Saturday, April 20, 2013

Sang Alkemis tak Jadi Narsis


Aku memanglah orang yang sangat narsis. Mungkin karena aku pecinta "Sang Alkemis" milik Paulo Coelho, maka dari itu aku sungguh narsis. Hubungannya? Cobalah buka prolog novel itu (dan aku pun beranjak mengambil novel tersebut). Eh, rupanya prolog yang kumaksud sudah ditiadakan oleh percetakan yang baru. Sumpah atas dasar apa aku tak tahu. Yang pasti aku jadi sebal bukan main, karena artinya aku tak bisa punya rujukan untuk menguatkan perkataanku di awal. Oh, sungguh pun rezim merujuk sudah mulai menubuh pada diriku. Bukannya itu adalah selemah-lemahnya diri kalau membutuhkan rujukan? Rupanya memang manusia modern ini adalah orang-orang lemah. Yakinilah. Uopoh.

Namun aku sebenarnya bukan ingin merujuk (lihat, aku mulai berapologi di sini). Aku hanya ingin memberi tahu bahwa betapa aku sangat terinspirasi oleh Sang Alkemis, dan betapa aku sangat membenci edisi cetaknya oleh Gramedia. Pertama karena aku merasa ada yang hilang, yaitu cover yang kurang merepresentasikan kenanganku atasnya. Yang kedua (khusus untuk cetakan terakhir dengan cover warna cokelat - yang kupunya) ia tercetak dengan gaya populer: kertas memburam dan tulisan membesar. Yang ketiga yang paling fatal yang barusan kutemukan: Gramedia menghilangkan prolog!! Whadeheekkk!!

Yang pertama: cover. Aku pertama kali membaca novel ini ketika duduk di kelas tiga SMP. Aku mendapat hadiah dari Mbakku. Bersama "Mimpi-Mimpi Einstein". Jangan bayangkan aku adalah sosok yang dari kecil suka membaca yang berat-berat macam dua buku itu. Sungguh tidak. Jadi walaupun aku ndak mudheng, aku tetap melahap keduanya hingga membuatku jadi tak jelas seperti ini (?). Alhasil, yang kuingat hanya prolog serta garis besar cerita saja (untuk novel pertama), dan cover untuk keduanya. Biru muda dengan gambar orang bersorban dan berjubah, kayak orang Arab lah, yang ternyata baru kemarin-kemarin ini kusadari, itu merupakan representasi dari The Alchemist, dan cokelat tua menuju hitam dengan kombinasi warna menuju emas (bronze) serta gambar jarum jam untuk Mimpi-Mimpi Einstein (yang tentu itu berarti relativitas miliknya).

Singkat kata, cover biru ini membawaku pergi pada suasana Toko Buku di Jogja yang entah di mana aku lupa (soalnya sudah belasan tahun yang lalu). Yang kuingat Mbakku memilihnya di bawah terang cahaya putih yang berpendar di seantero toko buku tersebut. Penataan bukunya berantakan, tak ada AC, namun bukan di kawasan Shopping. Hari sedang terang benderang, kami ke sana setelah mengisi bensin di sebuah perempatan (mana aku juga lupa - atau tepatnya waktu itu tak tahu/sekarang lupa). Sampul biru itu lalu membawaku pada percobaan memaknai novel filosofis ini ketika sesampainya aku di rumah - Malang (kala itu aku liburan sebentar di Jogja), yang berujung pada kegagalan. Aku membaca tanpa menangkap makna.

SMA, setelah kudapati novel tersebut dibawa lagi oleh Mbakku, mungkin karena "ih, adek gak bisa baca yang berat-berat begini kayaknya", aku menemuinya lagi di rentalan komik (dan buku). Aku sering bertandang ke situ karena mulai kenal dengan yang namanya One Piece, Naruto, dan bacaan wajib penghilang pusing LKS Fisika serta Kimia ala anak eS-eM-A. Di sini aku terkejut melihat The Alchemist dengan cover yang lain, yang menurutku waktu itu sangat sangat sangat "ih, apaan sih".

Ketika aku SMP, aku tak tahu apa itu arti The Alchemist. Dijelaskan sama Mbakku dengan istilah Sang Alkemis pun aku ndak tahu (maklum, SMP belum dapat mata pelajaran Kimia). Lalu tahu tidak apa yang ada di benakku saat itu? Bahwa The Alchemist sangat linier dengan kekristenan, jadi di benakku Sang Alkemis itu pasti sesuatu yang berbau Kristen. Ampun, deh, ajaran dari mana ini. Rupanya menjadi mayoritas, belum lagi karena di bawah pengawasan rezim keluarga yang masih 'takut' anaknya kurang cukup 'sangu' sehingga takut anaknya 'terjerumus' ke 'yang lain', membuatku mudah untuk turut melanggengkan stereotip-stereotip yang sudah ada. Dalam mana aku membaca banyak sekali kata Maria seperti dalam kalimat 'Maria Yang terkandung tanpa noda', yang sebenarnya adalah ideologi Paulo Coelho, membuatku mengartikan secara garis lurus bahwa novel itu seakan ingin membumikan ke-Katholikan. Begitulah aku kecil: memaknai 'yang lain' selalu 'memiliki misi'. Memaknai yang berbeda dengan stigma, dan karenanya wajib untuk 'was-was' atas kehadirannya. Ya, Tuhan..

Sampul Alkemis kedua (yang kutahu) saat itu bergambar seorang perempuan yang duduk memangku seorang bayi laki-laki. Bisa jadi itu gambar realis tervulgar yang pernah kutemui: ada beberapa bagian tubuh sang ibu yang terbuka, yang menurutku 'memancing' (cek saja di sini). Sampul ini membuatku teringiang-ngiang, karena sedetik setelah aku melihatnya, aku berbisik dalam hati "ih, apaan sih". Aku berkata demikian karena interpretasiku mudah saja: perempuan itu adalah Maria, dan yang dipangkunya adalah Jesus.

Namun pembacaan keduaku atasnya lebih memberi warna, karena selain pada pembacaan sebelumnya (saat SMP) aku sudah senang ada agamaku disinggung-singgung di situ, juga karena kali itu aku mendapat makna, dan menjadi cinta: mengejar impian, dan mencintai rasa. Dua hal yang selalu digembor-gemborkan oleh Coelho (jadi harap maklum bila aku menjadi sebegini cinta atas mencinta).

Cover yang menurutku saat itu masih tendensius pun, tak kugubris. Yang penting aku suka dengan ceritanya. Aku sudah dapat (paling tidak) menangkap makna. Mungkin karena kerangka pengetahuanku sudah bertambah. Apalagi aku sudah belajar kimia, walau sebenarnya gambaran alkemis baru benar-benar jelas gamblang kudapat kala aku duduk di S1, kala membaca Full Metal Alchemist: komik keren yang di setiap episodenya emosiku dapat campur baur - terbahak/menangis/terbahak.

Dan sampul yang dipilih Gramedia untuk terbitan Sang Alkemis, bagiku, kurang merepresentasikan 'kekunoan' cerita ini. Maksudku, apa yang digambarkan penerbit itu terlalu maksa untuk jadi kuno. Aku bilang 'kuno', karena novel ini terbit pertama kali di tahun 1988 (mungkin sengaja ditulis untuk merayakan tahun kelahiranku, ngek). Untuk menjaga keorisinalitasan kedirian novel tersebut, kupikir perlu untuk memilih warna-warna dan kertas yang representatif. Modelnya kini terlalu populer. Aku tak suka pokoknya. Yang dipilih Gramedia 'gak Alkemis banget'.

Yang kemudian mengantarkanku pada hal kedua: pilihan kertas dan ukuran huruf tercetak. Setahuku ada dua periode cover untuk Sang Alkemis ketika Gramedia sudah menaungi semua terjemahan Indonesia tulisan Coelho. Sampul versi terakhir, yang kupunya, menggunakan bookpaper (yang walau baunya ashoey, kertasnya mudah terkena 'campak' aka. bintik-bintik yang tentu merugikan). Keduanya dicetak dengan ukuran huruf rada besar. Menurutku sangat tidak sesuai untuk style novel serius. Ini aku hanya belajar sok-sok-an ngerti novel serius dan enggak aja. Yang pasti aku lebih suka penampilan buku-buku Coelho terbitan bukan Gramedia, termasuk versi Bahasa Inggrisnya. Nggak lebay dan simple. Kecil dan ringan (walau mahal). Penerbit luar negeri (yang kupunya), selalu berusaha simple, walau untuk novel pop. Jadi sebenarnya bukan masalah pop atau bukan. Ini masalah selera. Aku tak suka selera Gramedia. Bagiku selera mereka 'gak Alkemis banget'.

Yang ketiga yang paling fatal: menghilangkan prolog. Padahal ini bangunan nuansa cerita awalku, kan. Bagaimana bisa Gramedia menghilangkan kisah Narcissus itu, sehingga membuatku mengalihkan pembicaraan untuk mengenang beberapa hal tentang Sang Alkemis dan relasinya dengan kehidupanku sebelumnya? Artinya ini adalah hal genting, mengingat topik yang di awal ingin kutulis jadi terpendam dan malah membuatku kesasar nulis tentang Sang Alkemis. Bukan berarti kemudian tulisan ini jadi tidak berarti, lho ya.. Itu dua hal yang berbeda.

Karena pikir pun selalu tak pernah habis, kuceritakan saja lah prolog yang menggemaskan itu. Atau tak usahlah. Lebih baik kalian merasakan kegemasan versi kalian masing-masing, karena baru saja aku browsing dan mendapat prolog itu, yang bisa jadi besok langsung ku-print dan kutempel di bagian awal novelku. Ih, leday. Berikut prolog tersebut:

Alkemis itu mengambil buku yang dibawah seseorang dalam karavan. membuka-buka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.

Alkemis itu sudah tau legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. ia begitu terpesona oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh ke dalam danau itu dan meninggal. di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan narcissus.


Tapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.


Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar, telah menjadi danau air mata yang asin.


"Mengapa engkau menangis ?" tanya dewi-dewi itu.


"Aku menangisi Narcissus," jawab danau.


"Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus," kata mereka, "sebab walau kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat."


"Tapi...indahkah Narcissus ?" tanya danau.


"Siapa yang lebih mengetahui daripada engkau ?" dewi-dewi bertanya heran.

"Di dekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya !"

Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata :


"Aku menangisis Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu indah. Aku menangisi karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri."


"Kisah yang sungguh memikat," pikir sang alkemis.
(sumber: ini)

Nah, aku yakin, bagi mereka pembaca baru Coelho, pasti akan sangat rugi, karena ada prolog ini yang tidak (belum) mereka baca. Sayang sekali pokoknya. Bayangkan saja, anak SMA jaman kata 'narsis' baru mencuat, sudah bisa bercerita tentang legenda kata tersebut pada teman-temannya, sedang Wikipedia saat itu masih wacana. Guweh emang keren banget, deh! Pret!

Trus betewe, kenapa aku bisa berakhir dengan novel edisi Gramedia? Ceritanya Sang Alkemis edisi lama yang dibelikan Mbakku kupinjamkan temanku dan tidak balik! Si sampul biru diembat orang!!! Akhirnya, aku harus puas ngomel-ngomel atas kebodohan edisi yang kubeli sendiri. Tapi anyway, pasti ada alasannya itu kenapa prolog tak dimunculkan sedang epilognya ada. Jangan-jangan edisi internasionalnya yang terkini juga sudah menghilangkan prolog? Tidak! Tidak mungkin!!!*

Dan kini aku benar-benar lupa tulisan apa yang di awal ingin kubagi. Topik yang seharusnya adalah nuansa malah mengambil alih menjadi fokus tulisan ini. Tapi tak apalah, kapan lagi aku membahas novel yang paling kusuka sekaligus paling banyak kubaca ini? (applause meriah)

*: setelah kucek di Google Books, ternyata edisi internasional masih mengandung Prolog yang dimaksud

2 comments:

  1. aku mbaca yang covernya ini http://www.goodreads.com/book/photo/492286.The_Alchemist ewalah ewalah yang gambar emak2 itu rodo nggilani, emangnya alchemist tentang maria po? bukannya ttg mas2 nyasar di padang pasir to? ehehe

    ReplyDelete
  2. wadehek, edisi enggres to yang kamu baca??:O
    tapi kok gak ada prolognya??? :O
    Yang Maria itu kan intepretasiku aja, kan pas SMP gak mudeng aku bacanya.. :|

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b