Tuesday, March 19, 2013

Limbo


Aku mengenalnya sebagai sosok yang menenangkan. Sosok yang tak hanya ada dan menyenangkan, namun juga menenangkan. Sekitar enam bulan yang lalu kami bertemu. Ia seakan tak mau mengenalku saat itu. Namun ibunya sudah kenal baik denganku. Aku sering ngobrol dengan ibunya. Hubunganku dengan ibunya didasarkan pada pertalian yang nyata: kami tinggal satu atap, walau berbeda bilik.

Ibunya adalah jalan bagiku untuk mengenalnya. Kami sudah saling lirik sejak di awal perjumpaan. Aku tahu dia juga tertarik padaku. Namun ia masih malu-malu. Aku sendiri entah menyembunyikan rasa maluku di mana aku tak tahu. Yang kuyakini saat itu hanyalah aku ingin dia. No matter what. Maka setiap hari aku melakukan pendekatan, via ibunya tentunya.

Aku bahkan sudah sangat dekat dengan ibunya. Namun tetap saja, ia masih enggan untuk mengenalku. Kami hanya saling memandang dari jauh. Apa yang salah dengan diriku kupikir, hingga ia tak juga kunjung mendekat padaku? Herannya malah abangnya yang mulai dekat denganku. Ya, boleh, sih. Tapi aku masih ingini dia.

Mereka memiliki semacam ritual komunal, di mana setiap hari mereka akan berkumpul bertemu seluruh anggota keluarga. Namun aku tak pernah melihat sosok sang ayah. Belakangan aku tahu, ayah mereka jauh dari jangkauan. Mereka hidup terpisah dengan sosok tersebut. Tidak ada yang cerita masalah ini padaku. Aku hanya tahu.

Lalu hari itu pun datang. Ia datang padaku. Berkenalan denganku, dan akhirnya bagian tubuh kami saling bersentuhan. Aku menyentuhnya. Yang mengherankan, aku sudah tidak lagi dekat dengan ibunya, juga ritual berkumpul sekeluarga mereka sudah mulai berkurang, namun ia malah hadir menemuiku, dan mau berkenalan denganku.

Sejak saat itulah kami mulai dekat. Setiap siang ia mengunjungiku. Perbincangan demi perbincangan mulai kami lakukan. Bila hujan ia tinggal lebih lama, dan kami melalui waktu bersama lebih lama. Kadang ia bersedia kutinggal ketika aku harus mengerjakan beberapa hal. Aku tahu ia sangat nyaman berada di sini. Aku berharap ia merasa itu karena aku. Aku yang menyayanginya.

Kadang aku juga memasak untuknya. Ia suka seafood. Sangat suka. Namun ia tak menolak ransumku. Pada dasarnya ia mau makan dengan apa saja, kecuali sayur. Lidahnya pun sangat cocok dengan gandum. Aku yang mudah bosan jadi bersyukur. Karena ada yang mau menghabiskan segepok ransum yang kadang kubeli hanya untuk kuincip.

Setelah sekitar sebulan dekat, aku baru sadar, tidak hanya aku yang tertarik padanya. Pun ia juga tidak hanya tertarik padaku. Kemungkinan untuknya disukai dan menyukai orang lain harusnya sudah dapat kutangkap sejak dulu. Kemungkinan itu selalu ada, karena aku tidak tinggal sendiri di tempat ini.

Namun ini lain. Aku bahagia, karena kehangatan itu bertambah. Kami malah saling berbagi kasih. Aku dan temanku mengasihinya, dan ia mengasihi kami berdua. Kupikir di awal akan terjadi perang saingan atau apalah itu namanya. Kali ini tidak berlaku. Kami saling ikhlas mengasihi. Aku malah senang ada orang lain yang juga menyayanginya.

Bagaimana hubunganku dengan abangnya? Semuanya baik-baik saja. Akhir-akhir ini mereka kembali sering melakukan ritual berkumpul mereka. Aku bahagia melihat kebersamaan itu. Kadang malah aku turut serta berkumpul. Juga temanku.

Seharian ini ia tidak datang. Aku sedikit khawatir, karena ini di luar rutinitas. Apalagi kulihat tadi abangnya datang. Ke manakah kiranya dirinya? Ah, semoga besok pagi sudah kudapat kabar darinya, pusku Limbo..

Limbo, some months old

1 comment:

enter what comes into your head.. -_-b