Wednesday, February 27, 2013

Maka Sekaratlah..


"Bagaimana rasanya dibuang?"
Menjadi sampah maksudmu?
"Lebih dari itu. Bagaimana rasanya menjadi sampah sejak dahulu kala?"
Ah, ya. Tentu itu maksudmu. Dan kau tanya bagaimana rasanya?
"Ya. Bagaimana rasanya?"
Hati yang telah muram kembali diinjak-injak. Rasanya seperti tiba-tiba kau tak pernah hadir di dunia ini. Rasanya seperti otoritasmu limbung.
"Itu abstrak sekali.."
Kau pernah merasa kecil sekali karena tak ada yang memberi apresiasi kehadiran dirimu?
"Kurasa itu sering terjadi. Aku sering mengalaminya. Normal sekali terjadi pada setiap manusia."
Oh, ya? Kau bisa contohkan padaku pengalamanmu?
"Aku sering mendamparkan diri menjadi sosok anonim yang diam. Aku pergi ke sebuah perkumpulan tanpa harus menyebutkan identitas. Tak ada yang mengapresiasi kehadiranku. Tak ada yang mengajakku bicara. Namun aku bahagia."
Ya, karna kau tak kenal satu pun orang itu, dan terlebih kau memang hanya ingin menjadi pengamat. Menikmati segala. Bagaimana bila perkumpulan itu adalah tempatmu sehari-hari berkecimpung? Senang bila mereka tak memberi apresiasi barang sezarah pun?
"Oke, aku mulai mengerti ini."
Bayangkan organisasimu itu adalah satu entitas utuh dalam sebuah tubuh manusia. Hampir setiap hari kau berkelebat dengannya, lalu wadah itu seakan telah menjadi rutinitas keseharianmu.
"Rutinitas keseharian. Itu artinya kamu dan manusia itu adalah dua yang begitu dekat?"
Kupikir demikian.
"Kau pikir demikian? Bagaimana sebuah kedekatan dapat direka-reka? Kurasa itu dirasa." 
Begini. Bagaimana kau bisa yakin yang kau rasa itu adalah sebuah realita?
"Kita akan segera berdebat tentang arti realita kukira."
Ya. Dan lebih baik kita akhiri sebelum dimulai. Intinya adalah bagaimana bila yang dulu kau rasa adalah realita, ternyata adalah bukan?
"Kenangan memang selalu kompleks. Aku tak pernah memungkiri itu. Ia selalu di belakangmu. Membayangimu. Lengah sedikit, akan segera berdarah-darah kita dibuatnya."
Dan aku sosok yang sangat senang mengenang.
"Kupikir hanya aku satu-satunya orang bodoh di dunia ini. Aku dapat teman bila demikian. Namun mungkin kita berbeda."
Apa bedanya?
"Aku suka membiarkan kenangan itu menerkamku. Toh juga itu berasal dari diriku, jadi kubiarkan saja. Kunikmati saja tamparan demi tamparannya. Aku selalu memberi waktu baginya untuk melakukan itu semua."
Kau gila. Bukannya bila yang berjenis pahit akan sangat meremukkan?
"Ya. Kadang sangat meremukkan. Tapi kubiarkan. Kamu tahu mengapa?"
Mengapa?
"Karena aku yakin, keesokan harinya kenangan serupa akan hilang. Dan memori lain yang akan datang menghambur. Bila kini yang pahit sekali datang, esok yang sangat kontras darinya yang datang. Bila kini meremukkan, esok membuatmu melayang tinggi."
Kupikir-pikir memang selalu itu yang terjadi padaku. Mengapa memori selalu datang dengan wajah tak sama dan selalu saja tak pernah utuh?
"Aku tak tahu jawab pastinya. Namun hati selalu berusaha untuk melindungi. Bisa jadi itu adalah mekanisme pertahanan saja."
Apa maksudmu? Bagaimana ia bisa bertahan bila tak pernah ajeg dalam mengolah memori? Pagi bersemangat, sore lumpuh total?
"Begini, lho. Walau ia tampaknya berkhianat dalam misinya, sebenarnya khianatnya hanyalah sebuah pukulan tak terduga. Kuambil ini dari The Alchemist, seharusnya kamu mengerti tentang ini."
Ingatkan lagi, aku sungguh lupa.
"Ah, baiklah. Hatimu suka mengenang panjang lebar, dan berkomentar panjang lebar. Besok bilang D, besoknya lagi bilang Z.."
Zakiyah Derajat..
"Namun sebenarnya ia tahu mana tujuan yang ingin ia capai. Pengkhianatannya hanyalah representasi ketakutannya atas kehilangan."
Aku tak mengerti apa yang kau omongkan.
"Artinya, bila sekarang kamu sedang terkenang kenangan yang membuat hatimu sakit, lalu besoknya terkenang bayangan yang membuatmu bersemangat luar biasa, sebenarnya dua kenangan tersebut memiliki benang merah. Yaitu tujuanmu. Bayangan yang pertama hanyalah rasa khawatir yang hadir karena kamu bersiap untuk meninggalkannya. Bayangan kedua adalah penyemangat untuk tujuanmu."
Dan itu berarti hati selalu berkhianat dari tujuan untuk menyelamatkanku?
"Untuk menandakan bahwa kamu takut. Takut bila tujuanmu tak dapat kamu raih, dan akibatnya kamu akan kehilangan yang akan kamu tinggalkan. Mekanisme penyelamatannya tidak di sini. Ia akan menyelamatkanmu ketika kau sadari tujuanmu."
Bagaimana bisa ia menyelamatkan bila ia selalu takut di saat-saat yang tak terduga?
"Penderitaan atas kehilangan yang akan kamu tinggalkan, memanglah ada, dan nyata. Namun 'rasa takut akan penderitaan justru lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri'. Istilah sadisnya, lebih baik kita kehilangan daripada takut kehilangan. Jadi aku selalu bilang pada hatiku: kita sudah kehilangan. Mari bersedih."
Dan aku selalu merasakan sebuah siksaan yang lebih masif daripada yang kau rasakan.
"Benar. Karena kamu hanya merasa takut kehiliangan. Sebaiknya segera saja mengubahnya menjadi kehilangan. Hingga siksaan itu segera selesai."
Namun aku tak hanya kehilangan. Aku diinjak-injak.
"Ya. Itu terlihat jelas di perangaimu akhir-akhir ini."
Perangaiku? Yang mana?
"Dari marahmu. Aku tahu itu sangat menyakitkan.."
Kau tak tahu apa-apa.
"Aku tahu. Zakiyah Derajat pernah dengan jelas mengatakannya. Sebuah marah hanyalah representasi sebuah sakit. Kita bisa tahu sejauh mana orang merasa sakit hanya dari kemarahannya. Sebuah benci yang dahsyat berarti juga sebuah kemarahan yang dahsyat dan itu berarti sebuah sakit yang dahsyat."
Hah, kata-kata orang tengil itu kau cuplik?
"Ternyata pun ada benarnya, kan?"
Jangan meledekku. Aku hanya tak suka disakiti.
"Semua orang kiranya begitu. Tak suka bila disakiti. Apalagi dibuang seperti sampah begitu.."
Lagi-lagi kau menyindirku.
"Menangislah bila kamu ingin."
Tak apa, biar kusimpan saja.
"Aku tahu. Merasa menjadi bukan siapa-siapa memang selalu membawa kita pada titik terlemah. Diingatkan bahwa kamu sebenarnya adalah siapa-siapa pun percuma, karena itu tidak penting buatmu saat ini. Karena kamu hanya ingin menjadi siapa-siapa untuk satu manusia itu saja. Aku turut berduka bila kenyataannya kamu tak pernah menjadi siapa-siapa untuk sosok itu."
Kau sengaja ingin membuatku menangis?
"Ya, mungkin. Menangislah.."
Apa yang harus kulakukan?
"Jangan nonton Mario Teguh."
BwaHaHaHa!!!!
"Kamu masih mau tertawa rupanya. Kurasa itu pertanda baik. Aku hanya bisa kasih saran ini. Cukupkan sekali saja merasa tersiksa dengan sebuah penderitaan kehilangan. Artinya jangan pernah takut lagi kehilangan, karena kamu telah kehilangan. Jangan pernah takut lagi menjadi bukan siapa-siapa, karena kamu memang bukan siapa-siapa."
Tapi rasa menjadi sampah ini? Akan lama menempel dalam hidupku kiranya?
"Well, let's see.. Seseorang yang menyampahkan seseorang, kurasa seharusnya ia bukanlah seseorang. Bila orang tak tahu cara berperilaku, ia akan kumasukkan dalam katalog berjudul 'Binatang'."
Kau mulai membencinya, yang bahkan bukan siapa-siapamu.
"Biar kuingatkan. Dia juga bukan siapa-siapamu. Segeralah menghilangkan rasa takutmu itu."
Tak semudah itu.
"Ingat. Kamu bukan siapa-siapa."
Benarkah?
"Bisakah kamu membuktikan sebaliknya?"
Tidak. Tidak pernah bisa..

3 comments:

  1. waahh.. perang batin.. rodo mirip, nek aq krn kejebak rutinitas sehari2 dan ga ngapa2in (magabut berhari2) ,,

    ReplyDelete
  2. lho, kukira kau kerja deh, Ta??

    ReplyDelete
  3. iyha.. tapi akhir2 ini banyak nganggurnya,, eehehehehe :D

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b