Saturday, September 08, 2012

Negeri Dongeng


Di dalam negeri dongeng, isi seluruh kamarku mulai hidup. Aku yang baru bangun tidur takjub. Diri yang masih terbaring tiba-tiba menjadi penuh tanya - sekaligus merasakan euforia. Boneka kodok milik temanku berbincang dengan bantal guling kecil berwarna biru muda di sebelahnya. Almari terlihat terkantuk-kantuk, sedang apa yang ada di dalamnya terdengar begitu berisik. Dari rak ke tiga terutama. Penduduknya adalah makanan dan logistik lain. Kemasan 250ml susu UHT mendominasi. Mungkin itulah suara-suara yang tak kunjung diam. Bisingnya layaknya sekumpulan bebek kecil yang mulai berkoloni. Aku tak paham bahasanya. Namun mereka sungguh cerewet. Diandaikan orang jaman dahulu, sebut saja seperti mereka yang memiliki kebiasaan mencari kutu, lalu bergosip ria. Benda lain seperti makanan ringan, kopi dan coklat panas, mengamini almari dan ikut terkantuk-kantuk sedemikian rupa. Rupanya ocehan koloni UHT sudah menjadi nada-nada pengantar tidur untuk mereka.

Riuh canda membahana dari mereka yang ada di dekat kepalaku. Almari pakaian. Suaranya terkesan lebih dewasa daripada yang ada di rak ketiga almari sebelumnya. Mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu. Menariknya, diskusi ini seperti diskusi anak kecil. Seperti orang dewasa yang ditarik keluar dari kepenatan dunia sehari-harinya, berkumpul dalam suasana informal dan berbincang mengenai masa lalu. Satu sama lain saling bersahutan membodoh-bodohkan, lalu tertawa habis-habisan. Keluar dari penat rutinitas. Itulah mereka, sekumpulan pakaian yang beberapa di antaranya belum (tidak) tersetrika. Bunga Edelweis yang tergantung di mulutnya turut tersenyum mendengar ledakan kebahagiaan dari dalam almari. Ia yang selalu menebarkan wangi khas benang sarinya, terlihat begitu anggun dalam senyum yang memperhati. Tas hijau baruku yang kunilai sangat kebesaran memilih berbincang lalu dengan almari, juga dengan boneka gantungan kunci oleh-oleh Apple yang kusayang.

Tas kecil di samping tempat tidurku, bersama penduduk bawah tempat tidur: 3 kardus berisi buku (yang belum juga kubaca), sleeping bag, mattras, artefak koran, seakan semalam melembur nonton sepak bola (walaupun di sini tak ada TV), mereka pun pulas tertidur. Tak ada yang bersuara dalam tidurnya. Bergerak pun tidak. Di kondisi seperti ini, mereka benar-benar merupakan benda mati.

Masyarakat atas meja memiliki aktivitasnya sendiri. Kumpulan bangau lipat yang terkumpul dalam etalase bening mika yang sebulan lalu kubuat, berlatih nada. Seakan ingin bernyanyi. Namun suara dan bahasanya aku tak mengerti. Bunyinya lirih, tapi merdu. Mungkin ratusan jumlah mereka, mengingat setiap hari aku berusaha membuat minimal 5 bangau. Teman-teman semeja mereka terlihat seperti menikmati latihan nada itu. Laptop hitam putihku memejamkan mata, turut menggumam dengan suara yang dilirihkan. Ada juga sebotol sirup merah, mouse, selembar soal yang mengandung kata 'Frankfurt', beberapa makanan ringan (yang tak juga kumakan), dan beberapa alat tulis. Semuanya memperhatikan latihan vokal oleh paduan suara bangau lipat. Warna-warni dari mereka memberikan warna-warni suara yang menenramkan. Sungguh betapa indah terdengar walau hanya berlatih. Apakah mungkin mereka akan menggelar sebuah acara? Seperti acara talk show yang dilanjutkan dengan konser riuh Sheila On 7 yang semalam kuhadiri? Namun satu yang janggal. Tisu paseo memilih untuk tidak menatap pada etalase bening. Perhatiannya tertuju padaku, seakan ingin memulai sebuah kata.

"Ya?", kataku. Namun mulut tak juga berucap. Tisu tersenyum, dan aku menangkap apa yang dia katakan. Bahasa non-lokal, yang membuatku turut tersenyum. "Terima kasih", kali ini mulutku membuka.

Dalam berbaring miringku, aku lalu memejam mata. Dan merasakannya: kasur bersprei warna-warni hangat daun. Ia memelukku lewat selimut belel yang sudah melindungiku semalaman. Semua yang ada di atasnya bersatu padu merangkulku. Hangat, dan seakan berkata, "tak apa, Jeki, kami akan selalu ada untukmu. Tak perlu kau menjadi seorang lain di depan kami. Zona persegi panjang ini adalah yang menerimamu, menerima segala gelisahmu. Kami akan setia di sini, menunggumu kembali dari hari yang memaksamu memakai topeng bahagia itu, lalu dengan senang hati mendekap dirimu yang apa adanya. Tak usah kau berusaha sekuat tenaga untuk tidak. Karna kami di sini tahu betapa beratnya itu". Basah dari mata mengalir. Perlahan kuraih pandanganku. Suara mereka telah pergi. Kembali menjadi yang mati. Walau kuyakin tak ada satu pun yang tak hidup. Dan dengan senyumku yang belum juga redup, aku menarik kembali selimut garis-garisku, kudekap hangat yang erat, seakan ingin membalas rangkulan serupa yang telah mereka sediakan, bahkan sebelum hati ini menjadi begitu lusuh.

Di sebuah negeri dongeng. Aku membayang tempat tidurku adalah penolongku. Perantara Tuhan yang memberi kenyamanan. Bahkan memberi dirimu, yang datang melipur laraku, walau sekali lagi hanya dalam kawasan semu, yang kali ini bernama mimpi. Tidur pun menjadi rutinitas yang kembali kutunggu, karna dengannya aku memiliki peluang untuk dilindungi olehmu.

2 comments:

enter what comes into your head.. -_-b