Saturday, October 13, 2012

Pulang


Kebutaan. Sudah beberapa bulan mata ini buta oleh senja - matahari senja. Matahari senja yang remang berbayang yang membuat gamang. Gamang akan sebuah arti kehilangan. Pijar emas, jingga, atau (bila beruntung) nyala merah-nya yang beradu dengan serbuk violet yang menerpa segenap wujud - membuat segalanya pun berbinar. Berbinar romantis yang mengalir ke dalam hati yang lalu menjadi berdesir. Dan senja pun memenuhi alam bawah sadarku. Luput aku pada ingatan akan yang lebih besar. Luput aku pada sejarah diri yang mencinta yang lebih indah: angkasa. Karna senja pada dasarnya hanyalah sebuah renik darinya. Renik indah yang membutakan. Membutakan hati dan pikiran. Butaku pun bukan tanpa alasan. Kilat hadirnya telak membuat semua makhluk tunduk bergairah untuk memilikinya. Ia terlalu indah, dan terlalu menyakitkan untuk dipuja: singkat hadirnya meremukkan segala harap. Tak kan bisa bila berkeinginan menangkapnya. Tak kan bisa bila berkeinginan memilikinya. Tak kan bisa bila berkeinginan menelannya. Tak kan bisa, karna ia hanya datang sebentar, memenuhi relung hati, dan meninggalkan bekas yang bertahan lama. Tertoreh di sana. Dan bertahan lama.

Namun ia sebenarnya adalah wajah lain angkasa. Aku seharusnya sadar akan ini. Aku seharusnya sadar bahwa angkasa lah yang kupuja. Bahkan sejak dari dulu. Aku tak hanya memuja emas, jingga, merah, violet, atau angin yang berbisik yang mengirinya. Aku juga memuja hitam. Aku memuja biru. Biru berawan, biru terang, biru yang memutih, biru yang memudar, biru yang menghitam. Bahkan abu-abu pun kupuja. Yang lengkap dengan petir mematikan pun kupuja. Yang kedap udara penuh sampah pun kupuja. Aku harusnya sadar, indah senja terlalu sempurna. Sempurna yang semu, dan menjemukan. Karna ketika sadarku menyeruak, rupa-rupanya senja itu, semakin lama semakin renta. Renta hingga ia ditelan oleh malam. Ialah senyata-nyatanya kesemuan.

Dan angkasa itu! Yang selalu ada di sana! Yang selalu kutuju ketika aku terbang melayang ketika harap membayang. Tinggi dan tinggi.. Seperti penuh aku akan gas helium.. Seperti terus aku melambung tinggi.. Menuju angkasa yang juga tak kunjung sampai.. Kulintasi lapis-lapis atmosfer, kukepakkan sayap yang tak pernah lelap mengikuti hiruk pikuk burung yang terbang. Tinggi dan tinggi.. Aku melayang, menjauh dari bumi. Dari diriku. Dan aku pun hilang. Ditelan senja. Senja yang mengangkasa. Senja yang rapuhnya merapuhkan. Hingga saat rentanya memuncak, yang tak kasat mata menahanku, lalu menarikku sekejam-kejamnya. Aku yang melesat jauh ke angkasa serta merta segera melesat kembali ke bawah, dengan kecepatan yang lebih hebat, lebih kuat, karna ia dengan beringas menarikku ke bawah, ia yang tak kenal ampun dan yang tak punya ampun. Ia sang gravitasi bernama realitas yang sungguh tak terendus segala indra. Aku pun terdampar. Berdarah-darah. Namun tak mati. Aku pun terhempas. Remuk redam. Namun tak mati. Dipaksanya aku hidup dengan segala luka dengan darah membanjir. Realitas yang deritanya lebih dari mematikan: karna aku dibuatnya tak mati-mati.

Namun angkasa itu yang kupuja! Yang selalu kutuju! Seakan aku harus pergi ke sana! Angkasa, dan bukan senja!! Walau berkali-kali bentuk senjanya membawaku membumbung tinggi. Walau berkali-kali gravitasi itu mengandaskanku. Walau berkali-kali aku dibuatnya melayang lalu terhempas - melayang dan terhempas - melayang dan dihempaskan - melayang dan kembali ada. Walau sedemikian kali hati ini alpa mengarti, alpa berlogika, alpa menganalisa. Tetap angkasa itu yang akan selalu kutuju. Hingga.. Hingga angkasa pun turut terarik oleh gravitasi, bersama diriku terjun bebas, jatuh ke bumi. Aku, dan angkasa yang kupuja, bersama realitas bersatu padu, pulang - membentuk apa yang kusebut kita. Sebuah rumah di mana aku menjadi diriku sesungguhnya, dan kamu menjadi dirimu sesungguhnya. Sebuah rumah tempatku dan tempatmu menjadi diri seutuhnya. Kita. Aku. Bumi. Kamu. Angkasa. Dan realitas.

terbang
Gravity, release me,
And don't ever hold me down,
Now my feet won't touch the ground..
(Coldplay)

Tuesday, October 02, 2012

Hilang


Seperti ada, namun tiada. Seperti hidup namun mengapung. Berjalan. Berlari. Berjingkrak. Tak ada tanda kehidupan. Tampak di depan mata, namun tak terdeteksi keberadaannya. Mata serta merta kehilangan otoritasnya. Melihat dan hanya melihat. Makna hilang melayang tak sempat tertangkap yang menangkap. Buih kata sangat lirih untuk didengar, sedang bunyinya sungguh pun lantang menggelegar. Namun tak ada tanda kehidupan yang kemudian dapat ditangkap. Tak ada tanda kehidupan yang kemudian mau menangkap.

Melayang. Bersama mereka. Berlari dalam kecepatan yang tak kenal kontemplasi. Menjadi zombie yang tak dapat menangkap makna. Merapal mantra yang terlampau tak berdaya. Mulut berbuih, mata tak punya fokus, hidung melenguh, dan diri merapuh. Pikir melacur, hati membatu. Pikir hancur, hati lebur.

Semuanya hilang.
Semuanya hilang dalam keberadaanku.

Aku merasa hilang.
Aku merasa hilang dalam keberadaanku.

Bertanya klise pun kulakukan:
apa yang kulakukan di sini?
mengapa aku di sini?

"Lord, I don't know which way I am going
Which way the river gonna flow.." [Coldplay]