Wednesday, November 21, 2012

Tiba-tiba Pak Dirman

*dalam gema Facebook yang getol bilang `add X as Close Friend`*
*atas dasar apah aku harus `add X as Close Friend`*
*ngganggu wae! buak lho!*

Pembuka yang sungguh menyakitkan. Namun apa yang tak menyakitkan ketika sudah beberapa saat aku alpha menulis? Seakan ingin mengeluarkan segala resistensi dan akhirnya pun aku melakukannya: tak jenak aku bila menulis harus berarti dirinya. Pemaknaan ulang harus kulakukan. Namun bukan memaknai ulang yang kulakukan. Hanya resistensi. Sebuah perlawanan yang menyudutkan diriku, menjadi jalang, dan melenggang berprinsip baru: `aku emoh nulis`. Segala histori mengerucut pada keengganan menorehkan kata.

Selama beberapa waktu tumpul kata, badanku protes. Tidur berbagi ranjang dengan koran episode dua minggu dan tebaran buku-buku pengantar mimpi, benar-benar membuat diriku tak lantas mengalami indahnya bunga-bunga tidur. Susu super 250mL pun tak berdaya. Badan tetap menghangat dan virus dengan semangat mereproduksi diri. Lemah darah putih tak pula menjadi kuat walau asupan penyempurna sudah kulengkapi. Namun kata tetap tiada. Jadi pun, tubuhku berontak. Alpha kata berujung pada mati jiwa. Mati jiwa berdampak pada kalapnya segala satuan sel: dingin; diriku beku tanpa kata.

Jadi pun kutinjau ulang segalanya. Inginnya demikian. Namun, seperti yang telah kukatakan dalam media yang lain: `lalu kata, biarlah mati menjadi kata`, aku tak jadi meninjau apa pun. Percuma. Karna suatu aturan hanya akan menciptakan pemberontak-pemberontak yang baru. Daripada demikian, aku mulai melupakan aturan. Kemudian hinggaplah aku pada proses yang sejak dulu sudah kulakukan: kedirian. Kembali ke diri. Bebas untuk kembali ke diri. Semakin dekat untuk menjadi sejatinya manusia. Bukan menjadi yang terpecah-belah dan tak mengenal inti. Ah, apa lah, sudah kukatakan kan biarlah ia mati menjadi kata. Maka biarkan saja mati..

Langkahku kemudian tertuju pada Majalah Tempo edisi hari pahlawan. Hanya kebetulan semata, namun kurasa layak lah kubeli. Walau alasan membeli sebenarnya adalah karena kehadiran ambivalensi dalam diri. (Hampir) benci-benci tapi (sangat) rindu. Duh, betapa nasib kuliah dengan dosen yang hobi menghegemoni.. dikit-dikit ambivalen, dikit-dikit ambivalen, ambivalen... kok dikit-dikit... Edisi Hari Pahlawan itu aku baca. Jenderal Soedirman. Tak banyak aku kenal dia, namun aku ingin kenal. Ada sebuah poster, bonusnya. Aku sungguh senang dapat bonus, karena aku memelihara kebocahan dalam diriku. Karna bagiku, tetap memeliharanya berarti mendekatkanku menjadi manusia; nilai-nilai kejujuran dan kemanusiaan tetap ada ketika menjadi bocah - dan apa lagi yang lebih membahagiakan daripada ketika kita menjalani hidup ini dengan penuh kejujuran? Bonus adalah sebuah hal yang Zaki bocah sangat suka. Gift, bonus, prize, present, dan semacamnya, akan memberiku semangat berkobar, semacam senang aku menjadi spesial. Walau hanya poster, dan seluruh pembeli episod memilikinya, aku tetap senang. It's indeed special.. :)

Bonus poster itu tidak (hanya) berisi gambar (tampan nan gagah) Pak Dirman. Awalnya kukira begitu, hingga membuatku membaca artikel pertamanya terlebih dahulu, dan beberapa artikel setelahnya. Pak Dirman muda belia, sosok jebolan PETA, dipilih oleh orang di sekitarnya untuk menjadi pemimpin tentara Indonesia (TKR) pada 1945. Terbukti pemuda memang berandil besar saat itu. Seakan mereka lah pemegang kunci. Berani membandingkan dengan kondisi tentara saat ini di mana senioritas (yang wajarnya ditandai dengan umur) adalah segala-galanya? 29 tahun seorang Soedirman sudah menjadi pemimpin saat itu. Tak ada senioritas. Mungkin karena wacana pemimpin dan tentara saat itu belum begitu kompleks - jadi keputusan 'jernih' bisa diambil.

Maka ialah yang kemudian bergerilya dengan ditandu karna sakitnya ketika agresi militer Belanda II menyerang. 19 Desember saat itu, di mana ia memutuskan melarikan diri dari Yogyakarta, memimpin para tentara dari atas tandu sedang Soekarno+Hatta sudah disekap oleh Belanda - keputusan bergerilya yang sudah bulat. Dan seorang Pak Dirman berjuang dengan satu paru-parunya karena penyakit TBC membuat ia harus merelakan paru-parunya yang lain didisfungsikan.  Ya ampun, sungguh pun itu heroik sekali! Lalu kubuka bonus itu. Cerita tentangnya beradu strategi dengan pemimpin pasukan Belanda. Ada pula cerita singkatnya tentang gerilya yang ia lakukan. Dari tempat satu ke tempat lainnya. Dari gunung satu ke gunung lainnya. Dari kabupaten satu ke kabupaten lainnya. Dari Jogja, Kediri, Pacitan. Sungguh! Orang macam apa ini yang dapat memimpin perang gerilya dalam fisik yang sungguh tak dapat dikatakan sempurna? Orang macam apa ini yang dengan satu paru-parunya dapat mengecoh Belanda sampai 7 bulan? Telak aku takluk. Membaca aksi heroik singkatnya pada bonus poster dan beberapa artikel awal, aku pun berkeputusan: Aku mengidolakan Jenderal ini.

Dan satu lagi. Mengetahui dia dimakamkan di Jogja, telak keputusan selanjutnya kuambil: nyekar ke TMP. Taman Makam Pahlawan Semaki. Berbekal jawaban atas sebuah sms ke seseorang, aku bertekad bulat mengunjungi makam Pak Dirman. Namun long weekend kemarin agaknya hanya untuk paper. Jalan-jalan hati-ku ditunda dulu. Maka pada hari Senin, tidak bisa tidak, walau akan terlihat aneh kalo siang-siang nyekar. Namun berdasarkan pikiran `atas dasar apa keanehan itu dibilang keanehan`, maka setelah makan mie ayam super enak di sekitaran Padmanaba, aku meluncur ke Semaki. Ngeeng..

Hampir kesasar sedikit, akhirnya aku sampai di tempat yang dimaksud. Masuk ke areal kantor, aku daftar sebagai pengunjung. Aku sumpah tak tahu SOP masuk ke kuburan ini, sehingga sedikit bertanya-tanya juga. Namun tulisan `registrasi` yang menyambut di ruang tamu, membantuku meraba-raba apa yang seharusnya kulakukan. Mas penjaga memintaku menulis identitas singkat. Aku lalu bingung ketika akan mengisi kolom `hubungan` (dengan yang dikunjungi). Telak aku jujur menjawab ke masnya: `Aku apanya Pak Dirman, Mas? Bukan siapa-siapanya..` sedang mukaku sudah memerah karena dalam hati aku sudah menjawab: aku pengagumnya. Hahaha. Akhirnya kutuliskan `kerabat` setelah direkomendasikan menuliskan jawaban tersebut. Ahihihi, dalam sehari aja udah jadi kerabat Pak Dirmaaann.. :">

Memasuki areal makam... oke, ini makam.. sepi.. hanya ada kicau-kicau burung.. banyak sekali burung.. Makam Pak Dirman ada di blok A. Blok pertama yang menyambutku adalah blok B. Di tengah-tengah makam, bila memilih tidak lurus ke blok B, namun ke arah kiri, akan dapat dijumpai sebuah pelataran kosong berubin batu hitam - ukurannya sedikit lebih luas dari satu kali lapangan badminton, mungkin digunakan untuk upacara-upacara. Makam-makamnya tersusun rapih, banyak jumlahnya. Aku membayangkan harus mencari satu per-satu nama `Soedirman`, bayanganku sumpah mirip ketika aku baca adegan Harry Potter nyari kuburan bapaknya si James. Duh, nek siji-siji yo angel se cah! Panas eneh! Namun waktu aku berbelok ke kiri, menuju akhir pelataran kosong tadi dan menemui sebuah bangunan kotak berisi relief, untuk kemudian berbelok ke kanan ke arah blok A, dan untuk menuju ke sana aku pun melalui sebuah pendopo kecil berisi beberapa makam terlebih dahulu, aku pun tersadar ketika di situ aku melihat tulisan `alas kaki harap dilepas`.. Ya ampun geblek, Pak Dirman kan orang besar! Gak mungkin beliau dimakamkan di areal yang penuh sesak itu! Tak bakal susah mencari makam orang sekeren Pak Dirman! Dan jelaslah. Kulepas sendalku, dan mencari mana makam Pak Dirman di antara empat makam yang ada di bawah atap pendopo tersebut.

Makam pertama yang menyambut adalah makam Soepeno, tertulis Mentri Pembangunan dan Pemuda  - yang lalu barusan kulihat lagi di Tempo ternyata beliau mentri pas Kabinetnya Pak Hatta. Di sebelah kirinya, ada makam Pak Oerip Soemohardjo - ah, ini tentara didikan Belanda; yang di awalnya aku sedikit sinis, namun setelah kubaca habis artikel yang ada kembali tak jadi sinis. Lalu baru kutemukan nama Soedirman. 29 Januari 1950 dia meninggal. Aduh, sungguh pun mati muda ini namanya. Seorang haibat ini, mengapa juga harus meninggalkan banyak anak yang masih kecil-kecil? aduh, duuuhh...

Aku mengucap salam, lalu duduk, di pinggiran lantai, di dekat kubur Pak Dirman. Dekat, namun tak sejajar dengan nisan. Aku memilih posisi aman: di dekat namanya tertoreh. Aku sendirian, dan.. takut.. Gila aja.. berapa makam ini yang mengepungku? Yang mistis-mistis memang selalu menakutkan bagiku. Lalu kucoba menguatkan diri. Apa yang biasanya orang lakukan ketika nyekar? Kembang, ah, tak kepikiran aku sebelumnya. Menyentuh nisan? Aku sumpah terlalu takut. Jadi pun aku melakukan yang seperti biasa ibu dan aku lakukan di makam bapakku: berdoa. Lirih suaraku mulai muncul, sekalian memperkuat diri. Al-Faatihah, Al-Ikhlas, dkk. (untuk catatan, dkk. ditulis karna isi dkk. tsb. dibaca seenaknya, tidak turut prosedur). Dalam bacaan memperkuat diriku, aku memperhatikan makam Pak Dirman. Sudah benarkah kepala di utara dan kaki di selatan? Sekalian mendengar kicau burung-burung, aku baru tersadar, lho, aku kan di selatan, berarti di sebelah kanan kaki Pak Dirman, tapi kenapa nama di nisannya ada di sebelahku, di selatan? Lalu kutengok makam-makam yang berjibun yang di luar pendopo. Sudah benar, bentuknya merepresentasikan bahwa kepalanya di utara. Selesai doaku, kutengok sebelah utara makam yang di bawah pendopo - ternyata memang namanya ditorehkan di kaki. Idih, apaan sih..

Makam Pak Dirman yang namanya berada di sebelah selatan (juga ke-3 makam lainnya) - tapi kenapah ada simbol matanya ya? :|

Namun belum selesai. Aku melanjutkan dudukku. Apa yang kulakukan? Kali itu aku memutuskan membaca. Membaca beberapa artikel yang belum kuselesaikan dalam majalah Tempo. Aku tak perlu repot-repot mewartakan ke Pak Dirman tujuanku berkunjung ke situ, karna.... aku gak punya tujuan. Suasana sudah mulai cair, tidak semenakutkan seperti di awal. Kicau burung sungguh gemebyar, aku juga (sudah dapat) mendengarkan suara mobil-mobil lalu lalang di luar sana, sepoi-sepoi angin juga membawa suara mas-mas di kantor TMP sedang bercanda, atau ngapa-ngapain. Sunyi dari hiruk pikuk manusia, alami, dan segar angin, dipayungi atap pendopo yang menghalau panas.. kondisi yang begitu ideal untuk membaca dan... berbaring tiduran siang. Hampir saja aku melakukannya, namun akhirnya kuurungkan niat berbaringku. Walau sebenarnya tak ada salahnya tiduran di situ, tapi aku ngeri sama bayangan yang kuciptakan sendiri.

Beberapa artikel terbaca. Aku sempat senyum-senyum bangga sembari menatap nisan Pak Dirman ketika cerita heroik atau pemaparan betapa kerennya beliau kubaca. Sambil menggumam-gumam sendiri tentunya. Memuji beliau. Tiba pada artikel bertajuk `ROMANSA SEORANG PEROKOK BERAT`, aku memutuskan ini artikel terakhir yang kubaca. Atau bila masih ingin akan kulanjutkan beberapa lagi, mengingat artikel yang tersisa masih luar biasa banyaknya. Artikel judul tersebut berisi tentang bagaimana kisah seorang Soedirman bisa mendapatkan Siti Alfiah, istrinya, dan romansa-romansa semacamnya, semisal ternyata Pak Dirman orangnya dendy abis, dan hobi memilihkan baju yang 'bagus' buat istrinya. Sebuah perhatian yang jarang-jarang lho, pria mau ngurusin penampilan pasangannya.. :) Lalu juga diceritakan bagaimana istrinya pernah cemburu karna Soedirman banyak fans-nya. Terus kubaca artikel satu halaman itu, hingga bunyi akhir kalimatnya kudapat: 
"Satu bulan kemudian, tepatnya 22 Agustus 1997, Alfiah meninggal dan dimakamkan di samping pusara Soedirman". 
Serta merta aku menengok ke belakang, dan mendapati satu makam tersisa di belakangku. Ternyata dari tadi aku tidak sendirian... Bergegas aku memasukkan majalah ke dalam ransel hijauku, sebentar menyapa Bu Alfiah, dan pelan-pelat pamit pada Pak Dirman dan istri sambil mengucap salam. Tak perlu ditemani, Pak Dirman sudah punya banyak teman, batinku..

Makam istri Pak Dirman - di sebelah pusara Pak Dirman, yang lalu membuatku merasa tak 'sendirian' lagi di Taman Makam Pahlawan Kusumanegaran itu. Namun mengapa juga ada lambang matanya ya? :|