauhnya dari Ranu Kumbolo. Tapi pegal-pegal kakiku yang kurasa kemarin telah mereda, walau tak sepenuhnya hilang. Aku siap mendaki kembali. Semangatku pun kembali ekstra. Tragedi telur yang sempat menggangguku seakan telah sirna (sebenarnya bukan baunya yang kurisaukan sangat, namun karena dengan demikian telur-telur yang lain harus dibuang, dan itu artinya mengurangi stok pangan kami).

Pengambilan gambar berlatar bukit cinta dan bendera merah putih yang menempel pada salah satu sisinya segera diambil. Ini akan menjadi momen syahdu merasai nikmat nasi sardin hangat (orak-arik telurnya tak kusertakan) di kawasan Kumbolo pagi dengan dingin yang masih menggigit. Makan bersama memanglah ritual komunal yang saling mendekatkan energi anggotanya. Aku jadi ingat betapa banyak obrolan berkualitas dimulai di meja makan, dan bukan di meja diskusi…

Φ

Setelah sarapan, Kimreng dan Ucup kebagian mencuci piring. Aku suka kinerja timku, karena ada yang berinisiatif segera melakukan sesuatu. Memang hampir selalu begitu bila aku bekerja tim dengan kebanyakan anak ELMC. Walau sebenarnya ada beberapa yang kurang sensitif keadaan, sehingga kurang dapat menampakkan tanggung jawabnya. Tapi hanya sebagian kecil saja yang seperti itu. Tak heran bila aku merasa begitu nyaman dalam kelompok ini.

Selesai ritual tersebut, jarum jam masih menunjukkan pagi, tak melebihi pukul tujuh. Waktu untuk matahari emas sudah lama berlalu, dan kami tidak mendapatkannya, karena ia terlalu malu-malu. Beberapa dari kami mengurusi perut yang protes, sisanya yang baik-baik saja segera menyiapkan ransel untuk melanjutkan perjalanan. Aku termasuk yang kembali ke dalam bilik dan packing. Hari ini aku dijadwalkan bertukar ransel dengan milik Galdi yang lebih kecil dan ringan. Strategi untuk kelancaran pendakian.

Kumbolo sempat megah oleh cerah mentari pagi yang menampakkan diri hanya beberapa menit. Setelahnya, ia menghilang di balik awan, lalu kabut turun, dan hujan merintik. Kami menunggu sembari berdoa semoga tak semakin deras. Kami yang sudah lolos dari maut camp konsentrasi (kecuali baju kami yang “ternodai” baunya), tak mungkin harus terpaksa berjalan dalam hujan. Ah, itu hanya pikirku. Toh apa pun kesepakatan tim, aku akan turuti. Mereka sumber kekuatanku, kukira.

Setelah menunggu sebentar, hujan tampak mulai samar. Kami memberanikan diri segera pergi. Pagi segera saja akan tergelincir menjadi siang, tak baik untuk rencana perjalanan ke depan. Kami berdo’a dalam amin, bertemu dengan rombongan teman yang semalam turut satu bilik bersama kami, dan berfoto berbagai pose berlatar Kumbolo berkabut-berintik, juga Bukit Cinta bersama mereka.

Φ

Bukit Cinta adalah jalur selanjutnya yang harus ditempuh. Ini artinya camping area terletak dekat jalur menuju Kali Mati. Tak ada yang spesial kurasakan di Bukit Cinta, karena aku benar-benar sudah lupa kisah detailnya. Yang pasti mitosnya berhubungan dengan seseorang yang kita cintai. Aku sedang dalam fase mendewasakan rasaku pada seseorang. Kurasa mitos yang tak memiliki sangkut-paut dengan genealogis sejarah atas rasaku tersebut, tak akan punya kekuatan yang cukup memadai untuk memengaruhinya. Aku dan rasaku bulat menyatu. Selama aku hanya terpaku pada keduanya, yang lain hanyalah debu…

Sekali lagi aku tak ingat seperti apa mitos bukit cinta. Apakah menempuhnya tanpa keluh kesah atau bagaimana, aku lupa. Sudahlah. Pada intinya bukit ini memang super menanjak. Aku berjalan dengan tempo kesukaanku; tak tergesa, terkesan lambat, namun ajek…
Galdi dan Ucup sudah di depan. Kiranya formasi belum diatur dalam perjalanan kali ini. Aku menduga mitos tersebut menyuruh untuk secepatnya menyelesaikan Bukit Cinta. Nah, Galdi tentu jadi jawaranya bila demikian. Kimreng bisa jadi yang sedang melaksanakan mitos tersebut, tapi ia terlihat tidak tergesa-gesa, tak seperti dua lainnya. Ah, entahlah, kenapa aku malah jadi kepikiran mitos itu…

Ranu Kumbolo di belakang tampak menggoda. Hujan masih merintik. Tak ada satu pun dari kami yang memakai jas hujan, karena percaya jaket masing-masing anti air (aku sendiri memakai jaket biru milik (sekali lagi) mas iparku, yang kuharap cukup anti air). Aku sering sekali menengok ke belakang, memperlambat tempoku. Tapi bukit ini tak terlalu tinggi, jadi tak masalah bila sedikit-sedikit menengok si Kumbolo.

Tapi akhirnya aku pending kegiatanku tolah-toleh ke belakang. “Nanti lagi aku melihat Kumbolo setelah sampai atas”, batinku. Walau kurasa tak terlalu tinggi, jalur bukit cinta cukup curam dan cukup menghabiskan nafas sebagai jalur start. Nafasku terengah-engah. Dalam berhenti sebentar, menengok ke belakang sebentar, dan menatap kembali ke depan, aku akhirnya sampai di tempat Galdi dan Ucup menunggu. Hujan mereda. Aku mengatur nafas. Kimreng terlihat khusyu’ berjalan (atau melaksanakan ritual mitos?), dan dalam beberapa detik sudah turut bergabung bersama kami. Selesai sudah Bukit Cinta. Entah apalah…

Melanjutkan jalur sedikit ke atas beberapa meter, kami kemudian berada pada bibir sebuah lembah yang menakjubkan. Lembah dengan aksen warna kuning dan hijau. Kuning adalah bunga, dan hijau adalah daun yang berkombinasi dengan rerumputan. Sangat luas. Sungguh seakan berada pada negeri antah-berantah. Ini seperti mimpi bagiku karena merupakan kali pertama melihat dengan mata kepala sendiri sebuah lembah yang berisi banyak bunga. Biasanya hanya kulihat di TV. Bila tidak di Eropa, maka di Eropa lagi (aku sangat minim informasi geografis penyebaran bunga, sehingga mengira semua bukit hijau penuh bunga hanya ada di Eropa).

Bukit penuh rumput hijau menjadi latar di sebelah kiri kami. Ada jalan setapak ke arah sana, yang langsung terhubung dengan jalan setapak pada hutan pinus di ujung lembah indah ini. Hutan pinus tersebutlah jalur selanjutnya menuju Kali Mati. Kami tidak memilih jalan setapak lewat bukit hijau tersebut karena terlihat sedikit jauh, dan juga berarti tidak menikmati isi lembah indah ini. Kami memilih “terjun” ke dalamnya, memotong jalan. Toh opsi itu disediakan juga. Terlihat ada jalur membelahnya, walau terlihat tertutup di beberapa titik, dan untuk menuju jalan setapak di bawah itu, kami memang sedikit harus “terjun”. Jalan turunnya cukup curam.

Setelahnya, segera kami menikmati lembah itu. Oro-oro Ombo namanya. Oro-oro berarti rawa, ombo (amba) berarti luas. Lebih pas bila ditambahkan frase “penawan hati” – Oro-oro Ombo Penawan Hati. Pret. Nah, aku pun sadar, perdu berbunga kuning berdaun hijau itu rupanya adalah tumbuhan yang kukira sawi di perjalanan menuju Kumbolo kemarin. Hahaha. Betapa aku berjodoh dengan tumbuhan ini.

Galdi yang berada di depan mengambil banyak potret kami (aku-Ucup-Kimreng) yang berada di antara semak-semak indah ini. Ah, baru kali ini aku menjajarkan semak-semak dengan kata positif “indah”, biasanya selalu diasumsikan yang tidak-tidak. Nah, aku mulai lagi melantur. Yang pasti lembah ini sungguh indaaaahhhh!!!!! Namun aku jadi berpikir, bila dia disebut rawa, seharusnya memang terdapat genangan air, dan mungkin buaya. Bila Ranu Kumbolo, si bidadari Semeru itu menyimpan naga (setidaknya demikian yang Kimreng bayangkan), pasti rawa rupawan ini menyimpan paling tidak buaya. Tapi aku memilih tidak menuruti insting lebaiku ini. Buaya akan mati beku di sini. Dan paling ia hanya dapat makan lalat gunung, atau sawi bohongan yang indah ini. Apa enaknya?

Sementara indera peraba-penglihat-penciumku merasai kiri kananku, aku juga bertanya-tanya mengapa lembah ini tak menjadi danau saja seperti Kumbolo di sebelahnya? Sepertinya sehabis pendakian ini aku harus segera mencari asal-muasal pembentukan danau, karena pikiranku sudah segera saja melayang pada bagaimana lucunya bila rawa ini menjadi danau, dan bila airnya meluber, bisa banjir dan menyatu dengan air Kumbolo. Lho, ini imajinasi tanpa landasan teori yang benar tentunya. Harus segera kualihkan pada pemaknaan keindahan saja.

Akhirnya setelah berpuas menembus lembah rawa indah, kami sampai pada mulut hutan pinus titik tujuan kami. Beristirahat pada gelondongan pinus yang tergeletak saja, kami mengambil beberapa gambar bersama. Kemudian terdengar dari atas beberapa orang turun dengan berlari. Tiga orang total mereka, salah satunya nyentrik tak memakai alas kaki. Karena mereka juga sama-sama beristirahat, kami berbincang sebentar. Mereka adalah Bonek. Satu asal Sidoarjo, sisanya asal Surabaya. Entahlah, aku tak pernah mengikuti konflik Arema dan Bonek, jadi tak akan lucu bila aku menyinggungnya. Lebih dari itu aku pasti akan melucu tentang diriku sendiri karena telah menjadi Arema palsu. Lagipula di atas gunung segalanya disatukan. Kita memuja alam, perseteruan dunia sudah seharusnya ditangguhkan, apalagi yang cuma masalah suporter.

Kami juga menanyai kabar Mahameru. Mereka mengabarkan mendung, tapi tidak hujan. Setelah lagi-lagi mengambil gambar, kali ini bersama tiga Bonek keren ini, kami melanjutkan langkah. Aku mensinyalir Oro-oro Ombo Penawan Hati tersebut telah memberi efek pada kami untuk lebih senang berfoto. Haha, sebenarnya Ranu Kumbolo lah yang ajaib. Ikatan tim mulai kuat terbentuk di sana. Aku tak dapat melihatnya, tapi aku bisa merasakannya. Bermalam bersama membuat jiwamu mengenal jiwa masing-masing kawanmu. Kita tak pernah bisa bilang benar-benar bersahabat dengan seseorang bila belum pernah menghabiskan satu malam bersamanya. Bermalam di Ranu Pani merupakan fase “pengenalan”, karena empat dari kami sebelumnya sudah lama tak bersua. Kumbolo mengingatkan kembali pengalaman bersama. Setelah ingat, ikatan itu menguat.

Φ

Bukit berhutan pinus membentang di hadapan. Beberapa kawasan terlihat tanpa pepohonan dan malah ditumbuhi rumput-rumput. Tanahnya berwarna hitam, mungkin kombinasi dengan abu sisa kebakaran di musim kemarau. Ada beberapa pohon terlihat masih berdiri, tapi batangnya terbelah melintang jadi dua, dan hangus tanda habis terbakar.  Ada pohon lain yang hanya tersisa satu meteran, juga sudah gosong. Kata Galdi habis terkena petir. Aku ngeri setengah mati membayang aku yang tersambar. Kemudian kubuka pembicaraan tentang orak-arik telur menu sarapan di Kumbolo tadi. Aku melihat raut wajah yang menelan kepahitan, seakan membayang sesuatu sedang bergerak-gerak dalam perut mereka. Ekspresi yang cukup tak mengenakkan. Aku meminta maaf karena baru bisa memberi tahu perihal ini. Kusampaikan pula permohonan maaf karena telur lain tak dapat dipakai. Raut wajah tak berubah. Terlihat sekali berita pertama lebih mengejutkan daripada berita lanjutannya. Beberapa kata muncul sebagai reaksi, memaklumi seperti biasanya. Aku berharap bayang-bayang ketika mereka makan orak-arik itu segera menguap seiring dengan perjalanan pagi hari ini.

Φ

Hujan telah lama berhenti, matahari mulai tak segan-segan bersinar. Langit terlihat sangat biru. Biru yang bersih dan cerah, dengan aksen awan putih di sana-sini yang menyempurnakan kebiruan langit itu sendiri. Hutan pinus ini menawarkan keajaibannya sendiri. Mataku masih terus dibelai oleh keindahan demi keindahan perjalanan pendakian ini. Aku hanya berharap penghiburan ini tak segera habis. Aku berharap Semeru menyimpan beberapa kejutan lagi di depan. Ya, semoga.

Kontur tak begitu terjal hanya sebagai permulaan saja. Tapi kemudian jalur menjadi menanjak tiada henti. Terik kadang menjadi sangat melelahkan. Ransel Galdi memang lebih ringan daripada carrier yang kemarin sukses kubawa hingga Kumbolo. Tapi tetap saja ia adalah beban yang sudah tabiatnya ada untuk menguji stamina. Sudah hampir satu jam mendaki perbukitan pinus ini, perut kami pun mulai mengeruyuk. Padahal masih belum ada tiga jam sejak kami meninggalkan Ranu Kumbolo. Energi nasi putih bisa jadi tak begitu dapat bertahan lama, apalagi dengan jalur panjang menanjak seperti ini. Belum lagi isi carrier teman-teman yang, well, mematikan.

Kimreng membuka cokelat mete untuk tim. Bagiku itu merupakan sajian mewah, karena selama ini cokelat  kumakan ketika sudah sampai puncak. Kini bahkan belum ada apa-apa-nya Mahameru, aku sudah mengecapnya. Aku sendiri jarang sengaja membeli cokelat untuk bekal naik gunung, sekarang pun tidak. Karena walau banyak yang menyarankan, aku tak pernah begitu membutuhkan energy booster di pengalaman mendaki sebelum-sebelumnya. Jika aku membawanya, seringnya dihabiskan di puncak – semacam untuk perayaan. Aku jarang nyemil selama perjalanan. Ransum-ransum kubawa seringnya untuk teman-teman. Ini bukan upaya pencitraan, lo.. (hanya akhirnya aku sadar betapa naifnya diriku ini).

Tapi lumayan, asam dalam perutku tak lagi begitu bergejolak setelah makan cokelat. Kami pun meneruskan perjalanan, masih dalam bukit hutan pinus yang tak begitu rapat sehingga matahari dan langitnya masih dapat kami santap. Beruntung menjelang tengah hari ini mentari tak serta-merta bersinar dengan ganas. Beberapa kali ia dihalangi oleh awan putih yang berserakan di langit biru. Tentu ini nasib baik. Rupanya cokelat kunyah yang kami makan sebelumnya turut menyelaraskan energi kami dengan energi alam. Tadi ketika masuk hutan, kami masih dalam periode inisiasi – pengenalan. Adaptasi tubuh terjadi. Alam pun beradaptasi untuk menerima kami. Energi yang habis kemudian di-boost oleh cokelat. Setelah tenteram si perut di sana, tenteram pula jiwa dan tubuh: siap menerima alam yang mendekap kami. Alam yang tak lagi mendapat penolakan (walaupun kami seakan sudah “fasih” mendaki, namun selalu ada waktu di mana selalu ada keluh kesah atas suatu perjalanan berpetualang, termasuk keluhan sekecil apapun yang disimpan dalam hati), akhirnya memberikan “restu”-nya, lalu diberikannya kepada kami kondisi yang mendukung. Alam sendiri lebih jarang menolak, karena ia jauh lebih bijak daripada manusia. Ketika sudah siap manusia menerima ke-alam-an tersebut, kiranya yang ada hanyalah penyatuan – keselarasan. Itu yang kami rasakan ketika kami lanjut berjalan dan akhirnya mencapai garis finish bukit berhutan pinus ini. Omong-omong, hutan barusan bernama Cemoro Kandang. Kandangnya cemara memang…

Kini yang ada di hadapan adalah jalanan datar yang cukup menyenangkan. Jalur bonus yang kelihatannya bakal cukup lama, soalnya terlihat lumayan panjang ke depan. Kiri-kananku berisi semak-semak, seperti rerumputan di puncak Merbabu atau yang biasa ditemukan di bawah puncak Lawu, hanya di sini lebih “bergizi”, tampak lebih besar (di antara gunung-gunung yang pernah kudaki, hanya dapat kuingat rumput serupa ada di Lawu dan Merbabu). Di sela-sela rerumputan itu, menyembul Edelweis yang sayangnya, yah tentu sayang banget, tanpa bunga. Desember tentu bukan musim untuknya berbunga. Aku membayang dataran luas ini di bulan Agustus. Uhuk! Pasti indah banget!!

Di belakang dapat kami lihat puncak bukit berpinus sebelumnya. Rupanya titik akhir hutan pinus yang kami lewati barusan bukan titik tertingginya. Beberapa meter di sebelah kiri-kanan kami, tampak semacam hutan dengan jenis pohon mirip dengan yang ada di perjalanan sebelum puncak Sindoro (lagi-lagi hanya di gunung ini yang bisa kuingat). Pohon yang sama di dua gunung yang berbeda ini memiliki ciri yang mirip dengan pohon petai cina. Daun dan bentuk kayunya setidaknya mirip. Tapi aku tak pernah melihat yang di gunung menghasilkan buah.

Awan-awan putih yang berkeliaran kini mengumpul. Tak dapat kami lihat langit biru. Hari yang menuju tengah sungguh jauh dari kata terik. Matahari malah bersembunyi. Suasana mulai berkabut. Antara alhamdulillah atau ketar-ketir karena khawatir tiba-tiba hujan menyergap. Mungkin karena telah selaras dengan alam, atau mungkin karena cokelat yang tadi kami makan, atau mungkin karena keduanya, aku masih merasa hatiku sedang disenangkan oleh jalanan bonus ini.

Lalu kami dapati hutan yang cukup rapat (karena permukaan tanahnya cukup datar – sedikit menanjak lalu sedikit menurun, datar, sedikit menanjak dan menurun dan datar dan seterusnya – maka pohonnya sama-sama tinggi hingga dapat membentuk kanopi yang lebih rapat daripada bukit pinus sebelumnya), dan karena matahari terhalang awan/kabut, situasi di sini sedikit redup – mengingatkanku pada hutan hujan tropis (tentu sepertinya bukan). Entah mengapa aku merasa seperti tak jauh-jauh dari alam belakang rumah saat aku kecil. Ah, mungkin hanya karena suasananya.

Ketika sudah habis kami melewati hutan ini (dengan sedikit saja menanjak tanpa menurun), kami melihat Kali Mati. HAH, SUDAH SAMPAI!?!?!  Aku merasa betapa cepat. Hanya tiga jam dari Ranu Kumbolo!!! Hanya tiga jam, dan padahal kami sudah kelaparan sekitar sejam yang lalu, ha ha ha.. Cokelat tadi itu pasti punya daya sihir!!

Dan ya, tentulah apa yang sudah kuimajinasikan tentang Kali Mati musnah adanya. Kali Mati itu rupanya luas banget. Berisi pasir dengan rimbun rerumputan-semak serupa rerumputan di dataran sebelumnya di mana ada Edelweis tak berbunga, namun kini tak “sesubur” di sana. Rumput-semak kali ini lebih mirip dengan yang ada di Merbabu dan Lawu. Di kejauhan tampak juga satu-dua Edelweis, tapi dia hadir di tempat yang bertanah saja, sedang di hamparan luas Kali Mati yang tanahnya tertutup pasir ini, aku tak dapat menemukannya. Benakku protes karena kali seharusnya tak datar seperti ini. Tapi fakta bahwa tempat inilah yang dibanjiri lahar ketika Semeru meletus, membuat benakku cukup diam, walau tak berhenti berimajinasi: ke mana Kali Mati mengalirkan lahar yang diterimanya? Kurasa aku tak butuh mencari jawabnya. Biarlah pikirku melayang-layang.

Di sebuah titiknya dapat kami lihat beberapa tenda para pendaki, juga ada dua bangunan di sana, semacam bangunan di Ranu Kumbolo namun lebih sederhana dan terkesan “ringkih” (atap seng-nya terlihat sudah berkarat, dan dua selnya telah hilang entah ke mana, alias bolong gedhe!!). Di belakang areal perkemahan tersebut, bukit pinus (lagi-lagi) menjulang. Kawasan Kali Mati merupakan kawasan terbuka. Aku merasakan kencang angin yang bertiup sebentar-sebentar. Aku rasa sedikit ngeri juga bila membayangkan harus bermalam di sini. Semoga tak masuk angin, batinku.

Kami duduk tepat membelakangi hutan pinus. Kaki kami luruskan sedemikian rupa. Ransel tergeletak di sekitar kami. Ucup mengeluarkan botol minumnya, yang segera saja digilirkan untuk setim, mengurangi beberapa gram air bebannya begitu. Langit masih benderang. Walau begitu matahari hanya sesekali saja menampakkan dirinya. Beberapa ransum dikeluarkan. Salt Cheese, biskuit sandwich cokelat dari tas Kimreng (entah di mana letak garam dan kejunya), dinobatkan menjadi biskuit Kali Mati. Aku menghirup bau tempat terbuka ini, sekaligus merasai nikmatnya kaki yang diselonjorkan dengan punggung lelah tanpa beban dan bersandar. Ah, surga sekali. Di saat seperti ini biasanya aku mencoba menghimpun energi dari tidur sekenanya. Tapi karena staminaku sedang dalam kondisi optimal, aku tak memerlukannya. Aku sepenuhnya terbangun merasai surga Kali Mati. Lagian juga jam sebelas baru saja lewat.

Kimreng membuka diskusi tentang persediaan air. Sekitar satu kilometer dari Kali Mati memang terdapat sumber air. Itu serupa dengan (bila tak salah) satu jam perjalanan pulang-pergi. Masing-masing sudah membawa dua liter tentunya. Menginap di Ranu Kumbolo juga berarti hemat air untuk memasak. Akhirnya kami sepakat untuk menghemat waktu dan tenaga. Persediaan air dinilai cukup hingga saat kembali ke Kali Mati lagi.

Satu tim merasa perjalanan Kumbolo-Kali Mati cepat sekali berakhirnya. Karena hari ini dinilai belum puas berjalan (sepertinya efek cokelat ajaib itu masih tersisa), rencana menginap di Kali Mati kami tangguhkan. Tak begitu terlindungnya Kali Mati dari serbuan angin menjadi  salah satu alasan kami membatalkan niat untuk menginap. Hatiku sumringah mengetahui kami tak jadi menginap di sini. Mahameru kembali mendekat dalam angan. Menyerang puncak dari Arcopodo secara nalar akan lebih tidak berat daripada bila kita memulainya dari Kali Mati. Ya, logis pikir ini (semoga) memang tepat. Langkah pun kami bawa ke Arcopodo.

Φ

Berjalan kembali dimulai. Melintasi pepasiran Kali Mati hingga di ujungnya kami dapati pintu masuk hutan pinus menuju Arcopodo. Hanya beberapa menit dari gerbang tersebut, kami berpapasan dengan rombongan dari Mahameru. Mereka menyerang puncak dari Kali Mati dini hari tadi (ketika kami masih lelap tertidur dalam kamp konsentrasi). Sudah tengah hari dan mereka belum juga sampai di Kali Mati, padahal pagi tadi tim bonek sudah sampai di Oro-Oro Ombo Penawan Hati dan bersua dengan kami. Mahameru bisa menjadi begitu berat bagi beberapa tim tertentu, kurasa.

Seperti biasanya, kami berbincang sebentar dengan rombongan. Rupanya satu di antaranya merupakan lulusan Geologi UGM. Kami sempat bertukar alamat Facebook, seperti juga yang kami lakukan terhadap rombongan Bonek (aku heran juga kenapa). Pesan hati-hati kami dapatkan, agar segera turun dari Mahameru ketika matahari sudah naik. Bisa jadi rombongan ini sempat “mencicipi” gemuruh aktivitas paginya, mengingat betapa siang mereka turun. Tapi mereka enggan memberi tahu lebih, hanya secuil peringatan tersebut yang mereka katakan. Setelah mengucap salam berpisah, kami melanjutkan pendakian.

Langit terasa sedikit muram. Kanopi hutan pinus yang rapat membuat sempurna kondisi ini. Walau muram, kami merasa diuntungkan. Mendaki jalur terjal dalam balutan megah mentari tentunya merupakan suatu siksaan. Tim terlihat begitu bersemangat menuju Arcopodo. Well, aku sebenarnya cukup heran tentang semangat yang kami dapat hari ini. Dua hari sebelumnya kami benar-benar merasa kepayahan, apalagi bila aku mengingat perjalanan menuju Ranu Pani. Hari ini tim terlihat begitu bahagia dan bergairah lebih. Sihir gunung memang ada-ada saja.

Jalur menuju Arcopodo adalah yang paling terjal dibandingkan dengan jalur-jalur sebelumnya. Carrier-ku cukup ringan, dan ya, aku bersemangat sekali hingga tanganku turut serta mendaki. Aku memaknai jalurnya seperti wahana, dan dengan tempo konstan yang menyenangkan aku berpindah dari titik yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, kadang berpegangan bagian pohon yang bisa membantu; batang atau pun akarnya. Hutan pinus ini berbeda kondisi dengan hutan pinus sebelumnya di Cemoro Kandang. Pohonnya lebih rapat-rapat. Kabut yang menyergap membasahi tanahnya. Kelembabannya lebih tinggi, dan terasa lebih sejuk. Matahari yang tak jelas juntrungannya, semakin menjadi tak jelas keberadaannya, terlebih ketika rintik hujan mulai mengguyur.

Kami tak mengeluarkan jas hujan, dan percaya jaket kami dapat melindungi. Pun rintik tak menjadi begitu besar. Hujan kecil ini, alih-alih menyurutkan semangat kami, malah menjadi semacam pelecut. Lapar kami mulai merasa (lagi). Makan siang belum kami lakukan memang, demikian juga sholat Dzuhur. Tapi walau mulai merasa kelelahan, keringat yang tak banyak mengucur lumayan membuat kami bersabar. Ini menyenangkan.

Istirahat kedua akhirnya kami lakukan. Performa tim sungguh hebat: tak banyak mengeluh, tak banyak bicara, tak banyak istirahat, hanya berjalan dan merasa kesyahduan sejuk hutan, dan mungkin kesyahduan berjalan itu sendiri. Kehausan pun tak kami rasa begitu sangat. Sungguh kami bersyukur di jalanan menuju Acopodo ini. Walau demikan, lapar mau tak mau tetap dapat menyergap. Estimasi kami satu jam lagi baru akan sampai Arcopodo, kira-kira jam tiga sore. Artinya satu jam lagi kami baru bisa makan siang. Maka kami segera beranjak, dan..

Dan lima menit berikutnya kami sudah berada di Arcopodo. Yaelah, lagi-lagi kami beristirahat cukup lama tepat di bawah titik tujuan. Seakan sia-sia saja sudah bersiap diri untuk jalur yang lebih panjang. Demikian adanya. Arcopodo. Tertulis 2.999mdpl. Aku terhenyak. Berjalan sekian lama hanya menuju ketinggian segitu saja? Bahkan tak lebih dari ketinggian Merbabu. Hahaha, Semeru ini seperti ini rupanya. 2999, dan kami harus meraih sisa 600 meter lebihnya dalam (kurang dari) semalam? Baiklah, kusimpulkan perjalanan selama dua hari ini bukan apa-apa. Sungguh bukan..

Φ

Arcopodo merupakan areal landai terakhir yang dapat ditemukan sebelum Mahameru. Daerah ini sebenarnya sudah merupakan kawasan berbahaya, karena termasuk yang rawan erosi. Kami dan pendaki lainnya diwajibkan mendirikan kemah di Kali Mati, dan menurut peraturan memang sudah tak boleh pergi ke Mahameru. Kami anggap itu hanya aturan lalu tentunya.

Seperti sebelumnya, gambaran Arcopodo hasil pembacaan 5cm kandas kembali. Dua arca kembar itu entah ada di mana. Yang dapat kulihat hanya plang bertuliskan Arcopodo 2.999mdpl. Itu saja. Aku tengak-tengok kiri kanan juga tak merasa kehadiran dua patung itu. Sempat aku berpikir bisa saja arca itu ada di balik semak-semak di sekitar areal ini, tapi ya mungkin saja.. Walau gambaran di 5cm tak terbukti, mistis yang pernah kurasakan ternyata tak menguap. Aku masih berpikir ada yang tak kasat mata yang serupa yang berjumlah dua di sini, atau di sebelah sana, yang pasti di areal ini, yang kini sedang mengamati kami. Aku jadi ngeri setengah mati. Aku mengandai ada anggota tim kami yang punya kemampuan klenik semacam melihat yang tak nampak, tapi ia tak mau cerita. Bayangan itu terus menghantui dan kuputuskan untuk berbincang lalu tentang apa saja dengan teman-teman supaya menghalau bayangan yang semakin tidak-tidak. I’m fine. Completely fine. I hope.

Kami berfoto dengan ceria, dengan beberapa pose kesatuan (entah apa maksudnya aku menulis ini). Setelahnya, segera bergegas menentukan tempat kemah paling yahut, yang terlindung serbuan angin dan di bawah kanopi sehingga hujan tak mengguyur langsung ke tenda. Tempat itu kemudian kami dapati di areal sebelah kanan. Tenda pun dibangun. Aku mengamati dan sedikit saja membantu, hehehe. Cover tenda terpaksa tidak terpasang dengan pasak standar, tapi terikat ke sana ke mari, sebut saja ke semak-semak/pepohonan di sekitar. Tak masalah, daripada mati kehujanan kiranya.

Φ

Hal pertama yang segera kami lakukan adalah bersiap untuk makan siang. Aku lega mengetahui teman-teman segera membuka pembicaraan masalah telur yang tak bisa dipakai. Ia disisihkan, dan esok dibuang. Kemungkinan malam nanti ada tikus gunung yang mengobarak-abrik sampah, ah, atau binatang apa aku tak begitu mengerti yang laki-laki ini sedang bicarakan. Pikiranku terlalu absurd membayang binatang yang tinggal di atas sini sama halnya seperti yang di bawah. Bila demikian ular pun jadi sangat available. Oh, tidak..

Beberapa saat kemudian hujan mengguyur. Hari sudah mulai meninggalkan pukul tiga sore. Kami masih menjadi penduduk pertama Arcopodo siang ini. Di dalam tenda kami menikmati menu makan siang. Rencananya sebelum tengah malam kami harus bangun; mempersiapkan diri untuk menyerang puncak. Persiapan itu adalah makan sangat awal tentunya. Memasak di malam hari tentu merepotkan mental untuk puncak. Alhasil sore ini kami juga memasak untuk nanti malam. Memang hanya memasak nasi. Kimreng sempat bertanya apakah nasi sore ini tak apa buat dimakan nati malam. Dengan kondisi dingin begini, tentu malah tak apa. Abon akan mendampingi nasi yang kami masak sore ini.

Beberapa sholat sudah didirikan. Setelah selesai menyiapkan beberapa hal untuk nanti malam, kami bersiap beristirahat secepatnya. Stamina harus maksimal untuk nanti malam, begitu komandan pendakian ini berkhotbah. Aku memang merasa capai. Tapi mengingat perjalanan Kumbolo-Arcopodo hari ini, tubuhku ingin lebih. Apapun itu, aku tetap harus beristirahat. Di luar mulai terdengar beberapa pendaki berdatangan. Akhirnya kami tak sendiri. Semakin tergelincirnya matahari semakin kami dapat rasai Arcopodo yang mulai ramai. Aku tersenyum entah kenapa.

Φ


Kamera: Galdi


2 comments:

  1. elektro,,IP 2 koma memalukan sekali,,tekim IP 3 koma anugrah :)))
    btw oro-oro ki artine padang, padang ilalang

    ReplyDelete
  2. wah, mungkin kalo di tekim aku malah mudah dapat anugrah itu.. hahaha
    aduh, kosakataku perlu dirujuk ulang berarti.. makasih buat koreksinya..

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b