Monday, March 24, 2014

Aku Mulai Membayar Hutang Padanya


Aku merasa ada tangan yang melintas di depanku. Hanya tangan, tanpa tubuh, dan kulihat selintas kepala yang menyembul. Tangan itu memegang Blackberry, lengkap dengan chargernya, kurasa baterainya mulai sekarat, seperti halnya mataku yang enggan bangkit. Kubiarkan walau gerakan tiba-tiba itu cukup mengagetkanku.

Aku cukup sensitif dengan "sergapan", meski seberapa telernya diriku. Kurasa aku cukup teler karena pria di pojokan sana sudah turut teler hingga akhirnya aku bisa lenyap tertidur. Sedari tadi ia tak berhenti berbicara dengan gadgetnya: kuping disumpal dengan aksesoris yang disebutnya headset meski aku bertaruh sebutan yang lebih layak adalah earphone, atau apapun lah - jaman sekarang semua orang punya "hak" buat melabeli apa pun buat apa pun. Sembari sok perhatian dengan keadaan sekitar, ia berbicara memakai nada tinggi. Aku selalu heran dengan mereka yang selalu berteriak-teriak ketika bertelepon. Sok perhatian itu tentu semu semata. Ia tak cukup paham bahwa interaksi dengan pacar jauhnya (dengan volume suara tingginya) telah mengganggu semua makhluk. Bahkan aku yakin kecoak kecil yang sempat sukses hinggap di tasku tadi juga terganggu dengan keberadaannya. Lirikan mautku tentu tak cukup membuatnya menurunkan volume itu. Aku jadi prihatin dengan pasangan yang tepat duduk berhadapan dengannya.

Aku kembali tidur, sembari merenungkan Stasiun Tugu yang tergesa. Pikiranku melayang pada hari di mana aku menyusun rencana berpuisi dalam gerbong di Stasiun Tugu yang akan membawaku ke barat. Puisi dengan judul Hari Minggu di Stasiun Tugu. Telah kusiapkan diriku agar dapat merangkai rasa dalam kata-kata. Kuharap mereka jadi kalimat mujarab. Di hari yang sama aku mendapat kabar kursi untuk hari Minggu sudah kandas. Nah, rencanaku berpuisi berantakan.

Hingga akhirnya aku sangat tergesa melalui Stasiun itu hari ini. Kurang dari lima menit aku baru sampai di kursiku, tak ingat punya keinginan menulis puisi. Semuanya lumat dalam keringat dan kantuk yang sangat. Barang bawaanku cukup membuat ngos-ngosan. Dan semalam aku tak tidur barang semenit pun, menuntaskan pesanan desain keparat. Puisi di Stasiun Tugu melayang, seperti juga lenyapnya ia di hatiku. Aku tak bersedih karena sudah tak berpuisi.

**

Ia datang memelukku. Bahagia atas kedatanganku. Rambutnya kini sudah memanjang, berbeda ketika terakhir kali aku melihatnya. Aku suka gaya rambutnya yang ini, karena aku bosan melihatnya dengan rambut tipis mendekati gundul. Pernah memang aku menyukai lelaki gundul, kini pun masih bersisa sejarah itu. Tapi melihatnya dengan aksen baru yang juga cocok, hatiku mau tak mau berdesir pula. Ditambah lagi senyumnya yang gemilang itu. Aduh, mengapa darah tiba-tiba muncrat ke pipiku. Semoga kulitku yang gelap bisa menutupi ledakan rasa ini..

"Kau siap membayar hutang?", katanya sembari membawaku duduk di sofa. Dua cangkir coklat panas terlihat mengepul di mejanya.

"What? Hutang?? Semua hutangku sudah lunas, Mai, and am totally not in the mood to make a new one. Would you please?", aku menjawab sembari mengambil tapak tangannya ke pundakku - untuk memijitku. Ia terkekeh, lalu melakukan apa yang kuminta.

Lelah rasanya, dan Maiko tahu benar bagaimana merilekskan otot-ototku. Kami masih berbincang. Ia mengabarkan hal-hal yang terjadi di tempat kerjanya. Aku berkabar tentang malam-malam tanpa tidur di Jogja (juga tentang desain keparat). Lalu walau aku yakin aku tak berhutang apa pun, dan tak pernah mengerti seperti apa bentuk hutangnya, tiba-tiba aku merasa diriku siap untuk mulai membayarnya. Saat ini juga. Kusampaikan apa yang kurasa itu pada Maiko. Ia kembali mengembangkan senyumnya yang gemilang.

Dua cangkir coklat panas itu sudah menjadi hangat, masing-masing tinggal separo, dan aku mulai membayar hutangku padanya - hutang yang tak pernah aku buat. Hutang yang tak pernah aku tahu bentuknya. Tapi aku mulai membayarnya. Padanya.

No comments:

Post a Comment

enter what comes into your head.. -_-b